Part 57
Setelah pelaporan dari Nick diterima, dua hari kemudian, polisi mendatangi rumah Felix di jam tujuh pagi. Ada dua mobil yang terparkir di depan rumah sang target. Salah satunya menyalakan lampu strobo, serta suara sirine yang dibunyikan terdengar begitu lantang.
Hal itu berhasil mengundang perhatian para pengendara yang melewati jalanan di depan rumah Felix, juga para penghuni rumah di sekitarnya mulai keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Mereka ada yang berdiri di balkon, di pintu gerbang yang dibuka, juga di tepian jalan.
Begitu melihat petugas berseragam cokelat berjumlah enam orang yang turun dari mobil, orang-orang yang memerhatikan mulai sibuk berbisik-bisik. Saling mempertanyakan siapa yang bermasalah. Rasa penasaran pun semakin menjadi saat para petugas itu dengan kompak mengayunkan kaki menuju pintu gerbang rumah Felix.
"Benar, ini rumah Felix Cooper dan Gracie Cooper?" tanya pemimpin polisi bersuara tegas dan berat, kepada dua scurity yang berdiri di balik pintu gerbang.
"Benar," jawab salah satu scurity sembari mengangguk.
"Kami ada urusan dengan beliau. Bisa tolong bukakan pintu gerbangnya," pinta pemimpin polisi.
Dua scurity itu tidak berani mempertanyakan ada urusan apa. Dengan tangan bergetar, salah satunya membuka kunci, lantas mendorong pagar besi berukir. Sedangkan, salah satunya lagi mempersilakan masuk. Dan mereka semakin penasaran apa yang terjadi.
"Perasaan tidak ada yang membuat masalah serius di sini?" bisik salah satu scurity, kepada rekannya.
"Apa ini berhubungan dengan Nona Alice? Apa dia ditemukan meninggal dunia setelah lama tidak pulang?" sahut rekannya, sama-sama berbisik seraya mengikuti enam polisi yang berjalan menuju rumah.
Sementara, di depan pintu utama yang terbuka, sang pemilik rumah sudah berdiri di sana. Di belakangnya ada tiga asisten rumah tangganya yang ikut keluar karena penasaran mendengar suara sirine yang lantang. Sedari tadi, tatapan mereka terus tertuju ke mobil polisi yang terparkir di tepi jalan depan rumahnya. Lalu, rasa penasaran itu semakin menjadi saat para polisi mendatangi pintu gerbang, tidak lama scurity itu membukakan pintu gerbang dan mempersilakannya masuk. Dan sekarang, enam orang berseragam cokelat itu telah tiba di hadapan Felix dan Gracie.
"Felix Cooper, Gracie Cooper." Pemimpin polisi menyebutkan namanya.
"Ya." Felix mengangguk. Ekspresi wajahnya tampak tegang bercampur penasaran.
Begitu pun Gracie. Akan tetapi, keduanya mencoba bersikap biasa dan santai menghadapi para polisi di depannya.
"Kami membawa surat penangkapan untuk Anda berdua, dalam kasus pembunuhan berencana yang telah dilakukan delapan tahun lalu," ucap pemimpin polisi sambil memperlihatkan surat perintahnya.
Felix dan Gracie sama-sama terbelalak. Terkejut bukan main mendengarnya.
"Tidak mungkin. Kalian pasti salah tangkap. Kami tidak pernah membunuh orang, apalagi berencana," kilah Felix. Ia mencoba bersikap setenang mungkin seraya menyunggingkan senyum salah tingkahnya.
"Kalian bisa menjelaskan di kantor. Lebih baik sekarang ikut kami." Pemimpin polisi tetap bersikap tegas. Tidak memedulikan ucapan Felix, ia memerintahkan rekan-rekannya untuk memborgol Felix dan Gracie.
"Hei! Apa-apaan kalian ini?! Kami tidak pernah membunuh orang! Kami tidak bersalah!" Felix berseru. Membelitkan kedua tangan agar tidak terborgol. Namun, tenaganya tetap kalah oleh dua polisi yang menangani.
