Part 64
🍒Group Sibling Goals🍒
Saudara-saudaraku semua, harap kehadirannya di rumah orang tuaku jam sepuluh pagi ini. Tidak ada yang boleh izin.
PENTING!
Nick mengirim pesan di grup keluarga sambil duduk santai di ruang makan apartemennya. Ia, Celia, dan kedua bodyguardnya sudah kembali dari puncak kemarin sore, setelah menghabiskan sisa waktunya bermain-main di sana.
Tidak lama, berdatangan balasan pesan yang sama dengan pertanyaan, "Ada apa?"
Lalu, Nick menulis balasan lagi.
Datang dulu. Kalian akan tahu berita apa yang akan kuberitahu. Bagi yang tidak datang, kalian tidak akan mendapatkan informasi penting ini. Dan tidak akan ada yang memberitahu yang tidak datang.
Kini, serentetan balasan Oke, memenuhi halaman grup chat keluarga.
Celia yang duduk di sebelah Nick, ikut menyimak dari ponselnya sendiri. "Kira-kira bakal gimana reaksi Om Adam dan Tante Niken, ya?" tanyanya sambil meletakkan ponsel ke meja. Kedua tangannya beralih menangkup cangkir keramik berisi kopi yang belum lama diseduh.
"Yang pasti, semua akan kaget dan tidak menyangka kalau Alice anak Om Adam dan Tante Niken."
Celia mengangguk membenarkan. "Semoga mereka bisa hidup bahagia setelah ini. Terutama Alice dan Nathan."
"Iya, Sayang." Nick menenggerkan salah satu tangannya ke kepala Celia, lantas mengusap lembut kepala istrinya. Ia mengulas senyum sambil menatap wajah cantik istrinya, yang semakin perhatikan, semakin manis. Tidak pernah membosankan.
"Habiskan dulu sarapannya. Terus mandi dan bersiap-siap ke rumah Mama-Papa," pinta Nick.
Celia langsung menatap Nick dan mengangguk. Ia pun membalas senyuman lelaki, sebelum akhirnya meminum habis kopinya yang sudah hangat.
Begitu pun Nick, segera menandaskan minumannya. Sandwich yang masih tersisa dua potong, ia berikan satu ke Celia dan satu dimakan dirinya.
Satu jam kemudian, setelah sarapan, keduanya sudah berpakaian rapi untuk pergi ke rumah orang tuanya, dengan Celia memakai dress tak berlengan sebatas lutut, dan Nick berpakaian kasual--kaus pendek serta celana kain pendek. Tidak ada yang berlebihan dari penampilan keduanya. Apalagi sekarang sudah merasa aman, bebas dari kejaran anak buah Ximon. Meskipun begitu, keduanya masih membutuhkan Aiden dan Dante. Lebih tepatnya Nick yang masih ingin istrinya mendapat penjagaan ketat.
"Senang rasanya bisa menjalani hidup normal lagi," ucap Celia, yang kini sudah di perjalanan menuju rumah mertuanya. "Nick, apa aku boleh ikut kerja lagi? Aku kangen pingin kerja lagi. Tapi, kasih aku pekerjaan. Jangan hanya datang ke kantor saja."
Nick yang sedang menyetir, menatap istrinya sekilas. Lantas mengangguk sembari mengulas senyum. "Boleh. Besok ikut kerja lagi."
"Makasih." Celia tersenyum lebar. Dan hal pertama yang akan ia lakukan bertemu Evelyn. Ia ingin meminta maaf secara langsung kepada perempuan itu atas kejadian yang telah menimpa papanya. Ia juga ingin memperbaiki pertemanannya kepada Evelyn lebih baik lagi.
Namun, saat teringat Flora, senyumnya menghilang sudah. Perasaan jadi campur aduk tak keruan, antara sedih, benci, kecewa. Karena orang yang selama ini ia percaya dan dianggap baik, ternyata lebih jahat Evelyn.
Ya, jika disuruh memilih. Celia lebih memilih orang seperti Evelyn. Tidak munafik. Apa adanya. Benci diperlihatkan kebenciannya. Tidak pura-pura baik, tapi dalamnya sangat busuk dan berani menusuk dari belakang.
