Part 52
[Tolong pantau dia. Ikuti ke mana pun perginya]
Nick mengirim pesan kepada karyawannya yang tadi pagi memberikan bukti video.
[Pak, tapi saya takut ketahuan]
Nick membaca balasan itu. Dengan cepat, ia menulis balasan dan dikirim.
[Tidak perlu takut. Saya janji akan melindungimu kalau ada sesuatu yang mengancammu. Saya juga akan membayarmu]
Untung saja karyawan itu laki-laki. Dengan kata akan melindungi, cukup aman untuk dirinya karena tidak akan terjadi kesalahpahaman antar perasaan.
[Baik, Pak]
Nick balasan itu. Lalu, menulis balasan lagi, [Jangan lupa direkam apa pun yang dilakukan dia di belakangku]
Mendapat balasan [baik] dari sang karyawan, Nick tidak membalasnya. Dan pesan masuk dari sang istri mengalihkan perhatiannya.
[Sayang, aku ada di tempat gym. Selesai kerja langsung ke sini saja. Aku latihan fisik bareng Aiden dan Dante]
[Aku ada beli baju olahraga untukmu juga. Biar bisa olahraga bareng]
"Latihan fisik." Nick mengulas senyum. Jika Celia sudah berniat seperti itu, tenaganya pasti akan segera pulih. Pikiran liarnya pun mulai menguasai otak. Dan tanpa sadar, ia menggigit bibir bawahnya begitu mengingat tubuh sexy sang istri tanpa sehelai benang pun.
[Oke, Sayang. Nanti aku ke sana😘]
***
Di ruang gym yang luas penuh dengan peralatan olahraga, Celia sudah melakukan pemanasan olahraga terlebih dulu bersama Aiden dan Dante, sebelum akhirnya melakukan olahraga berat seperti; tendangan dan pukulan pada samsak, dan berlanjut berlatih sparing dengan Celia melawan dua orang. Sudah memiliki skill bela diri pencak silat, membuat perempuan itu tidak kesusahan saat menangkis serangan lawan.
Ketiganya benar-benar bertarung. Celia yang meminta. Perempuan itu tidak suka berlatihnya hanya main-main tanpa mengeluarkan tenaga, apalagi dengan rasa tak enak hati dari kedua lelaki bertubuh kekar itu.
Aiden dan Dante pun menuruti meskipun tetap berhati-hati tidak sampai menyakiti sang nyonya. Dan keduanya memuji kehebatan bertarungnya Celia. Setiap gerakannya sangat cekatan dan gesit, tendangannya berbobot, pukulannya pun sangat terasa dan bertenaga, tidak diragukan lagi jika perempuan itu mampu menjaga diri dari serangan lawan. Beruntung, di jam kerja ini tempat gym sepi. Tidak ada yang melakukan olahraga, sehingga membuat perempuan itu begitu leluasa melakukan aktivitasnya tanpa menjadi tontonan orang-orang.
Namun, memasuki jam pulang karyawan, tempat gym kedatangan banyak orang yang hendak berolahraga. Celia, Aiden, dan Dante pun menghentikan olahraganya, lalu duduk santai di lantai berlapis karpet karet gym yang cukup luas.
Ketiganya memerhatikan orang-orang yang mulai berolahraga. Tidak lama, Nick datang masih memakai pakaian kerja formalnya. Celia menyambutnya dengan bahagia, lantas keduanya saling mendaratkan kecupan di bibir.
"Ganti baju dulu. Terus olahraga bareng," pinta Celia sembari menangkup sebelah wajah Nick dan mengusapnya lembut. "Bajunya ada di lokerku. Ayo." Ia beranjak, begitu pun dengan Nick. Lantas, keduanya mengayunkan kaki menuju loker.
"Rencana kita berhasil. Dia sudah laporan sama Ximon," ucap Nick, lirih.
Celia menoleh ke sekitar, takut ada orang yang mendengar. Lalu, ia mendongak. "Kamu tahu dari mana?" tanyanya lirih.
