45. Setelah Tidak Pulang

Megan tersentak dan bergegas terbangun ketika mendengar suara dering ponselnya. Menemukan dirinya berbaring di tempat asing dengan bau antiseptik yang begitu pekat dan kedua matanya membelalak menemukan ini adalah ruangs perawatan Nicholas.

Kepalanya berputar dan melihat tubuh Nicholas yang berbaring di ranjang dengan kedua mata yang terpejam. Teringat alasan keberadaannya di tempat ini.

Ia pun bergerak turun sambil menatap jam di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul 5 pagi. Megan pun segera mengambil tasnya dan bangkit berdiri. Berjalan menghampiri ranjang pasien demi memperbaiki letak selimut Nicholas yang sudah rapi. Tanpa menciptakan suara sekecil apa pun yang bisa membangunkan Nicholas.

Sampai di lobi rumah sakit, Megan dikejutkan dengan keberadaan Tom yang bergegas menghampiri dirinya yang baru saja menginjak teras gedung.

"Nyonya?"

"Apa yang kau lakukan di sini?" Megan membelalak pada Tom dengan suara yang nyaris membentak karena mengejutkannya.

"Tuan meminta saya untuk menunggu Anda dan membawa Anda kembali ke rumah sampai urusan Anda selesai," jawab Tom.

Kedua mata Megan membelalak lebih lebar dan kemudian menelan ludahnya mendengar jawaban yang diberikan oleh Tom. Ya, tentu saja. Bagaimana mungkin dirinya bisa berpikiran bahwa Mikail akan membiarkan dirinya begitu saja. Apa pun yang menunggunya saat ini di rumah Mikail, Megan yakin bukanlah hal yang baik.

Sepanjang perjalanan pulang, satu-satunya hal yang memenuhi benak Megan hanyalah apa yang akan dilakukan Mikal untuk menghukum pembangkangannya. Ponselnya sudah berhenti berdering sejak semalam dan terasa begitu menenangkan dirinya dengan cara yang tidak menyenangkan.

Hingga kemudian kecepatan mobil yang semakin merendah. Sempat berhenti sejenak ketika sampai di gerbang tinggi berwarna hitam pekat, menandakan bahwa mereka telah sampai. Mobil kembali melaju dan berhenti tepat di teras rumah.

Megan tersentak pelan ketika pintu mobil di sampingnya dibuka dan Tom mempersilahkan dirinya untuk turun. Ia pun bergerak turun dan bisa merasakan detak jantungnya yang bergetar hebat di dalam dada.

Ia melangkah perlahan menaiki anak tangga di depan teras, melangkah masuk dengan langkah yang begitu pelan dan tanpa suara. Seolah takut sedikit pun suara yang ditimbulkannya akan membuat siapa pun yang ada di rumah ini terbangun.

Megan terus melangkah, jantungnya masih berdetak tak karuan sepanjang perjalanannya menaiki anak tangga menuju lantai dua. Sampai di atas, Megan menatap lorong yang mengarah ke kamar tidur Kiano. Kakinya sudah bergerak ke arah kamar Kiano sebelum kemudian tumitnya terpaksa harus di putar kembali menuju pintu kamar utama di rumah ini oleh salah satu anak buah Mikail yang berjaga.

"Tuan berpesan agar Anda segera ke kamar Anda, Nyonya," ucap pria datar itu dengan suara yang menjengkelkan bagi Megan. "Tuan menunggu Anda di dalam."

Dalam hati Megan berteriak memaki pengawal yang terlalu patuh itu meski tetap melangkah menuju kamar tidur.

Suara debaran di dadanya semakin tak karuan, dan seluruh tubuhnya menegang begitu ia masuk melewati pintu kamar. Perasaan tak nyaman menyergapnya dengan keras begitu ia menutup pintu di belakangnya dan tatapannya langsung bersirobok dengan tatapan tajam Mikail yang duduk bersandar di sofa tunggal dengan kedua kaki bersilang.

Napasnya tertahan dengan keras dan menelan ludahnya sata pandangannya turun ke bawah. Menemukan sebotol anggur yang hampir habis dan sisa anggur di dasar gelas. Kedua mata pria itu yang terlihat merah dan rambut yang kusut, lebih dari cukup sebagai bukti bahwa pria itu tidak tidur semalaman.

Apakah semua ini ada hubungannya dengan kepergiannya selama semalaman? tanya itu mendadak muncul di benaknya.

Mikail terkekeh, dengan seringai gelap yang tersungging di ujung bibirnya. "Selamat pagi, istriku," sapa Mikail dengan senyum yang terlalu lebar memenuhi permukaan wajahnya.

Megan tak menjawab, kedua matanya sibuk mengamati reaksi janggal Mikail. Dan entah kenapa kedua kakinya masih terpancang kuat di tempatnya berdiri.

