Part 2

Untuk memperdalam peran Ivanna, Celia mencari apa pun yang bisa menjadi petunjuk kepribadian perempuan itu. Ia mulai berkeliaran di kamar Ivanna setelah kepergian Manda beberapa menit lalu. Tidak peduli kaki masih sakit, yang dibutuhkan sekarang adalah kehidupan sehari-hari yang dijalani Ivanna.

Perempuan itu penyuka novel. Terlihat ada banyaknya koleksi novel hard cover yang tertata rapi di rak bercat putih, dipadukan sesuai warna, tampak begitu aesthetic dan sangat nyaman untuk dipandang. Dan di sudut rak yang membentuk L, terdapat sofa bulat berukuran besar beralaskan karpet bulu-bulu putih. Mungkin tempat untuk Ivanna bersantai sambil membaca novel, pikir Celia.

Langkah Celia beralih ke meja berlaci samping rak buku, di atasnya terpajang foto Ivanna kecil bersama orang tuanya--berkonsep formal. Wajah penuh kebahagiaan itu terlihat dari senyum indah ketiganya yang tampak begitu menawan. Di sampingnya, ada tiga figura berisikan foto Ivanna dewasa--di usianya sekarang--terlihat begitu cantik. Lalu, terdapat vas berisikan mawar putih bercampur pink dan merah yang masih segar. Seperti belum lama terpajang.

Begitu beralih ke meja belajar yang terdapat banyak koleksi aksesoris lain, Celia langsung dibuat tercengang. Terkejut bukan main melihat kalender duduk di meja itu yang menunjukkan angka tahun 2018, lima tahun lebih maju di banding kehidupan dirinya sebelumnya.

"Perasaan baru kemarin aku mengalami musibah. Ternyata sudah selama itu?" gumam Celia, di tengah keterkejutannya.

Dengan gerakan lesu, ia menarik kursi di depan meja lantas mendaratkan bokong. Embusan napas berat keluar dari mulutnya bak tanda keputusasaan. Lima tahun. Bukan waktu yang sebentar. Pikiran pun langsung tertuju kepada Nick sembari menyangga dagu menggunakan tangan kiri dengan siku bertumpu meja, sedangkan jemari tangan kanan mengetuk-ngetuk meja. Dan lambat laun, ia mulai masuk dalam lamunan kelamnya.

"Bagaimana keadaan Nick sekarang, ya? Apa Nick sudah memiliki perempuan lain sebagai penggantiku?" Suaranya terdengar lirih dan sedih. Ia mencebikkan bibir sembari memperlihatkan raut muram.

"Aku kangen Nick." Matanya mulai berkaca-kaca. Tenggorokan pun terasa kering dan tercekat.

Teringat kebersamaannya dengan Nick, ia sangat merindukan lelaki itu. Merindukan candanya, tawanya, tatapannya yang lembut dan penuh cinta, buaiannya, mesumnya, bercinta yang sudah menjadi candunya, tempatnya bersandar dan bermanja. Dan segala hal yang telah dilalui dengan Nick, ia sangat merindukannya.

Tanpa sadar, Celia meluruhkan air mata dan terisak lirih. Lantas, dengan cepat ia menghapus jejak-jejak air mata yang membasahi wajah.

"Aku harus cari tahu tentang Nick. Aku harus bisa menemuinya lagi. Tapi, bagaimana dengan wajahku? Nick pasti tidak akan mengenaliku."

Celia kembali sibuk dengan pikirannya lagi. Rasa rindu itu semakin mendesak dan menyiksa. Kebingungan yang menjalar memenuhi otak, membuatnya semakin gundah akan kemustahilan takdir yang sedang dialaminya sekarang. Ia harus memerankan dua jiwa sekaligus, sebagai Ivanna si pemilik raga dan Celia si pemilik jiwa.

Namun, sedetik kemudian, kebingungannya itu berubah menjadi penuh tekad dan semangat.

"Enggak apa-apa dengan wajahku yang sekarang. Raga ini memang milik orang lain, tapi jiwaku tetap Celia Marvericks. Istri Nicky Hernandez. Bagaimana pun caranya, aku harus bisa bertemu Nick dan memberitahu kalau aku ini istrinya. Aku harus bisa membuat Nick percaya kalau aku masih ada. Jiwaku terjebak di tubuh orang lain." Ia manggut-manggut semangat dengan bibir mengatup rapat.

