Part 68
Penyelesaian yang rumit. Menunggu waktu yang cukup lama. Celia harus sabar menantikan sebuah ketukan palu dari hakim untuk mendengar keputusan hukuman kepada para bededah yang telah merugikan banyak orang. Jika saja hukum tidak memiliki aturan, ingin sekali ia menyelesaikan semua masalahnya sekilat kereta cepat yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit sampai ke tujuan.
Perempuan berkemeja kasual warna putih dan berkacamata hitam itu tak hentinya mendapatkan semangat dan dukungan dari keluarga besar Nick setelah keluar dari ruang sidang. Sorotan kamera wartawan, jejalan mikrofon yang disodorkan kepada dirinya, menemani setiap langkahnya ketika keluar dari gedung pengadilan untuk dimintai keterangan kronologi atas musibah yang telah menimpanya. Celia tidak berbicara banyak kata. Hanya meminta kepada para wartawan agar masalahnya cepat selesai dan terdakwa mendapat hukuman seadil-adilnya.
Nick yang terus berdiri di samping Celia sembari merengkuh bahunya, berusaha melindungi istrinya. Sedangkan, Aiden dan Dante membantunya membuka jalan untuk keluar dari kerumunan para wartawan. Ia memang pemilik stasiun televisi, tetapi berdiri lama-lama di kerumunan para wartawan bukanlah kesukaannya. Ia cukup menghindar, itu sebabnya sangat menjaga diri dari yang namanya skandal.
Setibanya di mobil, Nick langsung membukakan pintu. Meminta Celia masuk lebih dulu, lalu disusul dirinya. Sedangkan, Aiden dan Dante yang semobil, duduk di depan dengan Aiden yang mengemudi. Tidak menunggu lama, mobil pun dilesatkan dari parkiran. Mobil-mobil lain milik keluarganya pun melaju meninggalkan gedung pengadilan, lantas beriringan di jalan raya yang padat kendaraan.
"Berasa artis, pakai diwawancarai segala. Kalau persidangan ini masuk berita televisi, pasti di kampung lagi heboh. Jadi trending topik pergosipan emak-emak. Tahu sendiri, 'kan, Nick, emak-emak di kampung kalau sudah ngumpul, enggak jauh-jauh dari yang namanya ngegosip?"
"Iya." Nick mengangguk, membenarkan ucapan Celia.
Teringat saat dirinya di kampung Celia dan jalan-jalan di area padat pemukiman, Nick sering menemukan ibu-ibu yang berkumpul di satu teras rumah, lalu ada lagi di teras rumah lain. Paling sering memang di waktu pagi dan sore hari. Seperti memiliki proyek besar yang harus dirundingkan.
"Pas aku gagal nikah sama si kunyuk dan nikah dadakan sama kamu saja, dijadiin bahan gosipan sampai berjilid-jilid. Apalagi ini? Kasusnya sudah masuk kriminal besar." Celia melepas kacamata hitamnya, salah satu gagangnya diselipkan ke kancing kemeja paling atas.
"Biar mereka makin paham seperti apa sifat Erick."
Celia mengangguk. Tanpa berucap lagi, ia merebahkan kepala ke bahu Nick.
Lelaki itu menatapnya, lantas menyelipkan salah satu tangannya ke belakang punggung Celia. Agak menariknya agar semakin merapat, lantas didekap sembari mendaratkan kecupan di puncak kepala sang istri. Sekilas mata melirik pergerakan tangan Celia yang merogoh tas tangan di pangkuan, lalu keluar lagi dengan ponsel bercasing feminim dalam genggaman.
"Banyak banget pesan yang masuk," gumam Celia, setelah ponsel dinyalakan. Tidak membuang waktu, ia langsung membuka pesan itu satu per satu. Lantas, membalasnya satu per satu. Sebab, pesan yang diterima lebih banyak dari teman-temannya yang di kampung. Dari segala komunitas yang ia ikuti, teman baiknya, juga dari keluarga besar yang di sana.
Nick hanya memerhatikannya dalam diam. Tidak berniat untuk mengganggu kesibukan sang istri. Celia berada di dekapannya dan tahu apa yang dilakukannya, sudah cukup untuk dirinya.
