Part 26
Titik temu dari perjalanan yang tidak memiliki arah tujuan, berakhir di Pantai Pasir Putih PIK 2. Sepasang suami-istri itu mencari tempat sepi dan hening untuk beristirahat lalu duduk di pasir, dengan Celia di depan Nick seraya menyandarkan tubuh ke lelaki itu. Dan, Nick merengkuhnya.
Di tengah semilir angin yang bersepoian, keduanya mengobrolkan hal-hal random, gombalan yang terus dilemparkan oleh Nick, juga saling serang banyolan-banyolan ejekan yang membuat suasana tidak pernah sepi.
Memang paling indah pacaran setelah menikah. Mau pergi ke mana pun sampai lupa waktu, tidak akan ada yang melarang. Mau mesra-mesraan, ciuman, dan berbuat lebih, sudah sangat bebas. Puas rasanya, pikir Celia. Dulu, saat masih berpacaran dengan Erick, ia tidak pernah pergi hanya berdua. Pasti ada teman yang menemani, juga masih menjaga diri baik-baik. Dan sekarang ia bisa merasakan yang namanya berpacaran sungguhan setelah menikah.
'Ya Tuhan, ternyata sebahagia ini rasanya,' batin Celia. Semakin dibuat jatuh cinta lagi saat mendengarkan Nick bernyanyi I Think They Call This Love dari Elliot James Reay, dengan karakter suaranya yang berat serak-serak basah serta cengkok nadanya yang pas.
"When all I dream of is your eyes
All I long for is your touch
And, darling, something tells me that's enough, mmm
You can say that I'm a fool
And I don't know very much
But I think they call this love."
Celia tak hentinya menyunggingkan senyum. Saking menikmati keindahan suara Nick sambil meresapi arti dari lirik lagu tersebut, jantung berdebaran tak keruan dan ia merasa semakin salah tingkah. Lantas, keduanya saling beradu tatap dan dalam.
"One smile, one kiss, two lonely hearts is all that it takes."
Nick mengusap lembut bibir Celia menggunakan jempol tangan kanannya, memberikan kecupan singkat di bibir Celia, lalu menggenggam salah satu tangan Celia dan didekap ke dadanya.
"Now, baby, you're on my mind every night, every day
Good vibrations getting loud
How could this be anything, anything else?"
Tubuh Celia semakin panas-dingin tak keruan mendengar Nick bernyanyi penuh penghayatan dan penuh cinta. Salah tingkahnya semakin menjadi, ingin jungkir-balik, dan yang bisa dilakukan hanya menyunggingkan senyum sampai bibir dan rahang terasa sangat pegal.
"Yes, I think they call this love
This love."
Nick mengakhiri nyanyian sambil tersenyum lebar kepada sang istri. Lantas, menyerbu banyak kecupan ke bibir Celia dengan gemas.
"Terpukau, ya?" tanya Nick sambil mengeratkan rengkuhannya, membuat kepala Celia semakin terhimpit di antara lengan dan kepala dirinya. "Kalau aku jadi penyanyi, kayaknya aku bakal punya banyak fans perempuan," ucapnya diiringi kekehan, membuat Celia langsung manyun.
"Tidak jadi penyanyi saja sudah banyak yang naksir. Tapi, baru satu yang terang-terangan ingin ngajak perang, belum yang tersembunyi. Semoga saja enggak ada."
"Evelyn memang sudah tergila-gila sama Mas Nick sejak dulu. Tapi, tetap tidak bisa ngambil hatinya walaupun sudah pakai jalur dalam. Karena yang milikin hati Mas Nick cuma Celia seorang."
Celia mengulum senyum salah tingkah. "Telingaku harus benar-benar kebal karena setiap waktu selalu mendengar gombalannya, Mas Nick," ucapnya sambil tergelak, dengan salah satu tangan memainkan rambut Nick--menyugarnya.
"Ya. Karena kamu akan terus mendengarnya." Nick menggigit bibir bawah Celia saking gemasnya. Merasa sudah sangat lama berdiam di pantai dan waktu semakin larut malam, ia mengajak Celia pulang. Membopongnya di belakang saat melakukan perjalanan menuju parkiran.
