04.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Hari ini jadwal Nathan di rumah sakit tidak ada. Tapi pagi-pagi sekali dia sudah rapi dan mengatakan pada Elena bahwa ada urusan penting. Sebenarnya agak curiga tapi Elena memilih untuk percaya karena semalam Nathan sudah meyakinkannya bahwa laki-laki itu tidak akan meninggalkannya.
Saat ini Nathan berdiri di depan sebuah rumah minimalis yang ada di komplek perumahan. Rumah siapa lagi kalau bukan rumah Lia. Sesuai alamat yang tertera pada data milik Lia yang diberikan Juan kemarin padanya.
Tapi Nathan masih belum bergerak sedikitpun dari tempatnya. Masih ragu apakah dia akan bertamu atau tidak. Cukup lama dia berdiri hingga dia kembali teringat dengan ucapan Freya kemarin yang menyuruhnya untuk segera memastikan Jean anak siapa.
Nathan melangkah pelan lalu tangannya terulur untuk memencet bel. Tak lama, Lia membuka pintu hingga keduanya sama-sama terkejut dan membeku seketika. Masih sama seperti dulu rupa wajah Lia, rupa wajah yang selalu dia rindukan.
"H-hai.. Kamu, gimana bisa tahu alamat rumahku?" tanya Lia berusaha menormalkan raut wajahnya yang sempat kaget. Juga berusaha menormalkan detak jantungnya. Lia agak sedikit terbata, shock akan kehadiran Nathan di depan rumahnya.
"Mau ke mana pagi-pagi udah rapi?" tanya Nathan mengabaikan pertanyaan Lia. Ya, tidak mungkin lah Nathan bilang dia meminta data pada Juan.
"Mama!" panggil Jean dari arah dapur, anak itu sedang sarapan tapi sepertinya sudah selesai makanya memanggil Lia.
Nathan dan Lia sontak saling pandang dalam diam, cukup lama hingga Jean akhirnya muncul di depan pintu karena Lia tak kujung kembali.
"Aku selesai," seru Jean lalu matanya tertuju pada Nathan yang sedang berdiri dengan kaku. "Oh! Paman yang di mall."
"Hai jagoan kecil. Kaki kamu nggak luka? Paman nggak sempat nanya malam itu." Nathan menunduk dan mensejajarkan tubuhnya dengan Jean.
Lia mengalihkan pandangannya sebelum emosinya meluap-luap. Matanya memanas saat melihat kedua laki-laki itu berbincang-bincang dengan santai. Hati Lia bergemuruh.
"Nggak apa-apa, Paman," jawab Jean lalu tersenyum kecil yang dibalas dengan senyuman juga oleh Nathan.
Percayalah, itu adalah pemandangan terindah yang pernah Lia lihat seumur hidupnya. Dua laki-laki yang disayanginya saling tersenyum satu sama lain dengan senyuman yang sangat mirip.
"Oh iya, ada perlu apa? Soalnya aku buru-buru mau jemput Saka ke bandara."
"Kalau mau naik taksi nggak usah, ayo ku antar. Kebetulan lagi senggang." Nathan menawari tapi Lia langsung menggeleng pelan. Bagaimana bisa dia pergi bersama suami orang, nanti ada yang lihat terus dikira macam-macam. Bahaya.
"Nggak usah, aku sama Jean mau naik taksi aja. Jadi kalau ada yang mau diomongin, sekarang bisa, aku nggak buru-buru," tolak Lia halus.
"Tadi bilangnya buru-buru, sekarang nggak. Yang bener yang mana? Kamu nggak lagi ngerasa canggung, kan, sama aku?"
Jean menatap orang tuanya yang sedang berdebat. Dia mendongak dan menyentuh tangan Lia maupun Nathan yang langsung membuat keduanya menoleh secara bersamaan.
Tidak dipungkiri memang kalau Lia merasa sangat canggung. Setelah sekian lama tidak bertemu dan tiba-tiba bertemu dalam situasi yang tidak mengenakkan malam itu. Tapi Lia berusaha untuk tetap terlihat tenang.
