48. Menggali Rahasia
Wajah Mikail menggelap dengan gurat amarah yang mengeras di seluruh permukaan wajah pria itu akan jawaban angkuh Megan. Bahkan dagu wanita itu terangkat, mencoba memberanikan diri dengan cara yang konyol di mata Mikail.
Megan menelan ludahnya, seolah menelan habis ketakutannya akan jawaban yang diberikannya pada Mikail. "Aku hanya berjanji akan melakukan apa pun demi Kiano, Mikail. Masalah atau penyakitku sama sekali bukan urusanmu."
Mata Mikail menyipit, mencermati ekspresi di wajah Megan lebih dalam. "Tidak. Aku sudah berkali-kali menegaskan padamu, urusanmu akan selalu menjadi urusanku. Jika kau tidak ingin mengatakannya padaku, aku akan melakukannya dengan caraku sendiri."
Kepucatan di wajah Megan tak tertolong lagi. Kedua mata wanita itu melebar, terkejut akan paksaan yang keras di wajah pria itu. Tak ada bantahan, segala hal tentang dirinya, Mikail harus tahu. Dengan sangat detail. Dan Megan tak siap dirinya dikelupas dengan cara yang memaksa.
Mikail pun berputar, hendak melangkah pergi. Tetapi sebelum pria itu mendapatkan satu langkah pun, Megan kembali memanggilnya. Kali ini dengan panggilan yang lebih lunak dan syarat akan permohonan. Pria itu berhenti dan kembali memutar tubuh. Menghadap Megan.
"Beri aku waktu." Megan mengedipkan matanya dengan gugup. Berapa banyak lagi ia harus mencoba peruntungannya ketika berhadapan dengan Mikail. "Aku akan mengatakannya padamu, hanya saja beri aku waktu."
Mikail menarik salah satu alisnya. "Apakah itu termasuk tentang Marcel?"
Napas Megan serasa tercekat. Karena memang Marcellah akar dari semua kekacauan di hidupnya. Juga hancurnya pernikahannya. Megan mengangguk tipis. "Awal hidupku tak pernah baik, Mikail. Kau tahu itu."
Kening Mikail berkerut. Ia sudah pernah mendengar Megan mengatakan hal yang sama di masa lalu. Beberapa kali. Tetapi ia pikir semua itu hanyalah kalimat Megan begitu saja. Tak mengira ternyata kalimat tersebut lebih serius dari yang ia pikirkan.
Mikail pikir, itu hanyalah kata-kata yang diucapkan Megan karena kemanjaan wanita itu saja.
"Aku tahu kau tak pernah menganggap serius kata-kataku. Tapi itulah yang terjadi. Dan aku ... aku tak ingin siapa pun tahu tentang hal itu lagi."
Mikail terdiam, mencoba menangkap kalimat Megan lebih dalam. "Jadi Marcel juga tahu tentang itu?"
Napas Megan benar-benar tertahan. Matanya berkedip dan tak tahan dengan tatapan Mikail yang begitu menusuk dan menyudutkannya. Megan pun menurunkan tatapannya, tanpa sepatah kata pun.
Entah berapa banyak lagi kesabaran yang harus Mikail berikan untuk Megan. Marcel, Marcel, dan Marcel lagi. Seberapa besar kembarannya itu ikut campur dalam hidup Megan, rasanya lebih besar dari yang selama ini Mikail ketahui. Mikail berbalik, dengan wajah yang menggelap oleh emosi.
Membanting pintu tertutup dengan sekuat tenaganya, hingga membuat Megan tersentak keras.
"Mikail?" Suara memanggil dari arah tangga pun tak dihiraukannya. Pandangan Alicia mengikuti langkah Mikail yang berjalan menyeberangi ruangan menuju pintu ruang kerja pria itu. Amarah yang begitu kental tampak menyelimuti wajah pria itu yang menggelap. Dan senyum tersungging, tampaknya Mikail sedang terlibat dalam sebuah pertengkaran dengan Megan.
Dan benar saja. Mikail dan Megan tidak bergabung di meja makan pagi itu. Kiano tampak murung tapi bisa Alicia kendalikan dengan baik dengan mengatakan Mikail sedang memiliki panggilan darurat dan Megan sedang tidur karena terlalu lelah sekaligus butuh istirahat. Ia mengantar Kiano ke sekolah dan menjemputnya pulang. Untuk menemui Mikail di ruangannya.
"Tuan Matteo sedang memiliki urusan di luar kantor dan sudah keluar sejak jam sembilan pagi tadi," ucap sekretaris Mikail saat Alicia dan Kiano hendak masuk ke ruangan Mikail.
"Kami akan menunggu," putus Alicia. Tersenyum sambil melirik ke arah Kiano yang sedang digandengnya.
"Tapi tuan Matteo sudah berpesan kalau beliau tidak akan kembali."
Alicia berkerut kening. Tak biasanya Mikail pergi selama ini dari kantor. Dan melihat sekretarisnya yang tak tahu apa-apa, Alicia yakin ini tidak urusannya dengan pekerjaan. Yang membuat Alicia semakin terheran.