Setengah jam kemudian, Nick, Celia, dan kedua bodyguardnya tiba di kediaman orang tuanya. Sudah jam setengah sepuluh, terlihat beberapa mobil telah terparkir di jalanan panjang penghubung rumah dari pintu gerbang. Namun, itu belum semuanya yang datang.
Setelah mobil terparkir, Nick dan Celia keluar, dengan Celia menenteng amplop cokelat besar berisi hasil tes DNA dan dua flashdisk. Begitu pun Aiden dan Dante yang mengendarai mobil lain. Lantas, bersama-sama, mereka mengayunkan kaki menuju rumah. Masih di pintu utama, suara obrolan hangat dan canda-tawa yang renyah, terdengar begitu ramai.
Langkah kaki keempatnya memasuki rumah berlantaikan marmer putih mengkilap, dan langsung menuju ruang keluarga tempat orang-orang berkumpul. Sapaan sorakan pun menyapa Nick dan Celia karena keduanya datang lebih telat dibanding mereka yang sudah datang.
"Minta kami datang jam sepuluh. Pelakunya malah baru datang," ucap Freya.
"Yang penting belum jam sepuluh," kilah Nick. Ia memerhatikan orang-orang yang sudah datang, belum terlihat batang hidung Adam dan Niken. "Om Adam dan Tante Niken belum datang?" tanyanya.
"Bentar lagi paling sampai. Tahulah, rumah mereka paling jauh dari kita-kita."
Nick mengangguk paham.
"Sebenarnya ada apa, Nick? Kenapa mengundang kami berkumpul secara mendadak seperti ini?" tanya Liam, tepat Nick dan Celia mendaratkan bokong ke sofa.
"Ada hal penting yang harus kalian tahu," balas Nick. Kini, ia beralih mencari keberadaan Alice. "Alice di mana, Ma? Dia sudah diberitahu harus ikut kumpul, 'kan?" tanyanya.
"Sudah. Dia masih di kamar. Tadi mandiin Nathan setelah selesai sarapan."
Nick mengangguk lagi.
Arga menyahut, "Ngapain kamu cari-cari Alice? Jangan-jangan suka sama dia."
"Bualungmu ta, Mas." Celia yang langsung membalas sambil menyipitkan mata.
"Duuh, lupa kalau pawangnya galak gitu." Arga menyengir. "Bercanda, Cel. Jangan marah."
Celia mencebik. Ia meletakkan amplop cokelat di pangkuannya ke meja. Cukup lama menunggu semua sanak keluarga Nick berkumpul seluruhnya. Dan hampir jam setengah sebelas, akhirnya mereka pun telah datang semua.
Kini, Celia justru merasa panas dingin, gugup, dan nerves, begitu melihat Adam, Niken, dan Alice. Ia meremas kedua tangannya yang mengeluarkan keringat dingin. Masih tidak bisa tenang, ia menggenggam tangan kanan Nick dan meremasnya lembut.
"Nick, ayo." Harden mengangguk sekali untuk memberi dukungan kepada anaknya agar segera berbicara.
Suasana yang sebelumnya ramai pun menjadi hening. Semua terdiam. Begitu mendengar Harden meminta Nick berbicara, semua mata tertuju kepada lelaki itu.
Jantung Nick yang sedari tadi sudah berdebar kencang, sekarang semakin bertaluan tak karuan. Ia juga merasakan gugup dan nerves untuk memberitahu informasi penting perihal Alice dan Ellena.
Sebelum berbicara, Nick menatap semua orang yang ada di sekitarnya. Ia menarik napas panjang, diembuskan perlahan, lantas dengan mantap berkata, "Alice dan Ellena tertukar. Anak kandung Om Adam yang sebenarnya adalah, Alice. Bukan Ellena."
"Apa?!"
Sontak, semua orang terkejut. Membeku dan tercengang selama beberapa detik. Terlebih Adam, Niken, dan Alice, seperti orang yang terhipnotis--kehilangan kesadaran.