"Paman Saka nanti marah kalau kita terlambat, Ma." Jean masih mendongak.
Nathan lalu menunduk. "Paman antar ya, biar nggak susah naik taksi. Biar cepat sampai juga, nanti kalau kamu telat Paman Saka bisa marah."
"Boleh." Jean langsung menyetujui. "Ma, ayo sama Paman. Mama nggak mau, kan, Paman Saka marah-marah."
"Ayo." Nathan lebih dulu meraih tangan Jean dan menuntunnya menuju mobil. Bahkan Lia belum sempat menimpali ucapan Nathan untuk menolak lagi tapi Jean sudah menyetujui. Oh Tuhan, sejak kapan jagoan kecilnya begitu pandai bicara.
Lia menatap kedua orang itu hingga mereka sama-sama masuk ke mobil. Ada rasa senang tapi tak bisa dia tunjukkan.
Sepanjang perjalanan suasana sempat hening hingga Jean nyeletuk. "Paman temannya mama?" tanya Jean.
"Iya, sayang. Dia temannya Mama," bukan Nathan yang menjawab tapi Lia. Lia hanya takut Nathan akan bicara sembarangan pada anaknya.
Nathan menyunggingkan senyum tipis, sadar betul bahwa Lia gugup. Tapi dia juga tidak akan bicara macam-macam pada anak kecil itu.
"Paman, yang sama Paman waktu itu siapa?"
Lia mengembuskan napas jengkel. Baru kali ini dia ingin menyumpal mulut Jean supaya tidak bicara macam-macam.
"Jangan ajak bicara, paman lagi fokus nyetir," bisik Lia pelan berharap Jean tidak terlalu penasaran akan hal-hal seperti itu.
"Dia istrinya Paman." Nathan akhirnya menjawab. Bukan bermaksud membuat Lia merasa sedih atau apa tapi memang itu kenyataannya. Hal seperti itu tidak bisa dia sembunyikan begitu saja. Dan mungkin saja Lia juga sudah tahu.
"Cantik. Tapi mamaku lebih cantik." Jean nyengir yang langsung mengundang tawa dari Nathan. Lia hanya bisa mengembuskan napas kesal. Bahkan sifat Jean sangat mirip dengan Nathan.
Bagaimana sifat Nathan yang menyebalkan sewaktu SMA sangat mirip dengan Jean saat ini.
"Paman setuju," ujar Nathan pelan tanpa mengalihkan perhatiannya. Dia fokus menyetir tapi raut wajahnya saat mengatakan itu begitu serius.
Jean tertawa girang. Lia ingin menghilang saja dari bumi.
"Nathan Adinata!" tegur Lia.
Nathan menoleh lalu menatap Lia dengan lama ketika mereka berhenti di lampu merah. Tatapan mata yang selalu Lia lihat ketika Nathan bicara serius. Tatapan yang menyiratkan kalimat, aku kangen Lia.
Jean sibuk dengan jalanan, menatap padatnya mobil yang ada di lampu merah. Lia buru-buru berdeham pelan sebelum Jean menyadarinya, dia mengalihkan pandangannya. Tak bisa lama-lama menatap mata Nathan.
Mereka sampai di bandara, Lia segera bergegas keluar dan menuntun Jean untuk keluar dari mobil. Tapi di saat yang bersamaan Nathan juga mengulurkan tangannya pada Jean. Kini Jean dihadapkan dengan dua pilihan, meraih uluran tangan Lia atau Nathan. Dan pada akhirnya, anak itu meraih uluran tangan Nathan.
"Good boy!" seru Nathan dan menuntun Jean untuk berjalan. Jari-jari kecil Jean menggenggam erat telunjuk Nathan. Sedangkan Lia hanya bisa menatapnya dengan tatapan sendu.