Sementara, Gracie yang pasrah langsung teringat atas kejadian tiga hari lalu.
"Sialan! Felix, apa kita dijebak sama setan kecil yang datang kemari itu?" Kilatan emosi terlihat dari mata Gracie.
"Regina?"
"Ya." Gracie mengangguk sambil didorong berjalan oleh dua polisi.
"Sialan!" Felix tampak murka. Wajahnya memerah. "Bi, tolong hubungi Heigar. Suruh datang ke kantor polisi."
"Baik, Tuan."
***
Heigar baru saja akan melangsungkan sarapan bersama keluarganya. Kedua anak dan istrinya telah menunggu di meja makan. Namun, ia mengurungkan niatannya sesaat ketika mendapati telepon dari asisten rumah tangga Felix, dan mendapat kabar jika Felix serta Gracie ditangkap polisi.
"Kalau mereka sudah ditangkap polisi, akan bahaya untuk bisnis kita. Ekspor dan impor ilegal kita pasti akan ketahuan oleh polisi. Mereka pasti akan menyelidiki sumber harta kekayaan yang dimiliki Felix." Heigar mendesah gusar. Kedua tangannya mengepal kuat di atas meja.
Sementara, tiga orang yang baru mendengar cerita sang papa, sama-sama gelisah.
"Kita harus segera amankan barang-barang imporan yang masih ada di gudang shipping Felix, Pa," ucap Ximon, yang tak lain anak Heigar.
"Ximon, kamu urus itu semua," perintah Heigar.
Ximon mengangguk.
"Papa harus menemui Felix ke kantor polisi. Menanyakan apa yang terjadi." Sudah hilang selera makan Heigar. Yang terpikir sekarang adalah keselamatan bisnis ilegalnya agar tidak terendus pihak berwajib. Lantas, dengan tergesa ia beranjak dari kursi.
"Tidak sarapan dulu, Pa?" tanya Lusi--istri Heigar.
"Tidak. Aku harus menemui Felix sekarang." Heigar pun dengan cepat melesat dari ruang makan dan menuju kamarnya yang ada di lantai dua.
Sementara itu, Ximon dan saudaranya saling bertatapan. Keduanya ikut berlalu dari ruang makan, menuju lantai atas, dan membicangkan rencana yang telah direncanakan.
***
Ruangan itu terasa dingin hanya berlantaikan cor-coran yang diberi alas tikar. Penerangan yang minim, fentilasi yang kecil, membuat udara di dalam jeruji besi terasa begitu pengap dan tak mengenakkan. Para penghuninya sama-sama memiliki kasus berat--pembunuhan beserta penganiayaan. Meskipun perempuan, gestur tubuhnya sangat preman. Dari lima orang di dalamnya, ada satu yang paling disegani dan ditakuti.
Ellena yang sudah berhari-hari di sana menjadi korban kejahilan mereka. Penganiayaan telah ia terima setiap hari. Ketika piket, ia disuruh mengerjakan milik yang lain. Ketika makan, jatahnya pun diambil oleh yang lain. Siksaan-siksaan telah menjadi makanannya sehari-hari. Dan ia tidak bisa mencari pertolongan entah dari dalam maupun dari luar.
Begitu mendengar derap langkah melewati lorong yang hening, semua orang menajamkan pendengaran. Masing-masing langsung berdiri di depan jeruji besi, penasaran siapa yang datang. Mata pun menyorot tajam kepada satu tahanan yang baru datang. Seakan ingin menerkamnya.
Tidak lama, dua petugas yang membawa tahanan baru itu berhenti di depan sel tempat Ellena berada.
Ellena yang duduk meringkuk di pojokan merasa masa bodoh. Tidak tertarik untuk melihat siapa yang datang, sedangkan teman-teman seruangannya sudah berdiri di balik besi, menunggu kehadirannya.