Keheningan yang menegangkan membentang di udara di antara keduanya selama beberapa saat yang cukup lama. Mikail mengunci pandangannya dengan keras, yang membuat Megan benar-benar kewalahan mengatur napas di dadanya.

Dengan keberaniannya yang hanya setipis kulit ari, Megan mulai mengangkat salah satu kakinya dan hendak berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Bisakah kau menuangkan anggur untukku, istriku?" Mikail membuat suaranya terdengar begitu menjengkelkan. Menghentikan langkah Megan yang sudah setengah perjalanan menuju kamar mandi.

Megan menoleh dan melihat sisa anggur di botol lalu wajah Mikail yang merah. Sulit menentukan apakah itu karena pengaruh alkohol ataukan pria itu memang benar-benar marah padanya. Megan menelan ludahnya dan berkata, "Kau sudah cukup mabuk, Mikail. Dan ini sudah pagi. Apa kau akan pergi ke kantor dengan bau alkohol memenuhi mulutmu?"

Milkail terkekeh, sebelum kemudian terbahak dengan keras. Hingga gerahamnya terlihat. "Ini hanya sebotol anggur, Megan. Tak akan menghilangkan kewarasanku. Aku bahkan meminumnya demi kewarasanku tetap terkendali di kepalaku. Aku cukup sadar untuk pergi ke kantor dan mengurus pekerjaanku. Dengan semangat pagi yang bagus."

Megan tak sungguh- sungguh memahami arti dari kalimat Mikail.

"Dan aku juga cukup sadar untuk membicarakan pelanggaran peraturan yang baru saja kau lakukan."

Megan menelan ludahnya, kali ini firasat buruk dari kalimat panjang Mikail bukanlah hal yang baik untuknya, batin Megan dalam dada.

"Aku hanya pergi ke rumah sakit, Mikail. Bagaimana mungkin kau menyebutnya dengan pelanggaran peraturan?" jawab Megan, meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu adalah jawaban yanh tepat. Ia tak melakukan kesalahan apa pun yang perlu mendapatkan hukuman dari siapa pun. Termasuk Mikail."

Seringai Mikail bergerak naik dengan lebih tinggi. "Lalu apa yang membuatmu merasa begitu tegang seperti saat ini, Megan?" Tatapan Mikail mengamati ketegangan di seluruh tubuh Megan dengan tatapan mengejek.

"Karena kau menemui dan bermalam dengan pria lain di belakangku secara diam-diam?" Salah satu alis Mikail terangkat dengan tatapan mengejek.

Megan menelan ludahnya. "Kau sedang sibuk dengan kekasihmu, itulah sebabnya aku tidak ingin mengganggu kalian berdua dengan kepentinganku yang sama sekali bukan urusanmu." Megan tak bisa menahan nada sinisnya untuk tidak terselip di dalam kalimatnya. Ya, semalam Mikail memang begitu sibuk memperhatikan Alicia dan kandungan wanita itu. Hingga mengabaikan keberadaannya dan Kiano di meja makan.

Tatapan Mikail menatap lurus kedua mata Megan kemudian mendengus tipis. "Apakah aku menangkap kecemburuan di dalam kalimatmu, Megan?" Salah satu alis Mikail terangkat sambil menelengkan wajahnya ke samping.

Megan tersentak pelan dengan pertanyaan mengelupas Mikail. Matanya mengerjap dengan gugup. "Itu tidak mungkin, Mikail. Apa pun urusanmu dengan wanita itu sama sekali bukan urusanku."

"Baguslah jika kau memahami posisimu, Megan," decih Mikail sambil bangkit berdiri. Dengan langkahnya yang begitu pelan dan mendominasi, dengan tatapannya yang mengunci kuat kedua mata Megan. Pria itu melangkah lurus ke arah tempat Megan terpaku dengan seluruh tubuh yang menegang.

Megan menelan ludahnya, tubuhnya benar-benar membeku ketika Mikail semakin memangkas jarak di antara mereka. Yang semakin membekukan seluruh tubuhnya. Apa pun itu yang tersirat di kedua mata Mikail padanya, itu adalah mimpi buruk.

Pria itu menangkap dagunya, kemudian menaikkannya sedikit demi menyejajarkan pandangan mereka berdua. "Sekarang, posisimu adalah sebagai milikku. Dengan seutuhnya."

Makna yang tersirat di kedua mata Megan telah sepenuhnya merenggut napasnya. Memberinya sesak yang teramat. Akan bayangan gelap yang perlahan memenuhi benaknya.

Ini bukan hanya sekedar mimpi buruk. Ini adalah fakta buruk yang mengerikan. Mikail menginginkan dirinya. Tubuhnya. Dan tak peduli dengan ketidak siapannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top