Seharusnya, setelah semua yang dilakukan Nathan padanya yaitu meninggalkannya dalam keadaan hamil tanpa sepatah kata. Harusnya dia marah, harusnya dia tidak akan pernah memaafkan laki-laki itu. Tapi seperti jawaban yang Lia berikan pada Jevin kemarin bahwa Nathan ayahnya Jean.
Lia ingin berharap bahwa suatu saat dia bisa berkumpul bersama Nathan maupun Jean, seperti piknik bersama misalnya. Tapi Lia juga sadar bahwa itu tidak akan pernah terjadi. Jadi, Lia berusaha untuk mengubur harapan itu. Dia tidak akan menuntut banyak hal dari Nathan apalagi menuntut tanggung jawab darinya. Tidak, dia tidak akan melakukannya.
"Kak!" seru Saka sambil melambaikan tangannya. Dia menghampiri Lia yang sedang menunggunya. "Jean mana, Kakak sendiri?"
"Paman!" teriak Jean dengan senyum merekah. Satu tangannya menggenggam es krim dan satu tangannya digenggam oleh Nathan.
Saka terlihat terkejut ketika menatap dua laki-laki yang sangat mirip itu saling gandeng. Tatapan Saka kemudian teralihkan pada Lia yang hanya bisa menunduk diam.
"Nanti aja aku jelasin. Aku juga pusing," ujar Lia.
Nathan dan Jean datang mendekat. Wajah Jean terlihat sangat senang karena dibelikan es krim oleh Nathan. Tadinya Lia sempat melarang tapi Nathan tetap memaksa dan Jean juga kukuh ingin makan es krim.
"Long time no see, Kak Nathan. Makin ganteng aja." Saka menyapa sambil memeluk Nathan. Dalam hati, Saka sebenarnya ingin langsung melayangkan pukulan pada laki-laki ini mengingat bagaimana perbuatannya terhadap Lia.
"Paman juga kenal sama Paman Nathan?" tanya Jean sambil terus menjilati es krimnya.
Lia mengerutkan alis bingung, apa Nathan sudah memberitahu Jean namanya. Sepertinya tadi saat mereka beli es krim.
"Kenal banget," jawab Saka. "Kenal banget sampai pengen gue pukul, sumpah. Pengen gue tonjok bokap lo tapi nyokap lo ngelarang!"
Memang, Lia sempat menyadari perubahan raut wajah Saka sesaat setelah bertatap muka dengan Nathan tapi Lia langsung menahannya.
"Ya udah, ayo pulang. Mau sampai kapan berdiri di sini." Nathan lebih dulu menarik tangan Jean menuju mobil.
Sumpah demi apapun, Saka sangat geram saat ini. Tekanan darahnya naik seketika saat melihat wajah Nathan. Ketika mengingat bagaimana dulu Lia dimarahi oleh orang tuanya karena hamil di luar nikah, membuat emosi Saka meluap-luap. Bahkan wajah lemah Lia masih terngiang-ngiang dengan jelas di kepalanya ketika menangis setiap hari hingga kandungannya sempat ikut melemah.
"Tahan dirimu. Kakak nggak mau kamu hilang kendali terus berantem di sini." Lia berbisik pelan. "Kakak tahu kamu kesal tapi nanti Kakak jelasin ya, gimana dia bisa berakhir nganterin Kakak."
"Emang itu yang mau aku tanyain. Gimana bisa Kakak jemput aku sama si brengsek itu. Aku hampir hilang kendali, sumpah. Kalau aku nggak liat Jean, kalau aku mengesampingkan fakta bahwa dia ayahnya Jean, aku udah pukul dia dari tadi," ujar Saka dengan segala emosi yang menguasai dirinya.
Baik Saka maupun Lia sama-sama diam. Lia duduk di depan sedangkan Saka bersama Jean di belakang. Jean masih saja menjilati sisa es krimnya yang tinggal sedikit. Lalu Saka membersihkan mulut serta tangan Jean.
