05.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Setelah Nathan pergi, Lia malah menangis hebat di ruang tengah. Saka yang melihatnya hanya bisa menghela napas geram sambil mengepalkan tangannya kuat. Saka beranjak duduk di dekat kakaknya dan mengelus lembut punggung kakaknya.
"Harusnya tadi Kakak biarin aku pukul dia," gumam Saka. "Kenapa Kakak malah bilang Jean bukan anaknya? Harusnya Kakak jujur sama dia supaya dia tahu! Supaya dia tahu keberadaan darah dagingnya sendiri!"
"Aku nggak mau tambah masalah, dek. Maksudku, Nathan udah nikah jadi aku nggak mau dia terbebani sama keberadaan Jean."
"Lah?! Itu sih urusannya dia mau terbebani atau nggak, yang penting dia tahu tentang Jean. Keputusan apapun yang dia ambil setelah tahu, itu terserah dia. Kenapa Kakak malah bilang nggak mau tambah masalah?" Saka tersulut api emosi. "Jangan terlalu baik dan sabar jadi orang, Kak. Sekali-kali Kakak boleh egois walaupun dia udah punya istri."
"Nggak gitu, dek.."
"Denger ya, kalau Kakak nggak bisa ngasih tahu dia atau nggak mau ngasih tahu, biar nanti aku yang ngasih tahu." Saka beranjak berdiri dan berlalu ke kamar mandi. Baru hari pertama datang saja sudah membuatnya pusing.
Lia semakin menangis keras saat mendengar ucapan Saka. Dia memang sadar bahwa semua yang dilaluinya tidaklah mudah, harus rela menerima kemarahan orang tuanya, sakitnya saat mengandung dan sakitnya melahirkan. Tapi sumpah demi apapun bagi Lia, itu semua tidak berarti apa-apa setelah melihat wajah kecil Jean.
*
Freya berkali-kali menggerutu sepanjang perjalanan menuju sebuah sekolah yang akan menerima pemeriksaan gratis dari Rumah Sakit Green. Ingin mengumpat tapi Freya masih ingin hidup, dia tidak mau membuat Nathan murka atau dia tidak akan bisa menggunakan ponsel laki-laki itu lagi untuk memesan makanan.
Sebenarnya Nathan yang punya giliran tapi hari ini dia ada jadwal operasi mendadak jadi Nathan putuskan untuk mengirim Freya. Di depan para perawat yang lain, senyum Freya sangat mengembang. Tapi setelah berdua saja dengan Nathan, Freya melayangkan death glarenya.
"Selamat pagi anak-anak, hari ini kalian akan disuntik vitamin supaya sehat." Freya yang ditunjuk sebagai penanggung jawab mulai membuka pembicaraan.
Anak-anak kecil itu mulai berbaris satu persatu untuk mendapat suntikan vitamin. Freya menyipitkan mata ketika dalam barisan itu dia menangkap sosok wajah yang familiar. Dia berjalan mendekat hanya untuk memastikan.
"Little Adinata," gumamnya dengan senyum merekah lalu berjalan menuju salah seorang guru yang duduk di pojokan. "Permisi Bu Guru, siapa nama anak yang memakai baju warna abu itu?"
"Oh itu, dia siswa baru. Namanya Jeandra Adinata."
It's him. Valid.
"Baik, terima kasih." Freya mendekat ke arahnya dan menatapnya dengan lama. Jean balik menatap Freya dengan tatapan lucu yang sepertinya bingung melihat Freya.
Berkali-kali Freya mengatakan woah dalam hati karena Jean benar-benar mirip dengan Nathan. Semua yang ada pada wajah anak itu adalah copy-an Nathan kecuali mata. Matanya mirip Lia dan Freya sadar itu.
"Dia ganteng kayak ayahnya. Nathan mewarisi semua gen terbaiknya buat Jean. Perfect." Freya bergumam sambil geleng-geleng kepala. Dia kemudian permisi dan keluar dari ruangan.
