Part 50

Diam tapi mengamati. Berpikir sambil meneliti. Itu yang dilakukan Celia di dalam rumah Cooper yang terbilang cukup besar dan mewah, walaupun masih lebih mewah rumah mertuanya.

'Aku harus bisa dekat dengan mereka. Tapi, aku harus melakukan apa?' batin Celia seraya melahap sarapannya yang tinggal suapan terakhir.

"Terima kasih, Bu, atas kebaikannya." Celia mengulas senyum tipis, setelah menelan makanannya yang baru dikunyah. Ia meletakkan piring ke meja, lalu mengambil gelas dan meneguk air mineral di dalamnya.

"Obatnya tidak diminum?" tanya perempuan itu.

Celia menggeleng. "Saya memiliki obat khusus dari dokter. Tidak boleh meminum obat lain, selain dari anjurannya. Takut tidak cocok dan semakin memperparah. Sudah diisi makanan, sudah sangat membantu menurunkan sakit di lambung saya," jelasnya sambil mengulas senyum malu-malu.

"Bagus lah. Kalau sudah membaik, kamu bisa pergi dari sini. Saya dan suami saya harus berangkat kerja."

'Duh, langsung diusir,' batin Celia, tapi ia manggut-manggut menurut saja. "Saya boleh minta nomor telepon, Ibu? Mungkin lain waktu saya bisa membalas kebaikan, Ibu, yang sudah menyelamatkan nyawa saya ini."

"Tidak perlu balas budi."

"Saya jadi tidak enak hati." Celia menampilkan ekspresi tak enak hati sambil meringis malu. Pura-pura mual, ia langsung memegangi perutnya seraya berekspresi akan muntah.

"Mau muntah?" Gracie tampak mengernyit dan kasihan.

Celia manggut-manggut. "Saya boleh numpang ke kamar mandi? Agak mual, rasanya ingin muntah." Ia menutup mulutnya.

Terpaksa, Gracie mengiyakan. Ia memanggil asisten rumah tangganya lagi, lalu meminta perempuan itu membawa Celia ke kamar mandi khusus tamu.

Sambil berjalan, Celia memerhatikan sekeliling ruangan yang dilewati. Tidak ada hal yang menarik untuk dijadikan sumber informasi karena hanya terdapat pajangan. Foto yang terpajang pun hanya foto kedua orang itu. Sama sekali tidak ada foto Alice. Namun, ide cemerlang kembali hadir ke otaknya.

"Penghuni di sini serem-serem, ya, Bi. Tuh, ada yang nemplok di langit-langit kayak laba-laba tapi berwujud manusia. Ada yang nemplok di gorden, rambutnya panjang, pakai daster putih, kusut. Ada yang bermain loncat-loncatan di tangga. Wah, enggak cuma satu pocinya, ternyata sepasang. Wajahnya item, matanya merah, melototin lagi."

Asisten yang mendengar itu langsung merinding sebadan-badan. Ia menoleh ke kanan-kiri, lalu pandangan mengelilingi sekitar. "Duh, Non, kalau ngomong jangan ngaco."

"Bibi, enggak lihat? Aku ngomong jujur, loh. Sepertinya perutku mual ini ada yang mau berinteraksi sama aku. Soalnya teman-teman aku juga banyak yang makhluk astral. Aku 'kan, kerjanya jaga mayat."

Semakin dibuat ketakutan dan merinding asisten rumah tangga itu. "Memangnya, Non, beneran bisa lihat?"

"Ya, bisa, Bi. Kan, aku punya kelebihan melihat makhluk halus. Ada juga korban kecelakaan yang menunggu di sini. Yang laki-laki wajahnya hancur, badannya juga hancur sampai kelihatan ususnya, berlumuran darah. Yang perempuan juga. Wajahnya berdarah-darah. Rambut panjangnya nutupin separuh mukanya yang hancur. Mereka ada di pojokan situ." Celia menunjuk sudut ruang keluarga dekat jendela.

Perempuan paruh baya itu tampak gelisah dan bergidik ngeri. "Duh, Non, jangan bicara lagi. Nanti saya jadi kepikiran terus. Kerjanya jadi enggak fokus."

"Jangan dipikirkan kalau gitu, Bi. Baca doa saja." Celia berkata enteng. Setibanya di depan kamar mandi dan membuka pintunya, ia berkata lagi, "Wah, ada yang menyambutku di sini. Si Merah. Sepertinya sudah lama dia menghuni kamar mandi ini."

