63

.
.
.

Setelah mengejutkan Beomgyu dan Yeonjun di ruang tamu, langkah aku atur pula ke bilik halmeoni, ingin mengejutkan Naeun dan halmeoni untuk sarapan bersama sementara Somi masih sibuk di dapur.

Tersenyum aku saat melihat Naeun dan halmeoni yang masih nyenyak tidur di atas katil.

Perlahan-lahan aku mengambil tempat duduk di sebelah Naeun, ingin mengejutkannya dahulu.

"Sayang." Panggilku lembut seraya mengusap perlahan kepalanya. Senyuman tak dapat aku tahan saat dirinya mengeliat kecil.

"Bangun, sarapan jom? Yeonjun pun dah bangun tau." Sempat aku memprovokasinya dengan nama Yeonjun.

"Tanak.." Rengeknya gedik seraya menggeleng dengan mata yang masih terpejam buatkan aku turut menggeleng perlahan.

"Bangunlah, banana uyu Naeun simpan semalam ada lagi tau dalam peti sejuk. Nanti uncle Beomgyu curi omma tak tahu, ha ayok."

"Mana boleh, Naeun unye."

Tergelak aku bila laju saja dia celikkan mata bila aku mention susu pisang dia. Siap berkerut dahi dia tenung aku, marahlah tu.

"Janganlah marah omma."

Saja nak mengusik dia, aku tayang muka sedih buatkan riak wajahnya terus berubah risau. Kelam-kabut dia bangun sebelum dirinya terus menerpa ke arahku, memelukku erat.

Tawa tak dapat aku tahan sebelum tubuhnya aku peluk erat.

"Mana ada Naeun marah omma.. Naeun sayang omma lah.." Tuturnya perlahan dan cukup polos buatkan aku tersenyum sendiri.

"Tahu, omma pun sayang Naeun." Tuturku sebelum sisi kepalanya aku kucup perlahan dan lembut.

"Dah, sekarang ni, Naeun pergi dapur, sarapan, okay? Pergi cepat. Entah-entah Yeonjun tengah minum banana uyu Naeun."

Bersungguh-sungguh aku yakinkan Naeun sambil meleraikan pelukan kami.

"Eeee!! Mana oleh!! Onjun ni kan!"

Tergelak aku saat melihat Naeun mula membebel sendiri seraya menuruni katil sebelum terkedek-kedek dirinya mengatur langkah keluar dari bilik halmeoni.

Perlahan-lahan tawaku mereda, berganti dengan senyuman halus saat aku menoleh, memandangkan belakang tubuh halmeoni yang sedang tidur membelakangkanku.

Serba-salah hendak mengganggu lenanya namun tengah hari nanti, kami perlu memulakan perjalanan pulang ke Seoul.

Dengan sesenyap mungkin, perlahan-lahan aku mengesot mendekati belakang tubuhnya sebelum lambat-lambat tanganku menggenggam lembut bahunya.

"Halmeoni, kita sarapan jom? Somi dengan Yerim dah siapkan sarapan tau, special untuk halmeoni." Tuturku perlahan dengan senyuman namun masih tiada respons dari halmeoni.

"Lepas sarapan kita siap-siap lepas tu terus gerak ke Seoul. Halmeoni pun mesti dah tak sabar nak jumpa Jungkook kan?"

Tanyaku lagi dengan tawa kecil namun perlahan-lahan tawaku mereda saat dirinya masih diam.

Namun perlahan-lahan bibirku kembali mengukirkan senyuman.

"Halmeoni, bangun ya?" Tanganku mula menggoncang lembut bahu halmeoni, mengharapkan sebarang respons dari halmeoni namun ternyata dirinya masih sama seperti tadi.

Perlahan-lahan senyumanku memudar, masih menatap belakang tubuhnya dengan debaran di dada.

"Halmeoni?" Panggilku sekali lagi namun dirinya masih diam buatkan detakan jantungku mula terasa laju.

"Halmeoni.."

Dengan suara yang bergetar perlahan, sekali lagi aku cuba mengejutkannya, bahunya aku genggam erat, mengharapkan dirinya memberi sebarang respons kepadaku walau sedikit.

Namun beberapa detik aku menunggu, dirinya masih kekal seperti itu.

Tak semena-mena mataku mula terasa panas dan membahang.

Dengan pandangan yang mulai dikaburi dengan air mataku sendiri, tanganku menarik lembut bahunya agar aku dapat melihat wajahnya.

Air mata tak dapat aku tahan di saat merasakan tubuhnya tidak berdaya tatkala aku menarik lembut bahunya.

