Part 14

Setelah dua hari beristirahat total dan sama sekali tidak keluar apartemen, kondisi Celia mulai membaik. Namun, ia kembali terserang panik dan gelisah saat harus melakukan perjalanan mendatangi psikiater. Selama perjalanan, ia hanya bisa terpejam. Dan tanpa dirinya tahu, Nick justru membawanya ke rumah sakit tempat dokter jiwa itu praktik. Hanya membaca tulisan Rumah Sakit dan mobil memasuki pelataran rumah sakit tersebut, kecemasan dan ketakutan Celia semakin menjadi. Gadis itu gelisah bukan main. Berulang kali ia menelan ludah sendiri dengan jantung yang berdebar kencang tak keruan. Tangan yang sudah mengeluarkan keringat dingin pun meremas kain dressnya kuat-kuat.

"Nick, kenapa kita ke sini?" Suara Celia terdengar bergetar menahan ketakutan.

"Bertemu dokter lah. Kan, kita sudah buat janji." Nick membalasnya santai, tanpa tahu jika itu salah satu tempat yang juga membuat Celia trauma.

"Aku kira di tempat praktik pribadi. Bukan di rumah sakit." Celia berusaha menyembunyikan ketakutannya dan masih berulang kali menelan ludah dengan susah payah. "Nick, batalin saja, ya. Kita pulang lagi," pintanya.

Nick mengamati wajah Celia yang mulai terlihat pucat. Dari ekspresinya yang gelisah, ia merasa ada yang tidak beres dari gadis itu. Ia menautkan kedua alis, mulai menerka-nerka dalam benak. Selain Jakarta, apa rumah sakit juga meninggalkan trauma mendalam untuk Celia? Cukup masuk akal jika itu terjadi karena kedua orang tua Celia mengalami kecelakaan dan meninggal di rumah sakit.

"Nick." Celia menatap Nick penuh permohonan dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Enggak bisa." Ia menggeleng.

"Cel." Nick menggenggam salah satu tangan Celia, dan terkejut saat merasakan tangan gadis itu begitu dingin. "Kamu bisa. Ada aku yang menemanimu," ucapnya sungguh-sungguh memberi dukungan. "Kita ke sini untuk mencari pengobatan. Kamu mau sembuh dari rasa traumamu, 'kan?"

"Tapi, rumah sakit juga--."

"Salah satu yang membuatmu trauma?"

Celia mengangguk cepat sambil menarik napas dalam-dalam. Setitik air mata mengalir di pipinya. Nick yang melihat pun langsung menghapus penuh kelembutan.

"Kita masuk bersama. Kalau kamu masih takut, lakukan hal seperti tadi. Tutup matamu. Dan aku akan menuntunmu sampai ke ruangan dokter." Nick berusaha meyakinkan.

Celia tampak menimang-nimang usulan Nick. Sesaat kemudian, setelah berusaha meyakinkan diri, ia memberi anggukan setuju.

Lantas, keduanya keluar dari mobil. Namun, belum juga melangkah, Celia sudah merasakan kedua kakinya bergetar. Sulit digerakkan saking lemasnya. Ia lebih memilih langsung masuk ke kuburan dan melihat setan daripada harus ke rumah sakit, melihat kecelakaan, mendengar sirine ambulance. Dan datang ke Jakarta, ia seperti sedang membunuh dirinya sendiri secara perlahan.

"Jangan takut. Ayo," ajak Nick sambil merengkuh Celia. "Pejamkan matamu."

Sambil membalas rengkuhan Nick, Celia menyembunyikan kepala di bawah ketiak lelaki itu seraya terpejam. Seluruh tubuh terasa panas-dingin. Kecemasan dan kegelisahan yang semakin bertambah, membuat debaran jantung semakin tak keruan.

Lalu, saat mendengar suara sirine ambulance, bayangan-bayangan masa lalu yang menyakitkan itu kembali memenuhi benak. Di mana iring-iringan ambulance yang membawa jenazah kedua orang tuanya dari rumah sakit sampai kampung, masih terekam jelas dan tak hentinya berputar seperti kaset.

Suara sirine itu sangat menakutkan di telinga Celia. Lebih menakutkan dibanding suara-suara setan. Dan sekarang, ia serasa terjebak dalam himpitan batu besar yang membuatnya kesulitan bergerak, bernapas, sampai dada benar-benar sesak. Bahkan, ia tidak sadar telah mencengkeram pinggang Nick kuat-kuat untuk mencari penguatan diri.

Nick menahan sakit yang begitu menjeram di pinggangnya. Sudah terhalang kain, tapi tancapan kuku-kuku Celia masih terasa tajam dan dalam.

"Nick, masih lama?" tanya Celia. Ia merasa, langkahnya sangat lambat dan lama sekali tidak sampai-sampai.

"Kita baru masuk lobi."

"Lama sekali, Nick."

"Coba buka mata," pinta Nick, tapi mendapat gelengan keras dari Celia.

"Masa petarung sejati takut dengan rumah sakit." Nick mengulas senyum menggoda.

