61. Satu Atap
"Kau pikir kau akan tinggal di rumah ini hanya karena kau ingin, begitu?"
"Aku berhak atas rumah ini, Mikail. Ingat?" Salah satu alis Marcel terangkat, yang membuat Mikail tak berkutik.
"Kau tidak bisa. Tujuanmu tinggal di rumah ini sudah terlalu jelas, Marcel."
Marcel terbahak. Lebih keras sebelum kemudian tiba-tiba berhenti dan tatapan tajamnya berhenti pada Megan. "Jika kau tahu, maka kau tahu kau tak akan bisa mencegahku, Mikail."
"Kenapa? Apakah kalian merasa pernikahan kedua kalian terlalu rapuh sehingga takut dengan keberadaanku? Apa kalian takut aku menggoyahkan pernikahan kedua kalian yang tak lebih kuat dari pernikahan pertama kalian?"
Mikail menggeram sedangkan Megan beringsut mendekat pada pria itu. Dan reaksi tersebut tak lepas dari kedua mata Marcel.
Pria itu maju ke depan, semakin mendekat dan berhenti tepat di hadapan Megan. "Home sweet home," ucapnya lalu berjalan melewati keduanya. "Aku ingin kamarku kembali."
Mikail masih ingin menenangkan Megan yang tenggelam dalam keterkejutan wanita itu, ketika mendengar suara benda pecah dari arah dalam. Seketika Mikail teringat akan Alicia yang berada di ruang makan.
Mikail pun bergegas masuk ke dalam, setelah menyuruh pelayan untuk membawa Megan kembali ke kamar dan ia akan segera menyusul.
Saat sampai di pintu perhubungan antara ruang makan dan ruang tengah, Mikail melihat wajah Alicia yang memucat dengan pecahan kaca di lantai di sekitar kaki wanita itu. Sedangkan Marcel berdiri tak jauh dari posisi Alicia, menatap wanita itu dengan tatapan mengamati.
"Ada apa ini, Mikail?" Suara Marcel bercampur tawa kecil, menatap Alicia dan Mikail bergantian. "Siapa wanita yang tengah hamil ini? Apa dia istri keduamu? Atau istri pertama dan Megan istri kedua?"
"Hentikan omong kosongmu, Marcel," sergah Mikail dengan tajam. Menghampiri Alicia yang masih tercengang di tempat wanita itu, menariknya mundur dan mendudukkannya di salah satu kursi.
Mikail menghela napas, "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sambil memberikan segelas air putih pada Alicia.
Alicia mengambil gelas tersebut dan meneguknya hingga habis.
"Maafkan aku, Alicia. Apakah baik-baik saja jika dia tahu?" tanya Mikail dengan lembut.
Kedua mata Alicia berkedip di antara wajah wanita itu yang sepucat mayat.
"Kau tahu kau tak bisa menyembunyikan hal ini darinya untuk selamanya, bukan?"
Alicia mengangguk dengan pelan. "Tapi aku tak butuh tanggung jawabnya, Mikail."
"Dia bukan pria yang bertanggung jawab, kau tak perlu khawatir."
Alicia mengangguk lagi, Mikail menepuk pelan pundaknya sedangkan Marcel yang mendengar perbincangan tersebut tak merasa perlu menelaah lebih dalam percakapan tersebut.
"Apa kau ingat siapa dia, Marcel?" tanya Mikail.
Marcel melirik ke wajah Alicia, dengan ketertarikan yang sangat tipis. "Tidak. Kenapa? Apa dia salah satu mantanku? Atau ... wanita yang menemani salah satu malamku?" Alis Marcel terangkat, terlihat enggan dengan pertanyaan tersebut. "Aku memiliki terlalu banyak teman kencan, jadi jangan salahkan aku jika aku tak mengingatnya."
"Dia sekretarisku."
"Ah, benarkah?" Marcel hanya manggut-manggut. "Dan kenapa aku harus mengingat wajah sekretarismu?"
"Mantan sekretarisku yang kau tiduri saat kau dalam keadaan mabuk," tambah Mikail kemudian dengan penuh penekanan. Sekaligus geram dengan cara Marcel memperlakukan wanita itu seperti barang tidak berguna. Termasuk dengan apa yang dilakukan saudaranya tersebut pada Megan.
Sungguh, butuh kesabaran tingkat tinggi hingga ia mampu menahan tubuhnya untuk tidak melompat ke arah Marcel dan menghancurkan wajah pria itu.
"Ah, benarkah? Kuharap itu menjadi malam yang berkesan untukmu," ucap Marcel kemudian.
Dan anak yang tengah di kandungnya adalah milikmu, Marcel. Apa kau tidak mengerti seberapa seriusnya pembicaraan ini?"
Marcel mendengus, menatap Alicia dengan pandangan meremehkan. Wanita itu menunduk dan menangkup isakan dengan telapak tangan. Yang sama sekali tidak mendapatkan simpati dari Marcel. Sungguh salah besar jika wanita itu mengharapkan rasa iba darinya. Hal itu hanya berlaku untuk Mikail. Bukan dirinya. "Jadi, kau menampung wanita yang kuhamili?"
Mikail menggeram.
"Dan apa kau akan mengadopsinya jika anak itu lahir? Kenapa kau tidak menikahinya juga? Agar aku bisa memiliki Megan untuk diriku sendiri."
"Kau benar-benar memalukan, Marcel. Aku tak menyangka kau menjadi seberengsek itu."
