01.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Suasana mall hari ini sangat ramai sehingga Lia harus ekstra menggenggam tangan Jean agar tidak terlepas. Anak berusia lima tahun itu terlalu aktif untuk ukuran anak seusianya. Senyum Lia merekah kala melihat raut wajah Jean yang terlihat senang, sudah lama Lia tidak mengajak putra kecilnya untuk jalan-jalan karena dia terlalu sibuk bekerja untuk mencari nafkah untuk Jean. Dan hari ini, Lia akhirnya mengajak Jean untuk jalan-jalan sekalian mau membelikan Jean mainan baru kalau Jean mau.

Tapi sebelum itu, Lia mengajak Jean untuk mampir makan sebelum keliling-keliling. Sejak kecil, Lia selalu menanamkan pada otak Jean bahwa kalau mau sesuatu, Jean harus mematuhi perintah orang tua. Seperti saat ini, Jean mau mainan tapi syaratnya harus makan dulu.

“Ma, janji ya kalau aku selesai makan, beliin aku mainan.” Jean menjulurkan jari kelingkingnya di depan Lia dengan wajah menggemaskan.

“Iya sayang, Mama janji.” Lia mengaitkan tangannya pada jari kecil Jean.

Dua bulan yang lalu, Lia kembali bersama Jean setelah sebelumnya tinggal di luar negeri. Senyum kecil Lia kembali terukir kala melihat Jean makan dengan lahap. Jagoan kecilnya sudah tumbuh besar, sudah bisa makan sendiri, mengganti baju sendiri, mandi sendiri. Dan selalu bertanya pada Lia di mana ayahnya, yang membuat Lia pusing harus menjawab apa.

Ketika Jean mulai bertanya di mana sosok ayah, Lia selalu bilang bahwa ayah pergi bekerja dan tidak dapat pulang untuk sementara waktu. Jean percaya karena waktu itu masih kecil tapi sekarang sepertinya Lia harus memutar otak untuk mencari jawaban lain karena Jean sudah besar dan mungkin tidak akan bisa percaya lagi.

Jean menunjuk seorang anak perempuan yang duduk di seberang. Lia mengikuti arah pandang Jean. “Dia sama ayahnya juga. Pasti seneng.”

“Kamu nggak seneng sama Mama?”

“Aku seneng.” Jean tersenyum kecil yang langsung mengingatkan Lia akan sosok yang selalu dia rindukan. Semua yang ada pada wajah Jean sangat mirip dengannya, dengan laki-laki itu, laki-laki yang ingin Lia hapus dari cerita hidupnya, yang sayangnya tidak bisa. “Mama ada, jadi aku seneng.”

Jika Jean merengek, meminta bertemu dengan ayah maka Lia akan mengatakan padanya, mama ada dan mama bisa jadi siapapun untukmu. Kadang Lia juga kasihan pada Jean karena selama ini dibesarkan tanpa adanya kasih sayang dari sosok ayah tapi Lia selalu memastikan bahwa Jean tidak kekurangan kasih sayang.

“Makanku udah habis. Ayo pergi beli mainan.” Jean beranjak dari duduknya.

“Tunggu bentar ya, Mama bayar dulu. Jangan ke mana-mana, nanti kamu hilang.” Lia mensejajarkan tubuhnya dengan Jean lalu Jean mengangguk paham.

Lia pergi membayar tapi sepertinya Jean tidak menghiraukan ucapan Lia karena saat ini anak itu terarik pada suara ribut di luar restoran. Jean melangkah menuju pintu dan menatap orang-orang yang semakin ramai karena adanya sale besar-besaran di salah satu toko.

Jean bergumam kecil dan hendak kembali masuk tapi tubuhnya terdorong oleh orang-orang yang hendak keluar. Jean terpaksa keluar dan memilih menunggu ibunya di luar.