"Paman, nanti beli es krim lagi, ya." Jean nyeletuk dalam keheningan.
"Jangan sering-sering nanti gigi kamu sakit." Saka menimpali.
"Nggak, kok. Kalau aku rajin sikat gigi nggak akan sakit."
"Siapa yang bilang gitu?"
"Paman Nathan," jawab Jean dengan wajah polos.
Lia mendesis ke arah Nathan yang sedang fokus menyetir. Nathan balik menatap dan menyunggingkan senyum tipis.
Mereka sampai di rumah Lia ketika Jean akhirnya tertidur di pangkuan Saka. Laki-laki itu mengangkatnya dengan pelan dan masuk lebih dulu ke dalam rumah lalu membaringkan tubuh Jean.
Sedangkan Lia bersama Nathan kini duduk di ruang tamu. Tadinya Lia pikir Nathan akan langsung pulang tapi Nathan bilang ingin menanyakan sesuatu.
Hening sesaat hingga Nathan bersuara. "Jean.. Anakku?" tanyanya setelah mempertimbangkan apakah dia harus berbasa-basi lebih dulu ataukah langsung bertanya.
"Bukan." Lia bahkan tidak ragu saat menjawab pertanyaan Nathan.
"Azalia, kamu pikir aku anak-anak yang bisa dibodohi?"
"Emang bukan."
"Aku nggak tahu kenapa kamu bisa jawab bukan. Tapi semua yang ada pada wajah Jean, 95% dariku. Mirip sama aku." Nathan menatap Lia dengan tajam.
Lia menunduk. Tatapan mata Nathan begitu menusuk. Sudah tak ada kalimat apa-apa yang akan dia gunakan untuk menimpali ucapan Nathan.
"Ok, kalau kamu nggak mau jawab, nggak apa-apa. Sekarang aku tanya, kalau emang dia bukan anakku terus ayahnya di mana? Suami kamu ke mana?"
"Kerja."
Nathan menghela napas frustasi. Jelas Lia berbohong karena saat ini dia menunduk, tidak menatap mata Nathan saat bicara.
Hening sesaat ketika akhirnya Saka keluar dari kamar Jean dan menatap bergantian dua orang itu. Nathan mengusap rambutnya frustasi.
"Kak.."
"Aku pulang." Nathan menyela Saka yang akan bicara.
Lebih baik akhiri dulu percakapan ini dari pada semuanya tambah rumit. Lia yang tidak mau mengaku dan Nathan yang bersikeras bahwa dia adalah ayahnya Jean.
Nathan memukul stir mobilnya dengan keras, melampiaskan kekesalannya. Menerka alasan apa yang membuat Lia tidak mau mengaku. Apakah karena dia sudah menikah dengan Elena?
Nathan kesal pada dirinya sendiri. Entahlah, hanya saja dia merasa begitu brengsek dan tidak berguna saat ini. Dia kemudian menatap telapak tangannya dalam diam, telapak tangan yang menggenggam tangan kecil Jean. Telunjuk yang digenggam oleh tangan kecil Jean.
Tiba-tiba, Nathan merasa dadanya sesak. Begitu sakit ketika mengingat ucapan Jean tadi sewaktu membeli es krim.
"Apa kamu sering belanja sama ayah kamu kayak gini?" tanya Nathan dengan sengaja.
"Ayahku sibuk, Paman. Kata mama, ayah lagi kerja jadi nggak bisa pulang untuk sementara waktu," jawab Jean.
"Mama kamu bilang gitu?"
"Iya. Kalau aku tanya ayah ke mana, mama jawabnya gitu. Kayaknya ayah melakukan pekerjaan yang hebat makanya nggak bisa pulang dulu."
Hati Nathan rasanya tersayat. Teriris ngilu.
**
Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata, jadi dibawa santai aja. Jangan sampai dibawa ke real life. Thank you.
©dear2jae
2021.03.24 - Rabu.
2022.04.05 - Rabu. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top