Part 59
Keduanya baru saja beranjak, akan mencari tempat persembunyian. Namun, baru berjalan beberapa langkah, Celia dan Nick telah dihadang oleh beberapa orang berpenampilan preman yang sudah berdiri di ambang pintu.
Ekspresi bengis menghiasi wajah orang-orang itu. Seringaian angkuhnya seolah ingin menyantap hasil buruan yang baru saja tertangkap. Ada yang memiringkan kepala ke kanan-kiri, menggertakkan jemari tangan sampai berbunyi krek, ada juga yang memutar bahu sembari melangkah maju mendekati Celia dan Nick.
"Kalian sudah tidak bisa kabur dari kami," ucap salah satu orang itu, di tengah seringaian bengisnya.
"Nick, tidak ada pilihan lain. Kita harus melawan mereka," bisik Celia sambil ancang-ancang mencari celah untuk menyerang.
"Oke."
Detik itu juga setelah mendapat persetujuan dari Nick, Celia langsung naik meja panjang lantas berlari ke arah orang-orang itu dan melompat dengan tubuh memutar. Tendangan berhasil ia daratkan di dada dan kepala, hanya dua orang yang terkena tetapi berhasil membuat mereka terdorong keras dan terpelanting sampai jatuh. Begitu kaki memijak lantai, ia bergerak gesit menghindar serangan dari lawannya yang lain, lantas kembali menyerang.
Kaki, tangan, dan gerakan tubuhnya yang sudah terlatih dalam hal penyerangan, membuat Celia tidak kesusahan membalas serangan dari lawan. Tiga orang yang dilawannya mampu ia atasi. Salah satunya yang memiliki tubuh agak kurus dan sama tinggi dengan dirinya, lehernya ia cekik dari belakang menggunakan lengan, lalu dikunci erat. Sedangkan, tubuh ia jadikan tameng saat lawan menyerang dan dijadikan penopang untuk dirinya bisa melakukan tendangan hebat kepada lawan.
Nick pun diserang tiga orang. Saling baku hantam hebat, dan ia tak kalah gesitnya oleh Celia dalam menangkis serangan. Menendang tiga lawannya dengan keras sampai mereka terhempas menabrak rak, juga terpental jauh menabrak tepian meja kayu berbahan jati yang tebal.
Pekikan suara rintihan kesakitan memenuhi ruangan.
Celia pun berhasil melumpuhkan dua orang ketika tendangan brutalnya mengenai hati, kepala, perut, sampai ke titik intim mereka. Tidak peduli jika telur-telur yang mereka miliki telah pecah tak tersisa. Karena sekarang, dua orang itu sudah terkapar di lantai. Merintih kesakitan sambil memegangi tengah selakangannya.
Teringat masih ada satu orang yang ditahan, Celia berkata, "Kerjo mbok yo ojo dadi preman to. Mati nganggor, kan? Rumangsamu, aku iki ndak iso tarung? Ndak iso matahke balungmu?" Karena setelahnya, ia langsung mematahkan leher lelaki bertubuh kurus, lalu melepaskan pertahanannya.
Lelaki itu terjatuh ke lantai, tak sadarkan diri.
"Sayang, kita harus pergi dari sini," ucap Nick, yang juga baru melumpuhkan tiga orang yang menyerangnya.
Celia mengangguk. Ia berjalan keluar. Namun, masih di ambang pintu, langkahnya mundur lagi. "Barang-barang kita, Nick. Sayang banget kalau ditinggal. Apalagi diamondnya."
Celia membuka loker. Mengambil jaket yang menggantung di hanger, juga mengambil jam tangan Nick. Kemudian, ia menghampiri suaminya dan bergegas pergi. Namun, betapa terkejutnya mereka melihat kondisi ruangan utama yang sudah hancur. Gerabah-gerabah telah pecah, potongannya berserakan ke mana-mana, pun dengan rak-rak yang sudah tersungkur jatuh.
"Nyonya, Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanya Aiden, dengan napas terengah. Ia dan Dante juga baru menyelesaikan orang-orang yang menyerangnya.
"Ternyata banyak banget yang nyerang. Terniat ngepung kita di sini," ucap Celia seraya melangkah dan memerhatikan sekitar. Ia tidak tahu ke mana perginya para pengunjung dan staff. Yang terlihat hanya dua bodyguardnya dan preman-preman yang sudah terkapar.
