Part 70 (Last Chapter)

Jika waktu lalu Celia dan Nick yang merayakan hari bahagianya. Hari ini, dua minggu setelahnya, Adam dan Niken yang mengadakan pesta dalam rangka mengumumkan bahwa Alice Cooper--yang telah diganti nama menjadi Alice Widjaya--adalah anak kandungnya.

Acara digelar di kediamannya. Cukup meriah dengan mengundang seluruh keluarga dan kerabat kerja. Di mulai jam tujuh malam, para tamu undangan berpakaian formal mulai berdatangan memasuki kediaman megah milik Adam, dan digiring oleh petugas keamanan ke taman belakang melewati samping rumah dengan jalanan berbatako. Tepiannya berdekorasi lampu-lampu led bercahaya kuning.

Para pelayan mulai sibuk berjalan ke sana-kemari menghampiri setiap tamu yang hadir. Sembari menyunggi baki atasnya terdapat tatanan gelas berkaki berisikan wine putih dan merah, mereka menawarkannya kepada setiap tamu undangan dengan penuh keramahan. Begitu tiba di hadapan Celia dan Nick yang masih bebas dari genggaman gelas, penolakan halus mereka terima. Pasutri muda itu lebih antisipasi sekarang, mengingat kejadian tak mengenakkan yang pernah dialaminya.

"Aku mau lihat Alice dulu," ucap Celia, kepada Nick.

Lelaki berpakaian tuxedo hitam yang membalut kemeja putih itu mengangguk. Ia melepas rengkuhan di pinggang Celia. Membiarkan perempuan berbalut gaun pesta putih yang memperlihatkan bentuk pinggang rampingnya dan berlengan rendah itu, berlalu dari hadapan. Ia masih memerhatikan setiap langkahnya yang anggun semakin menjauh. Tidak akan mengalihkan perhatian jika Abista tidak menyadarkannya dengan tonjokan pelan di bahunya.

"Padahal tiap hari bareng. Tiap malam dikelonin. Baru ditinggal sebentar saja, ngelihatnya sudah seperti akan ditinggal pergi jauh," ejek Abista, meskipun tahu tatapan yang dilemparkan Nick kepada adiknya, tatapan penuh cinta yang mendalam.

Nick terkekeh malu sembari menatap Abista. "Istriku sangat cantik, Mas. Tidak bisa diabaikan begitu saja."

"Paham-paham." Abista menepuk bahu kiri Nick sembari terkekeh. "Dan aku sangat senang melihat kalian saling mencintai, rukun, bahagia. Tidak ribut seperti Tom and Jerry yang selalu kulihat sewaktu di kampung."

Nick menunduk sesaat untuk mengembuskan napas berat, lalu menatap Abista lagi. "Celia terlalu gengsi untuk mengakui kalau sebenarnya mencintaiku."

"Halaaah, kamu juga to. Kalian itu sama-sama gede gengsi. Makanya selalu bikin masalah untuk menarik perhatian dan dekat." Abista tergelak renyah.

"Tahu saja kamu, Mas."

"Sudah ketebak. Apalagi pas kalian lagi mau ena-ena di sofa. Kalau enggak saling suka, mana mau Celia dikekepin kamu."

"Padahal kami sedang ribut itu." Nick tergelak renyah.

"Iyaa, ribut. Seperti kucing yang mau kawin. Ribut dan kejar-kejaran dulu to?"

Nick berdecak kesal terus diejek Abista. "Kenapa harus disamakan dengan kucing, sih, Mas? Nanti, ya. Tunggu waktunya aku dan Celia ngeceng-cengin kamu."

"Masalahnya aku masih belum ada gambaran mau sama siapa. Perempuan yang kutemui di sini cantik-cantik semua. Bingung milihnya, Nick." Abista tampak melembutkan mimik wajah. Sebab, ia bingung ingin mencintai siapa. Sedangkan, hatinya tertawaan oleh dua perempuan yang selama ini sering di dekatnya, Alice dan Evelyn.

"Nick, laki-laki boleh, 'kan, ya, punya istri lebih dari satu?"

Celetukan Abista yang ngawur, langsung mendapat kernyitan serta tatapan sipit penuh intimidasi dari Nick. "Kalau laki-laki boleh memiliki istri lebih dari satu, apa aku juga boleh memiliki dua istri, Mas?"

"Gundulmu. Kamu yo jangan gitu. Kasihan Celia," sungut Abista, tak suka sambil melototkan mata.