**
Keduanya tiba di apartemen hampir jam dua belas, dan Nick tidak meminta jatah kepada Celia--tahu istrinya butuh istirahat. Namun, menjelang pagi, keduanya bergelung dalam kenikmatan saat tangan Nick tidak bisa diam--bermain-main nakal di balik pakaian Celia, dan berubah menjadi cumbuan panas sampai keduanya tak bisa menahan gairahnya yang sudah memuncak.
Napas keduanya masih terengah setelah sama-sama mencapai klimaks. Masih berpelukan dengan posisi Nick di atas Celia, keduanya bertukar senyum puas karena Celia sudah mulai bisa menikmatinya. Mungkin akan menjadi candunya sekarang.
"Libur kerja saja, ya, hari ini," pinta Nick, yang langsung mendapat tabokan dari Celia di punggungnya.
"Ngawur. Banyak pekerjaan hari ini. Ngurus kasus kemarin yang ingin kamu bantu itu. Jurnalis yang mendatangi korban penganiayaan sudah mengabariku kalau mereka butuh pengacara untuk pendampingan kasusnya. Dan kita perlu membahas ini sama Papa. Kamu juga harus mencari pengacara untuk mereka," jelas Celia. Terdiam sesaat, lalu melanjutkan lagi, "Belum lagi harus meeting bersama program acara wawancara eksklusif, memberitahu hasil dari perizinan Pak Leofric. Terus, masih banyak yang harus dikerjakan."
"Masih ingin seperti ini. Malas bangun. Malas turun. Malas melakukan apa pun. Kecuali bikin anak bersamamu." Nick terkekeh, lalu mengecup bibir Celia, memagutnya lembut dan singkat.
"Mas Nick, harus ingat. Katanya mau beliin istrinya pulau? Masa mau bermalas-malasan kerja?" Celia memanyunkan bibir. Lalu, mengalungkan kedua tangan di leher Nick sambil meremas lembut rambut lelaki itu untuk dibuat mainan.
"Baiklah. Demi istri dan masa depan anak yang sedang berproses di dalam rahimmu, Mas Nick akan semangat bekerja." Nick menyunggingkan senyum, lalu mengecup bibir Celia lagi.
"Kurang enak apa coba? Kerja aja sudah ditemenin istri sekarang."
Nick tidak membalas, tapi kembali mencumbu Celia mengecupi seluruh wajah, rahang, ceruk, dan merambat ke dada gadis yang sudah selayaknya disebut perempuan sekarang. Ketika mendengar desahan sang istri dengan tubuh menggelinjang seraya meremas rambutnya agak kuat, Nick merasakan miliknya terbangun dan mengeras lagi. Cumbuan pun semakin panas dan lama. Lantas, ia meminta izin kepada Celia saat sudah tidak bisa menahannya. Perempuan itu mengangguk pasti, dan Nick tidak berlama-lama untuk melakukan penyatuan kembali.
Jam setengah delapan, keduanya baru turun dari ranjang lantas bergegas bersiap untuk berangkat kerja. Membutuhkan waktu setengah jam sampai terlihat rapi oleh pakaian formal kantornya. Bahkan, Nick meminta Celia untuk tidak menyiapkan sarapan. Lebih memilih sarapan di kantor saja untuk mempersingkat waktu agar tidak terlambat.
"Sayang, tolong pakaiin dasinya, dong," pinta Nick, yang sedang memasang cufflink di pergelangan kemeja putihnya, melihat sang istri baru saja selesai memasang anting dan kalung.
Celia menghampiri. Mengambil dasi hitam yang sudah Nick ambil, lalu memasangkannya ke kerah kemeja lelaki itu. Dengan telaten ia membuat simpul dasi. Nick yang sudah selesai memasang cufflink, terdiam anteng sambil menatap lekat wajah sang istri yang sedang serius.
"Sudah." Celia menepuk pelan simpul dasi itu. Lalu, memasukkan ujung dasinya ke suit vest hitam, dan merapikannya lagi. Ia mendongak menatap wajah Nick yang langsung mendapat kecupan di bibirnya.
"Lipstik aku nanti berantakan lagi," protes Celia.
"Tambal lagi."
"Makan waktu lagi."
"Biar bisa berlama-lama lagi."
"Pasti ada maunya lagi."