"Benar, 'kan? Ini temen aku yang tinggal sekampung sama Erick, ngasih tahu kalau di sana lagi heboh gosipin kasus ini. Yang kena imbasnya orang tua Erick. Kasihan. Walaupun anaknya bejat, tapi orang tua Erick cukup baik sama aku. Pas aku main ke sana saja selalu diperlakukan seperti anak sendiri."
Nick cukup tertarik untuk membaca pesan yang diperlihatkan Celia kepada dirinya. "Kalau itu bisa mengusik pikiranmu untuk kasihan sama orang tua Erick, jangan dibaca lagi pesannya."
Celia mendongak, menatap polos wajah Nick sambil menggeleng. "Enggak. Aku akan tetap pada keputusanku. Memperjuangkan hak keadilan untuk anak kita."
Nick mengulas senyum. Ponsel dari genggaman Celia, ia ambil dan disimpan ke tas tangan istrinya lagi. Kini, kecupan singkat ia daratkan ke bibir terpoles lipstik warna peach. Lalu, merengkuh erat tubuhnya.
"Selangkah lagi kita bisa menjalani hidup bahagia. Menikmati hidup bebas tanpa gangguan lagi. Lalu, bisa fokus ke program hamil," gumam Nick.
Celia mengangguk setuju. Tanpa sadar tangannya memegang perut. Sudah tidak sabar menanti kehidupan baru di dalam rahimnya kembali. Meskipun waktu itu sempat membuatnya tersiksa, tapi kebahagiaan dan kehangatan yang dirasakan lebih dari apa pun.
Ia juga rindu mendengar detak jantung calon anaknya dari monitor USG. Rindu melihat biji sebesar kacang polong yang memiliki kehidupan dan harapan untuk berkembang sehat. Andai masih ada, mungkin kehamilannya sudah memasuki usia lima bulanan sekarang. Dan pergerakan aktif dalam menendang-nendang dinding perutnya semakin kencang.
Celia mengulas senyum pilu ketika rasa rindu terhadap anaknya melanda relung hatinya. Sedih yang menyeruak, membuat matanya memanas dan berkaca-kaca.
'Doain Mommy sama Daddy, ya, Sayang. Semoga kamu, Kakek, dan Nenek, bisa mendapatkan keadilan yang pantas. Kami sedang berjuang untuk kalian,' batin Celia sambil menahan sesak di dada. Ia berusaha keras untuk tidak meluruhkan air matanya.
Namun, saat teringat kata-kata Om Wisnu tentang Heigar, sedikit menyurutkan semangat Celia. Buntut permasalahan masih belum selasai. Dan ia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya karena orang-orang yang berurusan dengannya sudah dalam tahanan. Tetapi, para anak buah Heigar tentu tidak akan tinggal diam. Dan nyawanya kembali menjadi incaran.
***
Kabar kedatangan Abista dan Suci yang secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan, berhasil mengejutkan Celia saat menerima telepon dari lelaki itu. Dengan segera, ia dan Nick meluncur ke bandara untuk menjemput keduanya. Padahal sudah berencana akan memasak untuk makan malam.
"Nopo ndak ngasih tahu aku sebelum kalian berangkat? Untung saja belum jadi masak," keluh Celia, setelah menemui mereka di tempat penjemputan. Meskipun begitu, Celia tetap merengkuh lengan kanan Suci sembari mengayunkan kaki.
Sementara, koper mini milik Suci diambil alih oleh Nick yang berjalan bersisian dengan Abista.
"Ndak sempet, Cel. Ning pikiran Mas cuma pingin langsung tekan kene. Wes ndak eling telepon kamu. Pow maneh kamu gek neng ruang sidang, mesti ndak enek waktu buka HP to?"
"Setidaknya, 'kan, yo nge-chat ngono loh, Mas. Budhe, Pakdhe, Mas Joko, Mbak Ria, Om, Mbak Intan juga ndak ngabari aku." Celia memanyunkan bibir. Bukan apa. Ia hanya takut jika mereka mengalami hal-hal yang tak diinginkan saat dalam perjalanan.
"Wes to, Cel. Sing penting wes bareng to." Suci menengahi perdebatan Celia dan Abista. Elusan lembut ia sapukan di punggung tangan keponakan perempuannya. "Tante sama Masmu itu sudah khawatir melihatmu di ruang sidang. Apalagi melihat pengacara Erick yang adu argumen dan cari-cari kesalahan kamu."