"Lagian, Mas Abis, tanyanya aneh-aneh. Ingin punya istri dua segala." Lantas, Nick tersenyum menggoda sambil mengacungkan jari telunjuk tangan kanannya ke Abista dan digoyang-goyangkan. "Aaa, aku tahu. Pasti, Mas Abis, punya niatan untuk memiliki dua istri, ya? Jangan serakah gitu. Satu saja cukup. Atau ..." Nick menggantungkan ucapannya, sebelum akhirnya melanjutkan lagi, "... Mas Abis, suka dua perempuan dan bingung ingin memilih siapa?" tebaknya.

Abista langsung gelapan. Ia merapatkan tubuh ke Nick sambil berbisik, "jangan kencang-kencang. Nanti pada dengar."

"Aku bilang ke Celia, lah!" goda Nick.

"Loooh, balungmu ta! Kalau dia tahu, aku bakal habis diejek terus." Abista berdecak kesal.

Justru membuat Nick tergelak renyah melihat ekspresinya. "Enggak janji, Mas. Itung-itung, timbal-balik karena kamu suka ngejek kami."

"Nick! Lah! Kamu itu ndak iso diajak curhat." Abista langsung menekuk wajah, pura-pura marah.

"Mas Abis, bisa ngambek juga, ya, ternyata." Nick manggut-manggut sambil mengulum senyum.

Baru saja Abista akan membalas, perhatiannya teralihkan oleh suara tepuk tangan riuh yang menyambut kedatangan sang tuan rumah. Alice dalam himpitan Adam dan Niken. Terbalut gaun merah hati tanpa lengan, terlihat begitu elegan dengan wajah yang terpoles make up agak tebal namun masih tampak natural. Di belakangnya, ada Celia yang menggandeng tangan mungil milik Nathan.

Nick yang melihat istrinya pun bergegas menghampiri. Lantas, ikut menggandeng tangan Nathan satunya. Keduanya saling mengulas senyum lebar, merasakan atmosfer kebahagiaan yang menyelimuti wilayah rumah Adam.

Sebelum menaiki panggung, Alice mengambil alih Nathan dari Nick dan Celia, sembari mengucapkan terima kasih. Pasutri itu pun mengangguk kompak, lantas berdiri di depan panggung untuk menyaksikan pendeklarasian Adam dan Niken, tentang Alice dan Nathan.

Sementara, di pohon menjulang tinggi yang berada di perkebunan belakang rumah Adam, seorang pria berpakaian hitam-hitam dan bertopeng bersembunyi di sana. Dengan jarak cukup jauh, ia terus mengintai gerak-gerik Celia dan Nick yang sudah diikutinya selama dua bulanan ini. Senjata laras panjang yang terpasang di dahan depannya, terus di arahkan ke keduanya. Sedangkan salah satu matanya terus mengintip dari kaca pembesar, menunggu momen yang pas untuk melepaskan timah panas.

Perkumpulan orang-orang di sana cukup menguji kesabarannya. Berulang kali ia mengembuskan napas berat, menjauhkan mata dari kaca pembesar, lalu mendekatkan lagi untuk mengetahui situasi.

Dan saat ini, semua orang yang berkumpul di sana sudah berhenti berlalu-lalang. Semua berdiri diam dengan pandangan fokus ke panggung mini. Pun dengan sang target yang berhenti tepat di depan panggung posisi membelakangi dirinya.

Dalam diam, ia menghitung mundur dari tiga. Sebelum akhirnya, melepaskan satu timah panas ke target perempuan.

Suara gedoran dari tembakan itu menggema. Dengan posisi di ruang bebas, membuat suara itu memantul dan berhamburan. Cukup menyamarkan keberadaannya. Ia pun tersenyum puas melihat keributan di pesta tersebut.

Peluru tidak meleset. Tepat mengenai target.

Sementara di tempat pesta, Celia yang tiba-tiba mendapat tembakan di punggungnya terpekik lantang. Darah segar muncrat ke mana-mana, sampai menodai tuxedo serta kemeja putih Nick.

Hening.

Seakan waktu berhenti berputar selama beberapa detik. Semua mematung. Terkejut. Tamu-tamu lain masih mencari siapa yang terkena tembakan. Begitu melihat Celia ambruk, dan Nick refleks menangkapnya, suara jeritan panggilan untuk Celia terdengar seperti paduan suara.

"SAYANG! CELIA!" seru Nick dalam kepanikan.

"CELIAA!"