"Jangan banyak diam. Ayo, pergi," pinta Nick, suaranya terdengar tergesa. Ia langsung meraih salah satu tangan Celia, menggenggamnya, dan menariknya untuk dibawa keluar.
Namun, setibanya di pelataran, langkah Nick terhenti seketika. Ia tercengang melihat mobilnya dan mobil bodyguardnya telah hancur. Semua kacanya pecah, terdapat bekas hantaman benda keras di segala sisi. Ban-bannya pun sudah kempes.
"Sialan! Jangan biarkan mereka lepas! Kejaaar! Kejar mereka!"
Mendengar seruan dari dalam, Nick langsung menatap Celia dan dua bodyguardnya.
"Tidak ada waktu. Kita harus pergi." Dan tanpa ba-bi-bu, Nick langsung menarik Celia sembari berlari. Entah ke mana pun arahnya, ia berusaha menyelamatkan istrinya dari kejaran para preman yang masih berusaha hidup.
Aiden dan Dante pun mengikuti. Mereka menyusuri trotoar, berlari sekencang mungkin. Merasa cukup jauh dari tempat gerabah dan aman dari kejaran, Nick langsung menghentikan taksi yang melintas. Lalu, meminta Aiden yang menyetir agar tidak bertele-tele.
***
Keempatnya tiba di apartemen, langsung menuju unit apartemen Nick.
Nick dan Celia yang melihat kedua tangannya masih penuh tanah liat yang mengering, langsung membersihkannya ke kamar mandi.
"Sepertinya kita sudah diikuti dari tadi, Nick."
Mendengar istrinya berbicara, Nick langsung menoleh. "Bisa jadi," balasnya sambil menggosoki kulit tangannya menggunakan sabun.
"Banyak banget yang nyerang. Ternyata akting kita waktu lalu sama sekali tidak berpengaruh. Sayang banget udah banting komputer segala."
Nick meneliti sisa-sisa tanah liat di tangannya. Terlihat sudah bersih dan tidak ada yang membandel. Lantas, ia melepas apron yang masih menutupi kaus hitam pendeknya. Membuang ke keranjang pakaian kotor.
"Ada yang luka tidak?" Nick mendekati Celia, menghadapkan istrinya ke dirinya. Lalu, salah satu tangan memegang dagu Celia, ditolehkan ke kanan-kiri untuk diteliti dengan jeli wajah perempuan itu. Masih putih mulus. Tidak ada lebam yang terlihat.
Kemudian, Nick beralih meneliti kedua lengan istrinya yang sudah bersih dari tanah. Diangkat satu per satu tangan Celia. Penuh dengan ketelitian dan kejelian, ditatapnya lengan itu dari ujung bahu sampai jari. Masih aman. Tidak ada yang luka atau pun lebam.
"Masih aman, Nick. Aku tidak terkena tendangan dari mereka," ucap Celia, mencoba menenangkan Nick teramat khawatir.
"Aku tidak ingin kamu terluka sedikit pun."
"Nicky, aku sudah bilang, aku bisa jaga diri kalau tidak ada yang menghalangi pergerakanku. Kamu bisa lihat bagaimana aku menghajar mereka, 'kan?"
Nick mengangguk. Lantas, merengkuh istrinya dengan erat. "Tapi, bagaimana pun juga, kita tidak boleh lengah dan aku tidak bisa menyepelekan kemahiran bertarungmu."
Celia paham. Mungkin sekarang ia masih bisa selamat. Tidak tahu di lain waktu apakah dirinya masih bisa selamat, atau berakhir seperti waktu diculik Ellena.
"Nicky, kita sudah aman sekarang. Jangan terlalu tegang lagi," ucap Celia sambil mengusap-usap punggung Nick. Ia masih merasakan ketegangan tubuh lelaki itu, debaran jantungnya pun terdengar cepat. Dada bidangnya sangat kerasa naik-turun.
Celia mengurai pelukan. Ia mendongak menatap wajah suaminya dan menangkup sebelah pipinya. Lantas, ia berjinjit untuk mengecup bibirnya, sekiranya bisa memberi ketenangan untuk lelaki itu. Setelahnya, senyum simpul ia sunggingkan.
