Part 22
Mendapat tatapan tak mengenakkan dari para karyawan perempuan saat dirinya keluar ruangan, Celia mengernyit bingung. "Plerak-plerok matane dengok'i aku. Kenopo to?" gumamnya seraya mengayunkan kaki menuju lift yang masih melewati kubikel-kubikel, dengan kedua tangan menggenggam surat perjanjian perpanjangan kontrak kerjasama periklanan milik Barra.
Mencoba tak acuh, Celia membuang muka dari mereka lalu fokus pada jalanan. Namun, ia mendengar bisik-bisik tak mengenakkan, seperti;
"Aura peletnya kuat banget."
"Kira-kira dipasang di mana susuknya?"
"Di seluruh muka lah. Namanya juga untuk memancarkan aura pengasihan."
'Dapurmu ta pakai susuk-susuk. Pasti si Evelyn yang sudah bikin gosipan itu,' batin Celia sambil menahan geram. Dan ia masih tidak memedulikan gosipan dari mereka, anggap saja seperti angin lewat.
"Celia."
Mendengar panggilan seseorang yang tak asing suaranya, Celia menoleh ke belakang. Varrel mengayunkan kaki menghampiri dirinya.
"Jangan dengarkan omongan mereka," ucap lelaki itu.
"Omongan apa?" Celia pura-pura tak paham.
"Yang ngatain kamu pakai susuk untuk masuk ke perusahaan ini dan jadi PA Pak Nick. Mereka hanya iri saja sama kamu."
"Oooh." Celia manggut-manggut paham sambil mengatupkan bibir rapat-rapat. "Biarkan saja. Ndak tak reken."
"Kamu orang Jawa ta? Aku kira kamu orang luar negeri yang sudah lama tinggal di Indonesia, wajahmu ada bule-bulenya soalnya," ucap Varrel agak tercengang mendengar bahasa Celia campuran bahasa Jawa.
"Campuran."
"Aku yo wong Jowo. Jowoku Semarang." Kali ini, wajah Varrel tampak sumringah mengetahui Celia benar-benar orang Jawa.
"Ooh." Celia ber-oh-ria saja. "Yowes, lanjut kerja rono. Seneni Pak Nick mampus ngetutke aku teros," ucapnya tegas.
"Iyo, iyo." Varrel tersenyum lebar. "Celia, aku entok njalok nomermu sek ta?" pintanya sebelum berlalu.
"Nomor sepatu 39."
"Nomor teleponmu, Cel."
"Ora gawe umum, ndak disebarke," balas Celia datar, lantas semakin mempercepat langkah menuju lift yang sudah terlihat di pandangan.
Varrel sendiri mendesah karena gagal mendapatkan nomor telepon Celia. Mengingat atasannya yang pagi ini sudah emosi, ia langsung kembali ke mejanya lagi. Takut menjadi sasaran amukan selanjutnya. Mungkin, ia harus sabar dan perlahan untuk melakukan pendekatan kepada Celia.
Setibanya di lantai delapan dan masuk ke ruangan karyawan advertising, Celia seperti memasuki kandang lain yang langsung menjadi pusat perhatian. Semua pasang mata tertuju kepada dirinya, seperti ingin menyantapnya hidup-hidup. Apalagi suasana di sana lebih ramai lagi, cukup riuh, tidak setenang seperti di lantai sepuluh. Ruangan itu pun tidak sepenuhnya terisi kubikel. Tengah-tengahnya ruang lepas terdapat meja-meja besar dari kayu asli, properti bahan iklan, layar LCD besar yang tertempel di dinding, dan karyawannya terlihat lebih bebas. Dan itu bukan ruangan yang ia masuki saat melakukan meeting kemarin.
"Maaf, mau tanya, ruangan manager strategic planner di mana, ya?" tanya Celia, kepada salah satu karyawan perempuan.
"Itu, di sana. Paling ujung." Karyawan itu menunjuk ruangan sang manager, berdinding kaca. Dan semua yang ada di dalam ruangan tersebut dari; ruangan junior strategic planner dan senior strategic planner, berdinding kaca.
Celia mengikuti arah tunjuknya, lantas mengangguk. "Makasih." Ia mengulas senyum, sesaat kemudian mengayunkan kaki menuju ruangan sang manager.
Sambil melangkah, Celia mengitari pandangan ke sekitar. Ia merasakan kehangatan dan kekompakan kerja di bagian advertising. Obrolan dan canda tawa para karyawan terdengar begitu akrab, tidak seperti di lantai sepuluh yang terkesan kaku, resmi, dan serius.
"Kalau tidak salah, kamu, Celia. Anak baru yang jadi PA-nya Pak Nick, ya?"
Celia menoleh saat mendapat sapaan dari seorang perempuan berpakaian kasual, tapi terkesan tomboy dari penampilannya. Tidak begitu feminim.
