Part 54
"Aku jadi merasa bersalah dengannya." Tatapan Celia terpaku pada televisi yang terkena pantulan cahaya mentari dari dinding kaca. Dengan gerakan pelan, tangannya mengusap-usap lengan kekar Nick yang melingkar di perutnya.
Terasa berat, tapi ia menyukainya. Dekapan Nick selalu membuatnya nyaman dan hangat. Tubuhnya yang lebih besar dan berdada bidang, membuat dirinya merasa begitu terlindungi.
"Aku tidak menyangka perempuan yang dulunya sangat membenciku dan tergila-gila sama kamu, sekarang sudah berubah lebih baik. Bahkan, sampai mau menerima konsekuensi yang cukup berat. Juga mengorbankan persahabatannya dengan Ellena." Pikiran Celia masih tertuju ke Evelyn.
"Dia tidak ingin terlibat dalam tindak kriminal, makanya menolak. Tapi, ancamannya benar-benar terjadi ke Papanya yang sudah kritis. Dia bahkan masih diancam kalau ngasih tahu ke kita, hidupnya juga akan dihancurkan."
Celia terdiam sejenak. Pikiran sibuk membayangkan hal-hal mengerikan yang akan terjadi selanjutnya. Kepada Evelyn, Alice, Nathan. Sedangkan, keselamatan dirinya ia lupakan.
"Hidup kita dikelilingi orang-orang jahat. Dan untuk mengelabuhinya mereka menjelma jadi orang baik di sekitar kita. Semoga Aiden dan Dante tidak termasuk serigala berbulu domba untuk kita."
"Sepertinya tidak." Suara Nick terdengar rendah. "Aku rasa mereka orang yang tulus untuk kita. Aku masih ingat bagaimana mereka menyelamatkanmu saat diculik. Mereka bertarung sama preman-preman suruhan Ellena. Mereka bekerja keras untuk bisa mendapatkan posisi kamu di mana. Mereka juga bisa dipercaya untuk menjagamu saat di rumah sakit."
Celia mencerna ucapan Nick. Mengingat semua perlakuan Aiden dan Dante kepada dirinya yang begitu tanggung jawab, pikiran negatif tentang keduanya langsung ia hempas.
Sedetik kemudian, Celia berganti posisi menjadi menghadap Nick. Lalu, menatap lekat wajah lelaki berparas tampan di hadapannya. Menangkup sebelah pipinya, merabanya pelan, merembet ke bibir dan menggerakkan jari telunjuknya mengikuti bentuk bibir. Kemudian, ia mengecup lembut bibir itu untuk menenangkan pikirannya yang mulai menegang.
Nick yang merasa tergoda oleh sentuhan sang istri, tatapannya terfokus ke mulut Celia yang terbuka sedikit. Terlihat begitu menggoda.
Bibir yang kenyal dan bikin candu itu seolah sedang menunggu kehadiran bibirnya di sana. Dan tanpa membuang waktu, Nick mengeratkan dekapan. Menyatukan bibirnya ke bibir Celia, lantas memagutnya lembut.
Celia tidak sungkan membalasnya. Ciuman Nick sudah menjadi candu untuk dirinya. Kenikmatan yang dirasakan membuat masalah terasa menghilang begitu cepat.
Keduanya terpejam. Semakin memperdalam ciuman, lidah pun saling bertarung, membelit satu sama lain.
Saat merasakan oksigen semakin menipis, keduanya melepas ciuman. Deru napasnya sangat memburu. Dada naik-turun. Kemudian, keduanya menyatukan bibir lagi. Semakin intim.
Gairah yang semakin membakar, membuat tubuh keduanya terasa begitu memanas.
"Nickyyy." Celia mengerang.
***
"Celia, kamu selalu membuatku gila. Kamu sangat panas dan menggoda," ucap Nick, setelah keduanya menuju klimaks dan masih berendam di bathtub.
"Kamu juga. Sudah membuatku sampai seliar ini."
"Dan aku menyukainya. Tidak akan pernah bosan melakukannya bersamamu." Nick mengecup bibir Celia. Berulang kali.
Sementara, di luar unit apartemen Nick, Aiden dan Dante berdiri cukup lama di sana. Keduanya silih berganti memencet bel, menelepon kedua bosnya yang tadi sudah memberi pesan jika urusan di rumah sakit selesai, segera pulang ke apartemen karena mereka di sana.
"Sudah setengah jam kita di sini. Tapi, tidak ada tanggapan sama sekali. Apa mereka sudah pergi ke kantor?" tanya Aiden, uring-uringan. Berulang kali ia mengecek waktu dari ponsel maupun arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Tapi, tadi sudah memberitahu kalau Tuan Nick tidak berangkat ke kantor."
"Tapi, kita seperti orang yang tak dianggap."
"Apa mereka lagi sibuk?"