Si asisten rumah tangga itu mencoba untuk melihat ke dalam, pandangan mengelilingi dari sudut ke sudut, dan dari atas ke bawah. Tidak ada apa-apa.

"Ternyata kamu dan teman-temanmu yang bikin aku mual, ya. Ada yang ingin disampaiin memangnya?" tanya Celia, seolah-olah ada lawan bicaranya. Padahal, ia bicara sendiri.

"Non, saya panggil Nyonya dulu. Dia harus tahu kalau Nona bisa melihat makhluk halus di rumah ini."

"Iya, Bi, silakan." Celia mengulum senyum, begitu melihat perempuan paruh baya itu berlari ke ruang tamu. Setelahnya ia masuk ke kamar mandi.

Beberapa menit kemudian setelah selesai, Celia dikejutkan oleh Gracie dan Felix yang sudah menunggu di depan toilet, bersama sang asisten rumah tangganya.

"Benar yang kamu bicarakan kepada asisten rumah tangga saya?" Kini, raut wajah Gracie tidak seramah tadi. Agak tegang dan dingin. Itu yang Celia lihat.

"Benar, Bu. Saya sudah terbiasa berinteraksi dengan mereka. Makanya saya diberi pekerjaan untuk jaga mayat. Soalnya saya bisa berinteraksi dengan qorinnya. Kadang mereka suka menyampaikan pesan yang belum tersampaikan kepada keluarganya. Jadi, mereka menyampaikan pesannya melalui saya."

"Memangnya benar di sini banyak makhluk astralnya?" Gracie bertanya lagi, untuk memastikan.

Celia mengangguk polos. Lalu, ia menunjuk langit-langit ruang keluarga. "Itu ada yang lagi nemplok di langit-langit. Di gorden tangga itu jenisnya kuntilanak putih, kalau yang di dalam kamar mandi ini kuntilanak merah. Yang lagi main-main di tangga ada dua pocong, terus itu yang lagi larian-larian di ruang keluarga dua anak kecil, semacam tuyul tapi wajahnya tua dan bertanduk. Yang di sudut ruangan dekat gorden, seperti sepasang suami-istri korban kecelakaan."

"Jangan bicara ngaco. Mana ada yang seperti itu!" Felix mengelak.

"Loh, Bapak, tidak percaya to? Saya orang kampung, punya warisan dari kakek saya yang orang pintar. Jadi saya punya pegangan dan bisa melihat makhluk astral." Celia berusaha meyakinkan. Padahal dalam hati ia ingin tertawa melihat orang-orang di depannya berhasil dikibulin.

"Aduuuh, Nya. Mungkin benar yang dibicarakan Nona ini. Soalnya kalau tengah malam saya sering dengar suara-suara aneh, kayak barang-barang dimainkan." Asisten rumah tangga itu semakin bergidik ngeri dan rakut.

Celia berakting lagi. Ia mengulurkan tangan kiri, seolah tertarik ke sudut ruang keluarga tempat korban kecelakaan berada. "Ada yang ingin berinteraksi dengan saya," ucapnya.

Orang-orang itu hanya melihat dalam diam dan penasaran.

"Iya, Bapak, Ibu, ada yang ingin disampaikan?" tanya Celia, kepada makhluk yang tak terlihat. Lalu, ia terdiam, seakan sedang mendengarkan, lantas manggut-manggut paham. "Oooh, oke, baik," ucapnya.

"Apa yang mereka bilang?" tanya Gracie, penasaran.

"Katanya beliau korban kecelakaan dari beberapa tahun lalu," jawab Celia. Ia terdiam lagi, lalu terpejam. Kemudian, membuka mata lagi, dan berkata sambil melihat sepasang suami-istri itu, "mereka bilang korban kecelakaan dari delapan tahun lalu. Disengaja."

"Terus kenapa mereka berada di rumah saya?" tanya Gracie, tampak frustrasi.

"Sebentar, saya tanyakan dulu." Celia terdiam lagi, terpejam, seakan batin yang sedang berbicara. Lalu, mengangguk. "Katanya, Ibu dan Bapak mengenalnya. Dia berada di sini karena kalian mengenalnya. Apakah ada kerabat atau teman, Ibu dan Bapak, yang pernah mengalami kecelakaan di delapan tahun lalu dan meninggal dunia?"

Gracie dan Felix tampak saling tatap dan berpikir. Lalu, keduanya berbisik,

"Delapan tahun lalu, apa itu Dallas dan Sasha? Mereka meninggal karena kecelakaan dan kita penyebabnya."