"Karyawan yang tadi ngasih video untukku, aku suruh dia untuk mengikuti setiap pergerakannya. Dan setelah keributan tadi, orang itu langsung pergi dari kubikelnya. Diikuti sama karyawan yang kusuruh, dan dia berhasil merekamnya secara diam-diam."
Celia menyunggingkan sebelah sudut bibirnya. "Tapi, Ximon pasti tidak akan tinggal diam."
"Setidaknya, dia tahu kalau kamu bukan lagi kelemahanku."
"Iya." Celia mengangguk membenarkan. Ucapannya terjeda sesaat ketika ia membuka pin lokernya, setelahnya ia membuka pintu loker. Di dalamnya terdapat tempat gantungan dan laci berukuran sedang. "Lalu, rencana selanjutnya apa?"
"Masih belum kupikirkan." Nick mengedikkan kedua bahu. "Nanti kita bahas di apartemen. Kalau di sini cukup berbahaya. Tidak aman."
Celia membalikkan tubuh setelah mengambil pakaian olahraga milik Nick. Lantas, saling bertatapan dengan suaminya. "Baiklah. Sekarang ganti baju dulu." Ia menyerahkan pakaian dalam genggamannya kepada Nick. Namun, lelaki itu justru mengurungnya.
Nick menunduk. Mendekatkan kepala ke telinga kiri Celia, lalu berbisik, "Aku merindukanmu."
Mendengar suara seraknya yang berat serta embusan napasnya yang menerpa daun telinga, berhasil membuat Celia bergidik geli. Tubuhnya agak menggelinjang. Ia paham yang dimaksud Nick. Lantas, mata saling beradu tatap dan dalam.
"Nanti malam," balas Celia, lirih dan penuh arti.
"Kamu sudah siap?" Tubuh Nick mulai terasa gerah saat gairah mulai merangsangnya.
Celia mengangguk mantap. Ia menangkup sebelah wajah Nick, lantas berjinjit untuk mencium bibir suaminya lebih dulu. Memagutnya lembut.
"Sudah," ucap Celia setelah melepas pagutannya. Ia tersenyum lebar dengan ibu jari tangannya mengusap lembut kulit wajah sang suami yang bersih dari noda.
"Aku nantikan nanti malam." Nick mengecup pipi istrinya, sebelum akhirnya mengambil pakaian olahraganya dari dekapan Celia. "Tunggu aku di sini, Sayang," pintanya.
Celia mengangguk menurut. Jantungnya masih saja berdebar setiap mendapat perlakuan manis dari Nick. Senyum salah tingkah, membuat dirinya seperti orang yang sedang jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan Nick selalu berhasil membuatnya seperti itu.
Sesaat kemudian, Nick datang dengan pakaian kerjanya tersampir di lengan kiri. Sedangkan, tangan kanannya menenteng sepatu pantofelnya. Melihat itu, Celia langsung mengambil sepatu sport milik suaminya yang masih di loker. Lalu, meminta memakai. Sedangkan, dirinya merapikan pakaian kerja milik Nick untuk dihanger dan digantung.
Selesai semua, keduanya pergi ke tempat gym lagi. Masih banyak karyawan di sana, dan Celia tidak memedulikan. Untuk mencari aman, Nick dan Celia agak berjaga jarak saat Nick mulai melakukan pemanasan pada treadmill. Sedangkan, Celia melakukan tinjuan pada samsak. Namun, ia tidak tahan saat melihat suaminya didekati beberapa wanita.
Dalam diamnya Celia masih memerhatikan dengan sorot mata yang tajam. Para wanita itu saling berbisik dan cekikikan sambil mengamati Nick yang memiliki tubuh atletis, berotot, dan kekar.
"Lalijok, aku salah jalan," umpat Celia, yang seketika menghentikan tinjauannya pada samsak. Api cemburu mulai tersulut, membuat tubuhnya terasa panas dingin. Dengan cepat, ia mengayunkan kaki menghampiri suaminya.
"Mode cemburu on fire." Aiden berbisik kepada Dante, yang melihat nyonyanya melangkah tegas menghampiri bosnya.
"Gayaan mau jaga jarak. Lihat gituan aja singanya udah keluar." Dante terkikik.
