32. Mantan Sekretaris Mikail

Megan berhasil mengurai air matanya dan tak sampai jatuh ke pipinya ketika melepaskan pelukannya pada Kiano. Dengan senyum lebar yang dipenuhi binar kerinduan, kedua telapak tangannya bergerak merangkum wajah mungil bocah itu. Menatap mata bulat Kiano yang jernih. Sejernih air laut seperti milik Mikail.

"Hai, tante sangat senang kau datang ke sini."

"Ya. Kiano juga."

Telapak tangan Megan mengelus sisi wajah mungil Kiano. Seolah butuh meyakinkan berkali-kali bahwa putranya benar-benar bisa ia sentuh. "Apa kau benar-benar Kiano?"

"Ya, tante cantik. Ini Kiano." Telapak tangan mungil Kiano menyentuh punggung tangan Megan. "Apa tante cantik sudah tahu siapa Kiano?"

Megan mengangguk, menahan gumpalan emosi yang memadati tenggorokannya. Menahan tangisan yang hendak terlepas. "Ya, tentu saja. Kau putraku. Kiano Matteo."

Kiano pun ikut mengangguk. "Ya, tante cantik adalah ibuku."

Megan kembali membawa tubuh mungil itu ke pelukannya. Memeluknya dengan lebih erat. "Sayang, mama benar-benar minta maaf. Sungguh minta maaf."

Kiano membalas pelukan tersebut, senyum bahagia menyelimuti wajah mungilnya dengan penuh kerinduan yang kini terpuaskan.

Keduanya saling melepaskan kerinduan dan butuh beberapa saat yang lebih lama untuk mengurai pelukan tersebut.

***

Setelah menghabiskan waktu dengan makan malam yang disiapkan Jelita untuk Megan dan Kiano. Akhirnya kebersamaan tersebut harus berakhir ketika pengawal yang mengantar Kiano datang ke apartemen tersebut mengatakan Kiano harus pulang.

Megan sendiri yang menyadari hari sudah malam dan tak mampu menolak waktu yang sudah ditetapkan oleh Mikail untuk pertemuan singkat yang manis ini.

"Apakah besok tante cantik akan benar-benar menjadi mamaku?" Pertanyaan Kiano tersebut seketika membekukan Megan untuk sejenak. Menatap mata polos itu lekat-lekat dan langsung mengangguk ya.

"Ya, tentu saja, sayang." Megan mengelus rambut kepala Kiano dengan lembut. Senyum mengembang lebar di kedua ujung bibir wanita itu. Apa pun akan ia lakukan untuk putranya tersebut.

Megan mengecup pipi kanan dan kiri Kiano, kening dan kiga hidung bocah tersebut. Dan mengulangnya hingga berkali-kali. Rasanya tak pernah cukup mencium putranya tersebut hanya dengan satu kali.

Dan meskipun mereka menghabiskan waktu yang cukup banyak malam ini, tetap saja Megan merasa kehilangan dan begitu merindukan putranya tersebut, meski Kiano masih terlihat oleh kedua matanya.

Jelita menyambutnya begitu ia kembali baik dan masuk ke dalam apartemennya. Dengan kedua tangan bersilang dada dan tatapan 'sekarang saatnya bicara.'

"Kau benar-benar akan menikah dengan mantanmu?"

Jelita mendesah panjang dan duduk di kursi panjang, rautnya tertekuk kembali. "Hanya itu pilihan yang diberikan oleh Mikail."

"Dan apa kau tahu apa artinya itu?"

Megan menggeleng pasrah.

Jelita mendesah keras. "Mikail tidak akan memperlakukanmu dengan baik, Megan. Dia terlihat sangat membencimu."

"Aku hanya lebih takut menghilang dari hidup Kiano, Jelita. Satu-satunya hal yang kutahu tentan pernikahan ini hanya Kiano. Kau dengar apa yang diucapkannya sebelum dia pergi, kan? Dia bertanya apaka aku besok benar-benar akan menjadi mamanya? Aku bahkan tak perlu berpikir dua kali untuk menjawab ya. Aku memang ibu kandungnya."

Jelita bergerak mendekat, duduk di samping Megan dan merangkul wanita itu. "Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri?"

Megan terdiam, tampak memikirkannya selama beberapa saat dan hanya helaan napasnya sebagai jawaban.

"Kau benar-benar tak bisa hidup tanpa putramu, Megan. Tapi..." Jelita tak tahu kata apa yang tepat untuk melanjutkan kalimatnya.

Megan menunduk, menarik lengan panjangnya dan menunjukkan perban yang melilit pergelangan tangannya pada Jelita.

Jelita terkesiap, mengambil tangan Megan dan membelalak tak percaya."Apa yang terjadi dengan tanganmu, Megan?"

Dan cerita itu mengalir begitu saja dari mulut Megan. Yang semakin Jelita mendengar membuat wanita itu semakin tercengang.

"Dan aku tahu kenapa Mikail begitu ingin aku enyah dari hidup Kiano. Karena aku lemah dan pengecut."

"Sshhhh," Jelita mengambil pundak Megan dan merangkulnya. Mengusap lengan wanita itu dengan lembut demi meredakan rasa bersalah dan penyesalan wanita itu. "Itu tidak benar, Megan. Kau sudah melakukan yang terbaik yang kau bisa dan kau sudah melakukan segalanya untuk memperbaiki kesalahanmu. Itu lebih dari cukup. Pilihanmu adalah keputusan terbesar yang pernah kau ambil. Kiano akan sangat bangga padamu."

