03.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
"Gue sibuk. Bisa-bisanya lo maksa ketemu." Juan menggerutu ketika Nathan datang ke kantornya sore ini. "Kalau nggak penting-penting amat, besok aja. Masih banyak yang harus gue kerjain."
"Namanya Queentantry Azalia," ujar Nathan pada Juan yang sedang fokus memeriksa beberapa dokumen. "Tolong, ya."
Juan meletakkan pulpennya dan menghampiri Nathan yang kini duduk di sofa dengan wajah tertunduk lesu.
"Lo, kan, tahu gue nggak bisa sembarang ngasih data orang. Walaupun gue punya akses tapi itu rahasia."
"Please, Ju. Tolongin gue."
Ini pertama kalinya Juan melihat wajah frustasi dari Nathan. Juan saat ini bekerja di pemerintahan bagian data kependudukan. Jadi, Juan tahu segala informasi dan data penduduk. Tapi seperti yang dikatakannya, bahwa itu semua rahasia. Mereka dulunya teman waktu kuliah tapi hanya sebatas teman nongkrong di tempat yang sama. Juan bahkan tidak tahu siapa Lia yang dimaksud oleh Nathan.
"Dia siapa?"
"Orang yang nggak akan pernah bisa hilang dari hidup gue."
"Please lah, lo jangan bercanda. Lo udah nikah sama Elena tapi masih punya orang yang nggak bisa lo lupain? Apa-apaan." Juan berdecak pelan.
"Situasinya rumit, lo nggak akan ngerti. Jadi gue mohon, tolongin gue. Kasih nomor ponselnya aja kalau bisa." Nathan memelas.
Raut wajah Juan sedikit melunak. Ikut penasaran siapa sebenarnya Azalia itu sampai-sampai Nathan memohon padanya.
"Makanya dia siapa? Kasih gue alasan yang jelas supaya gue bisa tolongin lo."
"Mantan pacar gue. Eh, bukan mantan sih. Kita nggak pernah putus."
"Terus kenapa lo sefrustasi ini buat nyari dia? Emang dia kenapa? Lo nggak mikirin perasaan istri lo kalau tahu lo cari mantan?"
"Dia hamil anak gue dan gue tinggalin dia dulu. Sekarang gue mau tahu keadaannya gimana. Udah? Puas?"
Juan terdiam. Dia berdeham pelan dan beranjak menuju meja kerjanya kemudian mulai mengutak-atik komputernya untuk mencari data kependudukan milik Queentantry Azalia.
Nathan berani bilang begitu karena memang Jean begitu mirip dengan dirinya. Dilihat dari sudut manapun anak itu sangat mirip dengannya. Bahkan mungkin saja Elena juga menyadarinya tapi tidak dia suarakan.
"Gue udah kirim ke nomor hp lo detail data-datanya," ujar Juan. Nathan hanya mengangguk dan beranjak berdiri. "Kalau emang ucapan lo benar, gue harap lo bisa bertanggung jawab tanpa menyakiti salah satu dari mereka."
Ucapan Juan begitu menusuk. Bagaimana bisa Nathan tidak menyakiti salah satu dari mereka jika itu benar adanya. Jika dia memilih untuk tidak peduli saat tahu bahwa Jean memang anaknya, itu akan sangat menyakitkan baginya dan bagi Lia. Dan jika dia memilih untuk bersama Lia, dia tidak tega meninggalkan Elena yang sudah ada di sisinya selama ini walaupun dalam kenyataannya tidak ada sosok anak di antara mereka.
"Gue bakal usaha." Nathan mengulas senyum tipis dan berlalu pergi. "Oh ya, thanks."