Freya mondar-mandir di depan kelas sambil menunggu panggilannya diangkat. Ini sudah panggilan kelima tapi masih tidak dijawab.
"Masih di ruang operasi, kah?" gumam Freya dan tersentak kaget kala sebuah tangan kecil menyentuh tangannya. Freya mengelus dadanya sambil mengembuskan napas perlahan lalu mengalihkan tatapan pada Jean yang ternyata sedang mendongak di dekatnya.
"Kenapa?" tanya Freya sambil berjongkok.
"Mau ngomong sama aku? Bibi dari tadi ngeliatin aku terus di kelas?" tanya Jean balik.
Freya tersenyum lebar dan mengelus punggung Jean. "Kamu ganteng makanya Bibi liatin kamu terus."
"Oh, gitu." Jean tertawa kecil. "Mama bilang ayah ganteng makanya aku ganteng. Tapi aku belum percaya sama mama soalnya aku belum pernah liat ayah."
Entah kenapa, hati Freya merasa ngilu mendengar ucapan Jean. Memang tidak ada jaminan Jean seratus persen anak kandung Nathan tapi Freya yakin hanya dengan melihat wajah Jean.
"Emangnya ayah Jean ke mana. Kenapa nggak pernah liat?"
"Mama bilang ayah lagi kerja makanya belum bisa pulang."
Freya memaksakan senyumannya padahal dalam hati dia ingin menangis. Lia sangat pandai mendidik Jean dan Jean sepertinya anak yang pintar karena cepat mengerti. Freya bersumpah bahwa dia akan memukul Nathan jika bertemu.
Ponsel Freya berdering, ternyata panggilan dari Nathan. Buru-buru Freya mengangkatnya setelah sebelumnya menyuruh Jean untuk duduk menunggu di kursi depan kelas.
"Apa sih. Lo tahu gue lagi ada jadwal operasi!" suara Nathan di seberang terdengar marah-marah.
"Gue lagi sama anak lo."
"HAH?! Kok bisa? Lo jangan bercanda, nggak lucu."
"Lah, nggak percaya. Tunggu aja, gue kirim alamat sekolahnya."
Panggilan langsung ditutup kemudian Freya memotret Jean yang sedang duduk menunggu secara diam-diam. Freya mengirimkan fotonya serta alamat sekolah Jean pada Nathan.
"Ayo masuk, nanti kamu dicariin sama Bu Guru." Freya mengulurkan tangannya pada Jean yang disambut dengan senyuman oleh Jean.
Hari ini anak-anak diizinkan untuk pulang lebih awal setelah mendapat suntikan vitamin. Satu persatu anak-anak yang lain keluar dari ruangan setelah orang tuanya datang menjemput. Tepat saat itu, Nathan langsung muncul setelah mendapat pesan alamat sekolah Jean dari Freya.
Jean dan Freya sedang duduk di depan kelas ketika Bu Guru datang. "Permisi, anda siapanya Jean ya soalnya saya mau ngabarin mamanya kalau sekolah udah selesai?" tanyanya.
"Saya.."
"Fey!" seru Nathan dengan tergesa-gesa. Matanya langsung menatap Jean yang sedang duduk sambil memakan satu bungkus snack.
"Oh, dijemput ayahnya. Baiklah kalau gitu." Bu Guru itu permisi kemudian melangkah pergi yang hanya dibalas dengan senyuman kaku oleh Freya.
See, bahkan orang yang tidak tahu menahu tentang hubungan mereka langsung bisa menyimpulkan kalau Jean adalah anaknya Nathan.
Perhatian Jean teralihkan ketika Nathan berdiri di depannya. Senyum merekah Jean langsung menyambutnya, membuat rasa lelah Nathan sehabis operasi hilang seketika. Kedua laki-laki itu saling balas senyum yang membuat Freya speechless karena semirip itu.
