Part 58

Celia sudah tidak bisa tenang. Duduk bersandar dengan kedua tangan diselipkan ke saku jaket, tanpa sadar ia terus menggerakkan salah satu kakinya dengan ujung telapak kaki masih menapak lantai. Napasnya terdengar memburu di tengah percikan api emosi yang membuat dadanya semakin panas sampai kerongkongan.  

Di ruangan sepetak, tertutup, hanya terdapat meja segi empat dan empat kursi tunggal berbahan besi memiliki sandaran, ia sedang menanti kedatangan dua manusia yang tak memiliki otak dan hati. Sangat membosankan. Lebih tepatnya, Celia sudah tidak sabar ingin menyobek mulut mereka secara brutal.

Nick yang duduk di sebelahnya, terus memerhatikan wajah Celia. Dalam diamnya, ia tahu istrinya sedang memperhitungkan sesuatu. Dari ekspresi yang menyimpan kegusaran, juga tidak sabaran.

"Lama sekali mereka." Celia mendesah berat. Ia menatap Nick sekilas sembari berdecak kesal.

Tidak lama, pintu ruang tunggu dibuka dari luar. Nick dan Celia langsung mengalihkan perhatian ke pintu tersebut. Muncul dua perempuan berseragam tahanan dengan tangan terborgol di belakang, dibawa masuk oleh dua orang petugas polisi wanita.

Iblis berwujud manusia itu didudukkan di seberang meja, yang langsung mendapat tatapan tak mengenakkan dari sepasang suami-istri itu. Penuh amarah, dendam, emosi, terlihat jelas dari sorot mata dan rahang yang mengetat keras.

Ellena dan Gracie pun tak kalah tajamnya menatap sepasang suami-istri di hadapannya. Kebencian masih mendarah daging di tubuh mereka.

Terkhusus Gracie, sudah tidak begitu kaget melihat Celia di depannya. Ia telah menceritakan apa yang terjadi kepada Ellena. Serta memberitahu ciri-ciri perempuan yang mendatangi rumahnya, dan Ellena memberitahu jika ciri-ciri itu mengarah ke Celia--istri Nick.

"Silakan untuk berbicara dengan mereka, Pak, Bu. Ada lima belas menit dari waktu yang telah ditentukan," ucap salah satu polisi. Lantas, ia segera berlalu dari ruangan bersama rekannya.

Namun, sebelum sampai pintu, Nick bergegas berdiri dan menghampiri. Ketiga perempuan itu refleks menoleh kompak. Nick tampak membisikkan sesuatu kepada kedua polisi dan mendapat balasan anggukan. Sebelum akhirnya, lelaki itu kembali duduk di sebelah Celia.

"Silakan, Sayang. Lakukan yang ingin kamu lakukan," ucap Nick sambil mengedikkan dagu ke arah dua perempuan di hadapannya.

Hening.

Celia masih memerhatikan secara saksama dua perempuan di hadapannya. Tajam dan dalam. Sedetik kemudian, ia mendorong kursi yang didudukinya. Derit kaki kursi itu terdengar nyaring di ruangan yang hening. Dan dengan gerakan pasti, salah satu kakinya yang beralaskan sepatu boots menendang tepian meja, membuat meja itu bergeser hampir menimpa Gracie dan Ellena.

Bukan hanya dua perempuan itu yang terkejut, tetapi Nick juga ikut terkejut. Ia menelan ludah membuat jakunnya naik-turun. Istrinya seperti sedang kerasukan setan, terlihat sangat badas, kejam, dan menakutkan. Namun, ia sudah mulai terbiasa menghadapi sisi kebrutalan Celia secara fisik. 

"Tidak ingin menyambut kedatanganku, Ellena?" Suara Celia terdengar dingin dan berat. Tatapannya seolah ingin menerkam mangsa sekali lahap.

Hawa mencekam pun semakin terasa di ruangan yang hanya terpantau dari CCTV.