Bosan karena Lia lama, Jean memilih mengitari sekitar dengan langkah kecilnya. Ya, namanya juga anak-anak, saking excitednya terhadap sesuatu dia jadi tidak memperhatikan langkahnya hingga akhirnya dia menabrak seseorang. Jelas Jean yang terjatuh walaupun dia yang menabrak karena tubuhnya yang kecil.

Sedangkan Lia panik karena tidak mendapati Jean ada di tempat semula. Dia buru-buru keluar dari restoran dan mengedarkan pandangannya, mencoba menemukan tubuh Jean di tengah keramaian.

"Astaga!" pekik Lia ketika melihat Jean sedang dibantu berdiri oleh seseorang. Lia segera menghampiri Jean dengan langkah pelan.

"Jean!" panggil Lia. Jean menoleh tapi tangannya masih memegang tangan orang yang membantunya berdiri.

Sepasang suami istri mungkin, lalu tatapan mata Lia bertemu dengan mereka. Hening, tubuh Lia membeku, sejenak melupakan hiruk pikuk keributan mall malam ini. Mendadak jantungnya berdegub dengan kencang hingga rasanya ingin melompat keluar. Tangannya bergetar hebat seiring dengan rasa sakit yang mulai menjalari hatinya. Terasa ngilu seperti teriris pisau ketika menatap sosok laki-laki yang membantu Jean berdiri.

Lia berusaha mengembalikan nyawanya yang sempat menghilang dari tubuhnya. Berusaha menenangkan dirinya sendiri, berusaha mengembalikan kesadarannya.

Nathan Adinata.

Ya, dia adalah Nathan Adinata. Sosok yang ingin Lia lupakan, sosok yang ingin Lia hapus dari cerita hidupnya tapi tak pernah bisa. Sosok yang selalu membayangi hari-harinya selama enam tahun terakhir ini. Lalu, pandangan mata Lia tertuju pada perempuan yang kini sedang mengaitkan tangannya pada lengan Nathan. Perempuan itu tersenyum manis lalu Lia membalasnya dengan terpaksa.

"Kak Lia?" suara perempuan itu berhasil membuat Lia kembali ke alam sadar.

Senyum Lia mengembang, senyum yang sangat dipaksakan. "Elena?" balasnya berbasa-basi, padahal sudah jelas bahwa dia Elena. (Tokoh Elena tidak ada visual, bebas berimajinasi)

Pandangan Lia kemudian teralihkan pada Jean. Lia duduk dan mensejajarkan tubuhnya dengan Jean. "Jean sayang, ayo minta maaf. Tadi Mama liat kamu yang nabrak paman duluan."

Nathan masih membeku, entah kenapa pikirannya tiba-tiba kosong ketika menatap sosok anak kecil ini.

"Paman, aku minta maaf, ya. Aku nggak sengaja nabrak Paman." Jean sedikit membungkuk lalu tersenyum kecil.

Ketika melihat senyuman Jean, baik Nathan maupun Elena langsung diam. Senyuman yang sangat mirip dengan senyuman milik Nathan.

"Lain kali hati-hati ya kalau jalan." Nathan mengusap pelan kepala Jean. Jean mengangguk paham.

Lia berusaha mengendalikan emosinya, air matanya menyeruak ingin keluar tapi sebisa mungkin dia tahan. Perasaannya kalut.

"Lama nggak ketemu, Kak. Ternyata Kak Lia udah nikah dan punya anak yang ganteng." Elena ikut mengelus kepala Jean.

"Iya, lama nggak ketemu." Lia benar-benar tidak tahu harus bicara apa. "Ayo sayang, katanya mau beli mainan."

"Ok, Mom!" seru Jean.

"Aku pergi, ya," ujar Lia sambil meraih tangan Jean.

Jean melambaikan tangannya pada kedua orang itu ketika dia ditarik oleh Lia untuk berjalan. Lia ingin segera pergi dari tempat ini karena Lia takut tidak bisa mengendalikan emosinya.