"Paman Nathan ngapain di sini?" tanya Jean dengan nada suara tak jelas karena mengunyah snack.
"Jemput kamu."
"Disuruh mama, ya?"
"Iya, ayo." Nathan mengulurkan tangannya yang langsung di sambut oleh Jean.
Mereka bertiga kemudian masuk ke mobil. Entah ke mana tujuannya yang pasti hari ini Nathan ingin bersama Jean seharian. Persetan jika ada yang lihat dan memberitahu Elena, persetan jika nanti Lia marah-marah, dia tidak peduli. Nathan hanya ingin bersama Jean, anaknya.
"Oh, ya!" Freya tiba-tiba berseru dan langsung memukul kepala Nathan dengan keras membuat Nathan meringis. "Jangan protes. Itu bentuk kekesalan gue sama lo karena udah.. Ah, udahlah. Intinya gue mau pukul lo aja."
*
Lia berkali-kali memeriksa pesan masuk pada ponselnya tapi tak ada satupun. Dia gelisah karena ini sudah pukul tiga sore tapi belum ada pesan dari Bu Guru yang mengabari kalau Jean akan pulang. Kegelisahan Lia tak luput dari pandangan Jevin yang sedang berkunjung ke ruangan teamnya Lia.
"Kamu kenapa?" tanya Jevin.
"Nggak ada kabar dari Bu Guru kalau sekolah udah selesai. Biasanya dikirimin pesan tapi ini udah jam tiga sore dan belum ada pesan sama sekali." Lia ingin mengirim pesan untuk bertanya tapi nanti gurunya sedang sibuk jadi Lia tidak mau mengganggu.
"Datang aja ke sekolahnya," usul Jevin.
"Ya udah, aku izin bentar. Khawatir banget, nanti Jean kenapa-kenapa lagi." Lia meraih tas selempangnya dan menepuk pelan bahu Jevin sebelum pergi.
Jevin menatap kepergian Lia dengan senyum tipis. "Gimana sih caranya supaya kamu sadar kalau Nathan bukan yang terbaik buat kamu. Nathan udah ninggalin kamu tanpa sepatah kata tapi kenapa kamu masih sayang sama dia?" gumam Jevin.
Lia menyetop taksi dan segera memberitahu supir alamat sekolah Jean. Sepanjang perjalanan Lia terus berdoa, berharap Jean tidak kenapa-kenapa. Pikiran Lia kalut karena Jean orangnya sangat humble, maksudnya begitu mudah percaya terhadap orang asing yang baik padanya.
Begitu Lia sampai di depan sekolah, gerbang sudah ditutup dan sekolah terlihat sangat sepi. Lia mendadak melemas tapi dia harus masuk untuk memastikan. Lia meminta pada satpam yang berjaga untuk membukakan gerbang karena ada yang harus Lia pastikan. Satpam itu pun membukakan Lia gerbangnya.
Lia berlari kecil untuk menemui apakah masih ada orang yang belum pulang dari sekolah. Begitu sampai di depan ruang guru, napas Lia tersengal. Untung masih ada beberapa guru yang sepertinya sedang bersiap-siap untuk pulang.
Salah seorang guru melihat dan menghampiri Lia yang berdiri di depan pintu. "Ada apa ya, Bu?"
"Sekolah udah selesai? Kenapa saya nggak dapat pesan apa-apa?" tanya Lia.
"Oh, Mamanya Jean, ya?" celetuk seorang guru lainnya dan mendekati Lia. Lia buru-buru mengangguk. "Tadi Jean udah pulang, Bu. Dijemput sama ayahnya. Apa ayahnya nggak ngabarin?"
Lia mengerutkan alis bingung. Ayah? Tapi Lia berusaha untuk bersikap tenang lebih dulu.
"Tadi saya kira siapa. Ternyata ayahnya yang datang," ujar guru itu lagi. "Makanya saya nggak ngirim pesan."
"Oh iya, terima kasih, ya."