Terlihat wajahnya yang cukup tenang dengan mata yang terpejam rapat, seolah-olah masih diulit mimpi buatkan aku tidak mampu menahan sebak.

"Halmeoni.." Panggilku perlahan dengan dada yang terasa cukup sesak saat menatap wajahnya sekarang.

Tangannya yang terletak elok di atas ribaku, aku genggam sebelum dapat aku rasakan ada sesuatu di dalam genggamannya.

Perlahan-lahan mataku beralih pada genggaman tangannya. Terlihat sekeping gambar terselit di dalam genggamannya.

Gambar halmeoni bersama Jungkook yang terlihat masih kecil, duduk di atas riba halmeoni sambil tersenyum.

Semakin deras air mata yang mengalir saat aku menatap gambar itu sebelum tubuh halmeoni aku peluk untuk kali yang terakhir.

"Kalau halmeoni dah tak ada nanti, jagakan Jungkook untuk halmeoni, ya?"

Mata aku pejamkan, menangis tanpa suara saat mengingati pesanan terakhirnya buatku.

.
.
.

Sudah seminggu halmeoni pergi meninggalkan kami dan sudah tiga hari kami pulang ke Seoul setelah lebih kurang empat hari kami berada di Busan, memberi penghormatan terakhir buat halmeoni.

Beberapa hari berlalu, dapat aku lihat betapa terkesannya Somi dengan pemergian halmeoni, berbeza dengan omma yang terlihat cukup tenang saat menerima pemergian halmeoni.

Seperti hari ini, dirinya tidak lalu makan mahupun minum, seharian mengurung diri di dalam bilik tidurnya.

"Awak makan ya? Saya suapkan, nak?"

Dari ambang pintu, aku hanya memerhati Beomgyu yang sedaya-upaya cuba memujuk Somi untuk makan.

Terlihat Somi hanya diam, baring mengiring di atas katil dengan mata yang terpejam sebelum dirinya menggeleng perlahan.

"Makanlah, nanti awak sakit. Dari semalam awak tak makan." Pujuk Beomgyu lagi, cukup lembut dengan tangannya mula mengusap lembut rambut Somi.

Tidak lepas matanya dari menatap wajah Somi dengan renungan yang jelas, risaukan tunangnya itu.

"Saya tak lapar. Awak pergilah."

Untuk seketika, Beomgyu hanya diam sebelum terlihat dirinya perlahan-lahan bangun dari terus duduk di sisi Somi.

Dulang berisi makanan dan minuman buat Somi masih dibiarkan tidak bersentuh di atas meja di sisi katil.

Terlihat Beomgyu mula mengatur langkah ke arahku. Senyuman aku ukirkan buatnya di saat pandangan kami bertaut.

"Tak apa, biar aku pula yang pujuk." Bisikku padanya buatkan dirinya hanya tersenyum hambar.

.
.
.

Dengan senyap, perlahan-lahan aku mengambil tempat duduk di atas katil, di sisinya yang aku tahu, hanya berpura-pura tidur.

Terlihat perlahan-lahan kelopak matanya dicelikkan, mungkin perasan dengan kehadiranku di sisinya.

Senyuman aku ukirkan untuknya walaupun dirinya hanya diam, menatapku dengan renungan kosong.

Tanpa mempedulikan tatapan matanya padaku, perlahan-lahan aku mengambil tempat baring di sisinya sebelum kami saling bertatapan di saat aku sudah baring mengiring menghadapnya.

Aku hanya tersenyum saat melihat matanya yang mulai terlihat berkaca saat menatapku sekarang.

"Aku mungkin dah jadi kakak ipar kau tapi aku masih kawan baik kau, sampai bila-bila.. Tak apa kalau kau nak menangis, menangislah puas-puas tapi kena ada aku.."

Tuturku perlahan seraya mengusap lembut rambutnya buatkan laju saja air matanya mengalir buatkan aku tersenyum lagi namun pada masa yang sama, mataku mula terasa panas dan membahang.

Tiba-tiba saja dirinya memelukku erat buatkan aku tertawa perlahan namun pada yang sama, aku turut sama membalas pelukannya.

Kepalanya aku usap perlahan, membiarkan dirinya menangis semahu-mahunya di dalam pelukanku.

"Yerim.."

"Hmm?"

"Macam mana kalau satu hari nanti,.. abang aku pun pergi,.. tinggalkan kita macam halmeoni?"

Terdengar getaran suaranya perlahan menyapaku, bertanyakan soalan itu kepadaku buatkan aku terdiam.