"PANGGILKAN AMBULANS! CEPAT! SIAPA PUN! TOLONG, PANGGILKAN AMBULANS!"

"CELIA! BANGUN! BUKA MATA KAMU! SAYANG!" Perasaan Nick campur aduk tak keruan. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Melihat darah segar mengalir dari mulut sang istri, pikirannya semakin berkecamuk. Sedangkan, gaun putih bagian punggungnya sudah berubah merah. Darah menggenang sampai merembet ke mana-mana.

"CELIA!" Suci menangis histeris melihat kondisi Celia yang mengenaskan. Sedetik kemudian, ia tak sadarkan diri dan ditangkap oleh orang-orang yang berada di dekatnya.

Nick sudah tidak sabar menunggu kedatangan ambulans. Sambil berluruhan air mata dan terisak, ia langsung mengangkat tubuh Celia lantas berlari kelimpungan membawanya ke mobil.

"Sayang, tolong buka mata kamu. Tolong, tetap sadar," ucap Nick, di tengah isak tangisnya.

Aiden dan Dante dengan sigap membukakan pintu mobil, meminta Nick bergegas masuk. Aiden yang biasa menyetir langsung mendaratkan bokong di balik kemudi. Dan tanpa ba-bi-bu, Dante pun langsung menyusul masuk, duduk di samping kemudi.

Bak pembalap, Aiden melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi tapi masih hati-hati. Matanya sangat awas memandang jalanan depannya. Menyalip ke kanan-kiri, tidak peduli seugal-ugalan apa dirinya sampai membuat Dante berpegangan erat.

Nick yang melihat Celia terus terpejam, lambat laun ia menyadari wajah istrinya mulai memucat.

"Sayang, tolong bertahan!" Nick menangis tergugu. Dipeluk erat-erat kepala Celia, dengan rasa ketakutan yang mencuat. Desir jantung dari detakan yang hebat, hampir membuatnya hilang kesadaran.

"Celia, jangan tinggalin aku. Kamu harus kuat! Kamu harus bertahan! Tolong, bertahan!"

Sangat pilu suaranya. Aiden dan Dante bisa melihat dari spion atas kepalanya, kondisi Nick benar-benar sangat hancur.

Tidak lama, mereka tiba di rumah sakit terdekat. Ketiganya segera keluar dari mobil, sama-sama berlari tergopoh-gopoh menuju lobi. Seorang satpam yang melihat, langsung memanggil perawat dan memintanya membawakan brankar.

Dengan cepat Celia direbahkan ke brankar dengan posisi tengkurap. Kini, hampir seluruh gaun Celia berubah merah yang memiliki bau anyir segar. Semua berlarian cepat sambil mendorong brankar, tujuannya langsung ke ruang operasi.

Dejavu

Itu yang Nick rasa dalam situasi sekarang. Untuk kedua kalinya ia mengantar Celia ke rumah sakit dengan kondisi yang mengenaskan. Ketakutan, kekhawatiran, kepanikan, cemas, semua menyatu dan berkumpul dalam satu tubuh.

Seorang perawat menghentikan Nick setibanya di depan ruang operasi. Tidak ingin memperlambat, lelaki itu menurut tanpa melontarkan protesan.

Aiden dan Dante hanya bisa menatap Nick dalam diam. Tidak berani menegur lelaki yang sedang kehilangan separuh jiwa raganya. Mondar-mandir tak tenang, gelisah yang terpancar kuat dari wajahnya, itu yang dilakukan Nick. Keduanya hanya bisa menyimpan keprihatinannya.

Tidak lama, keluarga besar Nick pun tiba. Teresa langsung memeluk sang anak erat-erat, yang membuat tangis keduanya semakin pecah. Tubuh Nick bergetar hebat, Teresa pun terus menenangkan dengan elusan lembut penuh kasih sayang.

Bermenit-menit, sampai hampir satu jam-an, seorang dokter laki-laki keluar dari ruangan dengan wajah muram. Ada keraguan dari mimik wajahnya, tetapi ia tetap harus menyampaikan.

"Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Nick tergesa sembari menghampiri dokter tersebut.

Dokter terdiam sesaat sembari menatap Nick kasihan. Lantas, dengan satu kali tarikan napas, ia berkata, "Maaf, Bapak, Ibu, dan keluarga pasien semua." Ia menatap Nick, lalu beralih menatap yang lain secara bergantian. Gelengan lembut pun ia berikan. "Pasien tidak bisa diselamatkan. Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik. Namun, peluru yang menembus punggungnya cukup dalam sampai mengenai jantung, dan menyebabkan kebocoran pada jantungnya."