"Jean mirip banget sama ayahnya sampai tadi saya kaget soalnya mereka kayak kembar gitu."
Itu Nathan. Lia yakin. Entah bagaimana laki-laki itu tahu tapi kalau bertemu nanti, Lia mau memaki sekali saja.
"Iya, dia nggak ngabarin saya, mungkin lupa. Kalau gitu terima kasih ya, maaf ngerepotin. Saya permisi." Lia undur diri dengan perasaan berkecamuk. Mau menghubungi tapi dia tidak punya nomor ponsel Nathan. Sekarang, ke mana dia akan mencari Jean.
Lia terduduk lemas di kursi yang ada di depan kelas. Kepalanya berdenyut, terlalu pusing untuk sekedar memikirkan ke mana Jean pergi bersama Nathan.
Lia bukannya tidak senang Jean dekat dengan Nathan. Malah, itu adalah hal yang paling dia harapkan selama ini yaitu Jean bisa tahu dan kenal siapa ayahnya. Tapi situasi dan kondisi tidak mendukung dalam artian saat ini Lia dan Nathan sudah punya kehidupan masing-masing. Lia dengan segala kesabaran yang dia punya tak mau membebani Nathan dan Nathan dengan segala rasa penasaran yang menguasai dirinya sangat ingin tahu apakah Jean anaknya atau tidak.
Cukup lama Lia berdiam diri di depan kelas hingga suara ponsel membuyarkan lamunannya.
"Jean sama aku, kamu nggak usah khawatir."
Lia sontak memencet tombol call begitu ada pesan masuk yang sangat dia yakini dari Nathan. Tak sampai bermenit-menit, panggilannya langsung diangkat.
"Mamaaa!"
Bukan suara Nathan yang menyambutnya tapi itu adalah suara Jean. Seketika, rasa khawatir dan marah Lia hilang. Entahlah, tapi hanya dengan mendengar anak itu bicara membuat hati Lia terasa tenang.
"Jean sayang, kamu di mana?"
"Lagi makan sama Paman Nathan," suara Jean agak saru karena sedang mengunyah. "Mama tadi nyuruh Paman Nathan buat jemput aku, kan?"
Lia berusaha mengembuskan napas. Bisa-bisanya laki-laki itu berbohong pada anakanya.
"Kamu nggak apa-apa, kan"
"Nggak apa-apa. Lagian aku nggak mungkin ngebiarin anakku sendiri terluka," bukan Jean melainkan Nathan yang menjawab saat ini. Ucapan Nathan yang mengatakan anakku membuat jantung Lia berdegub kencang hingga dia terdiam selama beberapa saat. "Azalia?"
"Dia bukan anakmu."
"Ya, terserah," ujar Nathan. "Intinya kamu jangan khawatir, Jean aman sama aku. Kamu balik aja kerja nanti aku antar Jean pulang."
Panggilan langsung ditutup. Entah kenapa, air mata Lia berlinang. Kalau dia mau egois, maka sudah dari kemarin dia memberitahu Nathan bahwa Jean adalah anaknya, darah dagingnya sendiri tapi Lia juga memikirkan perasaan Elena. Jadi untuk saat ini, Lia benar-benar tidak mau egois. Mereka sama-sama perempuan jadi Lia pasti tahu apa yang akan dirasakan oleh Elena jika dia tiba-tiba mengatakan Jean adalah anak kandung Nathan.
Memangnya siapa yang tidak akan kaget jika suaminya ternyata punya anak berumur lima tahun dari perempuan lain. Walaupun dalam kasus ini Nathan yang bersalah tapi Lia telah melupakan itu semua, baginya itu adalah masa lalu yang harus dilupakan. Saat ini fokus satu-satunya adalah Jean. Hanya Jean. Kebahagiaan Jean.
**
Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata, jadi dibawa santai aja. Jangan sampai dibawa ke real life. Thank you.
©dear2jae
2021.03.26 - Jumat.
2022.04.09 - Minggu. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top