"Iya." Celia mengulas senyum simpul.
"Salam kenal, ya. Dan selamat datang di perusahaan Hernan Corp," ucap karyawan itu ramah, membuat Celia merasa begitu di hargai atas kehadirannya.
"Terima kasih, Kak." Senyum Celia melebar. "Saya ke ruangan manager dulu. Mau ngasih dokumen," ucapnya sambil menunjuk ruangan manager strategic planner yang sudah ada di hadapan.
Karyawan itu mengangguk seraya mempersilakan. Lalu, kembali ke sibuk dengan aktivitasnya.
***
"Hubungan kita hanya sebatas pekerjaan dan saya atasanmu. Kalau kamu masih ingin bekerja di sini, tolong panggil saya Pak. Bukan hanya nama. Tidak sopan," tegas Nick, kepada Evelyn.
Evelyn ternganga mendengar ucapan Nick. "Nick, sebelumnya kamu terima-terima saja dan kamu tidak keberatan. Kita juga sudah kenal baik sebelum aku jadi sekretarismu. Kenapa kamu jadi berubah seperti ini setelah Celia datang? Kamu juga terkesan jadi jaga jarak denganku."
Nick terdiam, fokus membaca dokumen perusahaan yang baru diberikan Evelyn untuk dimintai tanda tangan dirinya. Setelah selesai, ia mengangkat kepala, menatap dingin perempuan itu lagi.
"Lalu, kamu menganggap lebih kedekatan kita ini?" Suara Nick terdengar datar. "Saya baik denganmu karena kamu teman dekat Ellena. Tidak lebih dari itu. Dan Ellena yang meminta saya baik-baik denganmu. Lalu, kamu tanya kenapa saya bersikap seperti ini kepadamu sekarang?" Ia menyandarkan punggung.
Sementara, Evelyn terdiam saking tercengangnya mendapat perlakuan dingin dari Nick.
"Kamu sudah membuat satu kesalahan besar terhadap saya. Dan kamu ... memanfaatkan Ellena agar saya bisa dekat denganmu. Kamu pikir, kamu berhasil mengambil hati saya? Kamu pikir, kamu yang paling memiliki kedudukan tertinggi daripada karyawan lain karena kamu sekretaris saya? Ingat Evelyn, kamu tidak lebih dari sekadar bawahan saya dan teman Ellena. Dan tolong, sekarang jaga sikap." Nick mendorong dokumen agar Evelyn mengambilnya. "Silakan keluar dari ruangan saya. Tunggu Celia datang, kita pergi meeting bersama."
"Baik, Pak." Dengan perasaan kesal, Evelyn mengambil dokumen. Lantas, bergegas keluar. Namun, belum juga membuka pintu, Nick bersuara lagi.
"Sekali lagi saya peringatkan untukmu, jangan berani-berani menyentuh dan menyakiti Celia. Jika itu terjadi dan saya tahu, detik itu juga kamu akan saya pecat."
Evelyn hanya menatap Nick dalam diam, sebelum akhirnya keluar dari ruangan. Seperti orang yang kesetanan, ia misuh-misuh tidak jelas sambil membanting dokumen ke meja.
"Kenapa, Ev?" tanya temannya.
"Gara-gara si anak sialan itu, Nick jadi berubah. Dan kamu mau tahu apa yang dia katakan barusan? Mewanti-wantiku agar tidak mengganggunya. Sepeduli itu dia dengannya? Sialan!" Evelyn menggebrak meja, setelah mendaratkan bokong ke kursinya.
"Pak Nick sudah dikuasai oleh peletnya Celia. Makanya dia sampai mewanti-wanti seperti itu."
Evelyn mendesah berat. Melihat kedatangan Celia yang berjalan menuju ruangan Nick, ia mengedikkan dagu ke arah gadis itu. "Itu anaknya datang," ucapnya sinis.
Teman-temannya mengikuti arah pandang Evelyn, lalu melemparkan tatapan tajam dan sinis saat Celia melewati depan kubikelnya.
"Kalau kerja yang fair, dong. Jangan pakai pengasihan. Yang lain jadi korban."
"Baru juga masuk, tapi yang lain sudah dapat teguran agar tidak mengganggunya. Padahal sebelumnya baik-baik saja, tidak ada masalah."
"Sebegitu spesialnya kamu untuk Pak Nick? Manjur sekali susuknya."
Celia berhenti melangkah. Mendatangi karyawan-karyawan yang membicarakan dirinya, lantas menatapnya satu per satu.
"Membicarakan saya? Iri sama saya? Tanpa menggunakan susuk pengasihan atau apalah itu, saya tetap bisa masuk ke perusahaan ini. Penasaran kenapa saya bisa menjadi PA Pak Nick? Tanya sama yang bersangkutan, kenapa bisa merekrut saya menjadi PA-nya. Jangan bikin persepsi sendiri dan nuduh-nuduh orang sembarangan," cecar Celia penuh berani.
