Part 1

Tubuh yang tergeletak lemah di lantai setelah menerima siksaan kalap, sang empunya masih belum sadarkan diri selama berjam-jam. Wajah memar, sudut bibir kiri berdarah, luka lebam di tangan dan kaki yang berkulit putih bersih itu tampak seperti tatto yang sangat cantik untuk dipandang oleh para pelaku yang menganiayanya.

Dan seperti kerasukan roh secara tiba-tiba, perempuan itu terhentak ketika ada sesuatu yang tak kasap mata mendesak masuk ke tubuhnya. Ia tersadar, terbatuk-batuk kecil. Sesaat kemudian, membuka matanya perlahan. Nyeri dan kaku, linu-linu yang sangat menjeram sampai ke sum-sum tulang, itu reaksi pertama yang dirasakan. Rintihan lirih pun keluar dari mulutnya yang kebas dan perih.

Dengan pandangan yang masih samar-samar, perempuan itu mulai memperjelas penglihatannya. Di tatapnya sekeliling. Yang jelas, ia sekarang berada di kamar dengan nuansa dominan putih ada sedikit campuran warna kuning keemasan. Tempat yang asing. Ia tidak mengenalnya. Lalu, di mana dirinya?

"Aaargh!" Perempuan itu mengaduh kesakitan saat menggerakkan kaki, dan merasakan pergelangan kaki kanannya seperti tertarik, sangat sakit.

Lagi dan lagi, perempuan itu membatin, apa yang terjadi kepada dirinya?

Begitu teringat satu nama yang terlintas di ingatan, ia langsung memanggil, "Nick."

Suaranya terdengar lirih gara-gara luka di sudut bibirnya. Detik itu juga ia gelapan, kebingungan, lantas bergegas beranjak, mengabaikan luka di kaki dan di sekujur tubuhnya. Ia harus mencari suaminya dan meminta pertolongan, karena sangat aneh dirinya mengalami luka-luka lebam secara misterius.

Setelah berhasil berdiri dengan merambat di tepian ranjang, ia mulai berjalan dengan kaki kanan ditarik karena tidak bisa dibuat menapak.

"Sialan! Siapa yang sudah membuatku seperti ini?" gerutunya kesal.

Namun, betapa terkejut dirinya saat tidak sengaja menoleh menatap cermin, bukan wajah Celia Marvericks yang ditatap. Tetapi wajah perempuan lain dan asing. Ia tidak mengenalinya.

"Demi apa? Kenapa aku berubah jadi orang lain? Kenapa bisa? Aku Celia. Celia Marvericks. Dan aku tidak merasa operasi plastik. Kenapa wajahku bisa berubah seperti ini?" tanyanya, di tengah kebingungan besar yang melanda.

Ingin memastikan lebih jelas lagi, Celia cepat-cepat menghampiri meja rias. Berdiri di depannya sembari menekuri wajah secara lamat-lamat. Raga memang bukan miliknya, tapi jiwa ....

Itu dirinya. Celia Marvericks.

Kebingungan kembali menghantam kepala. Pusing membuatnya kesulitan berpikir jernih.

Siapa pemilik raga ini? Kenapa dirinya bisa terjebak di raga orang lain?

Celia terus berpikir keras sambil menyandarkan bokong di tepian meja rias dengan kedua tangan bertumpu. Kepala menunduk. Mata terpejam rapat.

"Keramaian. Pesta. Rumah Om Adam. Alice. Tembakan mengenaiku. Dan Nick ...."

Sekelebat bayangan itu yang diingat Celia, karena setelahnya ia tidak ingat apa-apa.

"Aku harus mencaritahu siapa pemilik raga ini. Dan di mana aku berada sekarang," gumamnya seraya membuka mata kembali.

Teringat luka-luka di tubuh, ia harus segera mengobatinya. Lantas, ia pun melanjutkan langkahnya lagi menuju pintu. Meskipun agak kesusahan, tetap ia paksakan.

