Part 53
Rumah berlantai dua di dalam cluster itu sudah ramai oleh orang-orang yang dominan berpakaian hitam. Di depannya terdapat banyak karangan bunga ucapan belasungkawa--dan masih berdatangan. Nick dan Celia yang masih di dalam mobil, saling pandang atas kebenaran ucapan Evelyn jika sang papa telah tiada. Mereka tidak langsung turun. Masih memerhatikan para tamu yang datang, yang tak lain rekan-rekan kerja Evelyn.
"Lalu apa yang akan dibicarakan Evelyn, yang katanya tentang kita?" tanya Celia, masih penasaran sampai sekarang.
Nick mengedikkan kedua bahu. "Aku juga belum tahu. Nanti nunggu Evelyn bicara sendiri saja. Tidak enak kalau mau nodong."
Celia mengangguk setuju. Pandangan masih memerhatikan sekitar. Saat melihat satu orang yang telah ikut andil dalam urusan Ximon, ia berkata, "Ada dia. Kita tidak bisa turun bareng. Kita juga tidak bisa berdekatan."
"Kita turun bergantian kalau gitu."
Celia mengangguk lagi. "Aku dulu?"
"Boleh."
Celia memakai kacamata hitamnya, lalu memakai tudung hitam panjang dan menyampirkan ujung-ujungnya ke bahu. "Setelah aku sampai, kamu lajukan mobil ke depan sana biar enggak dicurigai banget."
"Oke, Sayang."
Celia menarik handle pintu mobil, lantas membukanya. Kaki beralaskan high heels hitam itu mengayun anggun menyusuri jalanan aspal cluster. Ia mengulas senyum simpul saat berpapasan dengan rekan kerjanya, meskipun mendapat tatapan ragu dari mereka. Mungkin, karena mereka masih teringat atas kerusuhan yang dibuatnya kemarin. Namun, ia tidak memedulikan. Kefokusannya kembali tertuju kepada Evelyn yang berada di dekat keranda papanya.
"Evelyn," panggil Celia, lirih seraya menyentuh bahu perempuan itu.
"Celia." Evelyn berucap lirih di tengah isakannya. Lantas, menghambur ke pelukan perempuan itu.
"Aku turut berdukacita, ya."
"Iya, Cel." Evelyn manggut-manggut.
"Kita sama-sama sudah ditinggal pergi oleh sosok Papa. Aku cuma mau bilang, kamu harus tetap semangat menjalani hari-harimu, ya. Walaupun itu memang terasa berat."
Evelyn hanya manggut-manggut tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Teringat Nick karena tidak melihat sosoknya, ia bertanya, "Pak Nick datang ke sini tidak?"
"Evelyn--."
"Cel, jangan salah paham dulu. Ada yang ingin kubicarakan ke Pak Nick. Ini berhubungan dengan dirimu juga." Dengan mata sembabnya, Evelyn menatap lekat Celia. Namun, tak lama ia melihat sosok Nick datang menghampiri.
"Oke. Kamu bisa bicara sama Nick. Tapi, aku tidak bisa ikut. Nanti biar Nick yang cerita sama aku."
"Makasih, Cel. Tapi, kamu beneran tidak cemburu, 'kan?"
Celia menggeleng. Melihat Nick mendekati, ia langsung berlalu tanpa menatapnya, bahkan sangat sengaja menabrak bahu lelaki berkemeja hitam yang dipadukan dengan celana kain hitam. Para karyawan yang melihat tentu masih sangat paham jika dirinya dan Nick masih marahan.
"Masih belum baikan sama Pak Nick?" tanya Flora, setelah Celia berdiri di sampingnya.
Perempuan itu menggeleng tegas. "Tidak akan pernah baikan sama laki-laki yang sudah mengkhianatiku."
"Tapi, kalian sudah menikah, Celia. Tidak baik marahan terlalu lama."
"Apalagi sudah menikah. Semakin susah untukku mempercayai laki-laki yang sudah mengkhianatiku. Apalagi dia menyembunyikan perempuan di belakangku selama ini." Celia berkata sengit sambil menatap Nick yang sekarang sedang masuk ke dalam rumah Evelyn.
"Terus, kamu tinggal di mana sekarang? Masih bareng Pak Nick?"
"Nginep di hotel. Pokoknya aku tidak mau berbicara sama Nick lagi. Lelaki kayak gitu buat apa dipertahanin."
"Kalau inget pernikahan kalian yang megah dan mewah itu, sayang banget rasanya."