"Kamu pikir aku sudah mati setelah mendapat siksaan darimu, huh?" Celia beranjak berdiri. Melangkah mendekati Ellena dan Gracie, kedua tangannya mengangkat ujung meja untuk digeser agar memiliki ruang luas di antara meja dan dua perempuan itu.

"Yaa, kamu benar. Aku memiliki banyak nyawa." Celia manggut-manggut sambil menyandarkan bokong ke tepian meja. "Bahkan, setelah menerima siksaan kejam darimu, aku masih hidup sampai sekarang."

Ellena masih bungkam. Hanya menatap Celia dalam diam seraya memendam kebencian dan dendam.

Mencondongkan tubuh ke Ellena, Celia langsung meraup rambut Ellena dan dijambak, ditarik ke bawah sampai kepala perempuan itu mendongak, persis seperti yang dilakukan Ellena saat menyiksanya. "Tapi, kamu membunuh anakku! Kamu membunuh anakku!" serunya tajam. Lalu, ia terkekeh miris. "Bahkan, kamu dengan bangganya mengakui telah membunuh orang tuaku. Sialan!"

Plaak!

Satu tamparan mendarat di pipi kiri Ellena. Sangat keras.

"Itu yang kamu lakukan saat menyiksaku. Aku kembalikan," ucap Celia tajam.

Nick hanya menjadi penonton. Dan sangat menikmatinya seraya bersedekap. Dengan kaki kanan diangkat, ditompangkan ke kaki kiri.

"Kamu masih ingat, apa yang kamu lakukan untuk menyakiti anakku, Ellena?! Untuk menghilangkan dia dari rahimku?" tanya Celia, penuh tekanan dan emosi. Lalu, ia melakukan hal sama, menendang perut Ellena. "Kamu menendangnya! Sampai dia tidak bisa diselamatkan dari rahimku!" Sekuat tenaga Celia menahan air mata yang sudah membendung agar tidak meluruh.

"Hentikan, Sialan!" sentak Gracie, melihat anaknya memekik dan menahan kesakitan.

Celia beralih menatap perempuan itu. "Dan kamu! Kamu membunuh orang tuaku agar kebusukanmu tidak terbongkar, hah?!" Ia mendekati sambil menunjuk. "Aku sudah tahu semuanya. Ellena itu anak kandungmu, dan Alice anak kandung Om Adam! Kamu sengaja menukarnya, dan menggunakan Alice sebagai alat balas dendam kalian! Yang sialan itu kalian!"

Celia tertawa mengejek. "Aku pikir, kamu itu orang yang cerdas. Saking cerdasnya sampai bebuat licik! Menipu semua orang. Tapi, dibodohi dengan adanya setan di rumahmu saja langsung percaya. Padahal kalian lah setannya. Ah, iblis malah!"

"Orang tuamu memang harus dimusnahkan karena suka mengurusi urusan orang! Sangat pantas didapatkan."

"Pantas?" Celia menyeringai. "Kalian lah yang paling pantas!" Ia menjeda ucapannya sejenak, sesaat kemudian berkata, "Dan aku sebagai anak dari orang tua yang sudah kalian bunuh. Ibu dari anak yang sudah Ellena bunuh, sudah mengajukan hukuman mati untuk kalian! Tunggu, dan nikmati sisa hidup yang kalian punya sekarang."

Celia beralih dari tempatnya, dan mendekati Nick. Lalu, menatap Ellena lagi. Ia menyunggingkan senyum sinis. "Dan Ellena, kamu bilang, kamu mencintai suamiku. Dan itu yang membuatmu sangat membenciku dari kecil. Lalu, kamu memanfaatkan Evelyn. Berpura-pura jadi Mak comblangnya, padahal biar kamu ada alasan semakin dekat dengan Nick. Benar?"

Celia mendaratkan bokong di pangkuan Nick, mengalungkan salah satu tangannya di leher suaminya. Tatapan masih tertuju ke Ellena. "Sebelum kematian menantimu, kamu harus menyaksikan kemesraanku dengan suamiku." Ia menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lantas, menatap Nick sambil menangkup wajah lelaki itu.