Selama perjalanan pulang, Nathan menyempatkan diri untuk membuka pesan yang dikirim oleh Juan. Melihat detail informasi mengenai data-data milik Lia. Ada satu hal yang membuat raut wajah Nathan sendu yaitu keterangan pekerjaan yang tertera. Bukan seorang akuntan seperti yang selalu diharapkan selama ini oleh Lia. Tapi hanya karyawan biasa di sebuah perusahaan bisnis. Rasa bersalah menyerangnya seketika, pasti Lia tidak bisa mengembangkan minatnya karena dia. Nathan menepikan mobilnya di pinggir jalan lalu sebulir air matanya terjatuh.
"Bodoh! Nathan bodoh!" rutuknya pada diri sendiri. "Lo udah ngehancurin hidup orang yang lo cintai selama ini."
Selama beberapa saat, Nathan termenung di dalam mobil. Memikirkan bagaimana menderitanya Lia selama ini. Cita-cita yang selalu dia inginkan tak bisa dia gapai. Nathan merasa menjadi orang terjahat saat ini.
*
"Selamat siang Ketua Tim Perencanaan yang cantik."
Senyum Lia mengembang kala Jevin menyapanya saat bertemu di lobi siang ini. Lia memang merasa hidupnya tidak akan seberuntung ini sebelumnya setelah semua yang dia impikan terbengkalai begitu saja. Lia kira, keberuntungannya sudah habis tapi nyatanya masih ada sisa beberapa.
Seperti sekarang ini, sejak datang ke Indo dua bulan yang lalu, Lia langsung mencari lowongan pekerjaan yang ternyata dia dapatkan dalam waktu cepat karena panitia seleksi karyawan baru adalah Jevino. Menurut informasi, perusahaan itu milik ayahnya Jevin jadi tanpa basa-basi lagi Jevin langsung meng-acc dokumen Lia.
Awalnya Lia sempat menolak karena tahu Jevin bekerja di sana. Lia takut nanti Jevin akan membeberkan keberadaannya pada Nathan tapi Jevin bilang dia tidak akan melakukannya. Jevin berjanji. Jadi, Lia memutuskan untuk menerimanya. Yang paling Lia syukuri adalah, Jevin menyuruhnya menjadi Ketua Tim bagian Perencanaan karena kemampuan Lia yang begitu baik.
"Kamu siang-siang gini udah gombal aja, Jev." Lia terkekeh pelan. Begitupun Jevin. "Oiya, mau makan siang bareng nggak? Aku mau cerita sesuatu."
"Apaan?"
"Mau makan siang bareng nggak?"
"Ya udah, ayo. Aku juga mau pergi makan siang."
Mereka berjalan beriringan menuju cafetaria. Kemudian memesan makan siang dan memilih duduk di pojok ruangan.
Mata Jevin tertuju pada buah-buahan yang diambil oleh Lia. Jevin kemudian terkekeh pelan yang membuat perhatian Lia teralihkan padanya.
"Kenapa ketawa?"
"Aku keinget waktu dulu Nathan ngasih kamu buah-buahan."
Senyum Lia perlahan mengembang sedikit, dia pun masih ingat dengan jelas waktu dulu Nathan memberinya sekantong buah-buahan dan menjadi pusat perhatian warga kelas.
Ceritanya dulu Nathan sedang melakukan pendekatan terhadap Lia jadi dia mencari tahu informasi tentang Lia termasuk makanan kesukaan perempuan itu. Katanya Lia suka buah tapi tidak menyebut buah apa. Jadilah waktu itu Nathan merecoki Jevin untuk menemaninya membeli buah-buahan.
"Gila, Nat. Usaha lo sampai gini amat. Beneran suka sama Lia?" tanya Jevin sembari memasukkan beberapa buah apel ke dalam keranjang belanjaan.
"Usaha aja dulu. Diterima apa nggaknya pikir nanti soalnya kalau suka terus nggak ada usaha nanti Lia nggak percaya."
"Iya sih, tapi.."
"Apa?"
"Kita kayak apa gitu belanja berdua di Grocery Shopping gini. Lo liat nggak tuh tatapan ibu-ibu sama kita."