Kenop hitam di pintu putih gading itu, ia putar. Keterkejutan kembali menyapa saat melihat luar kamar bak istana. Rumah yang besar, semua interiornya mewah dan tampak elegan dengan semua warna berdominan putih, sedikit campuran hitam dan kuning keemasan pada pagar pembatas selasar. Lampu-lampu kristal yang menggantung di langit-langit pun terlihat begitu mewah dengan ukurannya yang besar. Memiliki pilar-pilar yang besar dan kokoh, Celia bisa menilai pemilik rumah itu orang yang sangat kaya.

Cukup untuk mengagumi sekitar, ia melanjutkan langkahnya lagi lalu berdiri di selasar. Mengintip lantai di bawahnya yang pantas disebut hall karena sangat luas dan berlantaikan marmer berkarakter, di tengah-tengahnya ada meja bundar besar yang atasnya terpajang vas besar berisikan bunga segar.

"Nona Ivanna."

Celia langsung menoleh ke sumber suara, dari arah tangga. Dilihatnya seorang perempuan sekitar usia empat puluhan ke atas, berpakaian hitam dan putih seperti seragam asisten rumah tangga, berjalan menghampiri.

'Nona Ivanna. Berarti pemilik raga ini bernama Ivanna?' batin Celia.

Perempuan itu sudah berdiri di sampingnya. Dari tatapannya, terlihat sangat mengkhawatirkan Ivanna.

"Nona, saya sangat senang Anda masih hidup," ucap perempuan itu sembari mengulas senyum lebar penuh kebahagiaan.

Celia mengernyit. Ia tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Ia juga tidak tahu siapa Ivanna, bagaimana karakternya, memiliki permasalahan apa, dan siapa yang telah menganiayanya.

Masih diam tampak seperti orang kebingungan yang sebenarnya sedang memikirkan cara untuk mencari tahu siapa Ivanna, ide berlian pun datang.

"Ivanna? Apa nama saya, Ivanna?" tanyanya.

Kini, berganti asisten rumah tangga itu yang kebingungan. Ia menatap Celia lamat-lamat, benak dipenuhi banyak pertanyaan.

"Nona, Anda tidak mengingat siapa nama, Anda?" tanya Asisten itu.

Celia menggeleng.

"Ya Tuhan." Asisten rumah tangga itu langsung menutup mulut saking terkejutnya. "Apa kepala Anda terkena benturan keras sampai membuat Anda hilang ingatan seperti ini?"

Celia mengangguk. "Sepertinya." Ia langsung mengitari pandangan ke sekitar. "Ssst! Jangan bilang-bilang. Apa kamu bersedia memberitahu siapa aku? Dan siapa yang menganiayaku sampai seperti ini? Juga motif penganiayaannya?"

Asisten rumah tangga itu tidak langsung mengiyakan. Dari ekspresi wajahnya tampak gelisah dengan kepala menunduk. Celia menatapnya intens, lalu terfokus pada kedua tangannya yang saling memilin.

"Apa keberadaanku di sini sangat tidak aman? Apa aku orang yang diculik dan kamu takut sama Tuanmu?" 

Asisten rumah tangga itu mengangkat kepala, menatap Celia di tengah rasa gelisahnya. Lantas, menggeleng samar. "Mumpung Nyonya, Tuan, dan Nona Selly, tidak di rumah, saya akan menceritakan siapa Anda, Nona."

Kernyitan kening kembali Celia perlihatkan. "Kenapa kamu takut sama mereka? Apa mereka yang membuatku seperti ini?" tanyanya, ingin tahu.

Anggukan samar pelayan itu perlihatkan. "Iya."

"Kenapa?"

"Lebih baik kita mencari tempat yang aman. Di sini banyak asisten yang berpihak ke mereka. Tapi, Anda tidak perlu khawatir. Saya sudah menjadi pelayan pribadi Anda sejak dulu."

Celia menurut saja. Namun, melihat semua luka lebam di tangan, kaki, dan tubuhnya, ia butuh obat sekarang. "Bisa ambilkan saya obat untuk ini?" pintanya sambil memperlihatkan luka lebam di tangan.

"Bisa, Nona. Saya akan mengambilkan obatnya dulu. Anda bisa menunggu saya di kamar."

Celia mengangguk lagi. Lantas, ia berlalu pergi ke kamarnya dan asisten rumah tangga yang belum diketahui namanya itu berlalu ke lantai bawah.