Keduanya saling tatap, saling menyunggingkan senyum, dan perlahan, Celia menyatukan bibirnya ke bibir Nick. Ia memagutnya lembut dan dalam. Keduanya pun sama-sama memagut seraya terpejam, sangat menikmati ciuman yang dipamerkan kepada Ellena.

Sampai merasakan pasokan oksigen menipis, Celia dan Nick baru melepas ciuman. Bibir keduanya tampak basah, lalu saling mengusapnya lembut dan menyunggingkan senyum.

"Sayang, jangan sampai ada yang pingin dicium sama kamu juga. Saking pinginnya, akal sehatnya pun sampai rusak ingin membunuhku berulang kali," ucap Celia sambil menatap Nick. Sesaat kemudian, ia menatap Ellena. Senyum mengejek ia sunggingkan lagi. "Uups! Ada yang cemburu ternyata."

Celia beranjak dari pangkuan Nick. "Sayang, urusanku dengan dua pembunuh itu sudah selesai. Mending kita pulang sekarang dan bikin anak lagi. Aku sudah tidak sabar ingin bersetubuh denganmu, penuh gairah dan panasnya. Apalagi kamu sangat membuatku candu. Aaargh! Hanya membayangkan saja sudah membuatku bergairah."

Nick beranjak, lantas segera merengkuh istrinya. "Iya, Sayang. Cuma kamu yang bisa membuatku bergairah. Apalagi goyanganmu dan dengan sentuhanmu, benar-benar membuatku hampir gila. Melupakan semua masalah yang ada. Ayo, sebaiknya kita pergi sini."

Celia merengkuh pinggang Nick, bersama-sama mengayunkan kaki menuju pintu. Sebelum keluar, Celia menatap belakang, menyorot tajam kepada mereka.

Dan sepeninggal sepasang suami-istri itu, dua petugas polisi masuk. Mereka mengambil Ellena dan Gracie, lantas membawanya kembali ke sel.

"Apa kita bisa bebas dari sini, Ma?" tanya Ellena, setelah mendudukkan diri di pojokan dengan Gracie.

"Heigar akan membantu kita. Dia sudah mengabari pengacara Papamu. Juga akan mencarikan pengacara lain untuk menguatkan pembelaan."

"Tapi, kalau mereka sudah memiliki bukti kuat, akan menyusahkan kita bebas dari sini. Apalagi kasusku."

"Tunggu kabar baiknya saja. Heigar pasti akan membantu kita. Papa sudah mengancamnya. Kalau dia gagal, dia juga akan masuk penjara. Papamu memegang kartu As dari bisnis gelapnya."

"Tapi, aku tidak yakin dia bisa membantu kita."

Gracie menatap wajah anaknya yang melesu. "Setidaknya bisa membantu meringankan hukuman kita, untuk tidak mendapat hukuman mati."

Ellena mendesah.

Si ratu gangster yang sedari tadi memerhatikan bersama teman-temannya pun mendekat. Sudah waktunya untuk dirinya bermain-main dengan mereka.

***

"Bagaimana?"

Celia menatap Nick, yang sekarang sudah berada di dalam mobil. Belum melajukannya. "Apanya?" tanyanya.

"Perasaanmu. Sudah cukup lega atau belum?"

Celia yang bersandar, menggeleng. "Belum. Belum lega kalau belum melihat mereka dihukum mati."

"Sabar. Mereka pasti akan mendapatkan hukuman yang setimpal." Nick meraih salah satu tangan istrinya, digenggam dan diusap lembut.

"Aku takut akan kalah saat persidangan."

"Kita pasti menang. Orang kita sudah mengumpulkan bukti."

Celia mengangguk seraya mendesah berat. "Iya, Nick." Lantas, ia memeluk lelaki itu, ingin mendapatkan ketenangan dari rasa emosionalnya yang masih mendesak. "Aku butuh refreshing. Otakku berasa tegang banget sekarang," ucapnya.