"Aku mending berantem dan melihat hantu daripada ke sini."

"Padahal tidak ada apa-apa."

"Memorinya yang enggak bisa ilang. Kalau masuk ke rumah sakit, aku seperti mengulang adegan waktu datang untuk melihat kondisi Mama dan Papa setelah kecelakaan."

Nick menghentikan obrolan saat menanyakan ruangan Dr. Hadi Sugito kepada sang resepsionis, dan mengatakan jika dirinya telah membuat janji. Setelah mendapat jawaban dan arahan, Nick melanjutkan perjalanan lagi. Kali ini, ia lebih memilih membopong Celia agar lebih cepat sampai.

"Nanti jadi tontonan orang-orang," ucap Celia sambil menyembunyikan kepala di ceruk Nick.

"Biar terlihat mesra dan romantis." Nick tersenyum lebar. "Kalau kamu buka mata, kamu akan melihat banyak orang menatap kagum kepada kita, Cel. Sepertinya mereka sedang memujiku, karena aku sedang berperan sebagai suami siaga. Ah, mana suster-susternya masih muda-muda dan cantik-cantik. Mereka menatapku sambil senyum-senyum terpukau. Kalau mereka tahu kita tidak serius menikah, pasti mereka akan menunggu dudaku. Sudah pasti itu."

"Nick." Refleks, Celia memukul pundak lelaki itu. Kesal sendiri mendengarnya.

Tapi, karena apa? Apa dirinya cemburu? Tidak! Tidak! Mana mungkin dirinya cemburu.

"Nanti kalau aku sudah menduda, aku harus segera memberi pengumuman."

"Lakukan saja. Aku juga." Celia berkata ketus.

Nick tersenyum lebar melihat gadis itu tampak kesal.

"Tapi, sebelum aku mengumumkan kedudaanku. Aku mau memberitahu sama perempuan-perempuan muda yang dari tadi terus menatapku, kalau kamu pemilikku sekarang." Dengan gemas, Nick mengecupi pipi Celia berulang kali.

"Nick. Malu lah aku. Sama kamu selalu diajarin mesum terus." Namun, ada sedikit ketenangan dalam diri Celia setelah mendapat serbuan kecupan itu. Tanpa sepengetahuan Nick, ia mengulas tipis seraya mengeratkan rengkuhan tangannya di leher lelaki itu.

Dan tak lama, Nick menurunkan Celia tepat di depan pintu ruangan Dr. Hadi Sugito. "Buka mata sekarang. Sudah sampai. Kalau masih terpejam, dikiranya kamu buta lagi."

Perlahan, Celia membuka matanya. Agak remang-remang, lalu ia mengerjap berulang kali agar penglihatannya lebih jelas.

"Gimana sekarang?" tanya Nick, ingin tahu kondisi Celia.

"Mendingan. Tapi, tadi pas dengar suara sirine ambulance sudah mau pingsan lagi rasanya. Dadaku makin sesak."

Nick menandai satu lagi, sirine ambulance. Pantas saja tadi Celia langsung mencengkeram pinggangnya kuat-kuat saat ada ambulance lewat. Sekarang, sudah ada tiga yang ia ketahui tentang trauma Celia dan itu saling berkaitan.

Tidak ingin berlama-lama berdiri di depan pintu, akhirnya Nick mengetuk pintu seraya menggenggam salah satu tangan Celia. Lantas, ia mendorong pintu tersebut dan disambut hangat oleh Dokter Hadi yang sudah menunggu.

Keduanya masuk. Dokter Hadi segera mempersilakannya duduk di kursi tamu depan meja kerjanya. Berbasa-basi sesaat, lalu lelaki berseragam medis warna hijau itu mempertanyakan keluhan-keluhan yang dialami Celia, dan dijawab panjang lebar oleh gadis itu tentang traumanya. Sedangkan, Nick yang di sampingnya diam sebagai pendengar. Ia mendapat satu fakta lagi tentang trauma Celia, yaitu kecelakaan.

"Sebelumnya sudah pernah konsultasi dengan psikolog atau psikiater?" tanya Dokter Hadi.

Celia menggeleng.

Dan Dokter Hadi mengangguk paham. "Panic attack yang Anda alami memang akan selalu kambuh tiba-tiba saat mengalami situasi yang sama atau ke tempat-tempat awal di mana rasa trauma itu tercipta. Karena yang tersimpan di otak amigdala Anda, sudah dipenuhi oleh pikiran-pikiran negatif yang menimbulkan rasa takut, cemas, gelisah, rasa tak percaya diri yang berlebih. Dan rasa trauma itu tidak bisa disembuhkan dengan obat. Sebab, itu luka batin. Ditambah dengan otak amigdala yang sudah merekam, menyerap, dan menyimpan semua kejadian yang membuat Anda trauma, panic attack bisa kambuh kapan saja ketika Anda mengalami kejadian yang sama," jelasnya panjang lebar.

"Lalu, bagaimana cara mengatasinya, Dok?" tanya Nick, ingin tahu.