"Jangan peduliin, susah amat. Lagian nanti kalau lo suka sama seseorang terus minta bantuan, gue pasti bantu."
"IYA."
Paginya di sekolah, Nathan benar-benar membawa sekantong plastik penuh dengan berbagai macam jenis. Begitu sampai di sekolah, dia langsung menuju kelas Lia dan meletakkannya di atas meja, di hadapan Lia yang saat itu terlihat shock. Tatapan teman-teman Lia tertuju pada Lia.
"Ini apa?" pekik Lia tertahan.
"Lo bilang suka buah tapi nggak ngasih tahu buah apa. Jadi gue beli banyak buah siapa tahu kesukaan lo ada yang nyempil." Nathan nyengir.
"Ya, nggak gini juga. Gue kira lo nggak akan ngelakuin hal serandom ini."
"Mau ngebuktiin aja kalau gue bener-bener serius sama apa yang gue bilang waktu itu."
"Apa?" tanya Lia masih dengan nada suara pelan.
"Suka sama lo."
"Keluar lo dari kelas gue!"
"Iya, gue keluar." Nathan sempat tersenyum manis sebelum benar-benar menghilang di ambang pintu bersama Jevin.
"Oh iya, mau ngasih tahu apa?" tanya Jevin ketika mereka sudah selesai makan dan tinggal menyantap beberapa buah-buahan yang diambil Lia.
"Aku ketemu sama Nathan."
Jevin meletakkan garpunya dan menatap Lia. Ada perubahan raut di sana, dari yang tadinya ceria berubah masam. Lia terlihat menghela napas pelan lalu menatap Jevin dengan senyuman yang sedikit dipaksakan.
"Kapan?" tanya Jeno.
"Kemarin di mall. Dia sama Elena dan aku sama Jean." Lia menjeda kalimatnya. "Terus tahu, Jean nggak sengaja nabrak Nathan dan Jean jatuh. Dibantu berdiri sama Nathan."
"Udah kayak adegan waktu kamu pertama kali ketemu sama dia aja." Jevin terkekeh. "Terus reaksi dia gimana?"
"Ya jelas kaget, kayaknya. Soalnya wajahnya datar gitu, aku nggak tahu beneran kaget apa nggak. Tapi aku kaget banget, setelah bertahun-tahun nggak ketemu dan pas ketemu, eh dia sama istrinya terus aku sama Jean. Asli Jev, pikiranku sempat blank. Aku nggak tahu mau bereaksi gimana, aku bener-bener deg-degan."
"Dia sadar nggak sama wajah Jean yang mirip banget sama dia? Kayaknya nggak mungkin nggak sadar soalnya semua yang ada pada wajah Jean itu copy-annya wajah Nathan. Aku aja waktu itu langsung notice kalau Jean anaknya Nathan tanpa kamu ngasih tahu."
"Nggak semua, ya. Matanya Jean mirip mata aku." Lia kembali terkekeh kecil.
"Cuma mata aja."
Mereka berdua kembali tertawa kecil. Memang, bahkan Jevin saja sadar apalagi Nathan yang jelas-jelas mematung saat itu.
"Tapi, kamu nggak ada niatan buat ngasih tahu Nathan kalau Jean anaknya?" Jevin bertanya dengan hati-hati. Takut akan menyakiti hati Lia atau takut pertanyaannya akan menyinggung.
Lia terdiam sejenak. "Nggak usah deh soalnya Nathan juga udah nikah. Aku nggak mau ganggu hubungan rumah tangganya. Nanti kalau Jean udah besar dia pasti ngerti kalau aku cerita yang sebenarnya."
"Dia udah ninggalin kamu tanpa sepatah kata, Lia. Dan kamu masih aja bersikap baik sama laki-laki brengsek kayak dia?"
"Nggak gitu, Jev. Cuma ya, udah berlalu juga. Aku emang nggak tahu apa alasan Nathan ninggalin aku waktu itu tapi sekarang itu bukan hal penting bagiku soalnya itu udah berlalu."