"Well, aku meniduri banyak wanita. Bagaimana mungkin aku percaya begitu saja oleh pengakuan wanita yang datang padaku. Dan dia tidak datang padaku, tapi padamu. Kemungkinan dia selingkuhanmu juga ada, kan? Mungkin juga dia salah mengingat antara diriku dan kau."
Alicia semakin terisak, wanita itu tak tahan mendengar lebih banyak dan melompat berdiri kemudian berlari meninggalkan ruang makan dan menghilang dari pandangan keduanya.
"Aku butuh bukti kalau anak itu anakku sebelum menerima pengakuan itu, bukan?"
Mikail menggeram lebih keras.
"Dan bahkan, aku lebih tertarik untuk membuktikan Kiano anakkulah ketimbang mengurus pengakuan tak penting semacam ini.
Mikail tak tahan lagi mendengar lebih banyak. Pria itu melompat ke arah Marcel dan mendaratkan tinjunya tepat di hidung Marcel. Baku hantam pun tak terelakkan.
Megan sudah menginjak anak tangga ketiga ketika mendengar suara langkah Alicia. Wanita itu berlari dari arah ruang tengah, menuju pintu kamar wanita itu tak jauh dari kaki tangga. Kening Megan berkerut, bertanya-tanya apakah wanita itu sedang menangis?
Lalu ia mendengar suara hantaman yang keras. Seperti tubuh yang dibanting ke lantai. Kedua mata Megan melebar dan kembali turun. Berlari menuju ruang makan. Benar saja, Mikail duduk di perut Marcel, mendaratkan tinju ke wajah Marcel yang sudah dilumuri darah. Marcel tak ingin kalah, pria itu membalik keadaan dengan satu gerakan yang gesit, berhasil menumbangkan tubuh Mikail dan membalas tinju di wajah Mikail.
Megan menjerit, berlari mendekat dan mendorong tubuh Marcel dari perut Mikail. Dorongannya sama sekali tak membuat tubuh besar Marcel bergeming. "Hentikan, Marcel!!"
Pengawal bergegas datang untuk melerai keduanya, Joni dan dua anak buahnya berhasil menarik tubuh Marcel dari Mikail, dan Megan membantu Mikail bangkit berdiri dengan kepanikan yang menyelimuti wajah wanita itu.
Pemandangan tersebut mengundang decak sinis Marcel, pria itu meludahkan darah di mulutnya ke lantai lalu menyentakkan kedua tangan dari tubuhnya. Berbalik dan berjalan keluar dari ruang makan.
Meninggalkan Megan yang sibuk mengamati wajah Mikail yang hidungnya mengalirkan darah. "Apa kau baik-baik saja?"
Mikail menarik napasnya dalam-dalam, mengendalikan amarah yang bergemuruh di dadanya. Keberadaan Megan sangat membantu, ia pulih dengan cepat. Napasnya kembali dengan normal. Membiarkan Megan membawanya ke sofa
"Maafkan aku, Megan. Aku kehilangan kendali diriku untuk sesaat." Setidaknya ia merasa puas sudah memberikan luka yang lebih banyak pada saudaranya tersebut atas bayaran mulut yang kurang ajar.
Megan menatap resah pada hidung Mikail. Meski lukanya tidak separah Marcel, tetap saja darah tersebut membuatnya kebingungan. Megan benar-benar dibuat pusing. Belum ada satu jam Marcel datang ke rumah ini dan baku hantam di antara keduanya sudah tak terelakkan.
Pelayan datang dengan kotak p3k dan baskom yang berisi air dan handuk kecil. Megan mengambil alih baskom dan membersihkan dara
"Di mana Kiano?" tanya Mikail di tengah ringisannya ketika handuk basah tersebut menyentuh luka di sudut bibirnya dan memberinya rasa perih.
Megan mengangkat handuk tersebut dan kembali membersihkannya dengan lebih hati-hati. "Aku sudah menyuruh pengasuhnya memastikannya tetap di kamar."
Mikail menghela napas rendah. Lukanya tak cukup parah berharap bisa tersamarkan setelah darahnya bersih. Kepalanya mulai memikirkan jawaban jika putranya tersebut bertanya. Dengan kepalanya bersandar di punggung sofa, matanya terpejam, membiarkan Megan mengurus luka-lukanya tersebut dalam keheningan.
Hingga kemudian isakan pelan Megan ketika mengoleskan salep di hidungnya membuat matanya terbuka. Melihat air mata yang mula menggenang di kedua mata wanita itu. Bibir Megan juga menipis, tampak menahan isakannya lepas lebih keras. Mikial mengangkat kepala dan menegakkan punggungnya. "Ada apa? Kenapa kau menangis?"
Tangan Megan jatuh di pangkuannya, masih dengan salep di tangannya. Kemudian menggeleng dengan tatapan yang dipenuhi keputus asaan. "Dia datang ke rumah ini karena diriku, Mikail."
Ya, Mikail tahu itu. Kedatangan Marcel ke rumah ini dan pemikiran gila pria itu untuk kembali ke rumah ini. Hanya Meganlah alasan kuat yang mendorong pria itu datang kemari.
"Bolehkah aku pergi dari rumah ini?" tanya Megan dalam isak tangis dan kepala yang tertunduk dalam.
Pertanyaan tersebut kontan membuat Mikail terkejut. "Apa?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top