"Bukan aku yang minta. Tapi, Mama Resa yang mau. Jadi, bukan aku yang rugi. Mungkin, anakku tahu kalau mau gini. Makanya dia keluar duluan."
Flora merengkuh Celia dari samping, mengusap lengan atas temannya penuh perhatian. "Mas Abis pasti bakal tidak terima kalau kamu diginiin. Memangnya siapa perempuan yang disembunyikan Pak Nick darimu."
"Duh, jangan bahas perempuan itu deh, Flo. Bikin gedek dengernya. Aku masih benci banget soalnya. Bikin hatiku makin panas tahu."
"Oke, oke. Maaf." Flora mengulas senyum simpul. "Terus, apa yang akan kamu lakukan sekarang? Maksudnya, kamu mau kerja apa?"
Celia mengedikkan kedua bahu. "Nganggur dulu deh."
"Kalau kamu mau kerja, aku ada kenalan. Mungkin kamu mau kerja ikut dia."
"Kerja apa?" tanya Celia, ingin tahu.
"Nanti aku tanya dulu untuk lebih jelasnya. Nanti aku kabarin kamu."
"Oke." Celia manggut-manggut.
Cukup lama mereka di rumah Evelyn, sampai pelepasan papa Evelyn untuk dibawa ke tempat pemakaman. Beberapa ada yang ikut, tetapi ada juga yang langsung pergi ke kantor. Celia bersama rekan-rekan kantornya yang selantai sepuluh ikut menemani Evelyn sampai ke pemakaman, pun dengan Nick.
Setelah selesai prosesi pemakaman yang cukup sakral, Nick dan Celia masih tidak saling sapa. Sama-sama diam membisu dengan tatapan penuh dendam dan amarah.
"Cel, mau ikut kami?" tawar Verrell, kasihan melihat Celia harus menunggu taksi. Sedangkan, Nick sudah berlalu.
"Tidak, Verrell. Aku sudah mesan taksi. Sebentar lagi datang."
"Oke. Kalau gitu kami pergi dulu, ya. Harus masuk kantor soalnya."
"Oke." Celia mengulas senyum seraya melambaikan tangan, kepada rekan-rekannya yang juga melambaikan tangan.
Tidak lama, taksi yang dipesan pun tiba. Celia masuk, mendaratkan bokong di jok belakang sembari memberitahu tempat tujuannya. Bukan alamat apartemen Nick, tetapi ke Pacific Place Mall. Ia juga mengabari Nick untuk bertemu di mall tersebut.
Saat ia mengecek belakang, tatapan menangkap satu mobil hitam mengikuti. Berjarak cukup jauh. Untuk memastikan apakah mobil mengikuti taksinya, ia meminta sopir taksi berkelok masuk ke sebuah gang.
"Kenapa ke sini, Nona?" tanya sang sopir taksi, penasaran.
"Ikuti saja, Pak," balas Celia sambil menatap ke belakang. Mobil hitam itu masih mengikuti. Sudah bisa dipastikan jika mobil itu memang mengikutinya.
"Pak, cari jalan menuju raya. Terus tambah laju setelah masuk jalan raya, ya. Tetap ke mall yang tadi."
"Baik, Non." Sang sopir ikut menatap spion, karena penasaran penumpangnya terus melihat ke belakang. "Sedang diikuti orang, Non?" tanyanya.
"Iya, Pak."
Tidak ada pertanyaan lagi dari si sopir. Lelaki itu hanya fokus pada jalanan yang berkelok, lurus, berkelok lagi, sebelum akhirnya memasuki jalan raya. Sesuai permintaan sang penumpang, ia menambah laju kendaraannya. Tetapi, mobil hitam yang sama masih mengikuti.
Agak gelisah perasaan Celia, ketika terjebak macet. Apalagi tidak ada Aiden dan Dante yang mengikutinya. Kedua lelaki itu sedang diberi tugas oleh Nick, mengantar sampel DNA ke rumah sakit.
"Non, sepertinya masih panjang macetnya," ucap sang sopir.
Celia masih mengecek belakang. Mobil hitam yang mengikutinya terlihat. Lalu, dua orang lelaki keluar dari mobil tersebut.
Celia tidak bisa hanya terdiam di tempat. Lantas, ia mengambil selembar uang kertas merah dari tas tangannya dan diberikan ke sang sopir. "Ambil kembaliannya, Pak. Saya turun di sini."