Lia berjalan lurus tanpa berniat menoleh sedikitpun. Menggenggam tangan Jean dengan sangat erat hingga anak itu meringis.

"Ma, tanganku sakit." Jean merengek.

"Oh, maaf sayang. Maafin Mama." Lia kembali duduk dan memeluk Jean. Mengusap pelan kepala Jean.

Lia bodoh, tidak seharusnya dia hilang kendali dan tidak sadar sudah menyakiti Jean. Tapi ya, memangnya siapa yang tidak akan merasakan emosinya meluap saat sosok orang yang dirindukan selama bertahun-tahun muncul di depan mata kepala sendiri bersama perempuan lain. Siapa saja mungkin akan merasakan emosi yang meluap. Entah itu rasa rindu atau benci.

"Jadi beli mainan?" tanya Lia.

"Iya." Jean menjawab dengan ceria.

"Let's go!"

*

Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil hening. Baik Nathan maupun Elena tidak ada yang buka suara. Nathan dengan segala pemikiran di otaknya membuatnya melamun, untung saja dia melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Nathan berkali-kali mengembuskan napas berat, pikirannya terus tertuju pada Jean. Semua yang ada pada wajah anak itu terasa sangat familiar. Mata besar Jean sangat mirip Lia, hidung mancung dan bibir tipis serta senyuman Jean.. entah kenapa, Nathan seperti melihat dirinya di dalam anak itu.

Elena berdeham pelan. "Kak.." Elena menyentuh lengan Nathan dengan pelan.

"Ada apa?"

"Kakak mikirin apa sampai nggak fokus gitu. Maksudku, kayaknya ada yang Kakak pikirin?" Elena tahu dan sadar bahwa Nathan memikirkan pertemuan singkatnya dengan Lia. Dia tidak bodoh untuk tidak menyadari perubahan raut wajah Nathan saat ini.

"Nggak ada. Nggak mikirin apa-apa kok." Nathan mengulas senyum tipis.

"Kakak mikirin Kak Lia, ya? Kakak kaget ya karena ketemu Kak Lia lagi setelah sekian lama apalagi Kak Lia udah punya anak?"

"Nggak, siapa yang mikirin dia. Kamu ada di sini, ngapain aku mikirin orang lain."

Senyuman manis Elena terukir yang membuat Nathan merasa sangat bersalah. Adalah sebuah kebohongan tentang ucapannya yang tadi. Berpisah selama bertahun-tahun karena alasan yang belum bisa Nathan beritahu pada Azalia merupakan sebuah penyesalan besar bagi Nathan. Meninggalkan perempuan itu tanpa sepatah kata membuat Nathan dihantui rasa bersalah. Membayangkan bagaimana keadaan Lia membuat Nathan merasa menjadi orang yang brengsek.

Bahkan, raut wajah Lia hari itu.. hari di mana semuanya selesai antara dirinya dan Lia, masih teringat dengan jelas di otaknya. Raut wajah yang meminta penjelasan namun dia mengabaikannya. Lalu muncul di benaknya, siapa suami Lia kalau memang Lia sudah menikah dan punya anak?

Mereka sampai di rumah orang tua Elena setelah membeli kue untuk ibunya Elena yang sedang ulang tahun hari ini.

"Menantu gantengku datang," seru ibunya Elena sambil memeluk Nathan. Nathan membalasnya dengan senyuman tulus.

"Selamat ulang tahun, Bu." Nathan memberikan kue itu pada ibu mertuanya.

Tidak ada acara apa-apa, hanya mereka bertiga karena orang tua Nathan tidak bisa datang berhubung sedang ada pekerjaan.

"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya ibunya Elena pada Nathan yang kini duduk bersamanya di ruang tengah selepas Elena pergi ke toilet.

Nathan mengangkat alis bingung. "Maksud Ibu?" tanyanya.

"Kamu, kan, tahu sendiri kalau Elena nggak bisa hamil dan ini udah tahun kelima sejak kalian menikah. Apa kamu baik-baik aja nggak punya keturunan?"