Samar-samar Celia mendengar. Dan firasatnya benar, kedua orang itu ada andil. Sialan!

Tidak ingin memperlihatkan wajah curiga, Celia berkata, "katanya mereka tidak ingin pergi dari sini. Apa mereka keluarga, Ibu dan Bapak, sampai tidak ingin meninggalkan rumah kalian?"

Felix menggeleng. "Bukan. Mungkin itu arwah dari teman kami yang mati kecelakaan."

"Apa kalian cukup dekat?" tanya Celia sambil melangkah mendekati kedua orang itu.

"Tidak."

"Ya."

Gracie dan Felix tidak kompak dalam menjawab, membuat Celia mengernyit penasaran.

"Lupakan. Apa kamu bisa membantunya mengusir mereka?" tanya Felix.

"Tapi, saya harus tahu nama mereka."  Celia mencoba memancingnya.

"Kamu bilang, laki-laki dan perempuan. Sepasang suami-istri. Delapan tahun lalu teman kami bernama Dallas dan Sasha, meninggal karena kecelakaan. Mungkin itu mereka."

"Baik." Celia manggut-manggut. "Saya butuh nama lengkapnya."

"Dallas Marvericks dan Sasha Marvericks," ucap Felix.

Geram dan sangat emosi Celia mendengarnya. Orang-orang biadab ini memang harus dikerjain dulu. Mereka bahkan sangat enteng memberitahu nama orang tuanya.

"Baik. Saya berdoa dan mencoba melakukan pengusiran secara batin." Celia terpejam sambil mengangkat kedua tangan di depan dada, seolah sedang berdoa dan membaca mantra dengan mulut komat-kamit.

Cukup lama ia melakukan ritual asal-asalan, lalu Celia membuka mata lagi. "Ini tidak bisa sekali usir, Pak, Bu. Harus ada pengulangan. Mereka masih kekeuh ingin tetap di sini. Kalau boleh, nanti saya akan mengajak teman saya untuk melakukan pengusiran sekaligus menetralisir rumah kalian. Tapi, untuk penunggu yang lain, mereka malah minta sajen."

"Sajen?" Gracie tampak terbelalak.

Celia manggut-manggut. "Betul. Tapi, saran saya, jangan dikasih. Soalnya kalau dikasih malah ngelunjak, terus ngundang teman-temannya. Kalau dalam bahasa makhluk astral, mereka mendapat junjungan dari kita. Jadi, mereka makin belagu karena kita yang manusia mudah dibodohi."

"Nyonya, Tuan, benar yang dikatakan Nona ini. Saya pernah dengar juga, kalau makhluk astral dikasih sajen, mereka akan semakin kuat dan mengundang teman-teman datang," ucap sang asisten rumah tangga, membenarkan. Masalahnya ia datang dari kampung, jadi paham betul hal-hal semacam itu.

"Terus bagaimana agar mereka tidak berada di sini?" Gracie bertanya kepada Celia lagi, yang kini sudah bisa mempercayai Celia seratus persen.

"Sebentar, saya melakukan negosiasi dulu." Celia terdiam, bersedekap, mata pun terpejam, dan ia terlihat begitu tenang.

"Yo ndak iso nek kalian minta sajen. Emange kalian sopo to?" Celia berbicara sendiri sambil terpejam. Menggunakan bahasa Jawa, yang membuat Gracie, Felix, dan asisten rumah tangga itu semakin percaya lagi.

"Looh, aku iso luwih kuat seko kalian. Disyarati? Ayam cemani? Bakar menyan? Bakar dupo?" Celia berucap lagi. "Ndak iso, ndak iso. Podo karo aku nyembah kalian. Kok pak sak penake dewe."

Celia mengembuskan napas berat. "Aku iso carane ngusir kalian. Tunggu wae. Kalian bakal tak bakar, tak basmi." Kemudian, ia membuka mata lagi.

"Apa katanya?" tanya Gracie, yang tak paham bahasa Jawa.

"Banyak banget yang diminta. Ada ayam cemani. Ada bakar menyan. Bakar dupa." Celia menggeleng. "Itu sangat dilarang di agama saya, Bu. Sama saja syirik dan musyrik."

"Lalu?"

