Part 13

"Celia, kamu harus tahu kalau Papa dan Mama sayaaang banget sama kamu."

"Selamat ulang tahun anakku sayang. Semoga kamu tumbuh jadi gadis yang kuat dan sukses."

"Surpriiise! Mama dan Papa belikan sesuatu untukmu. Barang yang sangat kamu inginkan."

"Celia, Ibu harus menyampaikan kabar ini untukmu."

"Orang tua kamu mengalami kecelakaan."

Dalam diam, Celia menangis terisak saat semua kenangan bersama orang tuanya kembali memenuhi benak. Padahal ia sudah berusaha untuk tidak mengingat dan melawan ketakutannya sejak mobil dilajukan dari rest area sampai memasuki kota Jakarta. Namun, seperti tidak bisa dihindari, semua kenangan itu diam-diam menguasai pikiran dan membuatnya terpaku pada kejadian-kejadian masa lalu.

Yang paling menyakitkan saat dirinya sedang sekolah dan mendapat kabar dari seorang guru jika orang tuanya mengalami kecelakaan. Lalu, saat dirinya mendatangi rumah sakit, papanya sudah tidak bernyawa. Dan tak lama mamanya. Padahal paginya sebelum berangkat, ia masih memiliki keluarga utuh. Keluarga yang penuh kehangatan, keceriaan, selalu ada canda-tawa. Benar-benar keluarga cemara. Namun, dalam sekejap, ia kehilangan mereka dengan cara yang begitu menyakitkan.

Nick yang sedari tadi memanggil-manggil Celia tapi tidak mendapat balasan, akhirnya menepikan mobil dan parkir di depan restoran.

"Celia," panggil Nick lagi. Ia mulai merasa ada keanehan dari diri Celia. Dari saat berangkat terus menangis, di rest area mengalami pingsan, dan sekarang gadis itu melamun sambil menangis. Bahkan, sampai tidak mendengar panggilan-panggilan darinya.

"Celia." Nick menarik bahu Celia karena gadis itu masih saja menghadap jendela sambil menangis.

"Kamu kenapa? Kenapa nangis terus dari tadi?" tanya Nick saat Celia menatapnya.

"Nick." Celia semakin terisak dan terdengar sangat pilu. "Aku tidak bisa. Sakit banget rasanya," ucapnya tersengal-sengal.

"Tidak bisa kenapa?" tanya Nick penasaran. Dengan perhatian, ia menghapus air mata di pipi Celia.

"Aku tidak bisa melupakan kejadian-kejadian yang ada di sini." Celia menggeleng sambil terisak-isak. Susah payah ia berkata, "Kenangan bersama Mama dan Papa. Sakit banget Nick ...." Ia terdiam, tak mampu melanjutkan kata-katanya lagi saat tenggorokan terasa semakin tercekat.

Dan Nick, ia langsung menarik tubuh gadis itu, dipeluk erat. "Selama ini kamu mengalami trauma dengan kota ini?" tanyanya ingin tahu sambil mengusap-usap kepala Celia penuh perhatian.

Gadis itu mengangguk.

"Kenapa tidak bilang, hum?" Suara Nick melemah.

Celia tidak menjawab.

"Kalau kamu bilang, kita bisa bicarakan solusinya sejak awal."

"Aku tidak mau orang-orang tahu kelemahanku. Aku tidak mau orang-orang terus mengkhawatirkan keadaanku."

Nick bisa memahaminya. Sudah dari dulu Celia tidak ingin dilihat lemah. Bahkan jarang sekali menangis sampai sesenggukan seperti sekarang, kecuali menangis untuk menarik perhatian saat meminta maaf karena merasa bersalah. Dan ternyata, sikap sok tegar dan tidak ingin dipandang lemah masih terbawa sampai sekarang. Saat gagal menikah dengan mantan kekasihnya pun, gadis itu sama sekali tidak menangis dan bersedih.

"Sekarang apa yang bisa kubantu untukmu?" tanya Nick sungguh-sungguh.

"Aku tidak tahu." Celia membalas cepat sambil sesenggukan. Andai dirinya tahu cara menghandle ketakutannya, ia tidak akan menangis di depan Nick.

Keduanya saling diam dengan Nick sibuk berpikir cara untuk membantu trauma Celia, sedangkan Celia masih menangis terisak-isak.

"Apa kita perlu ke psikolog? Mungkin itu salah satu cara agar kamu bisa terlepas dari rasa trauma."

Mendengar usulan Nick, Celia berpikir itu lebih baik. Mungkin ia akan mendapat pertolongan dan penanganan untuk panic attacknya yang lain. Yang masih sering kambuh tiba-tiba saat melihat kecelakaan, suara sirine ambulance, dan masuk rumah sakit.

"Oke." Celia mengangguk menyetujui.

"Sekarang tenangkan dirimu dulu." Nick mengurai pelukan, lalu memegangi lengan atas Celia dan menatapnya lekat. "Tarik napas dalam-dalam, lalu dikeluarkan perlahan." Ia membimbing gadis itu menarik napas.

Celia mengikutinya. Berulang kali ia melakukan pengaturan napas sampai benar-benar membuat dadanya lega.

Sesaat kemudian, Celia mengangguk. "Sudah," ucapnya, setelah merasa cukup lega.