Lantas, keduanya hanya diam menunggu apa yang akan dilakukan Celia.
"Minggir! Sudah tahu dia punya istri, masih saja menggodanya!" cecar Celia kepada para wanita itu. "Kamu juga! Masih saja lirak-lirik sana-sini!" Ia beralih mencecar Nick.
Nick mengangkat kedua tangan tak acuh. Para wanita yang di dekatnya pun berlalu. Lalu, berganti Celia yang berjalan di treadmill samping Nick.
"Sepertinya mereka sudah tahu keributan di antara kita tadi. Makanya berani deketin kamu," bisik Celia, pandangan masih mengikuti kepergian para wanita itu.
"Makanya punya suami dijaga, Sayang. Jangan dilepasin sendiri."
"Ya, 'kan, biar enggak dicurigai kalau kita masih baikan. Tapi, malah dijadikan kesempatan para wanita itu mendekati kamu. Nyebelin juga." Celia ngedumel kesal.
Sementara, Nick mengulum senyum. "Kalau cemburu gini, kodammu keluar beneran. Nyeremin. Langsung bikin jiper perempuan yang berusaha mendekatiku."
"Looh, wani-wani." Celia menyipitkan mata. Setelah itu, ia tidak pernah meninggalkan Nick sendirian lagi. Terus menemani apa pun yang dilakukan Nick dalam berolahraga.
***
Jam sembilan malam, keempatnya tiba di apartemen. Mereka masih melanjutkan meeting tentang rencana-rencana yang akan dilakukan untuk para target. Dan tepat itulah, Celia mulai terbuka menceritakan semua hal yang telah dilakukan di rumah Cooper sampai ia berhasil mengambil rambut kedua targetnya.
"Kejahilanmu memang sudah permanen melekat di tubuhmu. Ada saja idenya." Nick tergelak, mendengar cerita istrinya sampai pura-pura menjadi orang indigo.
"Tapi, mereka semua pada begok. Mau saja dikibulin. Mana ekspresinya sama kayak kamu pas dilihatin poci. Pada ketakutan semua." Celia pun tergelak.
Sementara, Aiden dan Dante terkekeh sambil geleng-geleng heran dengan kecerdasan sang nyonya. Keduanya juga mulai paham dengan karakter kedua bosnya yang asyik dan unik. Pantas saja jodoh, keduanya memang saling melengkapi, kompak, dan klop. Jangan ditanya soal perasaan masing-masing. Keduanya sama saja, protektif dan sama-sama gilanya kalau sudah bermesraan. Tidak melihat sekitar.
"Dan aku sudah mendapat kunci besar di sini. Mereka ngaku kenal sama orang tuaku, pas aku bilang ada korban kecelakaan dari delapan tahun lalu. Tinggal cari kebenaran saja apakah mereka ada andil atau tidak. Dan di sini aku butuh salah satu dari Aiden dan Dante untuk jadi ustadz. Untuk meruqyah rumah itu."
Kedua orang itu langsung terperangah.
"Nyonya, tapi kami tidak bisa membaca doa-doa ruqyah." Dante tampak gelisah.
"Tenang. Ada Pak Mul." Celia tersenyum mengulum senyum.
"Ah, benar itu." Nick menjentikkan jari.
"Nanti aku minta doa-doa pengusir setan sama Pak Mul. Nick pernah jadi pasiennya saat dilihatin pocong." Tawa Celia meledak setiap mengingat kejadian itu, saat mengingat ekspresi wajah ketakutan Nick.
"Dan itu gara-gara kamu, Sayang." Lalu, Nick terbelalak. "Jangan bilang, nanti rumah Cooper jadi sarang hantu beneran."
"Bagus kalau gitu." Celia terkikik. "Oke, kembali ke topik. Nanti kalian berdua ikut aku datang ke sana. Intinya pura-pura jadi orang pintar ngusir setan saja. Terus aku pura-pura kerasukan arwah Mama, kalian tanya-tanya aku yang menyinggung soal kecelakaan dan kedekatanku dengan Felix dan Gracie. Pokoknya kita harus bisa dapat informasi dan bukti. Jangan lupa pasang kamera kecil agar bisa merekam."