"Nicky, kita bisa saling menguatkan satu sama lain. Kita bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik."
Nick mengangguk. Dikecupnya kening sang istri. Menarik tali apron di pinggang Celia, lalu ia melepaskannya dari tubuh perempuan itu.
Sesaat kemudian, Nick dan Celia keluar dari kamarnya. Melewati ruang keluarga, dengan Dante dan Aiden yang menunggu duduk di sofa sedari tadi. Keduanya masih melanjutkan jalan, kakinya terayun menuju dapur. Nick langsung mengambil empat kaleng minuman yang tersedia di kulkas, sedangkan Celia mengambil buah-buahan dibawa sewadah-wadahnya dan camilan lain. Lantas, keduanya kembali ke ruang keluarga berkumpul dengan dua bodyguardnya.
Nick membagikan minumannya ke setiap orang. Celia menaruh wadah buah-buahan ke meja, juga menaruh beberapa bungkus camilan.
"Buat ganjal perut dulu," ucap Celia sambil membuka penutup kaleng, cairan ungu memiliki aroma harum dan rasa anggur itu ia minum. Dinginnya cukup melegakan tenggorokannya yang kering.
"Jadi, gimana tadi? Kenapa tiba-tiba kita diserang dan cukup banyak yang menyerang?" tanya Nick, menatap dua bodyguardnya.
"Kami juga tidak tahu, Tuan. Kami lagi ngobrol di teras, tiba-tiba ada tiga mobil yang datang. Mereka keluar, ada yang langsung menghancurkan mobil kita, beberapa masuk ke dalam. Ternyata sedang mengincar kalian. Sepertinya mereka suruhan Ximon," jawab Dante, menceritakan awal terjadinya keributan.
"Kasihan yang punya toko. Gara-gara mereka, toko gerabah pasti mengalami kerugian besar. Kan, aku juga jadi merasa bersalah, Nick." Celia berdecak. Teringat cincin di jaket kulitnya, ia meraih jaket kulit yang tersampir di punggung sofa. Dengan cepat, tangannya meraba-raba saku.
"Syukur masih ada." Celia mendesah lega merasakan benjolan di dalam saku. Satu tangannya merogoh, lantas mengambil dua cincin diamond dan segera ia selipkan di jari manis dan tengah tangan kirinya.
"Dibeli aja itu tokonya, Nick. Pakai uang mas kawin yang dulu kamu kasih ke aku. Daripada uangnya cuma diem di tempat. Kan, mayan dibuat usaha. Kalau boleh kita beli, biarkan staff-staffnya tetap bekerja di sana. Kalau kita ganti rugi juga, bakal habis banyak."
Nick mendengarkan usulan Celia. Benak juga memikirkan kerugian toko. Jika bukan dirinya yang mengganti rugi, lantas siapa? Tidak mungkin dari lawan. Mereka tahunya hanya merusak saja, tanpa mau tahu kerugian yang dialami pemilik toko.
"Oke, Sayang. Nanti kita urus. Nanti aku suruh orang untuk mengurus. Tapi, di sini, apa rencana kita untuk Ximon?" ucap Nick, sekaligus bertanya.
"Rencana kita yang sebelumnya, belum kita lakukan, Tuan. Sepertinya kita perlu menjalankannya," sahut Dante.
Ketiga orang di sekitarnya, menatap, saling diam, lalu sama-sama mengangguk setuju.
"Tapi, kita butuh banyak anggota untuk berjaga. Aku yakin, Ximon juga akan mengerahkan lebih banyak anggota untuk menyerang kita," usul Celia.
Nick mengangguk. "Aiden, tolong kabari komandanmu agar menyiapkan anggotanya untuk membantu kita."
"Baik, Tuan." Aiden mengangguk.
"Oke. Kalau kondisi sudah lebih tenang, masih ada satu PR yang belum kita kerjakan. Memberitahu kebenaran dari pertukaran Alice dan Ellena ke Om Adam." Nick menaruh minuman kalengnya ke meja yang isinya tinggal separuh, lalu beralih mengambil apel.