Nathan terdiam. Sungguh, pertanyaan itu terlalu sulit untuknya.

"Jangan pikirin ucapan ayahnya Elena ya, dia emang berpesan sama kamu supaya kamu jagain Elena setelah dia meninggal. Tapi Elena nggak bisa ngasih kamu keturunan."

"Nggak apa-apa, Bu. Aku nggak terbebani sama permintaannya ayah mertua."

Orang tua Elena terlalu baik sehingga Nathan kadang merasa bersalah. Menikah karena perjodohan atas permintaan ayahnya dan ayah Elena tanpa adanya rasa cinta sedikitpun. Tapi Elena? Perempuan itu begitu mencintai Nathan, berbeda dengan Nathan yang belum bisa.. oh tidak, bukan belum bisa tapi tidak bisa melupakan sosok Lia dalam hidupnya.

Elena tidak bisa hamil, dokter memvonisnya begitu sehingga pernikahan mereka tidak dikaruniai seorang anak. Ada kalanya Elena merasa sangat sedih karena tidak dapat memberikan keturunan pada Nathan.

"Tapi Ibu kepikiran sama kamu. Mungkin kamu pengen punya anak tapi Elena nggak bisa ngasih."

"Udah, Bu. Nggak usah bahas itu lagi. Aku nggak apa-apa."

Elena kembali bersamaan dengan selesainya ucapan Nathan. Dia beranjak duduk di samping Nathan.

"Bu, di makan dong kuenya. Ini Kak Nathan yang pilihin, loh." Elena memotongkan kuenya untuk ibu.

Ibu mengangguk dan memakan kue yang sudah dipotong-potong menjadi bagian kecil oleh Elena. Nathan juga mengambil sepotong dan memakannya.

"Oh ya, gimana di rumah sakit?" tanya ibu.

"Baik. Lancar-lancar aja," jawab Nathan.

Nathan bekerja sebagai Dokter di Rumah Sakit Green. Rumah sakit milik ayahnya. Cita-cita yang selalu dia impikan sejak dulu kini sudah digenggamnya. Cita-cita yang selalu dia bagi dengan Lia sewaktu masih kuliah dulu. Lia yang selalu dia recoki masalah laporan akhir yang membuatnya pusing. Ah, Nathan tiba-tiba rindu.

Dan tiba-tiba, Nathan jadi kepikiran Lia. Bekerja di mana perempuan itu sekarang? Apakah dia berhasil meraih apa yang dia inginkan yaitu menjadi seorang Akuntan?

Hari semakin malam ketika Nathan dan Elena memutuskan untuk pulang. Setelah pamit, mereka masuk ke mobil. Lagi-lagi, suasana sempat hening. Nathan larut dalam pikirannya sedangkan Elena hanya bisa menghela napas berat.

"Kak, aku dengar tadi Kak Nathan ngomong apa sama ibu." Elena menangis. "Maaf karena aku.."

"Elena, stop! Jangan bahas itu lagi." Nathan menyela.

"Tapi.."

"Aku bilang stop ya stop. Jangan bahas masalah anak lagi. Aku nggak apa-apa jadi tolong jangan bahas lagi."

"Kak, aku sayang sama Kak Nathan. Aku nggak mau kehilangan Kakak."

"Iya, aku nggak ke mana-mana." Nathan menenangkan Elena.

Hidup bersama selama lima tahun belum bisa menumbuhkan rasa cinta Nathan terhadap Elena. Jangankan rasa cinta, rasa suka pun tidak ada. Walaupun pernah melakukan hubungan suami istri tapi sumpah demi apapun, Nathan hanya melakukannya karena baginya itu adalah suatu keharusan. Tapi Elena tetap tidak bisa hamil.

**

Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata jadi di bawa santai aja, jangan sampai dibawa ke real life. Thank you.

©dear2jae
2021.03.21 - Minggu.
2023.03.12 - Minggu. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top