"Saya membutuhkan rambut pemilik rumah untuk mengusir makhluk halus di sini. Itu berarti, saya membutuhkan rambut, Ibu dan Bapak, selaku pemilik rumah. Nanti saya akan bantu dari rumah dengan cara membakar rambut kalian, agar rumah kalian bisa bersih dari gangguan dan menjadi tempat mangkal mereka. Jadi, simbol rambut ini untuk merantai para makhluk halus supaya saya bisa memudahkan untuk membuangnya." Celia berusaha keras untuk meyakinkan. Dan sangat berharap, mereka mempercayai. 'Ayolah, percaya. Ayo, percaya,' doanya dalam hati, sungguh-sungguh.

"Anggap saja ini sebagai rasa terima kasih saya terhadap kalian, karena kalian sudah sangat baik terhadap saya. Sudah membantu saya dari musibah," ucap Celia lagi.

"Baiklah. Bi, tolong ambilkan gunting dan plastik."

"Baik, Nya." Asisten rumah tangga itu bergegas berlalu. Tidak lama, datang lagi dengan membawa gunting dan plastik zip. "Ini, Non." Ia menyerahkan gunting plastik zip ke Celia.

"Boleh minta satu lagi plastiknya, Bi. Biar enggak tercampur. Soalnya tidak bisa dicampur jadi satu saat pengerjaan ini," kilah Celia.

"Baik, Non."

Sambil menunggu asisten rumah tangga itu mengambil satu plastik zip, Celia mulai menggunting rambut Gracie. "Ibu, saya potong bagian dalam, ya, biar tidak kelihatan bekas potongannya. Jadi rambut, Ibu, masih terlihat bagus," izinnya.

Gracie menurut saja. Yang penting rumahnya aman dari makhluk halus.

Dengan perasaan senang, Celia memotong sedikit rambut perempuan itu. Kemudian, memasukkannya ke kantong plastik. Saat si asisten rumah tangga sudah kembali, ia beralih memotong rambut Felix.

"Bapak, saya izin memotongnya, ya." Celia meminta izin, mendapat jawaban ya dari lelaki itu. Setelah mendapatkan rambut Felix, semakin gembira dirinya. 'Dasar orang-orang bodoh, mau saja dikibulin!' batinnya.

"Ini, Non, plastiknya." Si asisten rumah tangga itu menyerahkan plastik zip kepada Celia.

"Makasih, Bi." Celia tersenyum lebar. Lantas, memasukkan rambut Felix ke plastik zip itu.

"Nanti, dua atau tiga harian ke depan, saya akan datang ke sini lagi untuk meruqiyah rumah, Ibu. Bersama teman saya yang ustadz," ucap Celia, dengan senang hati.

"Saya belum tahu namamu. Namamu siapa?"

"Regina, Ibu."

"Oke. Saya tunggu kamu untuk datang ke sini."

"Siap, Ibu. Biasanya para makhluk halus jinak kalau dengan saya. Semoga yang di sini juga bisa dijinakkan dan tidak akan kembali setelah diusir." Tepat, Celia selesai berbicara, ponselnya pun berdering. Ia langsung mengambilnya di dalam saku dalam jaket kulit. "Duh, saya jadi lupa sama pekerjaan saya. Bos saya sudah menelepon lagi. Pasti akan marah-marah. Saya izin angkat sebentar."

Felix dan Gracie mempersilakan. Begitu Celia mengangkat telepon, ekspresi wajah gadis itu tampak mengernyit. Seruan suara dari seberang sana pun sampai terdengar melengking.

"Iya, Bos. Saya akan pergi sekarang. Saya hampir pingsan karena lambungnya kambuh."

"Jangan banyak alasan! Saya tunggu sekarang juga!"

"Iya, Bos, iya!" Celia mematikan sambungan telepon. "Maaf, Pak, Bu, Bos saya memang galak dan garang banget. Tidak mau kondisi bodyguardnya. Kalau begitu, saya harus pergi sekarang. Sekali lagi, saya sangat berterima kasih atas kebaikan, Ibu dan Bapak, sudah mengizinkan saya istirahat di sini. Malah dikasih sarapan lagi." Ia menyengir. Ponsel dan dua plastik berisi rambut pun ia masukkan ke kantong jaket.

"Iya. Ya, sudah, sana berangkat kerja kalau sudah baikan."

"Iya, Bu." Celia berulang kali membungkuk hormat sambil melangkah ke belakang. Ia juga masih pura-pura pincang jalannya. Setibanya di ruang tamu, ia segera memakai kupluk ninjanya, lalu memakai helm. Setelahnya, ia benar-benar pergi dari rumah target.















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top