Hingga larut malam, Mikail tidak pulang. Sedangkan Megan sama sekali tak keluar dari kamar selain hanya untuk menemani makan malam Kiano. Kemudian mengantar Kiano tidur dan saat Alicia mengecek ke atas. Megan tertidur di kamar Kiano.
"Apa kalian baik-baik saja?" Alicia mencoba bertanya ketika Megan mengambilkan segelas susu untuk Kiano di dapur.
Megan menatap Alicia, menatap Alicia yang berdiri di seberang meja pantry. Sibuk membuat susu ibu hamil wanita itu sendiri.
"Kau dan Mikail. Tampaknya kalian sedang sedikit ada masalah. Apa kau butuh seseorang untuk ..."
"Terima kasih, tapi tidak. Kami baik-baik saja."
Kekecewaan melintasi wajah Alicia dengan jawaban angkuh Megan. "Tapi sepertinya tidak bagi Mikail. Dia tampaknya sedang berada dalam masalah. Aku hanya mengkhawatirkannya."
Megan terdiam. Ternyata bukan hanya Mikail yang sibuk mengkhawatirkan Alicia. "Sepertinya kalian tampak saling mengkhawatirkan satu sama lain, ya?"
Alicia mengangguk tanpa ragu. "Ada alasan kenapa aku tak bisa tidak mengkhawatirkannya."
Jawaban tersebut tentu saja membuat hati Megan dicubit oleh tangan tak kasat mata. Ia mengambil sendok di dalam gelas dan mengangkat gelas susu milik Kiano.
"Megan?" panggil Alicia lagi.
Megan berhenti. Rautnya terlihat ditekuk.
"Kiano suka ditambahkan sedikit vanila. Dia suka aromanya." Alicia berhenti sejenak. "Seperti Mikail."
Megan menatap gelas susu ditangannya dan tak tahu apa tujuan Alicia menambah kalimat terakhir. Memaksa Megan meletakkan kembali gelas di meja dan menambah vanila seperti yang dilakukan Alicia pada gelas susu ibu hamil wanita itu.
Saat itulah Megan menyadari, dirinyalah satu-satunya yang tidak menyukai vanila.
Alicia tersenyum mengingat percakapan singkatnya dengan Megan di dapur. Rasanya percakapan itu sudah cukup untuk memberitahu Megan posisinya di rumah ini.
Sekali lagi Alicia menatap jam di dinding yang sudah lewat tengah malam, tetapi tak ada tanda-tanda kepulangan Mikail malam ini. Saat ia menanyakan pada salah satu anak buah pria itu, tak ada satu pun di antara mereka yang tahu. Kecuali Tom, sopir yang ditugaskan Mikail untuk mengurus keperluan Megan. Dan Alicia merasa benci bahwa Mikail menyediakan 3 mobil untuk wanita itu.
Sudah beberapa bulan ia tinggal di rumah ini, tetapi Mikail hanya memberinya satu pengawal yang mengurus keperluannya. Menciptakan rasa cemburu yang memenuhi dadanya. Dengan begitu mudahnya Megan mendapatkan apa pun yang selalu berusaha ia dapatkan dengan susah payah. Meski pada akhirnya keinginan itu tak pernah terkabul. Termasuk posisi Megan di sisi Mikail.
Pada akhirnya Alicia tak mampu menahan kantuknya dan berniat pergi ke kamarnya ketika suara mesin mobil berhenti di depan teras.
Alicia berbalik dan bergegas membuka pintu. Benar saja, Mikail sedang menaiki tangga teras.
"Mikail?"
Mikail membelalak terkejut. "Apa yang kau lakukan di sini, Alicia?!" tanyanya dengan setengah membentak. "Kenapa kau belum tidur."
"Aku tak bisa tidur karena mengkhawatirkanmu. Tak biasanya kau seharian menghilang tanpa kabar. Aku hanya takut sesuatu terjadi denganmu."
Mikail mengerjap. Ya, seharian ia pergi dan menyadari bahwa waktu berlalu hingga larut.
"Aku dan Kiano pergi ke kantormu tadi siang, tapi kau tidak ada di sana."
"Maaf," desah Mikail rendah. "Dan terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Alicia. Aku baik-baik saja. Kembalilah ke kamarmu."
Alicia mengangguk. Keduanya berjalan bersama masuk ke dalam rumah. Mikail memanggil pelayan dan memerintahkan untuk mengantar Alicia ke tempat tidur. Kemudian Mikail bergegas ke lantai atas.
Alicia hanya tercenung di tempatnya. Menatap punggung Mikail yang mulai menaiki anak tangga dengan langkah terburu. Dirinya yang sibuk mengkhawatirkan pria itu, tetapi lagi-lagi Megan yang mendapatkan perhatian lebih banyak ketimbang dirinya. Kedua tangan Alicia terkepal. Cukup sudah.
"Mari, Nona," ucap pelayan yang dipanggil Mikail.
Alicia menatap sinis si pelayan, kemudian berjalan masuk ke kamar dengan membanting pintu. Meninggalkan si pelayan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top