"Untuk mengurangi rasa takut, cemas, dan gelisah yang berlebihan, Nona Celia perlu menetralisir pikiran-pikiran negatif yang ada di amigdala dan diganti dengan pikiran-pikiran positif yang menyenangkan. Karena Nona Celia memiliki tingkat kecemasan yang tinggi terhadap Jakarta, Anda bisa membawanya berkeliling Jakarta dan membicarakan hal-hal yang menarik dan menyenangkan tentang Jakarta, Tuan."

"Tapi, bagaimana kalau panic attack saya kambuh dan semakin parah, Dok? Hanya melihat jalanan Jakarta dan mendengar suara sirine ambulance saja sudah mengingatkan saya dengan kenangan-kenangan dan kejadian buruk tentang orang tua saya. Lalu, setelahnya, pikiran saya akan merembet ke mana-mana yang membuat perasaan semakin takut, cemas, dan gelisah."

"Saya akan memberikan obat anti depresan, anti cemas, dan obat tidur." Dokter Hadi beranjak, menuju lemari obat di belakang duduknya. Mengambil tiga macam obat yang disebutkan tadi, lalu ia kembali ke tempat duduknya lagi. "Anda bisa meminumnya saat panic attack tiba-tiba kambuh. Ini bisa membantu mengurangi rasa cemas yang Anda alami."

Celia menerima tiga botol obat yang disodorkan Dokter Hadi, mengambilnya lalu membaca tulisan-tulisan yang ada di botol tersebut. Sedangkan, Nick membahas soal pembayaran.

"Dua bulan ke depan, Nona Celia bisa datang kemari lagi. Saya ingin tahu apakah sudah ada perkembangan yang lebih baik atau belum," ucap Dokter Hadi, sebelum sepasang suami-istri itu berlalu dari ruangan.

Dan masih di depan pintu luar ruangan Dokter Hadi, Celia mencoba menelan satu kapsul obat anti cemas. Kepala sudah pusing melihat koridor rumah sakit.

"Nick, kalau tidak bereaksi di tubuhku gimana?" tanya Celia, sebelum kaki melangkah. Rasa cemas sudah menghantui, membuat jantung berdebar kencang.

"Kamu berani. Coba kamu bayangkan tempat ini tempat yang kamu sukai. Bukan tempat yang membuatmu takut. Kamu bisa membayangkan kuburan misalnya. Dan orang-orang yang berlalu-lalang adalah makhluk halus. Seperti malam itu, kamu tampil berani."

Tatapan Celia terfokus pada koridor. Ia menelan ludah berulang kali sambil memantapkan diri untuk melangkah dengan berani. Melihat Nick mengulurkan salah satu tangan agar digenggam dirinya, ia langsung menerima dan menggenggamnya erat.

"Sudah siap?" tanya Nick.

Celia mengangguk meskipun agak ragu. Sambil melangkah, ia meremas tangan Nick erat-erat. Perasaan sudah tak karuan rasanya. Tapi, ia merasa obat anti cemas itu sudah bereaksi di dalam tubuhnya karena rasa cemas tidak sekuat tadi. Ia merasa lebih tenang sekarang.

Saat melewati lobi, melihat brankar didorong, mendengar suara orang menangis, tubuh Celia kembali menegang. Ia tidak berani menoleh ke kanan-kiri.

Nick yang merasakan ketegangan pada tubuh Celia pun langsung menatap gadis itu. Ide jahil menghampiri untuk mengalihkan perhatian Celia dari pikiran-pikiran negatifnya. Ia mengecup pipi gadis itu, padahal banyak orang di sekelilingnya. Tapi, berhasil membuat Celia menatapnya dengan kesal.

"Nick, banyak orang. Main sosor aja," cecar gadis itu lirih.

"Tadi, ada serangga kecil yang menghinggap di pipimu. Kalau aku nabok, dikiranya aku nampar kamu. Melakukan KDRT sama istri nakalku ini. Mending pakai cara halus."

"Alasan. Bilang aja mau nyium. Dari tadi udah nyosor mulu."

"Nambah boleh?" Nick tersenyum menggoda.

"Enggak." Celia berkata cepat. Padahal mau-mau saja kalau Nick melakukan. Tapi, gengsi juga mau jujur.

"Biasanya cewek itu bilangnya enggak mau, padahal ngarep banget."

"Pede."

"Nyatanya kamu enggak nolak."

"Kan enggak tahu kalau mau dicium."

"Kalau tahu pasti minta nambah."

"Dibilang enggak kok."

"Enggak salah." Nick tergelak lirih. Senang sekali bisa terus menggodanya dan berhasil membuat wajah gadis itu merona merah.

Sementara, yang digoda semakin salah tingkah, kesal, tapi juga tersipu malu.

"Sekarang kita jalan-jalan mengelilingi Jakarta. Kita shopping, makan, dan mengenang hal-hal yang menyenangkan waktu kamu bersama orang tuamu," ucap Nick, setelah keluar dari lobi. Lantas, ia mengajak Celia berlari menuju mobilnya.












Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top