Mendengar celetukkan Dante, pikiran Aiden langsung terbuka. Ia mendesah berat seraya berkata, "Nasib punya bos mesum semua. Kita harus berdiri sia-sia di sini selama setengah jam, nunggu mereka sampai selesai."
Lantas, keduanya berdiri bersisian, bersedekap sambil bersandar pada dinding.
"Sepuluh menit lagi kita telepon. Mereka masih nanggung sepertinya," ucap Dante, dengan tatapan tertuju ke ujung sepatunya.
Sepuluh menit berlalu. Celia dan Nick baru saja mendarat dari bathtub. Lantas, keduanya segera berganti pakaian santai, dengan Celia memakai dress tak berlengan, dan Nick memakai kaus hitam terpadu celana kain pendek.
Rambut keduanya dibiarkan membasah. Kemudian, keluar kamar secara bersamaan. Melihat pakaian berserakan di lantai, Celia langsung berlari dan memunguti. Sedangkan, Nick mengecek ponsel. Terdapat banyak miscall-an dan pesan masuk dari Aiden dan Dante.
"Sayang, Aiden dan Dante sudah di depan pintu."
"Astaga." Celia yang tadinya agak santai, jadi bergerak cepat. Saking cepatnya, ia melupakan celana dalam miliknya yang terselip di bawah sofa. Dan sudah berlari ke tempat laundry untuk menaruh pakaian kotornya di keranjang.
Nick yang melihat istrinya sudah beres, bergegas menuju pintu. Kemudian, membukanya.
"Ah, Tuan. Akhirnya, dibuka juga pintunya." Refleks, Aiden menceletuk saking leganya. Sebab, ia merasakan kedua kakinya sudah kebas dan tegang.
"Maaf. Sudah lama menunggu, ya. Ayo, masuk," pinta Nick. Raut wajahnya tampak kikuk, menahan rasa bersalah kepada kedua bodyguardnya.
Aiden dan Dante pun masuk. Tepat, Celia keluar dari tempat laundry dan sudah berada di ruang keluarga.
Semerbak wangi shampo dan sabun begitu menyeruak. Aiden dan Dante langsung melihat kedua bosnya, sama-sama berambut basah.
'Ah, ternyata benar dugaanku,' batin Aiden.
Nick meminta kedua bodyguardnya duduk di sofa. Diikuti dirinya dan Celia, yang juga duduk di sofa.
Melihat ada baskom berisi air dan handuk di lantai, Aiden dan Dante lanjut memikir.
Nick yang sadar langsung memberitahu. "Bekas ngelap kakinya Celia. Tadi, dia dikejar sama orang suruhannya Ximon dan melepas high heelsnya. Itu juga yang ingin kuberitahu ke kalian."
"Ooh." Dante dan Aiden kompak ber-oh-ria.
Tapi, tatapan Dante tertuju ke bawah sofa yang diduduki Celia dan Nick. Terselip kain hitam berenda.
Celia yang mengikuti arah pandang Dante, langsung menatap bawahnya. Dengan cepat ia mengambil kain yang teronggok di sana.
Demi apa pun, ia langsung merutuki diri. Sedangkan, dada nyes-nyesan tak keruan. Salah tingkah sudah tidak bisa diekspresikan. Rasanya ingin bersembunyi dari hadapan kedua lelaki itu.
"Ketinggalan. Tadi baru ngelipet baju. Ternyata ada yang jatuh," kilah Celia sambil meringis salah tingkah. Tanpa ba-bi-bu, ia langsung berlari ke kamarnya.
"Tidak perlu malu, Tuan. Kami paham." Dante mengulas senyum.
Suasana menjadi agak canggung.
Sementara, Nick menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Semakin salah tingkah rasanya.
Dan Celia tak kunjung keluar kamar setelah bermenit-menit berlalu.
"Aku lihat istriku dulu." Nick menunjuk pintu kamarnya seraya beranjak dari sofa. Dengan langkah cepat ia menuju kamar. Baru saja membuka pintu, ia melihat istrinya berbaring tengkurap di ranjang sambil membenamkan kepala di bantal.
"Sayang, lagi ngapain? Kenapa enggak keluar-keluar?" tanya Nick seraya menghampiri Celia.
"Malu Niiick." Celia beranjak duduk. Wajahnya sudah memerah bak kepiting rebus.
"Kenapa harus malu?" Lelaki itu duduk menyerong di tepi ranjang, menghadap Celia.
"Aiden dan Dante ngeliat celana dalamku." Celia mencebik.
"Mereka sudah paham sendiri. Kita kan sudah bersuami-istri. Lagi pula, mereka sudah sering ngelihat kita bermesraan."
"Tapi, enggak ngeliat pakaian dalamku. Dan itu privasi hanya kamu yang boleh ngeliat." Celia masih kesal dengan dirinya sendiri. "Aaaa, malah pakai acara ketinggalan segala."