Sesaat kemudian setelah kesadaran kembali memenuhi otak, Adam mengerjap untuk menyegarkan pikiran. Lalu, ia berkata sambil tertawa miris, "Nick, jangan bermain-main untuk masalah ini. Kami tahu Ellena bukan anak kandung kami, dan Alice anak yang tidak diharapkan dari keluarga Cooper. Tapi, jangan gunakan Alice untuk menggantikan anak kami yang tidak tahu di mana keberadaannya sekarang."
"Nick, kita semua tahu seperti apa sifat Felix Cooper. Dia orang yang licik. Dan Alice anak dari Felix Cooper dan Gracie Cooper. Bagaimana bisa, sekarang mengaku-ngaku sebagai anaknya Adam dan Niken? Apa Alice yang memintamu untuk mengatakan ini kepada kami? Kami tahu kamu sangat baik dengan Alice, Nick. Kamu sangat peduli dengannya. Tapi, jangan terpengaruh dengan rencana liciknya juga. Itu pasti akal-akalannya saja agar bisa masuk ke keluarga kita dengan menggunakan kesempatan yang ada." Wisnu yang paling benci dengan Felix, tentu tidak akan mudah percaya atas apa yang diucapkan keponakannya.
"Om, aku tidak asal bicara. Alice juga tidak pernah mempengaruhi otakku perihal ini. Dia tidak pernah memintanya," balas Nick.
"Lalu, kamu mencoba membodohi kami dengan mengatakan Alice anak Adam? Dia dari keluarga licik. Sudah pasti otaknya juga licik." Wisnu masih tetap tidak ingin mempercayainya.
"Apa bedanya dengan Ellena, Om? Dia hidup dari keluarga baik-baik, tapi sifat dan sikapnya sangat bejat. Karena darah yang mengalir di tubuh Ellena, darah dari orang licik dan bejat. Karena Ellena anak Felix dan Gracie." Nick agak meninggikan oktaf suara.
"Nick, hentikan main-mainnya. Kami memang sedang mencari anak kandung kami yang entah di mana. Tapi, bukan berarti kami akan menerima orang sembarangan untuk menggantikan anak kami yang belum ditemukan. Kami semua tahu bagaimana kehidupan Alice. Dia memang tidak beruntung. Tapi, jangan karena kehidupannya yang malang, lalu dijadikan sebagai pengganti Ellena." Niken ikut bersuara. Sama seperti Adam dan Wisnu, ia tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapan Nick. Apalagi mengetahui siapa orang tua perempuan itu.
"Nick, Celia, kenapa kalian setega ini sama aku, menjadikan aku sebagai anak Om Adam dan Tante Niken yang hilang? Aku tidak pernah meminta kalian melakukan ini. Kenapa kalian tidak memberitahuku lebih dulu, dan tidak meminta izinku untuk menggunakan namaku. Kalau seperti ini, aku yang tidak punya muka di keluarga kalian." Alice tak mampu membendung air matanya. Hati sangat sakit bak terkhianati. Lelucon macam apa yang sedang dipermainkan Nick dan Celia?
Ia tahu dirinya hanya bergantung dan menumpang di keluarga Nick. Ia tahu orang tuanya tidak pernah mengharapkan kehadirannya. Ia juga tahu jika Adam dan Niken sedang mencari keberadaan anak kandungnya. Tapi, bukan berarti Nick dan Celia bisa seenaknya menjadikan dirinya anak dari Adam dan Niken, yang sedang kehilangan anak kandungnya.
Rasa tak enak hati semakin melekat di hati Alice. Ia masih tahu diri. Ia juga masih punya harga diri.
Sementara, Nathan yang melihat mamanya menangis terisak-isak langsung memeluknya erat. Bocah lelaki itu tidak paham pembicaraan para orang tua, tapi ia menganggap semua orang sedang jahat dengan mamanya.