Namun, saat mendengar suara dentingan besi beradu dengan besi, rasa tidak penasaran Ellena melebur. Kepala dengan cepat menoleh ke arah pintu. Sosok yang ia kenal berdiri di sana. Ia terperangah. Perlahan, ia beranjak berdiri, lantas melangkah menghampiri. Setelah berhadapan, keduanya saling tatap dengan mata terbelalak.
"Silakan masuk," ucap seorang petugas polisi perempuan, setelah membuka borgol sang tahanan baru.
Gracie masuk. Ellena langsung menghampiri, mempertanyakan apa yang terjadi.
Sementara, tahanan lain memerhatikannya dengan ekspresi mengejek, kesenangan, dan penuh tak-tik untuk mengerjai.
"Wow! Wow! Ternyata kalian sudah saling kenal, huh?" Perempuan yang memiliki julukan ratu gangster itu bertepuk tangan melihat dua orang yang berpelukan. Senyum smirk-nya tersungging. Tatapannya tampak menyelidik dari atas sampai bawah. Lantas, ia berjalan mengitari keduanya.
Yang lain memerhatikannya dengan ekspresi slengean.
"Bahan permainan kita bertambah," ucap si ratu gangster, kepada teman-temannya dengan penuh gairah dan semangat.
***
Celia bernapas lega. Kabar penangkapan Felix dan Gracie telah ia dengar. Bersama Nick dan kedua bodyguardnya, ia pulang ke rumah mertuanya untuk memberitahukan kabar tersebut.
Semua tampak terkejut. Terlebih lagi Alice, sama sekali tidak menyangka orang tuanya telah melakukan tindakan yang terlalu keji.
"Celia, atas nama mereka, aku minta maaf sama kamu." Alice merasa begitu bersalah.
Dan mendapat gelengan dari Celia. "Alice, kamu tidak perlu meminta maaf. Karena kamu juga korban dari mereka. Mereka berhak mendapatkan hukuman yang sudah dilakukan sebelumnya."
Akan tetapi, Alice masih merasa tidak enak hati.
"Saat aku, Aiden, dan Dante, melakukan penelusuran di rumah Felix, aku menemukan foto Ellena di sana. Katanya, dia saudaranya." Celia menatap satu per satu orang-orang yang duduk di sofa ruang keluarga. Lantas, tatapan tertuju ke Alice. "Alice, memang kamu dan Ellena bersaudara?"
Alice mengedikkan kedua bahu seraya menggeleng. "Aku tidak tahu. Mereka tidak pernah bilang. Waktu masih tinggal di rumah itu juga, aku tidak pernah melihat kehadiran Ellena."
Teresa, Harden, dan Chloe, saling tatap. Seakan paham isi pikiran masing-masing.
"Oke." Celia mengangguk. Kemudian, ia menatap Chloe dan kedua mertuanya. Senyum tipis ia sunggingkan.
"Papa akan menghubungi pengacara kondang untuk mendampingimu di pengadilan sampai kamu bisa memenangkan keadilan untuk orang tuamu, Nak," ucap Harden, kepada Celia.
"Terima kasih, Pa." Celia mengulas senyum. "Tapi, kami masih memerlukan banyak bukti untuk menguatkan perkara ini. Papa pernah bilang kalau Felix orang yang licik dalam berbisnis. Kalau boleh tahu, usaha Felix berjalan di bidang apa?"
"Shipping. Jadi, sebelum mendirikan perusahaan shipping sendiri, Felix pernah menjadi salah satu karyawan perusahaan shipping Kakek kalian--Edward Kinnear, yang sekarang sudah diwariskan ke Mama kalian." Harden menjeda ucapannya sejenak untuk menarik napas. Lalu, melanjutkan lagi, "Karena dia memiliki niat untuk membantu pengusaha-pengusaha yang melakukan impor dan ekspor barang ilegal, dia dikeluarkan dari perusahaan. Lalu, mendirikan perusahaan shipping sendiri. Tapi, perusahaannya tetap kalah sukses dengan perusahaan shipping Kinnear. Lalu, bangkrut. Saat ingin mendirikan lagi, Felix meminta bantuan ke Om Wisnu--sebagai penanggung jawab utama perusahaan shipping Kinnear. Tapi, mendapat penolakan. Akhirnya, mendapat bantuan dari orang lain."