**

Tidak lama untuk Celia menunggu kedatangan asisten rumah tangga itu ke kamar Ivanna. Duduk di tepian ranjang sambil diolesi salep lebam, banyak hal yang ia tanyakan. Informasi-informasi penting pun ia dapatkan, seperti; Ivanna yang sering mendapat siksaan dari paman, bibi, dan sepupunya, karena perempuan itu pewaris tunggal kekayaan orang tuanya.

Ya, rumah besar itu peninggalan orang tua Ivanna yang sudah meninggal. Seluruh kekayaannya diwariskan ke Ivanna. Namun, jika Ivanna meninggal, seluruh kekayaannya akan dipindah alihkan ke yayasan.

"Kenapa kamu bisa tahu hal-hal yang bersifat pribadi seperti itu?" tanya Celia, agak heran.

"Sudah menjadi rahasia umum di sini, Nona. Semua asisten rumah tangga sudah tahu karena Paman, Bibi, dan saudara Anda, tidak sungkan memaki dan mencecar Anda di hadapan kami. Apalagi menyinggung soal harta. Mereka sangat tamak. Padahal orang tua Anda sudah sangat baik. Dulu, mereka tinggal di pinggiran kota. Orang miskin. Lalu, dibiarkan tinggal di sini karena kasihan. Tapi, malah nusuk dari belakang."

Ivanna, bernasib sama seperti dirinya. Ditinggal meninggal oleh kedua orang tuanya. Hanya saja, keberuntungannya tidak sama. Ia tinggal dan dirawat oleh Om dan Tantenya, tapi mendapat perlakuan sangat baik. Bertabur cinta dan sayang yang sangat tulus.

"Orang tuaku meninggal karena apa?" tanya Celia.

"Ayah Anda terkena serangan jantung saat di kantor. Ibu Anda mengalami kecelakaan di rumah. Terjatuh dari tangga, lalu meninggal. Di hari yang sama saat orang tua Anda terkena serangan jantung. Dan saat itu, Anda masih berusia sepuluh tahun."

Celia mendengarkannya secara saksama. Lalu, mengangguk paham.

"Lalu, saat aku mendapat siksaan dari mereka, apa aku tidak melawan balik?"

Perempuan bernama, Manda, itu menggeleng. "Anda cukup lemah untuk melawan mereka. Bahkan, setiap hari Anda dikurung di rumah. Anda tidak memiliki kebebasan. Sekolah pun, Anda diberi home schooling. Berbeda dengan Nona Selly yang mendapat kebebasan. Dan sekarang dia menjadi seorang artis terkenal."

"Berarti, aku memiliki karakter yang tertutup dan lemah di rumah ini?"

Manda mengangguk.

"Lalu, apa yang membuat mereka menyiksaku habis-habisan hari ini?"

"Karena Anda tidak mau menandatangani surat pemindahan harta warisan ke Paman Anda, Nona. Meskipun Anda terlihat lemah di hadapan mereka, Anda masih memiliki pribadi keras untuk mempertahankan milik Anda."

Semua luka lebam di tubuh Ivanna selesai diolesi salep. Celia mengukir senyum lembut kepada pelayan pribadinya. "Manda, kalau nanti sifatku berubah jadi brutal, jangan kaget, ya. Karena sekarang, sudah tidak ada lagi Ivanna yang lemah."

Celia sudah dipinjamkan tubuh milik Ivanna, dan ia berjanji akan membalaskan semua perbuatan orang-orang yang telah menganiaya raga yang dimasuki. Sama sakitnya seperti yang pernah mereka lakukan kepada Ivanna.

'Tunggu tanggal mainnya,' batinnya sembari menyunggingkan sebelah sudut bibirnya.

"Tolong, bantu aku untuk mengingat semua masa laluku, Manda."

"Baik, Nona." Manda mengangguk seraya menutup box obat-obatannya. "Saya harus turun. Nanti kalau mereka pulang, bisa bahaya. Soalnya, tadi saya tidak boleh menemui Anda."

Celia mengangguk. "Kamu jangan khawatir. Aku akan melindungimu dari mereka." Ia mengusap lembut bahu kiri Manda.




***

Selamat datang di kehidupan Celia yang baruuu.

Jangan lupa tebar komen dan votenya, ya, teman-teman😘😘








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top