Celia yang tidak tahan melihat keributan dan saling menyalahkan, langsung membuka suara, "Yang dikatakan Nick benar. Kami sudah mencari tahu semua bukti dan kebenarannya. Orang tuaku meninggal karena kecelakaan, dan itu ulah dari Ellena, Felix, dan Gracie. Mereka sudah merencanakannya karena Mama dan Papa tahu soal pertukaran anak kalian. Itu alasan Felix dan Gracie menyingkirkan orang tuaku agar rahasianya tidak terbongkar. Aku memiliki bukti pengakuan mereka. Bahkan, Ellena juga sudah tahu kalau sebenarnya dia bukan anak Om Adam dan Tante Niken."
"Tidak mungkin. Itu tidak mungkin." Adam menggeleng keras di tengah ketidakpercayaannya. Dada bak tertekan ribuan ton besi, terasa sesak dan berat.
"Om, kami ada buktinya." Celia tetap bersikeras mencoba meyakinkan mereka.
"Yang dikatakan Nick dan Celia benar, Adam, Niken." Harden menyambung ucapan menantunya, yang justru langsung mendapat tatapan tak mengenakkan dari Adam dan Niken.
"Kamu sudah tahu, tapi tidak memberitahu kami, Harden? Teresa juga sudah tahu?" Adam yang menatap Harden, beralih menatap Teresa.
Perempuan itu mengangguk.
"Kenapa kalian tidak memberitahu kami kalau sudah tahu?!" Adam naik pitam. "Selama ini aku dan Niken sudah berusaha mencari keberadaan anak kami. Kalian juga tahu bagaimana pusingnya kami. Lalu, kenapa masih disembunyikan? Apa sebenarnya kalian juga sedang merencanakan untuk mengasihani kami, dengan menggantikan Alice sebagai anak kami?"
"Adam, tolong redakan emosi kamu. Kita bicara baik-baik. Jangan pakai emosi. Kami semua diam karena sedang membantu kalian untuk mencari bukti-buktinya," ujar Teresa, yang ikut pusing melihat reaksi tak terduga dari Adam, Niken, dan Wisnu. Ia pikir, mereka akan bahagia setelah mendengar bahwa Alice anak kandung Adam dan Niken. Namun, nyatanya, mereka justru tidak mempercayainya dan menganggap jika itu hanya permainan semata.
"Nick." Celia mendesah lirih sambil menatap Nick.
"Tante Resa, Om Harden, Nick, Celia. Cukup. Cukup. Terima kasih atas kebaikan kalian kepadaku selama ini." Alice menengahi perdebatan. Ia tidak ingin menjadi sumber perpecahan dari keluarga baik-baik dan selalu akur. "Aku memang terlahir dari keluarga yang membenciku. Tapi, aku juga tidak pernah meminta kalian untuk mencarikanku orang tua lain."
"Alice." Celia menggeleng. Ia mengambil amplop cokelat yang tadi dibawanya. "Ini bukti yang sudah kami dapatkan." Celia mengangkat amplop dalam genggaman tangan kanannya. "Awalnya, aku hanya mencurigai Felix dan Gracie Cooper kalau mereka yang membunuh orang tuaku."
Seketika suasana menjadi hening. Semua terdiam, tatapan tertuju ke Celia dan amplop.
"Sebelum kecelakaan terjadi, aku sempat mendengar pembicaraan Mama dan Papa. Mereka menyebut nama Felix Cooper dan Gracie Cooper. Walaupun aku tidak mendengar jelas topik pembicaraan mereka, tapi aku tahu kalau keduanya sedang memiliki masalah dengan Felix Cooper dan Gracie Cooper. Suara kegelisahan mereka tidak bisa membohongiku. Lalu, selang beberapa hari, mobil yang ditumpangi Mama dan Papa mengalami kecelakaan. Aku pikir, itu murni kecelakaan. Ternyata ada yang sengaja membunuhnya."
Ketegangan dalam diri Wisnu, Adam, dan Niken mulai mereda. Mereka tidak menyela ucapan Celia, hanya diam, dan ingin mendengar kelanjutannya.
