Part 60
Udara di puncak terasa begitu dingin dan menyejukkan. Berdiri di depan dinding kaca yang langsung menghadap hamparan kebun teh, Celia jadi teringat saat masa-masa kedua orang tuanya masih ada. Bersama mereka dan keluarga Nick, ia sering sekali menghabiskan waktu libur panjang di villa puncak Bogor. Villa dua lantai yang cukup luas, memiliki banyak kamar, berlantaikan kayu, selalu menjadi spot utama berkumpul bersama keluarga besar. Bukan hanya dua keluarga yang datang, tetapi keluarga Nick yang lain juga ikut datang meskipun tibanya di hari yang berbeda.
Yeah, termasuk Ellena.
Dan hari ini, empat hari setelah kasus pengeroyokan yang dialami, untuk pertama kalinya Celia mendatangi villa peninggalan orang tuanya yang dibeli bersama orang tua Nick, setelah sekian tahun tidak mendatangi. Villa itu masih sangat terawat. Ia sudah mengelilinginya dari beberapa menit lalu sambil menunggu seseorang bangun dari ketidaksadarannya.
Tidak ada yang berubah dari villa itu. Setiap sudutnya masih sama, hanya tanaman sekitarnya saja yang agak berbeda. Dan, bertambah ternak kuda sekaligus lapangannya milik keluarga Nick pribadi. Ia belum sempat mendatangi ternak kuda karena harus berjaga di tempat.
Awalnya, villa itu hanya akan dibayar Dallas, yang langsung tertarik saat berkunjung. Akan tetapi, Harden mengusulkan ingin membayarnya juga karena sangat menyukai bangunan serta lokasi villa tersebut. Dan berakhir, villa itu dibayar bersama-sama dengan pembagian kepemilikan lima puluh persen Dallas, dan lima puluh persen Harden. Sertifikat pun tidak diatas namakan keduanya, tetapi Celia dan Nick.
Tanpa orang tahu, sesungguhnya Dallas dan Harden memang bersepakat untuk mempersatukan kedua anaknya dengan cara mempererat tali silaturahmi, dan tak perlu dipertanyakan lagi kenapa hubungan keduanya lebih dari saudara.
Sementara Celia berpikir, mungkin kelahiran dirinya di dunia memang sudah ditetapkan untuk Nick. Karena lelaki itu yang paling sering didekatnya, yang paling sering mengisi harinya, bahkan hatinya. Meskipun sering berkelahi dan tak pernah akur, siapa sangka setelah berabad-abad tidak bertemu dan memiliki pasangan sendiri, yang dinikahi tetap Nick.
Jodoh memang tidak ada yang tahu. Meskipun sudah terpisahkan oleh jarak dan waktu yang cukup lama, jika Tuhan sudah berkehendak tetap akan dipersatukan kembali entah bagaimana caranya.
Celia mengulas senyum tipis mengingat perjalanan hidupnya yang terasa unik. Kenangan indah, sedih, sakit, bahagia, gembira, dan ekstrim, telah ia lalui semua. Dan sekarang dirinya justru sedang terjebak di kehidupan gelap penuh kriminalitas.
Napas berat ia embuskan.
"Nyonya, dia sudah sadar."
Mendengar suara Aiden, Celia menoleh ke belakang. Seseorang yang ia tahan diikat di kursi, persis yang ia alami saat diculik. Berada di kamar pojok lantai bawah, samping ruang keluarga.
Dengan langkah pasti, Celia menghampiri. Lantas, duduk di kursi depannya seraya mengangkat kaki kanannya ditopangkan ke kaki kiri. Sedangkan, kedua tangan bersedekap.
"Celia, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu berbuat seperti ini kepadaku?"
Pertanyaan perempuan itu berhasil membuat Celia tertawa mengejek. "Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Flora." Detik itu juga ekspresinya berubah dingin. Tatapannya menajam. "Siapa Ximon untukmu? Apa selama ini kamu menjadi mata-mata lelaki itu dan pura-pura kerja untuk Nick?" tanyanya dingin.
"Celia, kamu bicara apa? Aku tidak kenal siapa Ximon. Dan aku tidak pernah menjadi mata-mata orang lain untuk Pak Nick." Flora memperlihatkan ekspresi terkejut dan bingung.
"Floraaa! Floraaa!" Celia beranjak berdiri, berjalan mondar-mandir di hadapan perempuan itu dan masih bersedekap. "Selama ini aku percaya dengan kebaikanmu. Dengan kepolosanmu. Dengan kedewasaanmu. Bahkan, aku sudah menganggapmu seperti saudara sendiri. Kamu yang paling baik denganku, dari pertama aku masuk kerja di kantor Nick. Kamu yang selalu ramah denganku. Kamu yang selalu membelaku dari cecaran karyawan-karyawan yang menghinaku. Aku pikir, kamu orang baik, Flora. Orang baik! Sampai aku mengenalkanmu ke Mas Abis. Tapi, ternyata, kamu tidak lebih dari ular berbisa. Serigala berbulu domba."