"Ya, aku harus mencobanya," ucapnya lagi.

Tidak ingin membuang waktu lama-lama, Celia melanjutkan aktivitasnya lagi mencari petunjuk-petunjuk soal kepribadian Ivanna. Pandangan mengelilingi sekitar meja ber-rak, hanya terdapat aksesoris-aksesoris koleksi Ivanna, seperti; boneka-boneka kecil yang imut. Kertas vintage berstiker yang dirangkai sebegitu aestheticnya dan bertuliskan quotes--menempel di dinding rak. Beberapa buku. Lampu meja yang juga memiliki ukuran serta bentuk yang imut. Dan masih banyak lagi.

Celia pun tertarik untuk membaca setiap quotes yang Ivanna tulis tangan di kertas vintage. Yang lagi-lagi, tulisan latin itu terlihat rapi dan aesthetic. 

"Ya, karena kamu terjebak di kandang singamu sendiri, Ivanna. Sebenarnya kamu bisa seperti landak. Mampu melawan. Meskipun kecil dan diremehkan, landak bisa memanfaatkan duri tajamnya untuk melindungi diri dari serangan lawan. Sedangkan, kamu ... kamu bisa memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan yang kamu miliki sekarang," gumam Celia, menjawabi quotes Ivanna. Lalu, ia melanjutkan bacaannya lagi.



Celia manggut-manggut memahami keinginan Ivanna. "Oke. Sekarang kamu akan menjadi orang yang bebas, Ivanna. Ragamu akan menikmati indahnya dunia luar. Kamu akan memulai aktivitas dan melakukan hal baru, sebebas yang kamu mau. Aku akan membuatmu menjadi orang yang pemberani dan pemberontak, Ivanna. Dengan jiwaku, kamu akan mampu melawan mereka yang selama ini menyiksamu."

"Ooh, berarti kamu baru usia 27 tahun sekarang? Oke, oke." Celia manggut-manggut lagi.

"Tenang, sekarang sudah saatnya kamu tumbuh dengan baik oleh jiwaku. Kamu akan menjadi perempuan hebat! Disegani banyak orang! Dan para bededah yang memanfaatkan kekayaanmu, akan segera berlutut di kakimu." Celia menyunggingkan senyum sembari manggut-manggut mantap. "Tidak membutuhkan waktu lama untuk membuat mereka bertekuk lutut padamu, Ivanna. Kita lihat saja nanti."

"Terlalu melankolis hidupmu, Ivanna. Kita sama, tapi berbeda nasib saja. Cukup berbanding terbalik dengan sikapku yang bar-bar dan mendapat kasih sayang berlimpah," gumam Celia, yang selalu menjawabi setiap tulisan quotes Ivanna.

Kini, ia menyudahi membaca quotes tersebut. Meskipun masih banyak, tapi perhatiannya sudah tergelitik ingin mengubek-ngubek yang lain.

Tangan Celia bergerak menarik laci pada meja. Tatapannya langsung tertuju pada sebuah buku bercover yang tak kalah aestheticnya. Bisa disimpulkan, Ivanna, sosok perempuan pecinta ke-aesthetican. Memiliki visual wajah yang proporsional dengan kelembutan yang melekat, mata teduh, dan sikap tenang kata Manda, tampaknya perempuan itu memang sangat suka memendam perasaannya seorang diri.

Celia mengambil buku itu, lantas membukanya yang ternyata sebuah diary. Ia pun disambut dengan sebuah kalimat pembuka, bertuliskan ....

Lewat aksara yang kugoreskan melalui pena, di buku ini lah semua rasa yang kupendam tercurahkan

Celia membacanya. Lantas, melanjutkan setiap lembar demi lembar yang berisikan tentang kisah hidup Ivanna. Dengan penuh penghayatan dan tenang, ia meresapi curhatan perempuan itu yang terasa begitu menyedihkan. Setiap kata yang tersambung menjadi sebuah kalimat dan paragraf, bak sayatan silet tajam yang menggores kulit. Cukup menyakitkan. Sampai berakhir, ia menemukan tulisan titik keputusaan Ivanna.