"Kamu masih sayang sama dia?"
"Dia ayahnya Jean."
Jevin hanya bisa mengulas senyum tipis mendengar jawaban Lia. Kalimat itu sudah cukup membuktikan bahwa rasa sayang Lia pada sosok Nathan sangat besar. Begitu besar hingga Lia mengesampingkan fakta bahwa Nathan meninggalkannya tanpa sepatah kata.
Ada sedikit rasa ngilu di hati Jevin sebenarnya saat Lia bilang begitu. Terselip rasa suka pada sosok Lia selama ini tapi melihat bagaimana besarnya perasaan Lia terhadap Nathan begitu sebaliknya, Jevin memilih mengubur perasannya.
*
Bohong jika Elena bilang dia tidak khawatir setelah pertemuan Nathan dengan Lia malam itu. Elena sangat tahu bagaimana perjalanan kisah antara Nathan dan Lia. Perubahan raut wajah Nathan sangat dia sadari malam itu tapi Elena memilih untuk tetap tenang dan menyikapinya dengan kepala dingin.
Dan yang paling membuatnya terkejut adalah wajah anak Lia yang sangat mirip dengan Nathan. Hidung, bibir tipis, bentuk dan raut wajah hingga senyuman Jean sangat mirip dengan Nathan. Jika Nathan dan Jean berjalan beriringan, orang-orang tidak akan bertanya apakah mereka adalah sepasang ayah dan anak karena orang-orang sudah bisa menyimpulkan dengan melihat wajah keduanya.
Pikiran Elena melayang ke mana-mana, ada rasa khawatir dalam benaknya kalau nanti Nathan memutuskan untuk mencari tahu tentang Lia. Dia takut Nathan akan meninggalkannya.
Elena menangis sejadinya di dalam kamar. Dia menjambak rambutnya sendiri karena frustasi lalu memukul perutnya sendiri.
"Ya Tuhan! Kenapa aku nggak bisa hamil!" teriak Elena di sela isak tangisnya. Dia terjatuh dan terkulai lemas di atas lantai dengan air mata yang sudah berlinang deras. "Kenapa Tuhan mengujiku dengan hal semenyakitkan ini!"
Pintu terbuka dengan keras dan menampakkan wajah khawatir Nathan. Begitu membuka pintu rumah, dia mendengar suara Elena yang sedang berteriak dari kamar.
"Kamu kenapa?" tanya Nathan sambil mendekap tubuh Elena lalu mengelus pelan punggung Elena dengan pelan. "Hey, kamu kenapa?"
"Kak, kenapa Tuhan nggak ngasih aku hamil? Kenapa Tuhan nguji aku dengan cara begini? Kak.."
"Stop! Aku udah bilang jangan ngomong kayak gini. Tuhan sayang sama kamu."
Elena sesegukan. "Kak, aku nggak mau Kakak ninggalin aku. Aku sayang sama Kakak. Aku nggak mau kehilangan Kakak."
"Emangnya aku udah bilang mau ninggalin kamu? Nggak, kan. Jadi berenti ngomong hal yang nggak-nggak."
"Aku takut aja Kakak bakal ninggalin aku," lirih Elena lagi sambil membalas pelukan Nathan.
Nathan sadar bahwa Elena mungkin merasa takut setelah pertemuannya dengan Lia malam itu. Nathan semakin bimbang. Bagaimana dia akan menghadapi semua ini nantinya.
Di satu sisi, dia sangat ingin berkumpul dengan Lia dan juga jagoan kecilnya, Jean. Tapi di satu sisi, dia tidak tega meninggalkan Elena.
Nathan pusing.
**
Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata jadi di bawa santai aja, jangan sampai dibawa ke real life. Thank you.
©dear2jae
2021.03.23 - Selasa.
2023.03.30 - Kamis. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top