Tak disangka, Celia mendapat tanggapan menantang dari Flora yang sekarang sedang tertawa terbahak-bahak. Ia pun berhenti mondar-mandir dan menatapnya lekat. Melihat cara Flora tertawa, persis seperti orang gila.
"Jadi kamu sudah tahu siapa diriku, Celia? Kecerdasanmu memang pantas diacungi jempol. Aku pikir, aku sudah bisa menjaga rahasiaku dengan baik selama ini. Ternyata setelah kedatanganmu ke sini, penyamaranku sangat cepat terbongkar." Flora masih tergelak. "Jadi, kamu ingin tahu siapa diriku yang sebenarnya? Siapa diriku untuk Ximon?"
Perempuan itu menghentikan bicaranya. Sedangkan, Celia sangat menunggu kelanjutannya. Aiden yang berdiri di depan ranjang, dan Dante berdiri di depan pintu yang tertutup, ikut menunggu kelanjutan ucapan perempuan yang dikenal baik sebagai teman nyonyanya.
"Aku ... Kakak Ximon. Kakak dari adik yang sudah dipenjarakan Nick. Karena Nick, adikku menderita di penjara. Dan aku tidak terima. Paham?"
"Adikmu memang pantas dipenjara! Jangan buta atas apa yang sudah diperbuat Ximon ke Alice!" seru Celia. "Ah! Bahkan, kamu pura-pura tidak tahu siapa Alice saat aku bertanya kepadamu."
"Alice tidak akan menderita kalau menerima Ximon! Tapi, perempuan sok alim itu yang membuat dirinya sendiri menderita!"
Mendengarnya, darah Celia terasa mendidih tak karuan sampai membuat tubuhnya panas dan sangat gerah. "Kamu perempuan! Di mana hati nuraninya sebagai sesama perempuan?! Adikmu sudah menganiaya Alice! Memerkosanya sampai dia hamil dan diusir! Emang keluarga biadab kalian semua!"
Celia langsung menendang kursi yang diduduki Flora. Lalu, ia mendekat sambil menunjuknya. "Kamu bilang Alice tidak akan menderita jika menerima Ximon. Apa kamu ingin merasakan, bagaimana rasanya dianiaya dan diperkosa orang yang tak disukai?" Belum juga Flora menjawab, ia sudah menambahkan ucapannya lagi. "Baik! Akan kukabulkan. Dan kamu akan merasakan bagaimana menderitanya Alice saat dianiaya oleh adikmu yang dibantu teman-temannya. Tunggu orang-orang itu datang untuk menikmati tubuhmu, Flora!"
"Kamu tidak akan berani melakukan! Ximon akan datang menyelamatkanku!"
"Percaya diri sekali, Nona." Celia menyunggingkan senyum sinis. "Aku bisa melakukan apa pun yang ingin kulakukan! Memenjarakan Ellena, Felix, Gracie, itu bisa kulakukan dengan mudah karena mereka sudah membunuh orang tuaku! Dan kamu ... kamu akan merasakan apa yang dirasakan Alice, yang sudah dilakukan oleh adikmu!"
Celia duduk lagi di kursi yang tadi. Salah satu kaki ia angkat dan ditopangkan ke kursi Flora.
"Untuk cuci tangan, kamu ingin memanfaatkan Evelyn? Menyuruhnya membawaku ke Ximon untuk dijadikan alat balas dendamnya kepada Nick?" Celia menatapnya tajam. "Kalian terlalu bodoh! Bodoh yang sok pintar! Ingin berbuat licik tapi kurang tak-tik! Kalian pikir, aku orang kampung yang bisa dibodohi begitu saja? Flora, kamu salah milih lawan. Seharusnya kamu sudah paham bagaimana sifatku. Siapa pun yang mengganggu hidupku, hidup orang-orang terdekatku, aku tidak pandang bulu untuk memberinya pelajaran yang pantas diterima. Apa kejadian waktu aku memberi pelajaran kepada Erick, hanya dianggap main-main saja? Dan asal kamu tahu, lelaki itu juga sudah mendekam di penjara. Dan sebentar lagi ... kamu akan menyusulnya mendekam di penjara."
"Tidak ada bukti untukmu bisa membawaku ke penjara, Celia." Flora membalas tatapan tajam Celia.
"Tidak ada?" Celia tertawa mengejek. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jaket. Sesaat kemudian, memutar video yang dimilikinya tentang Flora dan Ximon, lantas diperlihatkan ke perempuan itu. "Rencana jahatmu dengan Ximon yang ingin menculikku. Dan satu lagi." Ia mengganti video CCTV yang didapat dari rumah sakit tempat papanya Evelyn dirawat. "Kamu yang melepas selang oksigen di hidung Papanya Evelyn. Untuk apa? Untuk memberitahu ke Evelyn kalau ancaman yang diberikan Ximon tidak main-main? Di sini, kamu menyamar sebagai dokter. Tapi, aku bisa melihat jelas ini dirimu, Flora. Walaupun wajahmu ditutup masker, kamu tidak bisa membohongi kami yang sudah paham wajahmu."
