Part 67

"Klien saya memang melakukan kesalahan. Tapi, tidak ada asap jika tidak ada api. Klien saya tidak akan melakukan tindak kejahatan, jika Celia tidak memancingnya terlebih dahulu. Dan ucapan-ucapan yang baru saja keluar dari mulutnya, bisa jadi itu hanya sebuah pembelaan diri karena merasa sebagai korban yang teraniaya. Yang Mulia, saya memiliki bukti jika Celia yang memancing amarah klien saya terlebih dulu." Kuasa hukum dari pihak terdakwa, Erick Abraham, mengayunkan kaki ke depan mejanya. Membuat kuasa hukum Celia mundur dan kembali ke mejanya.

Remot kontrol kecil yang tergenggam, tombol on dipencet yang langsung menyalakan layar monitor di sudut meja dirinya dan hakim. Barang bukti berupa video yang siap untuk diperlihatkan, terputar cantik di layar monitor yang telah terhubung dengan laptopnya. Memperlihatkan kericuhan antara Celia dan Erick di kantor Hernan Corp. Diawali adu argumen yang cukup sengit, lalu berakhir Celia menendang Erick dengan kepiawaian skill yang dimiliki.

Sang kuasa hukum Erick mengulas senyum lebar melihat para hakim dan jajarannya menontonnya sangat fokus. Ia sangat yakin bukti yang dimiliki bisa menjadi bahan pertimbangan dalam meringankan keputusan hukuman Erick.

"Yang Mulia, sebagai seorang lelaki yang harga dirinya diinjak-injak oleh seorang perempuan, itu wajar jika tersulut amarah sampai tidak bisa berpikir sehat. Saya rasa, klien saya berhak mendapatkan pengurangan hukuman karena tidak sepenuhnya kesalahan dari Erick Abraham. Melainkan, juga dari Celia Marvericks yang telah memancing amarahnya," ucap sang kuasa hukum Erick.

Semua mata tertuju kepada lelaki itu. Pun dengan Celia yang melemparkan sorot mata kebencian. Beralih menatap Erick dan Ellena, Celia melihat senyum licik yang terukir dari bibir mereka. Seolah mengatakan, "Mari kita lihat siapa yang akan menang di persidangan."

Ketua hakim beralih menatap Celia, ditatapnya lekat-lekat perempuan bertubuh kurus dan terlihat anggun itu, sama sekali tidak menyangka bisa menumbangkan lelaki bertubuh kekar dan lebih tinggi darinya.

Sementara, Celia yang mendapat tatapan penuh intimidasi dari sang ketua hakim, menelan ludah susah payah. Dalam diamnya ia menyembunyikan kecemasan, takut jika sang ketua hakim berhasil dicuci otaknya oleh kuasa hukum Erick. Ia pun mengumpat kesal dalam hatinya karena video itu dijadikan barang bukti!

Garrix--kuasa hukum Celia berdiri. Lantas, menimpali argumen, "Membicarakan tidak ada asap jika tidak ada api, klien saya tentu tidak akan menghajar seseorang jika tidak terusik terlebih dahulu. Apalagi sampai sangat keterlaluan. Selayaknya manusia biasa, sabar ada batasnya. Duduk perkara di sini, terdakwa Erick Abraham telah mengkhianati klien saya, Celia Marvericks, terlebih dulu. Lalu, masih terus mengganggunya sampai membuat klien saya risih, dan berakhir dengan terdakwa Erick Abraham sakit hati. Tentu itu bukan kesalahan dari klien saya. Tapi, terdakwa Erick Abraham sendiri yang menciptakan kesalahan itu ada, sampai memiliki keputusan menculik dan melakukan perencanaan pembunuhan terhadap Celia Marvericks. Bekerja sama dengan Ellena Widjaya." Suaranya terdengar tegas sembari menatap lelaki yang berprofesi sama seperti dirinya, lantas beralih menatap sang ketua hakim. "Yang Mulia, jika berkenan, saksi bernama, Evelyn, boleh berbicara. Beliau orang ketiga yang diajak bekerja sama dalam tindak kejahatan yang dilakukan terdakwa Erick Abraham dan Ellena Widjaya."

"Silakan." Sang ketua hakim mengangguk menyetujui.

Dari tempat pengunjung sidang dan duduk di urutan depan, Evelyn beranjak berdiri. Sebuah mikrofon hitam disodorkan kepada dirinya, yang langsung ia terima. Sebelum membicarakan kesaksian, Evelyn memberitahu siapa dirinya untuk Nick, Celia, Ellena, dan Erick. Semua pengakuan ia ucapkan dengan jujur, dari dirinya yang sempat menjalin hubungan persahabatan dengan Ellena sejak SMA. Menjadi sekretaris Nick dan sempat menaruh hati kepada lelaki itu, hingga berakhir cemburu buta terhadap Celia dan berniat membantu Erick untuk mendapatkan Celia kembali.