"Omma ada bagitahu aku.. kalau tiga bulan dari sekarang abang aku masih belum sedar.. pihak hospital akan hentikan semua rawatan pada dia.. kau izinkan?"

Perlahan-lahan mata aku pejamkan, menahan rasa sebak yang cukup menyesakkanku saat soalan itu ditujukan kepadaku.

Namun perlahan-lahan kelopak mata aku celikkan saat terasa pergerakan baby di dalam kandunganku, menyapaku.

Kini Somi mula mengundur, meleraikan pelukan antara kami dengan matanya tertumpu pada perut aku sebelum aku pun ikut sama menunduk.

"Apa benda tu?" Tanya Somi dengan suara sengau baru nangisnya buatkan aku spontan menghamburkan tawa.

"Anak buah kaulah, siapa lagi?" Balasku dengan tawa yang masih berbaki. Aku hanya biarkan saat Somi mula menyentuh perutku.

"Tidurlah, budak. Dah malam."

Aku hanya tertawa saat Somi mula membebel sebelum perlahan-lahan tawaku mereda, berganti dengan seulas senyuman terukir di bibirku.

Dengan senyap, aku hanya memerhatinya yang masih leka merasa pergerakan baby dengan senyuman terukir di bibirnya, padahal dirinya baru saja menangis tadi.

Baguslah kalau dirinya sudah terlupa dengan persoalannya tadi.

.
.
.

Setelah selesai mengelap bahagian atas tubuhnya, butang bajunya aku pasang semula satu per satu, tidak mahu dirinya kesejukan.

Kini tangan kirinya yang sejak tadi terletak di sisinya, di atas katil aku angkat sebelum aku letakkan di atas ribaku.

Dengan senyap, tanganku mengelap perlahan lengannya menggunakan tuala basah.

Tidak seperti selalu, beberapa hari ini aku langsung tidak berbual dengannya saat aku menjaganya di dalam wad.

Perlahan-lahan tanganku terhenti dari terus mengelap lembut lengannya. Dengan kepalaku yang masih menunduk, telapak tangannya yang sejak tadi di atas ribaku aku tatap lama.

Perlahan-lahan telapak tangannya aku sentuh sebelum jari-jemarinya aku genggam erat.

"Awak akan bangun, kan?" Tanyaku perlahan dengan diriku masih menunduk, tidak mampu untuk menatapnya sekarang.

"Awak tak kan tinggalkan saya, kan?" Tanyaku lagi. Di luar kemahuanku, mataku mula terasa panas dan membahang.

"Awak kata awak cintakan saya, awak kata awak sayangkan saya dengan Naeun,.. tapi kenapa, awak buat keputusan untuk tinggalkan kami, Jungkook?" Rintihku dengan air mata yang mulai tak tertahan.

Mata aku pejamkan, menangis tanpa suara di sisinya. Pertama kali, aku menangis di hadapannya.

Beberapa bulan aku cuba untuk terlihat kuat di hadapannya namun hari ini, aku menangis di sisinya.

"Omma ada bagitahu aku.. kalau tiga bulan dari sekarang abang aku masih belum sedar.. pihak hospital akan hentikan semua rawatan pada dia.. kau izinkan?"

Sekali lagi, soalan itu bermain semula di fikiranku buatkan air mataku semakin deras mengalir.

Perlahan-lahan mata aku celikkan, menatap wajahnya walaupun tidak sepenuhnya, terbatas dengan alat bantuan pernafasan yang terpasang pada mulut dan hidungnya.

Kini perlahan-lahan pandanganku beralih pada setiap wayar dan tiub yang terpasang pada tubuhnya buatkan dadaku terasa cukup sesak, menahan sebak saat melihat keadannya sekarang.

"Sama macam kamu,.. omma nak dia terus ada di sini dengan kita..tapi pada masa yang sama.. omma dah tak sanggup tengok dia sakit.. walaupun dia tak pernah tunjuk, yang dia sakit.."

Perlahan-lahan mata aku pejamkan, tidak sanggup hendak melihat keadannya sekarang.

"Kalau memang ini permintaan terakhir dia dan kalau dengan cara ini mampu buat dia rasa lebih tenang, omma izinkan dia pergi.."

Bibir aku ketap kuat, menahan diri dari teresak-esak menangis. Tanpa suara, aku menangis di sisinya.

.
.
.


Sorry for the late update. Terima kasih kepada mereka yang masih sudi menunggu, love you. :') 💜

NAK 110 VOTES UNTUK UNLOCK NEXT CHAPTER BOLEH?🥺

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top