"Sebagai anak baru seharusnya menghormati kepada yang lebih senior. Tidak bicara lancang seperti itu. Mentang-mentang jadi PA, kamu merasa yang paling berkuasa karena dekat dengan Pak Nick?"
"Saya memang anak baru di sini, tapi bukan berarti saya akan takut dengan kalian." Celia menatap karyawan-karyawan perempuan yang mencemooh dirinya. Ada lima orang, ia sudah menandai wajah mereka. "Beraninya keroyokan. Ngajak-ngajak yang lain untuk membenci. Pengecut banget jadi orang." Ia beralih menatap Evelyn dengan kesal. "Dan kalian yang termakan ucapan busuk dari seseorang yang menyebar fitnah, bodoh banget jadi orang. Percaya saja," cecarnya lagi kepada kelima karyawan perempuan itu, dan sekarang berhasil menyita perhatian para karyawan lain yang berdiri menatapnya.
"Jaga bicaramu, ya!" seru salah satu karyawan perempuan yang mencemooh Celia.
Flora yang takut Celia semakin berbahaya, bergegas menghampiri dan memegangi lengan kanan gadis itu. "Celia, Celia, sudah. Jangan diladenin," ucapnya, untuk menengahi perdebatan. "Mereka memang seperti itu sama karyawan baru yang tidak disukai."
"Jadi, ini sudah kebiasaan mereka? Suka melakukan penindasan dan membully karyawan baru karena memiliki kedudukan yang setara atau lebih tinggi?" Bukannya berhenti, Celia justru semakin mencecarnya. "Apa atasan kalian tahu adanya pembullyan dan penindasan di kantornya kepada karyawan baru?"
Flora menggeleng.
"Dengar, ya. Kalian sudah berurusan dengan saya. Saya bisa melaporkan ini ke Om Harden dan Pak Nick. Kamu, kamu, kamu, kamu, dan kamu ...." Celia menunjuk lima perempuan di hadapannya secara bergantian, "akan masuk dalam laporan sebagai karyawan senior yang suka membully karyawan baru. Siap-siap saja untuk menerima surat pemecatan." Ia tidak berkata sungguh-sungguh, hanya mengancam saja. Lihat lah, wajah kelima perempuan itu langsung menciut ketakutan. Namun, tidak dengan Evelyn yang masih terlihat gagah berani.
"Tuh, dibilangin jangan suka ikut campur urusan orang. Malah sekarang berani-beraninya menindas karyawan baru yang punya koneksi langsung ke atasan."
"Mampus. Sukurin. Dikiranya karyawan barunya lemah apa? Cukup aku yang menjadi korban bullyan kalian pas pertama masuk. Kalau enggak butuh kerja dan butuh duit, aku sudah resign dari dulu."
Itu ucapan dari para karyawan yang berada di belakang. Celia mendengarnya dengan jelas.
"Masih akan menindas saya? Memfitnah sata menggunakan susuk? Ayo, lakukan lagi. Jangan salahkan saya kalau hari ini, hari terakhir kalian bekerja di perusahaan Hernan Corp." Celia masih menatap berani kepada lima karyawan perempuan itu. Dalam hati, ia tersenyum bahagia melihat wajah merah mereka yang ketakutan. 'Celia kok dilawan. Tantang sekalian.'
"Baiklah. Sepertinya kalian sudah tahu resiko dari pembullyan dan bersiaplah untuk menerima konsekuensinya," ucap Celia. Kemudian, ia berbalik badan akan masuk ke ruangan Nick.
"Celia, tunggu-tunggu." Salah satu perempuan itu menghampiri Celia, lalu diikuti teman-temannya.
"Tolong jangan laporkan kami ke Pak Nick dan Pak Harden. Aku minta maaf. Aku minta maaf. Ini karena Evelyn yang sudah ngomporin kami."
"Iya, Celia. Aku masih ingin bekerja di sini. Tolong jangan laporkan aku."
"Oke. Sekarang kalian aman. Tapi, tidak untuk yang akan datang," ucap Celia tegas. Lantas, ia menatap Evelyn. "Kakak Evelyn yang terhormat, kamu sudah tahu banyak tentang saya. Apa kamu tidak ada niatan untuk memberitahu mereka siapa saya? Jangan disimpan sendiri, dong. Masa yang disebar cuma fitnahannya saja."
Evelyn yang sudah berdiri, mengepalkan kedua tangan erat-erat sambil menatap tajam Celia. Sedangkan, gadis itu melangkah dengan gaya centilnya. Membuatnya semakin geram saat Celia mengibaskan rambut ke belakang.