"Benar adanya, Yang Mulia, jika Ellena mengajak saya untuk menculik Celia dan membunuhnya. Saat itu saya menolak keras. Saya tidak ingin terlibat dalam tindak kriminalitas. Dan sejak saat itu, hubungan saya dan Ellena berakhir. Kami putus hubungan sebagai sahabat. Dan di sini, saya bersaksi bahwa Ellena Widjaya otak utama dalam perencanaan pembunuhan Celia Marvericks."

"Sialan! Kenapa bicara seperti itu?! Pengkhianat! Kamu juga orang jahat! Jangan sok polos, Sialan!" seru Ellena, lantang sembari berdiri. Saking terbawa emosi mendengar kesaksian Evelyn, ia lupa jika sedang menghadap jaksa. Matanya yang memerah menahan amarah, menyorot tajam kepada mantan sahabatnya. Tidak menyangka Evelyn akan menusuknya dari belakang dan lebih membela Celia.

"Harap tenang," sergah sang kuasa hukum.

Gracie yang duduk di sebelah Ellena, menarik tangan anaknya agar duduk kembali. "Ellena, kamu harus jaga sikap. Jangan menambah masalah," bisik Gracie.

"Dia mengkhianatiku. Dia sahabatku, tapi lebih membela Celia." Dengan napas menggebu, Ellena masih menatap tajam Evelyn.

"Silakan duduk kembali," pinta ketua hakim kepada Evelyn.

Dan bergantian Celia yang menatap Ellena penuh kemenangan. Kini, rasa percaya dirinya kembali memenuhi hati. Ia yakin Ellena akan menerima hukuman yang setimpal.

"Yang Mulia, di sini klien saya benar-benar menjadi korban penculikan, korban penganiayaan, dan korban percobaan pembunuhan. Dari bukti dan kesaksian, cukup menguatkan untuk terdakwa, Erick Abraham, bisa mendapatkan hukuman seberat-beratnya. Dan untuk tiga terdakwa lain, Ellena Widjaya, Felix Cooper, dan Gracie Cooper, mereka berhak mendapatkan hukuman seumur hidup atau hukuman mati karena telah melakukan pembunuhan berencana dan menghilangkan nyawa orang tua Celia Marvericks serta calon anaknya. Sedangkan, terdakwa Herlina Syakieb yang ikut andil dalam kelancaran penculikan, tetap ditindaklanjuti sesuai pasal dan hukum yang berlaku."

Suasana persidangan mulai riuh saat pengunjung sidang ikut bersuara untuk membela hak keadilan para korban.

Terutama Adam yang berseru, "Tolong tegakkan hukum seadil-adilnya untuk para terdakwa! Saya juga korban! Anak saya ditukar dan tidak mendapatkan keadilan selama hidupnya! Mereka orang jahat! Mereka pembunuh! Pembunuh!"

Ketukan palu dari sang ketua hakim dibunyikan lebih dari tiga kali untuk meredakan keriuhan yang tidak kondusif. "Harap tenang," pintanya tegas. Dan berhasil membuat suasana ruang sidang kembali senyap. "Saudari Celia, silakan kembali ke tempat duduk semula."

Celia mengangguk. Beranjak dari tempat duduk pemeriksaan, lantas menuju tempat duduk penggugat. Ia mendaratkan bokong di kursi samping Nick. Tangan yang terasa panas dingin sedari tadi langsung ditenggerkan ke paha Nick.

"Nick, aku takut kita kalah dalam permohonan. Aku tidak ingin mereka mendapatkan hukuman ringan. Mereka harus mendapat hukuman berat. Orang tuaku dan anak kita harus mendapatkan keadilan," bisik Celia.

"Kita pasti memenangkan permohonan ini." Nick menatap sang istri sembari menggenggam tangannya. Sedari tadi ia terus memerhatikannya, bisa melihat kecemesan dari raut wajah Celia.

Perempuan itu mengangguk seraya mengulas senyum tipis. Dengan jantung yang masih bertaluan dan hati nyes-nyesan tak keruan, ia beralih menatap ke arah tempat pengunjung sidang. Teresa dan yang lain tampak memberikan semangat sambil mengulas lebar. Kebahagiaan kembali merayap dalam dadanya, dan dibalas anggukan samar.

Sesaat kemudian, ketua hakim yang baru saja berunding dengan rekan-rekannya, mengetukkan palunya tiga kali menandakan jika sidang pertama ditutup, dan akan dilanjutkan ke persidangan selanjutnya.