Melihat itu, tubuh Flora menegang. Dari mana Celia mendapat video dirinya dan Ximon? batinnya.
"Masih mau berpura-pura bersih, hah?!" lanjut Celia.
Namun, perhatian mereka teralihkan oleh suara helikopter yang begitu bising di atas villa. Semakin lama, suara helikopter itu semakin jelas, dan semakin turun, lebih dekat. Celia, Aiden, dan Dante langsung mengecek ke luar.
Pohon-pohon yang terkena sepoian angin dari baling-baling yang berputar kencang tampak terombang-ambing. Tidak lama, helikopter itu mendarat di lapangan kuda. Lalu, Nick keluar dan berlari kecil keluar dari lapangan kuda. Setelahnya, lelaki itu berlari kecil melewati jalanan setapak terbuat dari bebatuan di tengah-tengah kebun teh, menanjak dan agak berkelok.
Celia beranjak dari tempatnya, menghadap Flora kembali. "Sebentar lagi kamu akan mendengar kabar mengejutkan, Flora." Ia menyunggingkan senyum sinis. "Apa kamu masih yakin, Ximon bakal menyelamatkanmu?" Ia berjalan memutari perempuan itu. "Sebenarnya aku masih bisa melakukan negoisasi terhadap kamu dan Ximon agar tidak menggangu hidup kami lagi. Capek tahu, setiap hari harus main kejar-kejaran dengan orang suruhan Ximon dan bertarung untuk menyelamatkan diri. Tapi, setelah tahu kamu adalah Kakaknya si bajingan itu, sorry to say, tidak ada lagi negoisasi yang perlu kita lakukan."
Pintu kamar terbuka dari luar. Lelaki berpakaian hitam-hitam itu masuk, Celia langsung menghampiri dan bertanya, "Bagaimana, Sayang? Apa Heigar sudah tertangkap polisi?"
Nick sengaja datang belakangan ke puncak. Setelah semua bukti-bukti bisnis gelapnya Heigar terkumpul, ia langsung melakukan pelaporan kepada pihak berwajib. Apalagi Heigar terdeteksi sebagai seorang gembong narkoba, di balik bisnis legalnya.
"Apa yang kalian lakukan kepada orang tuaku?!" seru Flora, semakin tersulut emosi.
Nick mengangkat sebelah alisnya, bingung dengan perkataan Flora.
"Yeah, dia Kakaknya Ximon. Ternyata selama ini melakukan penyamaran sebagai karyawanmu untuk memata-matai kamu."
Semakin terkejut lagi, mendengar jawaban Celia. "Benarkah?" tanya Nick, dengan tatapan tak percaya.
Celia manggut-manggut. "Dia baru mengakuinya."
"Aku tidak tahu kalau Ximon memiliki Kakak."
"Tidak penting juga untuk tahu. Kecuali sekarang, memang harus tahu," balas Celia. "Jadi, apa yang ingin kamu lakukan, Nick? Kalau aku, aku akan mengundang para lelaki hidung belang untuk menikmati tubuhnya lebih dulu. Kamu tahu, apa yang dia bilang tentang Alice? Katanya, itu kesalahan Alice karena tidak menerima Ximon. Dan penderitaan yang dialami Alice adalah kesalahan Alice sendiri. Apa kamu terima begitu saja, saudara kamu dilecehkan seperti itu? Dan dia sebagai perempuan tidak memiliki belas kasihan sama sekali sebagai sesama perempuan."
"Dia bilang seperti itu?" Nick terperangah.
"Yaaa." Celia manggut-manggut.
"Oke. Aku setuju dengan usulanmu. Tapi, jangan di sini. Aku tidak ingin tempat ini ternodai oleh dia. Bawa ke suatu tempat." Nick menatap kedua bodyguardnya. "Cari tempat yang pas untuk dia."
"Baik, Tuan," balas Aiden dan Dante, kompak.
"Sayang, ada yang ingin kubicarakan. Kita keluar dulu," ucap Nick, kepada Celia.
Mendapat balasan anggukan dari perempuan itu. Lantas, keduanya keluar dari kamar. Mengayunkan kaki agak jauh dari kamar penyekapan, kemudian keduanya berhenti di ruang keluarga berdinding kaca yang langsung menghadap halaman, kebun teh, dan perbukitan.
"Heigar dan istrinya sudah ditangkap polisi. Tapi, Ximon berhasil kabur. Dan sekarang sedang menjadi buronan."
"Berarti Ximon masih bebas? Masih berkeliaran?"
"Iya."
"Oke. Kita panggil dia ke sini." Celia menatap Nick lekat-lekat. "Tahu 'kan, apa yang harus kita lakukan?"
Nick menyunggingkan senyum tipis. Lantas, mengangguk. Mengambil ponsel di saku celananya, ia langsung melakukan panggilan kepada Aiden. Padahal tinggal jalan kaki sedikit atau memanggilnya secara lantang, Aiden dan Dante akan keluar. Namun, Nick sangat malas melakukan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top