Celia memerhatikan satu per satu orang-orang di hadapannya. Tidak ada yang berbicara, lalu ia melanjutkan ucapannya lagi, "Tapi, apa kalian ingin tahu, apa yang aku dengar saat Ellena menculikku? Dia bilang, kalau kecelakaan yang dialami Mama-Papaku itu atas ulahnya. Dia yang menyebabkan. Lalu, kedatangan Alice ke sini dan aku mengetahui nama orang tuanya, aku langsung teringat nama orang-orang yang disebutkan Mama dan Papa, yang sudah membuat mereka gelisah. Tentu kecurigaanku langsung mengarah ke mereka. Aku mencari tahu semua informasi tentang Cooper. Dibantu Nick, Aiden, Dante, Papa Harden, dan Elkan--orang suruhan Papa Harden. Kami berhasil mendapatkan semua buktinya. Dan itu yang membuat kami berhasil menjebloskan mereka ke penjara."
Adam langsung beranjak dari duduknya dan menghampiri Celia untuk melihat bukti yang dibawa. Sangat penasaran. Dengan gerakan tergesa, ia membuka amplop. Terdapat berlembar-lembar kertas, keterangan dari hasil tes DNA di suatu rumah sakit besar. Kertas itu ia keluarkan semua, dijejerkan ke meja untuk memudahkan dirinya membaca.
Niken, Wisnu, dan Alice, yang penasaran, ikut beranjak dan bergabung dengan Adam. Lalu, disusul yang lain, berdiri di belakang empat orang yang berjongkok di samping meja.
"Bagaimana bisa? Kalian pasti mengada-ada dengan hasil tes DNA ini?" Adam masih tidak mempercayai.
Celia dan Nick mendesah. Sudah berusaha susah payah untuk mendapatkan bukti, tapi masih tidak cukup untuk membuat mereka percaya.
"Bagaimana kalian bisa mendapatkan sampel tes DNA dari Felix dan Gracie? Mereka tidak mudah didatangi orang tak dikenal?" tanya Wisnu, ingin memastikan. "Atau kalian membayar orang laboratorium untuk mendapatkan hasil positif dalam kecocokan tes DNA ini?" lanjutnya.
"Om, selama beberapa minggu ini ada banyak hal yang kami lalui. Yang kami lakukan. Tanpa kalian semua tahu. Niatan awalku memang untuk mencari bukti, apakah benar Felix dan Gracie yang membunuh kedua orang tuaku? Tapi, yang aku dapatkan juga itu. Dan alasan mereka membunuh orang tuaku untuk menutupi rahasia besarnya. Kenapa kalian sulit untuk percaya kalau Alice benar-benar anak kandung Om Adam dan Tante Niken? Bukti sudah jelas."
"Celia, kami sudah mencari tahu informasi dari rumah sakit. Dan kami tidak mendapatkan hasil apa-apa," balas Adam.
"Aku tahu, Om. Aku tahu. Itu sebabnya, kami mengumpulkan semua bukti yang valid sebelum memberitahu kalian. Kami juga berhasil mengambil bukti rekaman CCTV dari rumah sakit tempat Tante Niken dan Gracie melahirkan dua puluh enam tahun lalu. Di CCTV terlihat jelas Gracie menukar bayi."
"Bagaimana bisa kalian mengambil bukti CCTV dari rumah sakit? Aku sudah mencobanya dan selalu ditolak. Mereka tidak pernah ingin memperlihatkan rekaman CCTVnya ke kami." Adam masih sulit untuk percaya. Bahkan, bukti tes DNA pun masih kurang meyakinkan.
"Dengan melakukan penekanan dan pengancaman menggunakan kekuasaanku sebagai anak pemilik stasiun televisi yang siap menyiarkan berita buruk tentang rumah sakit tersebut, pihak rumah sakit tidak bisa berkutik." Nick membalasnya.
Celia melanjutkan ucapannya yang sempat tertunda kepada Wisnu. "Dan aku bisa masuk ke rumah Felix dengan mudah, Om. Ceritanya panjang. Lebih baik kalian menonton video yang tersimpan di flashdisk itu," pintanya.
"Laptop! Laptop!" pinta Adam, tergesa.
Teresa langsung berlari ke ruang kerja suaminya, mengambil laptop yang tergeletak di atas meja. Lalu, kembali ke ruang keluarga lagi. Laptop dalam dekapannya langsung diserahkan ke Harden untuk memudahkannya membuka kode yang tertera.