***

Di kampung Erick, para warga berbondong-bondong berkumpul saat ada woro-woro Erick masuk dalam persidangan. Mereka sengaja berkumpul di gazebo dan jalanan depan rumah Erick untuk menonton persidangan anaknya Pak Lurah dan Celia dari ponsel. Sangat mengejutkan memang, setelah dulu dikejutkan oleh pembatalan pernikahan mereka karena Erick menghamili wanita lain.

"Lhayo to. Ancene ndak nduwe rai. Disek wis mengkhianati Celia, metengi wedok'an liyo. Malah saiki nyulik Celia mergo rak terimo Celia rabi mbek wong liyo." Seorang ibu-ibu berdaster bunga-bunga bertubuh gempal yang masih bertetangga dengan Erick, terlihat sangat geram. "Untung Nduk Celia isek waras, sehat. Bocah apik-apik mbek ayu ngono kok yo isone dikhianati. Jan getun tenan aku mbek dapurane Erick. Rak mbejaji kelakuane."

"Pak Lurah wis rak nduwe rai tenan. Tambah wirange. Saiki sak jagat raya wis do ngerti kongopo kelakuane anak'e. Lhayo to, wis gerek anteng ning kampung, gawean yo ono, ngrabi wedok'ane sing wis dimetengi. Nopo jar nusol Celia ning Jakarta?" Ibu-ibu bertubuh lebih kurus, menimpali sambil geleng-geleng heran.

"Lhayo to, Mbak. Wis lah. Aku dukung nek Erick dihukum berat. Wong kok polahe jan eram." Ibu-ibu lain menghela napas berat.

"Geton tenan aku. Ck! Mesti kampunge dewe bakal terkenal iki, bakal viral."

"Biyooh, lhayo nek terkenale sing apik. Lah iki opo to? Kasus kriminal besar! Nggilani tenan! Mbok yo delok sopo lawane."

"Wong wes gelap mata ndak ileng opo-opo."

"Lha iki piye to pengacarane? Isek dukung sing salah. Jarke lak wis!"

"Meneng-meneng Pak Habibi mbayar pengacara. Gayane to nek omong wis rak nguros anak'e sing bejat! Wis ngko, kapan hukumane Erick ringan terus muleh ning kampung iki, kudu entok sanksi sosial."

Dari balik jendela ruang keluarga, Zaenab--ibu Erick, mengintip para tetangga yang sedang bergosip dari gorden yang disingkap sedikit. Semakin malu untuk dirinya keluar dari rumah. Sejak Abista mengamuk di rumahnya perkara Erick yang sudah menyakiti Celia waktu itu, rasa malu dan tak punya muka membuatnya sering mengurung di rumah.

Bukan sekali dua kali ia mendengar gosip panas dari para tetangga. Yang menyindirnya tentang perilaku Erick pun sering ia dapat. Lalu, sekarang, bertambah dengan persidangan sang anak yang disiarkan sampai ke penjuru Indonesia tahu, rasa malu semakin tak terobati.

Kucuran air mata meluruh deras. Ia tergugu keras sembari melangkah tertatih menuju sofa. Sebagai seorang ibu, ia merasa sangat gagal mendidik anak lelakinya yang dibesarkan dan dirawat penuh kasih sayang.

Di tempat lain, tepatnya di rumah Irawan, orang-orang yang berada di sana berseru geram. Mereka tentu sangat mendukung dan mendoakan Celia agar bisa memenangkan keadilan untuk dirinya dan orang tuanya yang ternyata dibunuh secara berencana.

"Aku kudu mareng Jakarta, Tan. Misake adikku. Dek'e butuh dukungan." Sambil menahan geram, Abista berucap sungguh-sungguh. "Erick kudu entok hukuman berat. Ndak iso dijarke. Wes tak wanti-wanti ojo nyakiti Celia, malah kewanen. Jancuk tenan! Uasuu! Celeng! Dapurane pengacarane yo jancuki! Wong salah dibelo mati-matian! Dibayar piro to lambene?!"

"Eling, Bis. Ucapanmu saru tenan," tegur Suci.

"Aku gek jengkel! Bongko! Malah Kon eling. Ndak iso! Kudu misoh!" Sambil berdiri dan berkacak pinggang, Abista merasakan seluruh tubuh panas dan gerah. Bak terpanggang dalam api besar. "Wis, Tan. Sore iki aku meh mangkat ning Jakarta. Lewat jalur udara. Nek Tante mbek Om ndak iso melu, aku mangkat dewe."

"Tante melu." Suci berkata cepat.








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top