"Oke, Siap, Nyonya." Aiden mengangguk patuh.
"Dan, Nick, kita punya target baru yang berhubungan dengan Ximon." Celia menunjuk foto yang baru dipasang, di dekat foto Ximon. "Dengan keributan yang terjadi dengan kita tadi, bagaimana kalau aku mendekati lelaki itu. Pura-pura mengajaknya kerja sama untuk menghancurkanmu."
"Tidak. Aku tidak setuju." Nick menggeleng cepat. "Berbahaya. Kalau Ximon tahu kita hanya pura-pura, ancaman besar untukmu. Kita bisa cari cara lain."
"Saya setuju dengan pendapat Tuan, Nyonya. Berbahaya untuk Anda. Apalagi Ximon, orang yang cukup licik." Aiden menimpali, dan mendapat anggukan setuju dari Dante serta Nick.
"Tujuan orang itu untuk menghancurkan Tuan Nick. Dan ancamannya dengan menyakiti Anda. Tentu dia tidak akan mudah dibodohi dengan keributan yang terjadi di antara kalian tadi. Berarti yang perlu kita lakukan di sini mencari titik kelemahan lelaki itu. Mencaritahu tentang perusahaannya apakah ada penyelewengan atau tidak? Apakah ada kerjasama dengan bisnis gelap atau tidak?" usul Dante.
"Tapi, kalau bisnis yang dilakukan keluarganya bersih bagaimana? Tidak ada alasan untuk kita bisa melawan mereka," balas Celia.
"Kita coba cari tahu dan selidiki dulu. Kalau kita mendapat bukti kelemahan Ximon dan keluarganya, bisa untuk pegangan kita mengancam balik mereka. Intinya kalau berani macam-macam, bukti-bukti yang kita punya akan langsung diserahkan ke pihak berwajib. Dijadikan sistem negoisasi. Lo gerak, gue lawan. Lo diem, gue akan diem. Karena konteks dari permasalahan Ximon ke kita adalah ancaman. Ingin menghancurkanku karena tidak terima dimasukkan penjara. Beda kasus dengan keluarga Cooper dan Ellena yang lebih berat," jelas Nick.
Celia pun mendaratkan bokong di kursi samping Nick. "Kalau gitu, kita juga butuh orang untuk mendekati Ximon. Untuk menggali informasi yang kita butuh--."
Belum selesai Celia berbicara, telepon milik Nick berdering. Lelaki itu bergegas mengecek, terpampang nama Evelyn di layar. "Evelyn telepon."
"Angkat, Sayang. Lost speaker. Apa dia nyari kesempatan lagi untuk deketin kamu, setelah tahu kita bertengkar tadi?" Celia mencoba menebak, takutnya Evelyn masih ngincar suaminya.
Nick mengangguk menurut. Lantas, menggeser tombol terima. "Hallo, Evelyn," sapanya.
"Pak Nick." Terdengar suara isakan perempuan itu yang sedang menangis tergugu.
Celia mengernyit penasaran. 'Kenapa Evelyn telepon Nick sambil menangis,' batinnya.
"Papa saya meninggal," sambung Evelyn, suaranya terbata-bata.
Celia yang terkejut langsung menutup mulutnya ternganga dengan kedua tangan.
"Innalilahi wa innailaihi rojiun. Turut berdukacita, Evelyn."
"Pak, Anda bisa ke rumah saya. Ada yang ingin saya bicarakan."
Celia jadi agak ragu mendengar itu. Namun, ia berusaha meredam keraguannya dan berusaha memfokuskan pikiran kepada papanya Evelyn yang meninggal.
"Sekarang sudah malam. Saya tidak bisa ke sana. Besok pagi saya akan ke sana."
"Baik, Pak. Saya mengerti." Terjeda sesaat, sebelum akhirnya Evelyn melanjutkan ucapannya lagi. "Ini penting. Tentang Anda dan Celia."
Semakin penasaran lagi Celia mendengarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top