"Mau ke mana?"

"Terserah. Yang penting bisa bikin tenang."

"Oke. Aku tahu ke mana kita harus pergi." Nick mengecup kepala Celia. Lalu, mengurai pelukan dan menyunggingkan senyum kepada sang istri. Mobil dilajukan. Meninggalkan pelataran kantor polisi.

Pun dengan Aiden dan Dante yang berada di mobil lain. Melajukan mobil mengikuti sang bos, tak lama memasuki jalan raya. Keduanya tidak tahu ke mana bosnya akan pergi sekarang. Mereka tidak memberitahu, juga tidak mengirim pesan.

Terus berjalan menyusuri jalan raya, beberapa menit kemudian Nick memasuki pelataran kerajinan gerabah. Aiden dan Dante saling pandang, kening mengernyit satu sama lain. Melihat kedua bosnya keluar setelah mobil terparkir, keduanya pun ikut keluar.

"Celia butuh refreshing. Kami akan main-main membuat gerabah agar pikiran dia lebih relaks. Kalian mau ikut masuk atau tunggu di luar?" tanya Nick, kepada kedua bodyguardnya.

Aiden dan Dante saling pandang lagi, lalu sama-sama menggeleng.

"Kami jaga di luar saja, Tuan," jawab Dante.

"Baiklah. Aku sama Celia masuk dulu."

Aiden dan Dante mengangguk.

"Baik, Tuan," balas Aiden.

Sepasang suami-istri itu lantas berlalu. Saling merangkul, keduanya memasuki tempat kerajinan gerabah yang langsung disambut oleh salah satu staff, dan langsung mengarahkan ke kasir untuk melakukan pendaftaran lebih dulu.

Sambil menunggu Nick mengurus semuanya, pandangan Celia mengelilingi sekitar. Pajangan gerabah dari tanah liat memenuhi ruang utama, tertata rapi di rak-rak bertingkat. Bermacam model, besar-kecilnya ukuran, melihatnya, Celia sudah sangat takjub rasanya.

Di sebelah kanan ruang utama, terlihat koleksi-koleksi gerabah yang diperjualkan. Ada beberapa pengunjung di sana. Dan di sebelah kiri, terlihat papan bertuliskan ruang pembuatan gerabah.

"Sayang, ayo," ucap Nick sambil menjatuhkan tubuh dari meja kasir. Dua apron ia bawa, yang tadi diberikan langsung oleh penjaga kasir.

"Sudah selesai?" tanya Celia.

Nick mengangguk. "Ini apron satu untukmu. Kita ke loker dulu. Kamu harus menyimpan jaketmu biar tidak kotor."

Celia mengangguk menurut. Bersama Nick, ia mengayunkan kaki memasuki ruangan pembuatan gerabah, tapi lebih dulu menuju loker yang berada di sebelah pintu masuk.

Celia melepas jaket kulitnya yang menutupi tank top hitam, lalu menggantungkan ke hanger. Melihat dua cincin diamond terselip di jemari, ia menatap Nick. "Nick, ini perlu dilepas tidak?" tanyanya sambil menunjukkan cincinnya ke Nick.

"Lepas saja. Nanti jadi kotor. Taruh di saku jaketmu biar aman."

Celia mengangguk menurut. Satu per satu cincin diamondnya ia tarik, lantas dimasukkan ke saku dalam jaket kulitnya. Sedangkan, Nick melepas arloji dan menyimpannya di loker yang sama dengan Celia.

Selesai dengan barang-barang, Nick membantu Celia memakaikan apron. Pun dengan Celia yang berganti memakaikan apron suaminya. Setelah siap untuk bermain-main dengan tanah liat, keduanya menatap area pembuatan gerabah. Tepat sekali di jam ini sepi, tidak ada pengunjung lain.

Pikiran Nick sudah ke mana-mana, karena bisa bermesraan dengan istrinya. Ia tidak akan menyia-nyiakan waktunya tentu saja.