"Benarkah?"

"Ya, tentu saja, Megan." Jelita memperdalam rangkulannya. Dan keduanya saling memeluk.

Setelah hening yang lama, akhirnya Megan mengurai pelukan tersebut dan bertanya, "Lalu apa yang terjadi denganmu selama dua hari ini? Apa Mikail melukaimu?"

Jelita menggeleng. "Dia rupanya menyelidiki kehidupanku dan ... " Jelita berhenti, wajahnya berubah muram. "Dia tahu tentang ibuku sedang sakit parah dan aku menemaninya. Mikail membantuku mengurus dokter spesialis dan mengatur operasi yang biayanya tidak sedikit. Dan dia yang menanggung semuanya."

"Apa? Ibumu sedang sakit parah?" Kedua mata Megan membulat sempurna. "Lalu bagaimana bisa aku tidak tahu, Jelita."

"Maaf. Aku hanya tak ingin membuatmu khawatirkan tentang ini."

"Bagaimana keadaannya sekarang?"

"Seperti sebelumnya, tapi lebih baik. Dua hari lagi akan dioperasi."

"Maafkan aku tidak pernah menjadi peka untukmu, Jelita." Megan kembali merangkul Jelita. Dengan penuh penyesalan.

"Semuanya sudah baik-baik saja, Megan. Kita akan baik-baik saja," yakin Jelita. Pada Megan dan dirinya sendiri.

***

Pagi hari, Megan mengerang melihat kantung mata di bawah kelopak matanya. Ya, bagaimana mungkin ia bisa tidur, membayangkan hari pernikahannya dan Mikail esok hari. Setelah Kiano pergi, orang suruhan Mikail datang membawa gaun pengantin untuknya. Saat Megan melihat gaun putih tersebut, Megan menyadari kalau gaun tersebut adalah gaun pernikahannya dan Mikail yang sudah dipotong lebih pendek dan model lengannya yang dirubah. Diganti menjadi tali spaghetti yang disilang. Terlihat lebih sederhana tetapi tetap elegan dan mewah.

Gaun ini adalah pilihannya. Desain dan pilihan kainnya, semuanya adalah keputusannya. Seluruh persiapan pernikahan mereka adalah seluruh perwujudan pernikahan impiannya. Meski pada akhirnya pernikahan mereka tidak seindah impiannya. Dirinya yang menghancurkan pernikahan tersebut, dengan tangannya sendiri.

"Megan?!" panggil Jelita dari arah belakang. Matanya mendelik kesal melihat Megan yang masih mengenakan baju tidur dengan rambut berantakan berdiri di depan cermin wastafel. "Apa yang kau lakukan? Orang Mikail sudah menunggu di bawah."

Mata Megan membelalak. "Kenapa secepat ini?"

"Apa Mikail tidak memberitahumu jam berapa acaranya dimulai?"

Megan menggeleng. Yang membuat Jelita mengerang frustrasi. Bagaimana mungkin seseorang menikah dan tidak tahu kapan acara pernikahan tersebut akan dimulai.

"Cepat bersihkan dirimu, Megan. Lima menit." Jelita menunjukkan kelima jemarinya.

"Tidak mungkin, Jelita."

"Sepuluh. Tidak ada penawaran lain. Cepat." Jelita menutup pintu kamar mandi.

Setengah jam kemudian, keduanya turun di lobi dan sopir Mikail langsung membukakan pintu mobil untuk mereka. Megan tak tahu ke mana sopir itu akan membawa mereka. Tetapi kegugupan tak berhenti menyerang Megan sepanjang perjalanan. Meremas tangan Jelita.

Berapa kali pun ia mencoba menarik napas panjangnya, tetap saja kegugupan masih menyelimuti dadanya. Dan ketika kecepatan mobil perlahan menurun, Megan memutar pandangannya menatap ke sekeliling mobil.

Mobil berhenti di sebuah halaman rumah yang luas, yang Megan kenali sebagai rumah orang tua Mikail. Rumah itu adalah rumah tingkat dua yang sederhana. Dengan taman bunga yang asri dan kolam ikan di halaman sampingnya. Dan meskipun tak pernah ditempati selama puluhan tahun, rumah ini terlihat sangat terawat.

Dengan bantuan Jelita, Megan melangkah turun dari dalam mobil. Pelayan datang dan langsung mengarahkan keduanya menuju ke dalam rumah.

Rumah ini masih sama seperti yang Megan ingat. Ruang tamu yang luas, ruang keluarga yang langsung mengarah ke halaman belakang.

Langkah Megan tersendat, begitu menangkap sosok Mikail dengan setelan putihnya yang berdiri di bawah lengkungan bunga putih. Kemudian Kiano yang memegang buket bunga berdiri tak jauh dari pria itu.

Megan menatap penuh haru ke arah Kiano. Air mata merebak di kedua matanya.

Jelita menepuk pundaknya dan memberikan selembar tisu untuk Megan. "Ayo."

Megan melanjutkan langkahnya, hanya untuk kembali berhenti ketika menemukan sosok lain yang mengejutkan. Wanita hamil itu, yang mengenakan gaun berwarna putih juga.

"Alicia?" Jelita pun ikut terkejut.

Megan menoleh ke samping. "Kau tahu dia?"

Jelita mengangguk. "Dia sekretaris Mikail. Eh, mantan sekretaris."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top