"Dan lagi-lagi." Nick terkekeh. Ia mengambil jas hitam yang sudah disiapkan di atas ranjang, lantas memakainya. Untuk menyempurnakan penampilannya agar semakin maskulin, ia menyemprotkan parfum BVLGARI yang memiliki aroma menyegarkan. Dan itu kesukaan Celia yang katanya sangat suka dirinya menggunakan parfum aroma menyegarkan itu.
"Sudah siap berangkat belum?" tanya Nick sambil melihat Celia yang sedang mengecek tas kerja dan hand bag-nya.
Perempuan itu mengangguk. "Sudah. Ayo."
Nick mengambil tas kerja miliknya, lantas keluar kamar sambil merangkul bahu sang istri menuju rak sepatu.
**
Setibanya di lobi kantor, Nick dan Celia berpisah. Nick langsung menuju lantai sepuluh sambil membawakan tas kerja milik Celia. Sedangkan, perempuan itu menuju food court melalui eskalator.
Tujuan Celia langsung ke Pacific Caffe, membeli dua gelas cappucino, dua salad sayur, dan croissant. Sambil menunggu, ia berjalan-jalan di area sekitar. Banyak karyawan berlalu-lalang di sana, ada juga yang sedang sarapan di food court sambil membahas pekerjaan. Selain dijadikan tempat makan, di lantai satu juga terdapat tempat gym dan area bermain para karyawan, seperti; tenis meja, billiard, perpustakaan, dan masih banyak lagi permainan-permainan yang tersedia di sana untuk melepas penat saat bekerja.
Merasa cukup waktu menunggu pesanannya jadi, Celia kembali ke kedai kopi lagi. Dan tepat dirinya datang, pesanannya baru saja tersaji. Ia pun bergegas berlalu dari sana. Saat akan memasuki lift, ada beberapa karyawan di dalamnya. Namun, sekarang ia sudah pede-pede saja bertatap muka dengan karyawan-karyawan lain beda lantai.
Di setiap lantai lift berhenti, ada karyawan yang keluar. Tinggal lantai sepuluh yang tersisa, tapi Celia hanya berdua dengan seorang perempuan cantik yang belum pernah dilihat sebelumnya. Karyawan baru, pikirnya.
Akan tetapi, begitu Celia dan perempuan itu keluar dengan langkah yang sama menuju area kubikel karyawan dan ruangan Nick, perempuan itu tidak berbelok masuk ke kubikel. Tetapi, lurus dan itu ke ruangan Nick.
"Siapa dia?" gumam Celia, yang berjalan di belakangnya agak memberi jarak.
"Pagi, Celia!"
Mendengar sapaan dari rekan-rekannya, Celia langsung menoleh, lantas mengangguk dan tersenyum. "Pagi juga," balasnya. Tapi, perhatian langsung dialihkan ke perempuan tadi yang sekarang sudah masuk ke ruangan Nick.
"Klien Nick? Tapi, kenapa pagi banget datang ke sini?" gumam Celia, tidak membuang waktu lagi ia langsung masuk ke ruangan Nick. Begitu melihat perempuan itu bercengkrama akrab dengan Nick, diam-diam ia menaruh curiga. Tapi, masih bersikap tenang.
"Pak Nick, sarapannya," ucap Celia sambil mengayunkan kaki menuju meja Nick. Perempuan tadi duduk di kursi tamu depan meja kerja Nick, di kursi satunya terdapat paper bag.
"Dia siapa, Nick? Aku tidak pernah melihatnya." Suara perempuan itu terdengar lembut dan elegan.
Celia menatapnya sambil menyunggingkan senyum palsu. Sebab, ia belum tahu jelas status perempuan itu untuk Nick. "Personal asistennya Pak Nick," balasnya, dibuat seramah mungkin.
"Baru, ya? Soalnya aku belum pernah melihatmu di sini."
"Iya, Kak." Celia mengangguk. Ia bingung akan memanggilnya siapa dan terasa kikuk memanggilnya Kak. Tapi, ia takut akan semakin salah lagi jika memanggilnya Mbak. Nanti seperti Evelyn yang menolaknya mentah-mentah.
Perempuan itu mengangguk paham. Lalu, ia mengalihkan perhatian ke Nick lagi. "Ah, iya, Nick. Ini aku ada oleh-oleh untukmu dari London. Aku juga membuatkan sarapan untukmu. Buat sendiri."
"Tidak perlu repot-repot, Lidya."