"Jadi, itu alasan Om Wisnu yang takut kalau ada apa-apa dengan perusahaan shippingnya, perusahaan shipping Mama akan kena imbas?" tanya Nick.
Mendapat anggukan dari Harden.
Celia langsung menatap Alice. "Alice, kamu anaknya Felix Cooper. Apa kamu mau membantu untuk mencari bukti-bukti bisnis gelapnya Felix Cooper? Kita harus mendapatkan sebelum sidang dimulai. Aku tidak ingin mereka menang saat melakukan perdebatan nanti."
"Sebagai bentuk permintaan maafanku atas perbuatan mereka, aku bersedia, Celia. Aku akan membantu kamu," jawab Alice, tegas.
"Terima kasih, Alice."
Alice mengangguk seraya mengulas senyum. Ia juga ingin orang tuanya merasakan penderitaan seperti yang telah diberikan kepada dirinya.
***
Beberapa hari kemudian, tes DNA telah mengeluarkan hasil. Nick dan Celia sudah mengambilnya dari rumah sakit. Di ruang kerja apartemennya bersama Aiden dan Dante, secara bersama-sama mereka membuka dua belas lembar kertas hasil tes DNA tersebut. Dijejerkan di atas meja, lantas dibacanya satu per satu dengan teliti.
"Tuh, 'kan, benar!" Sontak, Celia berseru geram.
"Gracie bilang, karena Mama dan Papa mengetahui rahasia besarnya, jadi mereka menyingkirkannya dari dunia agar rahasianya tidak terbongkar. Mereka bersekongkol sama Ellena, dan ternyata Ellena anak kandungnya!" Celia menatap satu per satu tiga lelaki di sekitarnya dengan amarah yang menggebu-gebu.
"Ellena lebih dekat dengan keluargaku, makanya bisa dengan mudah mensabotase mobil orang tuaku. Sialan!" Celia menggebrak meja dengan keras.
Sementara, tiga lelaki itu tercengang melihat amarah Celia yang meledak.
"Sudah kubilang, Ellena itu jelmaan iblis! Ternyata orang tuanya memang iblis!" Emosi Celia sangat tersulut. Napasnya menggebu-gebu. Dada terasa panas membara, gerahnya sampai menyebar ke seluruh tubuh. Dan dengan sadar, ia menendang kursi sampai kursi itu terpental membentur tembok.
Suara gebrakannya berhasil mengagetkan ketiga lelaki di sekitarnya. Namun, Celia tidak memedulikan, entah dari reaksi mereka maupun dari kaki kursinya yang patah.
Nick menghampiri Celia, lantas merengkuhnya dari samping. Bisa ia lihat wajah istrinya merah padam, bibir mengatup rapat, serta rahang mengetat keras.
"Tarik napas dulu. Kamu harus bisa mengontrol emosi," ucap Nick sambil mengusap-usap bahu kiri Celia, berusaha meredakan emosinya.
"Tidak bisa, Nick! Mereka sudah membunuh orang tuaku. Ellena sudah membunuh anak kita. Kemungkinan besar juga Ellena dan Alice memang sengaja ditukar! Jawabannya sudah sangat jelas. Felix ingin balas dendam ke keluarga kamu, tapi melalui anak Om Adam. Alice!" Celia menatap lekat suaminya.
"Adilkah seperti itu, hah?! Anak yang tidak salah dijadikan korban di sini! Dan aku tahu, pasti yang dimaksud rahasia besar juga ini. Orang tuaku mengetahui tentang pertukaran Alice dan Ellena, makanya dibunuh!" Kini, tangis Celia pecah sudah. Tidak sanggup membayangkan penderitaan yang diterima Alice selama ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top