Dengan cepat Celia keluar dari taksi. Berjalan mengendap-endap melewati sela-sela mobil yang berhenti. Setelah agak jauh, ia melepas high heels dan menjinjingnya. Lantas, berlari kencang melewati melewati pinggiran jalan, tanpa menoleh kebelakang.
"Kejar dia! Jangan sampai lepas!"
Celia mendengar seruan dari salah satu lelaki yang mengejarnya. Lari pun semakin diperkencang tanpa memedulikan telapak kaki menginjak benda semacam kerikil dan menyusuri jalanan yang panas oleh paparan sinar matahari yang menyengat.
"Sial! Larinya kencang sekali!"
Celia mendengar seruan orang-orang yang mengejarnya. Dengan napas yang sudah mulai ngos-ngosan, tenggorokan terasa kering dan tercekat, kaki terus diayunkan untuk berlari. Tanpa henti.
Dari tempatnya, gedung Pacific Place Mall sudah terlihat. Tetapi, masih cukup jauh untuk dijangkau tanpa kendaraan. Tidak mungkin juga ia mencari taksi lain. Ojek pun tidak ada yang terlihat. Tidak putus asa untuk sampai ke tujuan, Celia masih tetap mempertahankan larinya. Bahkan, saat menyeberang jalan penuh kendaraan yang melaju dari arah kanan, ia sama sekali tidak menolehnya. Hampir saja tertabrak, tapi nasib baik masih menyertai dirinya.
Setibanya di seberang jalan, ia baru melihat ke belakang. Dua orang yang mengejarnya masih berlari, ketinggalan cukup jauh. Kemudian, ia melanjutkan lari lagi menaiki jembatan layang menuju Pacific Place Mall.
Ia hampir saja terjatuh saat kaki tak mampu menopang tubuh saking lelahnya. Namun, Celia kembali bangkit dan mempertahankan tenaganya semampu mungkin. Setibanya di seberang jalan dari jembatan, ia bernapas lega karena sebentar lagi tiba di tempat tujuan. Dan lagi, ia menambah lajuan lari lantas mengambil jalan pintas melewati lorong penghubung mall.
Celia tiba di lobi. Ia langsung mencari jalan menuju parkiran basement. Setelah menemukan, ia langsung masuk ke area parkiran. Kini, ia bisa bernapas lega. Tapi, untuk berjaga-jaga, ia bersembunyi di balik dinding. Kaki terasa bergetar hebat, tubuh panas-dingin dan berkeringat parah. Teringat harus mengabari Nick, dengan gerakan tergesa ia mengambil ponselnya di dalam tas, lantas menghubungi lelaki itu.
"Sayang, aku sudah di basement. Dekat P3 M5. Jemput ke sini. Cepetan," ucap Celia, setelah sambungan telepon terangkat. Napasnya terengah-engah, sampai dada naik-turun cepat.
"Oke, oke. Tapi, kenapa suara kamu terdengar ngos-ngosan sekali?"
"Jangan banyak tanya dulu. Cepat ke sini sekarang." Celia memutuskan sambungan telepon. Jika tidak, Nick masih akan terus bertanya.
Sambil menunggu, Celia bersantai sejenak untuk mengatur pernapasannya agar lebih teratur. Beberapa menit kemudian, ia mendengar deru mobil memasuki area parkir tempatnya.
Pelan-pelan Celia mengintip dari balik mobil di depannya. Memastikan itu mobil Nick dilihat dari plat nomornya, kemudian ia keluar dari persembunyian setelah tahu yang datang benar-benar suaminya.
Nick menghentikan mobil. Celia bergegas masuk, tas tangan dan high heels ia lempar ke jok belakang secara asal. Kali ini, perempuan itu sudah semakin lega dan aman.
"Kenapa ngos-ngosan sekali?" tanya Nick seraya melajukan mobilnya lagi.
"Aku dikejar dua orang. Sudah diikuti dari pemakaman. Saat di jalan terjebak macet, orang itu keluar dari mobilnya. Jalan ke arah taksi yang kutumpangi. Terus, sebelum mereka menangkapku, aku lari dari taksi lebih dulu," jelas Celia, di sela napasnya yang tersengal-sengal. "Rasanya kayak mau mati," keluhnya.
"Ini yang aku takutin kalau tidak ada Aiden dan Dante yang mengikutimu."
"Aku pikir aman. Ternyata mereka sudah menungguku." Celia menoleh ke belakang. "Tidak ada yang mengikutimu, 'kan?"
Nick menggeleng. "Aman. Sepertinya mereka memang mengincarmu. Ingin membawamu."