"Tidak, Nick. Tolong terima, ya. Aku sudah menyiapkan ini khusus untukmu. Anggap saja ini sebagai bentuk terima kasihku ke kamu karena dari agency advertisingmu, produk skincare dan cokelat keluaran dari pabrikku langsung membludak pesanannya."
"Itu terbantu dengan kualitas barang yang kamu luncurkan juga. Tidak sepenuhnya dari advertising kami. Kami hanya bantu periklanannya saja."
"Tetap saja itu berpengaruh besar untuk usahaku, Nick."
"Pak Nick, mau makan salad sayur ini atau makanan dari--." Celia menatap tamu Nick sambil menyembunyikan geram. Ia tidak ingin cemburu, tapi cara perempuan itu berkomunikasi dengan Nick seperti ada niatan tersembunyi. Alias ingin menarik perhatian dan mengambil hati Nick. 'Oh! Tidak bisa. Enak saja.'
"Lidya," ucap perempuan itu sambil menyunggingkan senyum ramah.
"Iya, Kak Lidya." Celia mengangguk.
Nick sendiri sibuk memerhatikan raut wajah Celia. Meskipun istrinya terlihat santai dan ramah, tapi terlihat dari sorot matanya sedang menahan geram dan cemburu. Dalam diam, Nick menyembunyikan senyum.
"Jadi, Pak Nick, mau sarapan yang mana, biar saya siapkan?" tanya Celia lagi.
"Salad sayur saja. Itu tidak bisa didiamkan terlalu lama. Takut nanti sudah tidak seger lagi," kilah Nick. Lalu, ia menatap Lidya. "Lidya, maaf makanannya tidak bisa kumakan langsung. Dan ... lain kali kamu tidak perlu membuatkan makanan untukku."
Perempuan itu memperlihatkan ekspresi sedih. "Yeaaah, padahal aku sudah effort banget bikinnya dari pagi tadi, Nick."
Celia memutar bola matanya malas. 'Siapa suruh? Nick aja enggak minta. Ah, usaha. Iya. Sedang usaha mendekati Nick. Sudah jelas,' batinnya.
"Ngomong-ngomong, selain mengantar oleh-oleh dan makanan, apakah ada kepentingan yang lain lagi, Kak Lidya? Soalnya, jadwal Pak Nick hari ini sangat padat. Beliau hanya memiliki waktu sarapan dua puluh menit. Setelah ini harus menghadiri meeting penting, dan seharian ini memang sangat dipadatkan oleh meeting dan pekerjaan lain. Kalau tidak ada kepentingan lain, Kak Lidya boleh pamit dari sini. Mohon pengertiannya, ya." Celia berusaha melakukan pengusiran secara halus, dan berucap seramah mungkin agar perempuan itu tidak tersinggung.
"Tidak ada. Hanya ingin mengantar itu saja. Kalau tidak ke sini pagi-pagi, pasti akan susah bertemu Nick. Kalau begitu, aku pergi dulu, Nick."
"Terima kasih, Lidya."
Perempuan itu mengangguk sambil menyunggingkan senyum lebar. "Ah, iya. Hampir kelupaan. Kedatanganku ke sini juga untuk mengundangmu ke acara ulang tahunku besok malam. Aku sudah mengirim undangan ke sekretarismu sebenarnya. Apa dia tidak memberikannya kepadamu?"
Nick menggeleng. "Mungkin Evelyn lupa karena aku lama ngambil cuti," jawabnya.
"Jangan lupa datang, ya. Kedatanganmu sangat kutunggu-tunggu."
"Kalau ada waktu," balas Nick singkat.
Celia sudah tidak sabar melihat perempuan itu segera pergi dari hadapannya. Lantas, ia berkata sambil menatap arloji di pergelangan tangan kirinya, "Pak Nick, waktu Anda sarapan tinggal lima belas menit lagi."
Lidya terkekeh mendengarnya. "Sepertinya, Personal Assistantmu sangat teratur mengatur waktu, ya. Baiklah, kalau begitu aku pamit dulu, Nick. Jangan lupa besok datang, ya."
"Iya, silakan." Nick mengarahkan tangan kiri ke pintu.
Dan Celia bergerak cepat untuk membukakan pintu untuk perempuan itu. "Sampai bertemu kembali, Kak Lidya," ucapnya berbasa-basi. Setelah perempuan itu berlalu, ia langsung melemparkan tatapan maut ke Nick.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top