Namun, sebelum membuka pintu, Celia berhenti. Ia menatap Flora. "Kakak, kamu namanya siapa?" tanyanya.
"Flora. Panggil saja, Flora."
"Aku menyukaimu. Kita bisa berteman kalau mau." Celia tersenyum lebar, lantas benar-benar memasuki ruangan.
"Evelyn. Sekarang jelaskan ke kita. Katanya kamu sudah tahu banyak tentangnya," pinta Ghina, salah satu karyawan yang mencemooh Celia.
"Sepertinya dia memang memiliki pengaruh besar di perusahaan ini. Sama sekali tidak ada takut-takutnya. Dan cukup logis kalau dia bisa menjadi PA Pak Nick." Kali ini, Alika yang berbicara.
"Oke, oke, aku kasih tahu kebenarannya." Evelyn menghentakkan kaki dengan kesal. "Dia anak dari pendiri HD Entertainment, Dallas Marvericks."
"Gila! Pantas saja punya keberanian tinggi. Ternyata memang cukup dekat dengan Pak Nick dan Pak Harden."
"Mampuuus! Makan tuh fakta! Makanya jangan mudah terpengaruh dan terprovokasi! Kalian sadar gak? Evelyn tuh, cuma cemburu sama Celia karena jadi PA Pak Nick dan dekat sama Pak Nick."
Sementara, di dalam ruangan, Celia yang sudah mengunci pintu langsung menghampiri Nick dan mendaratkan bokong di pangkuan lelaki itu, dengan posisi duduk miring. "Kamu harus tahu apa yang baru saja terjadi," ucapnya sambil melingkarkan kedua tangan di leher Nick.
"Apa memangnya?" Nick double penasaran, karena tiba-tiba Celia duduk di pangkuannya, disertai perkataan yang seperti itu.
"Evelyn menyebar fitnah aku pakai susuk pengasihan untuk masuk ke perusahaan ini sampai bisa jadi PA kamu. Ada beberapa karyawan yang terhasut, terus mencemooh aku seperti itu. Aku ladenin mereka. Baru saja debat."
"Terus?" Nick terlihat sangat tertarik untuk mendengarkan. "Kamu tidak apa-apa tapi, 'kan?"
"Seperti yang kamu lihat sekarang, aku baik-baik saja." Celia tersenyum lebar. "Aku ancam mereka yang membullyku, akan kulaporkan ke kamu dan Papa. Tapi, aku tidak mengatakan kalau kita sudah menikah. Aku cuma bilang, kalau aku memiliki koneksi yang kuat kepadamu dan Papa."
"Ah, sayang sekali ruangan ini dibuat kedap suara, jadi aku tidak bisa mendengar perdebatanmu. Pasti seru si mulut pedas ini melawan musuhnya." Nick terkekeh sambil mencubit bibir Celia, tapi langsung dikecup.
"Seru banget. Jadi tontonan karyawan lain." Celia tergelak. Sambil menyisir rambut Nick menggunakan jari-jari tangan kanannya, ia berkata lagi, "Sekarang kita harus turun, 'kan? Sudah mau jam sepuluh."
"Iya."
"Oke. Bentar. Aku lihat jadwal kamu lagi." Celia langsung melompat turun, lantas berlari ke mejanya mengambil iPad. Sesaat kemudian, menghampiri Nick lagi.
"Jam sepuluh, meeting di program berita. Jam sebelas, lanjut menonton film yang baru selesai digarap di bioskop perusahaan bersama produser, para pemain, dan jajarannya. Setelah selesai menonton bioskop dan lanjut meeting bersama mereka, istirahat makan siang. Jam lima, pergi bertemu klien untuk permintaan perizinan interview di progam berita. Belum ada keterangan selesai. Selanjutnya, tidak ada pertemuan," ucap Celia sambil membacakan jadwal-jadwal Nick hari ini.
"Oke. Dimengerti, Nyonya Celia," balas Nick seraya beranjak, lalu menghampiri Celia dan merengkuh kepala gadis itu dengan gemas sembari menggeretnya menuju pintu.
"Nicky! Rambutku jadi berantakan," protes Celia sambil menaboki tangan sang suami, yang justru mendapat gelak tawa renyah.
Saat keduanya keluar, ekspresi wajah pun berubah seketika. Nick memperlihatkan wajah dingin. Sedangkan, Celia yang berjalan di belakangnya, menatap lima perempuan tadi sambil menggerakkan tangan seolah menggorok leher dengan mulut berkomat-kamit. Lalu, ia menunjuki Nick, mencoba meyakinkan mereka.
"Berani menindasku lagi, habis kalian. Aku bisa ngelaporin ke Pak Nick. Mampuuus." Itulah yang terus diucapkan Celia tanpa suara.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top