Sembari berjalan, Celia merebahkan kepala di lengan Suci. Kenyamanan bisa ia dapatkan dari perempuan yang sudah merawatnya sepenuh hati. "Doain Celia semoga menang di persidangan ya, Tante. Semoga mereka bisa dapat hukuman berat. Semoga tidak ada permainan hukum di sini."
"Iya, Sayang." Suci mengusap-usap lengan Celia penuh kasih sayang.
Satu jam lebih setelah melakukan perjalanan dari bandara, mereka pun tiba di apartemen Nick. Cukup membuat Suci dan Abista tercengang dengan design interior unit apartemen Nick yang terbilang mewah, elit, dan sangat tinggi karena berada di lantai paling atas.
Sesaat sebelum memasuki kamar masing-masing, Celia mengajak keduanya mengelilingi setiap ruangan agar lebih paham dengan denah-denah unit apartemennya. Tak cukup sekali dua kali Abista dan Suci dibuat terkagum-kagum dengan segala furniture yang terpajang di sana. Dinding penyekat luar full kaca, cukup membuat kaki Suci bergetar saat melihat bawah.
"Lha iki nek tibo langsung remuk to, Cel, awak'e. Kamu ndak wedi ta tinggal ning apartemen sing duwure rak umum?" Abista yang berdiri di balkon sambil melihat bawah, kaki berasa kesemutan. Mobil terlihat seperti semut berjalan dari tempatnya. Sedangkan, orang-orang yang berlalu-lalang terlihat seperti titik-titik noda hitam. Lebih tepatnya, seperti bintik-bintik tahi lalat yang sangat kecil.
Abista merasa ngeri sendiri. Tidak tahan lama-lama di sana karena tremor sebadan-badan, ia ikut bergabung dengan Nick, Celia, dan Suci yang sudah duduk di sofa. Dilihat dari bentuk dan kualitasnya, harga sofa bisa mencapai ratusan juta. Belum lagi dengan furniture lain dan interiornya, berapa puluh miliyar yang harus dikeluarkan untuk apartemen semewah itu?
"Wes biasa soale, Mas. Yo ndak wedi saiki," balas Celia. Lantas, perhatiannya teralihkan oleh suara bell yang berbunyi.
"Biar aku yang buka pintunya, Sayang," ucap Nick, saat Celia akan beranjak. Ia bergegas berlalu.
Abista yang mendengar, senyum-senyum sendiri. "Adem tenan, Tan, enek sing manggil Sayang."
"Gakno cepet golek bojo. Umur wes tuo gak endang golek bojo," cibir Suci.
"Cem-cemanku piye, Cel? Saiki wes rak pernah ngabari." Abista tersenyum lebar penuh binar semangat.
"Flora maksude?" tanya Celia balik dengan ekspresi jijik. "Wes masuk penjara. Mas, bakal kaget nek ngerti ceritane. Ternyata sifat dan sikap baiknya cuma kamuflase. Ndak iso diharapke."
"Maksudmu?" Abista mengernyit penasaran.
"Mas Abis, bakal ngerti ceritane. Tapi, nanti. Saiki maem sek. Ayo," ajak Celia, ketika melihat Nick, Aiden, dan Dante mengayunkan kaki menuju ruang makan. Ia beranjak berdiri. Pun dengan Suci dan Abista yang ikut berdiri.
"Dante, Aiden, makan bareng sekalian, ya," pinta Celia, saat keduanya mengeluarkan makanan dari paper bag dan ditata rapi di meja.
Aroma harum dari makanan yang masih hangat menguar semerbak, membuat cacing-cacing di perut semakin meronta-ronta. Sudah tidak sabar ingin menampung segala macam masakan yang lezat dan enak.
"Kami makan di luar saja, Nyonya," jawab Aiden.
"Aku sengaja nyuruh kalian beli banyak agar bisa makan bareng. Makan di sini saja. Tidak apa-apa." Nick menimpali.
Aiden dan Dante saling pandang, tidak enak hati akan menolak lagi. Lantas, keduanya saling mengangguk.