_5 Maret 2018_


Tuhan, tolong ambil nyawaku sekarang. Aku sudah tidak tahan menanggung luka yang sangat menyiksa ini. Sekujur tubuhku lebam sampai membuatku demam tinggi dan menggigil. Dan mereka sama sekali tidak memiliki belas kasihan. Tapi malah tertawa dengan begitu bahagia.

Tuhan, aku benar-benar sakit. Aku sudah tidak mampu bertahan lagi. Tolong, ambil nyawaku sekarang.

"Jadi, jiwa kita yang tertukar ini karena doamu juga, Ivanna? Ternyata Tuhan sebaik itu ke kita, ya. Aku yang masih ingin melanjutkan hidup, terus jiwaku dikembalikan lagi ke tubuh. Walaupun bukan ke tubuhku sendiri, sih. Tapi, terima kasih sudah meminjamkannya untukku, ya. Aku janji akan merawat tubuhmu dengan sangat baik."

Celia berkata semangat sembari menutup diary. Ia sudah tidak bisa tenggelam dalam dunia Ivanna yang kelam. Berkali-kali menahan napas ketika membaca, membuat tenaga bak tersedot dan ia kelelahan dengan sendirinya. Tidak lama, ia pun dikagetkan oleh dobrakan pintu sampai menimbulkan suara debuman keras.

Celia langsung menoleh. Seorang perempuan muda bertubuh tinggi berpakaian seksi, berjalan angkuh menghampiri. Wajah sombongnya tidak bisa disembunyikan dengan sorot mata yang tajam.

"Syukur lah masih hidup. Jangan sampai dirimu mati dulu, karena kami masih membutuhkan hidupmu. Terutama, aku masih belum puas menyiksamu."

Celia masih bersikap tenang mendengar ocehan tajam bak suara petasan. Ia mengembalikan buku milik Ivanna ke tempat semula, lantas beranjak sambil menahan kakinya yang sakit dan menghadap perempuan itu.

"Menyiksaku? Yang seperti apa? Kasih contoh sekarang," tantang Celia seraya menyunggingkan senyum smirk-nya.

Selly agak terkejut mendengar balasan berani dari Ivanna. Tidak biasanya perempuan itu berbalik menantang. Biasanya, mendapat hardikan sedikit saja dari dirinya, perempuan itu sudah menunduk takut. Jika melawan, tentu akan tahu akibatnya. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, Ivanna menantangnya.

"Ivanna, kamu punya nyali sebesar apa sampai berani menantangku? Dan pura-pura lupa dengan semua siksaan yang sudah kuberikan kepadamu?"

"Tentu lebih besar dari yang kamu miliki, Selly." Celia menyunggingkan senyum sinis seraya menyorotkan tatapan tajam. "Sini, kasih aku siksaan seperti yang biasa kamu lakukan. Aku sudah lupa seperti apa dan bagaimana kamu menyiksaku."

"Sialan! Berani sekali menantangku!" Selly bergegas menyerbu Ivanna. Tangan kanannya terangkat sudah siap akan menampar. Namun, ia kembali dikejutkan lagi oleh tangan Ivanna yang langsung menahannya.

Celia langsung memelintir tangan perempuan tak tahu diri itu dan menahannya ke belakang pinggang, menekuknya keras. "Jadi, siksaan seperti ini yang biasa kamu berikan untukku? Yeah, kirain yang seperti apa. Ini sih, enteng untukku mematahkan tulang tanganmu."

Celia melepas tahanan tangan Selly seraya mendorong tubuhnya, sampai membuat perempuan itu terjerembab dan terjatuh. Wajahnya mencium lantai cukup keras. Tawa mengejek pun keluar dari mulutnya.

"IVANNAAA!"

Seruan Selly yang melengking keras, membuat Celia langsung menutup kedua telinga dan terpejam.

"Sialan kamu! Beraninya mendorongku!" sungut Selly seraya beranjak. Saat merasakan cairan berbau anyir mengalir dari hidungnya, ia mengusapnya cepat. Meninggalkan jejak darah segar di telapak tangannya.

"IVANNA! TUNGGU HUKUMAN YANG AKAN KAMU TERIMA DARI ORANG TUAKU!"