Sementara, Celia memikirkan sesnsai pembuatan gerabah yang terlihat menyenangkan. Aroma dari tanah liat yang khas, tempat yang nyaman dengan dinding pembatas luarnya dari kaca, membuat ruangan itu terang tanpa cahaya lampu. Nick pintar memilih tempat, ia menyukainya.

"Ayo." Nick meraih tangan Celia. Hanya diam berdiri tanpa lekas bergerak, akan membuang waktu dua jamnya saja.

Lelaki itu membawa istrinya ke salah satu meja yang telah tersedia alat putar. Ada beberapa kursi tunggal yang sudah disediakan, tetapi Nick lebih memilih duduk berdua dengan istrinya, meminta Celia duduk di depan.

Celia terlihat begitu bersemangat sambil memerhatikan seorang staff menyiapkan bahan-bahan dan alat yang dibutuhkan ke mejanya. Saat staff itu menjelaskan cara menggunakan meja putar dan beberapa alat lainnya, Celia sangat memahami.

"Baik. Semua sudah tersedia. Silakan nikmati waktu Anda untuk membuat gerabah, Nona, Tuan," ucap sang staff, lalu meninggalkan keduanya untuk melanjutkan lain.

Nick dan Celia mulai sibuk dengan gumpalan tanah liat. Secara bersamaan, keduanya memijati tanah liat yang baru diberi cipratan air sampai terasa lemas. Tangan sudah mulai penuh tanah sampai pergelangan.

"Asyik juga bikin seperti ini." Celia tampak begitu ceria, senyum terus ia sunggingkan lebar.

"Bayangkan, kamu lagi memijat sesuatu."

Mendengar suara berat Nick tepat di samping telinga kanannya, Celia merasa tengkuknya langsung merinding. "Sesuatu apa?" tanyanya lirih sambil menoleh ke samping, menatap wajah Nick sekenanya.

"Sesuatu yang lembek, saat dipijat jadi mengeras."

Celia menelan ludah. Jantungnya berdebar lembut, di tengah napas yang terdengar memburu. Pikiran langsung tertuju ke burung Nick.

"Kamu sedang membayangkannya?" Nick menyunggingkan senyum, menatap wajah istrinya yang salah tingkah. Sedangkan, tangannya membimbing tangan Celia memijati tanah liat dengan gerakan lembut.

"Nick, kita harus ingat tempat. Jangan sampai lepas kendali." Celia mengalihkan pandangan ke tanah liat lagi yang sekarang sedang proses pembentukan di meja putar. Berusaha keras menyingkirkan pancingan-pancingan kemesuman Nick.

"Kamu mikirnya apa?" Nick pura-pura tidak paham.

"Manokmu lah," jawab Celia ketus.

Detik itu juga tawa Nick meledak. "Pikiranmu yang mesum."

"Kalimatmu ambigu. Memangnya apa lagi sesuatu yang lembek kalau dipijat jadi keras? Kan, manokmu."

Dengan gemas Nick mengecup pipi Celia. Tapi, ia justru terfokus ke bentuk tanah liat yang tinggi dan panjang. "Tuh, kamu malah bikin bentuknya."

"Nicky!" Celia langsung menarik kedua tangan, membuat tanah liat yang tinggi itu ambruk dan hancur. "Mesumnya nanti dulu, di apartemen," keluhnya. Memiliki suami mesuman, di manapun berada pasti akan berakhir mesum. Namun, di rasa-rasa, dirinya pun sudah ketularan mesumnya Nick.

"Ingin--."

"Bikin gerabah."

"Bikin--."

"Vas bunga."

"Bukan, Sayang." Nick mendesah. Belum juga selesai bicara, sudah dipotong terus oleh Celia.

Namun, aktivitas keduanya pun terhenti sesaat, ketika mendengar suara keributan di luar. Semakin mengawaskan pendengaran, keduanya semakin paham apa yang terjadi.







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top