"Sudah bersikap biasa saja. Mereka tidak akan berani mengejekmu."
"Tapi, masih maluuu."
"Bocah nakalku mana punya malu. Dari dulu enggak pernah punya rasa malu."
"Beda, Nick."
Nick menarik Celia agar semakin dekat. "Lupakan, oke." Kemudian, ia mengangkat istrinya, membopongnya keluar.
Aiden dan Dante saling diam begitu melihat bosnya keluar dari kamar, dengan Nick membopong Celia. Lalu, lelaki itu mendaratkan Celia ke sofa.
Sebenarnya, Aiden dan Dante tidak memikirkan apa-apa. Tapi, bagi Celia, mereka sedang berpikir macam-macam yang membuatnya masih sangat salah tingkah.
Enggan menatap, Celia menyandarkan punggung sebagai dalih penyembunyian diri.
"Kalian sudah pastikan sampelnya tidak tertukar, 'kan?" tanya Nick, membuka pembicaraan.
"Tidak, Tuan. Rambut masih di dalam kantong plastik yang sama," jawab Dante.
Nick mengangguk. "Tadi Celia dikejar anak buah Ximon, selesai kami dari pemakaman. Aku rasa rencana kita yang kemarin masih belum berhasil. Dan aku tidak bisa membiarkan Celia sendiri. Benar-benar tidak aman," jelasnya, mengalihkan pembicaraan.
"Dan kematian papanya Evelyn juga ada andil dari Ximon. Sebelumnya Ximon pernah menemui dia, mengajak kerja sama untuk menghancurkanku dan menggunakan papanya sebagai senjata ancaman. Tapi, ditolak Evelyn."
"Apa karena Evelyn tidak menerima, lalu dia mencari orang baru, Tuan? Atau orang itu memang sudah ditetapkan Ximon sebagai mata-mata di kantor Anda."
Celia mendengarkan obrolan ketiga lelaki itu. Sedangkan, benak sibuk berpikir. "Kita harus cari kebenaran yang pasti. Aku sangat penasaran dengan alasannya. Kalau mereka sedang memainkan catur, mari kita bertindak sebagai rajanya."
Celia mulai berani menegakkan tubuh dan menatap kedua bodyguardnya. "Mereka belum tahu, kalau kita sudah tahu rencananya. Ini akan mempermudah kita membawa dia dan mengintrogasi," ucapnya lagi sembari menatap Nick.
"Tapi, kalau kita melakukan itu, lalu melepaskannya lagi, yang ada Ximon akan semakin murka dengan kita." Lelaki itu menimpali.
"Kalau gitu jangan lepaskan." Celia berkata pasti.
"Kita melakukan penculikan. Kalau diketahui pihak berwajib, kita akan kena sanksi. Takutnya akan berefek ke perusahaan."
"Nick, cerdas dikit. Kita bisa mencari orang. Villa kita di puncak masih ada, 'kan?" tanya Celia, yang dimaksud adalah villa yang sering dikunjungi saat berlibur ke puncak. Dan villa itu hasil patungan dari orang tuanya dan orang tua Nick.
Nick mengangguk.
"Bagus. Kita bisa membawanya ke sana dan menyekapnya di sana. Kita interogasi di sana."
"Kalau Ximon mengetahui?"
"Kita selesaikan masalah di sana sekalian."
"Apa kalian setuju?" tanya Nick ke Aiden dan Dante.
"Nanti coba kami pikirkan, Tuan. Sekiranya aman atau tidak," balas Aiden.
"Oke." Nick mengangguk setuju.
"Ah, iya. Untuk besok, aku rasa Aiden lebih pantas jadi Pak ustadz. Nanti kukasih bacaan-bacaan ruqyah yang dikasih Pak Mul. Kamu harus hafalin, ya," pinta Celia seraya terkekeh. Untuk mengerjai orang, ternyata butuh effort yang luar biasa.
"Siap, Nyonya. Nanti saya hafalin."
"Semangat jadi orang pintar ngusir hantu, Ai." Dante tergelak sambil meninju lengan kanan atasnya sang teman.
"Nanti bisa untuk meruqyah dirimu, Dan," ejek Aiden.
"Siapa tahu bakal jadi orang pintar yang bisa ngusir setan beneran," sahut Celia. "Nanti kalau Nick ketempelan pocong lagi, enggak usah jauh-jauh manggil Pak Mul atau nyari daun kelor." Ia menepuk-nepuk bahu kiri suaminya sambil menyunggingkan senyum jahil.
"Aku cipok lagi mulutmu, Sayang, bicara soal pocong di depanku." Nick tampak kesal.
Sementara, Celia langsung mencubit pipi kanan-kiri Nick dengan gemas. Sangat cepat melupakan rasa malunya yang tadi melanda berat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top