***
"Kalian ini bagaimana? Sudah dibayar mahal, tapi masih tidak bisa menangkap perempuan itu! Yang kemarin juga gagal! Hanya satu perempuan! Apa susahnya?" cecar Ximon kepada anak buahnya yang baru kembali ke markas.
Di sebuah gedung kosong bekas gudang, pencahayaan yang minim, membuat tempat itu terkesan mencekam dan sunyi. Di sana, peralatan penyekapan Celia telah disiapkan. Selain untuk balas dendam ke Nick, ia juga mendapat tugas lain dari papanya untuk Celia.
"Bos, perempuan itu jago bertarung. Benar-benar jago. Tiga laki-laki yang bersamanya juga sangat susah disentuh."
"Alasan! Bilang saja kalian tidak bisa bertarung! Penampilan saja sok preman, tapi tenaga macam Hello Kitty!" Ximon menendang kursi di sampingnya sampai melayang. Begitu jatuh, suaranya sangat memekakkan telinga.
"Bos, kami akan berusaha menangkapnya untuk Anda. Kami janji."
"Aku tidak butuh janji! Butuhnya bukti!" Ximon menatap nyalang anak buahnya. "Pokoknya, aku tidak mau tahu. Bawa perempuan itu ke hadapanku. Paham?! Secepatnya!"
***
Keduanya memandangi gemerlapnya lampu kota pada malam hari di kamar berdindingkan kaca tinggi. Gorden yang biasanya sudah ditutup di jam sebelas malam ini, masih dibiarkan terbuka. Namun, lampu kamar dibiarkan padam. Hanya mendapat cahaya bulan, yang sedang bersinar terang malam ini.
Saling diam, benak sibuk dengan pikirannya masing-masing. Nick yang merengkuh Celia dari belakang dengan tangan mendekap perut perempuan itu, embusan napas beratnya terdengar jelas oleh Celia.
"Kalau lagi gini, kadang kangen sama suasana kampung. Tenang, damai, sunyi, bikin tenang pikiran juga," ucap Celia lirih sambil menyandarkan kepala ke dada bidang Nick.
"Main-main di sawah." Nick menyahut.
"Terus nakutin kamu sama kodok." Celia terkikik.
"Jatuh bareng ke sungai." Nick mengulas senyum.
"Terus kejar-kejaran." Celia menyunggingkan senyum lebar.
"Pulangnya bawa buah-buahan hasil malak sama tetangga." Nick teringat saat Celia manjat pohon jambu air.
"Terus dibikin rujak."
"Malamnya dilewatin kuburan." Nick kembali teringat oleh sosok pocong yang menakutkan.
"Terus kamunya kena sawan." Celia tergelak.
"Lalu, kamu yang paling perhatian. Gayanya sok-sokan benci sama aku. Padahal sedang kelabakan nahan diri dari salah tingkah. Benar, 'kan?" Nick terkekeh. Dan langsung mendapat tatapan serta senyuman dari perempuan berpakaian lingerie.
Detik berikutnya, Celia berbalik badan. Kedua tangannya terulur ke bahu Nick, yang membuat lelaki itu langsung paham lantas mengangkat tubuhnya. Celia melingkarkan kedua kaki ke pinggang Nick, sedangkan kedua tangan melingkar di leher lelaki itu.
"Aku merindukan hari-hari menyenangkan saat bersama kamu di kampung," ucap Celia sambil menatap lekat wajah suaminya.
"Aku pun. Aku merindukan hari-hari yang menenangkan dan bisa hidup bebas tanpa dikejar-kejar orang jahat. Aku merindukan hari-hari manis bersamamu tanpa ada gangguan."
"Aku pikir, gangguan kita para perempuan yang tergila-gila sama kamu. Kayak Lidya dan yang lainnya. Tapi, ternyata ini lebih ekstrim." Celia merebahkan kepala ke bahu Nick, merasa lelah rasanya. "Kapan ini berakhir? Aku capek, Nick? Tapi, aku tahu, yang kita lakukan ini untuk keadilan orang tuaku dan orang-orang yang dirugikan mereka."
"Sabar, Sayang. Pasti akan cepat berakhir." Nick mengusap-usap kepala Celia, lantas mengecup pipinya. Sesaat kemudian, ia membawa istrinya ke ranjang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top