"Halaaah! Cemen! Beraninya ngadu ke orang tua. Kamu sendiri yang memulai. Yang katanya ingin menyiksaku. Baru keluar darah sedikit saja sudah nangis. Lihat nih, lebam-lebam di tubuhku karena ulah kamu dan orang tuamu. Sudah numpang hidup di rumah orang! Masih enggak tahu malu!" cecar Celia panjang lebar.

Yang membuat Selly semakin bingung dengan sikap Ivanna sekarang. Sangat berubah. Berbeda dari beberapa jam yang lalu, sebelum di tinggal pergi.

"Tunggu saja, kalian akan kembali hidup jadi gelandangan di pinggiran kota! Dan kamu, Selly, posisimu sebagai artis terkenal, akan tersingkirkan olehku." Celia berjalan terpincang mendekati perempuan itu. Lantas menjambak rambut panjangnya, meremas keras.

"Aku tidak tahu apa yang menarik di dirimu. Wajah pas-pasan. Cantik juga tidak. Tapi laku jadi artis terkenal. Apa kamu menggunakan jalur dalam dengan menjual tubuhmu yang ...." Celia mengamati bentuk tubuh Selly. Lalu, melanjutkan ucapannya lagi setelah mendapat apa yang pantas dikritik. "Berdada besar, memiliki pantat montok, pinggul seperti gitar Spanyol, berapa juta sekali main agar bisa laku di dunia industri entertainment? Atau malah menyerahkan tubuhmu secara sukarela tanpa perlu bayaran. Yang penting bisa kerekrut gitu kan?"

Ucapan Celia yang terdengar menusuk di telinga Selly, membuat perempuan itu semakin naik pitam. Baru saja ia akan membalas, tapi gelegaran suara papanya yang menyerukan nama Ivanna dari ambang pintu, sangat membuatnya lega.

"Apa yang kamu lakukan terhadap anakku, Sialan?!"

Bukan Mahendra yang berseru, melainkan istrinya, Prisa. Sepasang suami-istri itu langsung berlari untuk menyelamatkan anaknya yang sedang mendapat jambakan maut.

Celia langsung mendorong Selly ke orang tuanya langsung ditangkap oleh Prisa. "Aku kembalikan anak kalian," ucapnya santai sambil mengusap-usapkan antara telapak tangannya.

"Beraninya kamu menyakiti anakku. Belum puas dengan siksaan yang kamu rasakan hari ini, hah?" Mahendra melototkan mata seraya berjalan menghampiri Ivanna, sedangkan sang istri langsung membawa Selly keluar begitu melihat darah segar keluar dari hidung anaknya.

"Kenapa memangnya? Kamu saja berani menyakitiku sampai seperti ini." Celia menunjukkan semua luka lebamnya di tangan. "Makanya kalau anakmu tidak ingin tersakiti, jangan suka menyakiti orang lain. Sekali disakiti saja langsung naik pitam. Bagaimana dengan orang tuaku, kalau tahu setiap hari aku disiksa seperti ini oleh kalian? Sudah ditolong, malah nusuk dari belakang. Dikasih hati, mintanya empedu. Dasar tak tahu malu."

Kini, berganti Mahendra yang terkejut dengan sikap pemberani Ivanna. Jika sudah seperti ini, akan bahaya untuk posisinya, pikirnya.

"Kenapa diam? Terkejut melihat sikap beraniku ini? Ayo, perlihatkan sikap sangarmu barusan." Celia terus menantang penuh keberanian. Sama sekali tidak takut dengan lelaki paruh baya di depannya.

Mahendra masih belum sadar atas keterkejutan yang ia dapat dari diri Ivanna. Sifat dan sikap Ivanna benar-benar sangat berubah drastis.

"Ingat, ya. Sekali lagi tangan kotormu dan anak-istrimu menyentuh tubuhku, penjara sangat terbuka lebar untuk tempat kalian. Camkan itu!" Celia berkata tajam sembari membalas pelototan lelaki yang masih termenung itu.

"Keluar dari kamarku. Sekarang. Cepat!" usir Celia, tegas dan lantang.

Hal itu berhasil menyadarkan Mahendra yang langsung mengerjap. Masih belum mampu berkata apa-apa, dengan patuh ia langsung keluar kamar Ivanna. Sedangkan, benak masih dilanda kebingungan yang begitu signifikan.

"Apa yang membuat anak itu berubah menjadi pemberani?" gumam Mahendra sambil berjalan keluar dari kamar Ivanna.











Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top