"Apa yang kemarin masih kurang meyakinkan kalau aku dan kamu sudah tidak saling peduli? Tadi juga kita tidak saling tegur sapa."
"Ximon susah dikelabuhi sepertinya."
Celia menurunkan kepala joknya jadi berbaring saat mobil Nick keluar dari dalam basement. "Kakiku jadi gemetar banget lari enggak ada jedanya. Tanpa alas kaki juga."
Nick menoleh menatap sang istri. Kasihan melihatnya. "Tidur dulu," pintanya seraya menggenggam salah satu tangan Celia, diusapnya lembut.
Tanpa berkata, Celia menurut. Ia memejamkan mata untuk merelaksasikan tubuh. Tidak lama ia masuk ke dalam alam bawah sadarnya.
**
Nick memarkirkan mobil di basement apartemen. Begitu melihat ke jok samping, Celia masih tertidur sangat pulas. Tidak ada niatan untuk ia membangunkan. Namun, saat membuka pintu di samping Celia, tatapannya tertuju ke kaki Celia yang telanjang tanpa alas.
Perasaan bersalah menghampiri. Teriris hatinya telah membiarkan istrinya melawan musuh sendiri. Ketakutan pun kembali menggerogoti saat teringat momen Celia di ruang ICU dengan tubuh terpasang alat penunjang kehidupan.
Nick masih terdiam, memerhatikan wajah istrinya lekat-lekat. Tidak lama, Celia menggeliat. Perlahan, membuka matanya dan mengerjap.
"Sudah sampai?" tanya perempuan itu lirih.
Nick mengangguk seraya mengulas senyum. Lalu, menegakkan kepala jok perlahan, membuat Celia jadi duduk tegak. "Ayo, ke atas."
Celia manggut-manggut. "Tasku," ucapnya.
Nick membuka pintu belakang, mengambil tas dan high heels Celia. Kemudian, kembali ke Celia dan membopongnya ala bridal. Perempuan itu mengalungkan kedua tangannya ke leher dirinya, dengan kepala di rebahankan ke dadanya.
Sambil berjalan, Nick mendaratkan kecupan di kening sang istri. Cukup lama. "Maafkan aku," ucapnya penuh bersalah.
Celia menggeleng. Salah satu tangannya menangkup wajah Nick, mengusapnya lembut. "Bukan salahmu."
Setibanya di unit apartemennya, Nick menidurkan Celia di sofa ruang keluarga. Lengan kemejanya ia gulung sampai siku sambil sibuk berjalan menuju dapur. Lalu, ia mengambil baskom berukuran besar di dalam lemari dan diisi air. Ia kembali menghampiri Celia lagi, menaruh baskom ke lantai. Kini, beralih berlalu menuju kamar. Keluar lagi dengan tangan sudah membawa handuk.
Melihat suaminya sibuk sendiri untuk mengurusi dirinya, Celia mengulas senyum haru. Gemericik air terdengar saat lelaki itu mencelupkan handuk ke baskom dan memerasnya. Lalu, perlahan mengusapi telapak kakinya, secara bergantian.
"Sakit?" tanya Nick sambil mengamati telapak kaki Celia, lalu beralih menatap wajah sang istri. Meskipun tidak ada lecet, tetapi telapak kaki itu terlihat memerah.
Celia menggeleng. "Tidak. Cuma gemeter efek lari doang tadi," jawabnya sembari mengulas senyum. "Makasih, Sayang."
Nick menaruh handuk ke dalam baskom. Lantas, mensejajarkan jongkoknya di depan kepala Celia. Dengan penuh kasih sayang, ia mengusap lembut sebelah wajah istrinya. Dikecupnya bibir merah muda istrinya yang terasa kenyal.
"Setelah masalah ini selesai, aku pastikan kita bisa menjalani hidup normal seperti biasanya lagi. Dan aku janji akan membahagiakanmu. Kita bisa memiliki anak, kamu jadi Mama, aku jadi Papa. Dan kita akan menjadi keluarga yang bahagia."
Celia manggut-manggut. Lantas, menghambur ke pelukan Nick. "Aku bahagia bersamamu. Asal bersamamu, Nicky. I'm still falling for you. From last and now."
"Me too. Still falling for you. From last and now. And until end this life." Dikecupnya kepala Celia, berulang kali, dan penuh sayang.
"Jadi, apa yang dikatakan Evelyn tadi?" Celia mengurai pelukan. Meminta Nick berbaring dengannya dan memeluk dirinya. Lantas, lelaki itu pun menceritakan semua obrolannya bersama Evelyn.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top