"Baiklah, Tuan, Nyonya," ucap Dante.
Celia meminta semuanya duduk. Sedangkan, dirinya melesat ke dapur mengambil peralatan makan. Enam piring serba putih, diatasnya ditaruh garpu dan sendok, ia bawa ke meja makan. Lantas, dibantu Nick untuk membaginya satu per satu.
Makan malam berlangsung. Dan Celia tidak suka dengan suasana hening yang terasa begitu formal, karena tidak ada yang membuka suara. Untuk mengisi obrolan agar suasana lebih bersahabat, ia menceritakan banyak hal yang terjadi selama ini. Termasuk siapa Flora dan kejahatan yang dialami.
Abista yang mendengar sangat terkejut. Tidak menyangka Flora si cantik jelita dan lemah lembut itu ternyata orang yang licik. Telah memasang tak-tik untuk menjebak adiknya sebagai ajang balas dendam terhadap Nick.
"Sekarang harus lebih hati-hati lagi dalam berteman. Kalau masih awal-awal kenal jangan langsung percaya. Jangan langsung menilai orang itu baik, orang itu jahat, orang itu sangat sempurna, apalagi menilainya dari fisik."
"Ya, iya, Tante." Celia membenarkan ucapan Suci sambil mengumpulkan nasi dan lauk di piringnya. "Tapi, kadang orang yang sudah kita kenal lama dan baik saja masih suka nusuk dari belakang? Dan di sini, secara bersamaan, aku dihadapkan dengan dua orang yang memiliki kepribadian terbalik dari pertama kenal. Contohnya Evelyn. Pertama kenal dia, dia macam nenek lampir. Aku pernah dilabrak dia gara-gara ngerebutin Nick. Terus Flora. Pertama kenal dia, dia seperti peri yang melindungiku dari serangan-serangan nenek lampir di kantor Nick. Tapi, sekarang, kelakuan mereka malah berbanding terbalik. Evelyn jadi baik, Flora jadi jahat." Ia mengangkat tangan kanan sebagai Evelyn, dan tangan kiri sebagai Flora dengan siku bertumpu meja.
"Itu makanya kita harus berhati-hati dalam berteman. Apalagi kamu mudah diambil hatinya, cepat luluh, gampang sekali dimanfaatin," timpal Suci. Sebab, Celia pernah dimanfaatkan teman-temannya semasa masih sekolah. Itu karena saking baiknya dalam berbagi dan tidak enakan untuk menolak.
"Yo mosok aku kudu mrengut, Tan? Sebagai anak yang baik, aku harus ramah, humble, menyenangkan, makanya aku bisa punya banyak teman, 'kan?" Celia melahap sisa makanan terakhir di piringnya. Mengunyahnya. Tidak lama ia bersuara lagi setelah makanan ditelan. "Tapi, aku modelan kalau udah disalahi, enggak bakal aku baiki lagi. Cut off hubungan. Dan enggak akan mengenalnya lagi."
"Ati-ati, Nick. Jangan sampai bikin kesalahan sama dia. Takutnya di-cut off dari hidupnya," ucap Abista kepada Nick.
"Untuk saat ini, Nick masih aman. Pas ada kesalahpahaman tentang Alice saja, dia langsung minta Alice pulang dari Italia. Bayangin. Dari Italia cuma disuruh klarifikasi sama aku. Tapi, tanpa Alice juga, mungkin aku enggak akan tahu kalau Papa sama Mama dibunuh Felix dan Gracie Cooper, orang tua angkatnya. Dan sekarang, semua rahasia yang sempat tersimpan selama bertahun-tahun, berhasil terkuak." Celia mengulas senyum simpul.
"Nick, masih aman." Abista mengacungkan jempol tangan kanannya.
"Tapi, Cel, Tante meh ngingetin sama kamu. Karena kamu dan Nick sudah menikah, jangan jadikan masalah kecil jadi masalah besar. Kalau kalian lagi ada masalah dan bisa diselesaikan, jangan sampai ada kata perceraian. Karena orang yang sudah berumah tangga pasti akan ada cobaannya."
"Iya, Tante. Asal bukan perempuan, masih bisa ditoleransi kok." Celia mengangguk patuh, mendengar nasihat baik untuk dirinya dan Nick.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top