Bak tersambar petir, semua mematung. Tak berkedip. Jantung pun seperti menghentikan detakannya.

Namun, Nick yang mencoba menyadarkan kesadarannya sambil menelan ludah susah payah, berkata, "Tidak mungkin, Dok! Istri saya pasti masih bisa diselamatkan, 'kan?!" Ada jeda sesaat, sebelum ia melanjutkan, "Dok! Tolong, jangan bercanda! Ini tidak lucu." Ia tergugu sembari menggeleng keras, tidak ingin memercayai ucapan lelaki yang berpakaian scrub suits hijau di depannya.

"Pak, kami mohon maaf. Anda yang tabah, ya." Paling berat memang mengatakan kabar buruk itu kepada keluarga pasien. Dan dirinya sebagai dokter, menjadi tantangan tersendiri untuk memberitahu kebenaran yang terjadi.

Nick merasa pondasi yang menopang tubuhnya runtuh, dan langsung terduduk lemas di lantai. Ia menangis tergugu, terdengar begitu pilu.

"Enggak mungkin! Enggak mungkin Celia ninggalin aku! Enggak mungkin!" Nick terus menggeleng keras di tengah guguannya. Tatapannya sangat kosong.

Suara tangis pilu pun terdengar dari yang lain, membuat tempat itu menjadi saksi seberapa besar mereka kehilangan Celia.

Teresa menjatuhkan diri di samping Nick dengan kaki tertekuk, lantas kembali merengkuh anaknya sangat erat.

"Maaa, Celia masih hidup, 'kan, Ma? Celia enggak akan ninggalin aku sendiri di sini. Dia pasti hanya ingin tidur lama seperti sebelumnya, dan akan bangun lagi. Iya, 'kan, Ma?"

Teresa tak mampu menjawab. Lidah terasa sangat kelu. Hal yang sama saat ia kehilangan Sasha dan Dallas, perasaannya benar-benar sangat hancur. Dan sekarang, ia merasakan kehilangan di tempat yang sama lagi, rumah sakit. Oleh orang yang ia cintai sepenuh hati.

Sementara, Nick yang tidak mendapat jawaban dari mamanya semakin hancur hatinya. Tangisnya tak bersuara, dan itu sangat menyesakkan dada.

"Enggak mungkin Celiaku meninggal." Nick masih meracaukan hal yang sama. "Aku harus memastikannya sendiri. Aku harus melihatnya langsung."

Nick akan beranjak. Namun, ia kesusahan saking tidak memiliki tenaga. Aiden dan Dante yang melihat, bergerak gesit menghampiri dan membantunya. Keduanya memapah Nick ke dalam ruang operasi. Begitu tiba di dalam, tangis Nick semakin pecah melihat tubuh di atas brankar telah tertutup rapat dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Perlahan, Nick membuka kain yang menutupi kepala Celia. Saat wajah pucat sang istri terpampang nyata, dunianya serasa hancur berantakan. Tak ada kata lagi yang mampu terucap dari mulutnya. Dilakukan hanya memeluk Celia erat-erat.

'Bagaimana aku bisa hidup tanpa dirimu, Celia? Bagaimana?'

'Kenapa kamu harus meninggalkanku secepat ini? Kenapa kamu menyusul anak kita dan orang tuamu? Kita sudah janji akan hidup bahagia. Kita sudah berhasil menyingkirkan orang-orang yang mengusik hidup kita. Kenapa sekarang justru kamu yang meninggalkanku.'

'Bangun, Sayang! Banguuun! Aku mohon bangun! Jangan tinggalin aku sendiri.'

Nick terus meracau dalam hati dan masih memeluk erat sang istri. Inilah titik awal kehancuran dirinya, ditinggalkan oleh orang yang sangat ia cintai sepenuh hati.

Selamanya.

Tidak ada lagi penyemangat hidupnya. Tidak ada lagi yang mengganggunya. Tidak ada lagi yang ingin terus bermanja dengannya. Ia akan kesepian dalam kesendirian.

'Sampai kapan pun, hanya kamu yang akan selalu aku cintai, Celia Marvericks. Istriku,' ucap Nick dalam hati, sungguh-sungguh.

~ENDING~

😭😭😭 Celiaku jadi ubi.

Nangis sesenggukan nulisnya 😭

Cerita ini benar-benar udah ending sampai di sini, ya, guys, ya.











Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top