"Pa, yang ini dulu. Ini video pengakuan Gracie." Nick menyerahkan salah satu flashdisk hasil penyelidikan Celia.
Papanya menerima. Flashdisk pun segera ditancapkan ke laptop. Sesaat kemudian, dokumen berisi video langsung diputar. Lantas, laptop dihadapkan ke Adam, Niken, Alice, dan Wisnu. Orang yang di belakang mereka tidak ingin ketinggalan melihat, semakin merapat dan menajamkan tatapan serta pendengaran.
Semua mulai terfokus dengan video di dalam laptop itu. Celia yang menyamar sebagai orang indigo, dibantu oleh Aiden yang menyamar sebagai ustadz, dan Dante sebagai asisten Aiden.
"Itu pertemuan keduaku dengan Felix dan Gracie, setelah aku pura-pura jatuh di depan rumah mereka dan berhasil masuk ke rumahnya, lalu aku menyamar sebagai orang indigo yang bisa melihat semua makhluk halus di rumah mereka. Tidak ada rekamannya," jelas Celia, di tengah semua orang fokus menonton videonya.
"Sialan! Jadi ini permainan mereka?!" Adam mengumpat keras. Tubuh merosot lemah tak berdaya.
Begitu pun Niken dan Alice. Tubuh keduanya melemas. Tangis pun semakin pecah. Tidak menduga dan masih sulit dipercaya jika sebenarnya keduanya memiliki hubungan darah.
"Kenapa kami bisa menyelidiki Alice sebagai anak Om Adam dan Tante Niken, karena mereka memiliki kemiripan. Celia yang notice lebih awal. Dari dulu kejelian dia dalam memerhatikan apa pun tidak pernah melesat dan tidak diragukan. Untuk memastikan keraguan Celia, akhirnya kami melakukan penyelidikan secara diam-diam dari kalian," jelas Nick.
Alice dan Niken semakin tergugu dan saling pandang.
"Jadi, kamu benar anakku, Alice?" tanya Niken, suaranya bergetar di sela tangisnya.
"Dan Tante, Tante, Mama kandungku?" tanya Alice balik, semakin tergugu.
Lantas, keduanya saling menghambur berpelukan dan sangat erat. Tangisnya pun semakin pecah. Raungannya yang keras terdengar begitu menyayat, membuat semua orang di sekitarnya ikut menumpahkan tangis penuh haru.
Adam pun ikut memeluk Alice dan Niken, sangat erat. Guguannya yang keras membuat tubuh bergetar hebat. Tidak pernah menyangka jika anak kandungnya sudah sedekat itu dengan dirinya, tapi ia justru meragukan bahwa Alice bukan anaknya. Bahkan, baru saja ia lakukan. Teringat kehidupan Alice yang sangat menyedihkan, perih di hati Adam semakin bertambah.
"Maafkan kami, Alice. Maafkan kami." Suara Adam tersendat-sendat, napasnya tersengal-sengal. "Maafkan kami yang telat mengetahui ini semua," ucapnya, lantas ia mengecup kepala Alice dalam-dalam dan cukup lama.
Alice yang masih terkejut, belum bisa berkata apa-apa lagi. Ia bahagia mengetahui Adam dan Niken orang tua kandungnya. Tapi, juga sangat sedih karena sudah bertahun-tahun berpisah dari mereka dan menerima banyak luka kehidupan dari dua monster berwujud manusia.
"Mommy."
Suara Nathan berhasil mengalihkan perhatian tiga orang yang masih berpelukan erat, lalu saling mengurai untuk melihat bocah lelaki yang sudah berdiri di sampingnya.
"Cucuku." Niken langsung meraih Nathan ke dekapannya, dipeluk erat bocah lelaki yang masih tidak paham dengan situasi yang terjadi. Terbayang kehidupan keduanya penuh kepahitan, rasa bersalah semakin menggerogoti hatinya. Tak hentinya, ia mengusap-usap kepala Nathan dan terus mengecupi kening bocah itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top