Nick beralih menangkup wajah Celia sambil mengusap sisa air mata yang membasahi pipi gadis itu. "Kita lanjutkan perjalanan lagi."

Celia manggut-manggut. Saat tiba-tiba mendapat kecupan di keningnya, ia merasakan ketenangan hati datang menghampiri. Lalu, Nick kembali melajukan mobil. Dan tak disangka, sambil menyetir, salah satu tangan Nick menggenggam tangan kanannya. Cukup erat.

"Biar kamu tidak melamun dan kepiran yang tidak-tidak," ucap lelaki itu.

Celia mengulas senyum tipis. "Terima kasih, Nick." 

***

Mobil memasuki parkiran basement apartemen dan Nick memarkirkannya di dekat pintu masuk yang langsung menghubungkannya ke lift. Melihat Celia tertidur pulas lagi, kali ini Nick tidak membangunkan. Ia berniat akan membopong gadis itu saat membukakan pintu di samping Celia.

"Sudah sampai?" tanya Celia sambil mengerjap.

"Iya. Aku bopong saja naiknya. Kamu kelihatan lemas banget."

Celia mengangguk membenarkan. Terserang ketakutan dan gelisah yang berlebih, tenaganya seperti tersedot habis-habisan sampai membuat tubuh terasa sangat lemas. Lalu, ia mengalungkan kedua tangan di leher Nick saat lelaki itu membopong dan mengeluarkannya dari mobil. Ia juga merebahkan kepalanya di bahu lelaki itu seraya terpejam. Sedangkan, Nick mulai mengayunkan kaki menuju pintu masuk apartemen.

"Mual sama pusing banget rasanya," keluh Celia, di tengah matanya yang terpejam.

"Tidur saja kalau gitu." Nick mendorong pintu kaca mengunakan punggung, sangat hati-hati ia melewatinya agar Celia tidak terbentur pintu. Lalu, bergerak agak kesusahan, ia memencet tombol lift yang langsung menghubungkan ke lantai unitnya.

Setibanya di sana dan masuk ke unit apartemennya, Nick langsung membawa Celia ke kamarnya. Dengan hati-hati ia merebahkan gadis itu ke ranjang.

"Nick, jangan pergi." Sambil terpejam, Celia langsung mencengkeram salah satu lengan lelaki itu, menahannya agar tidak pergi.

"Aku lepas sepatumu dulu."

Celia mengangguk menurut. Lantas, melepaskan cengkeramannya, membiarkan Nick melepaskan sepatu dari kedua kakinya. Dan tak lama, ia merasakan lelaki itu menarik selimut untuk menyelimuti tubuhnya sampai dada.

"Aku ambilkan minum untukmu dulu."

Celia menggeleng sambil menggenggam salah satu tangan Nick lagi. "Tidak ingin minum." Padahal ia merasakan jika tenggorokannya cukup panas. "Jangan pergi," gumamnya.

Nick menurut. Menggunakan satu tangannya yang bebas dan menempelkan punggung tangannya di kening gadis itu, ia bisa merasakan demam Celia cukup tinggi.  Kemudian, tatapannya beralih ke jaket Celia yang cukup mengganggu, seperti tidak memberikan kenyamanan. Dengan permisi, ia segera melepas jaket kulit itu. Dan baru saja akan beranjak menaruh jaket itu di gantungan, Celia menahan lengannya lagi.

"Nick. Jangan pergi." Kali ini, Celia langsung membuka mata.

"Mau gantungin jaket kamu dulu," ucap Nick memberi pengertian. 

Celia kembali melepaskan cengkeraman, lalu membiarkan Nick pergi dan masih dalam pengawasan dirinya. Tidak lama, lelaki itu datang menghampirinya lagi. Naik ke ranjang, lantas merebahkan diri di sampingnya dan ikut masuk ke dalam selimut.

Nick menarik tubuh Celia untuk direngkuh. Lalu, menelusupkan salah satu lengan ke bawah kepala gadis itu dan satu tangannya lagi digunakan untuk mengusap-usap kepala untuk memberikan ketenangan. Celia sendiri membalas rengkuhan Nick, memeluknya erat seolah takut ditinggal.

Dalam diam sambil menempelkan bibir ke kening Celia, Nick memikirkan banyak hal tentang gadis yang direngkuhnya. Ia tidak tahu Celia memiliki trauma mendalam selama ini. Orang-orang terdekatnya pun tidak tahu gadis itu cukup rapuh. Yang terlihat dari luar, Celia selalu ceria, tegar, dan pecicilan. Ternyata itu semua hanya untuk menutupi kelemahannya. 

'Dan cuma aku yang bisa menjaganya di sini sekarang,' batin Nick.

Keesokan pagi, Teresa langsung datang ke apartemen Nick setelah semalam mendapat kabar jika Celia demam. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi gadis itu, apalagi setelah mendapat penjelasan dari Nick jika Celia memiliki trauma dengan kota Jakarta. Selain itu, Nick juga meminta bantuan kepada dirinya untuk mencarikan psikolog terbaik di kotanya. Dan dengan senang hati, ia menyanggupi.

"Nick, kamu sudah seperhatian ini dengan Celia. Apa kamu sudah memiliki perasaan cinta dengannya?" tanya Teresa sambil mengulas senyum menggoda.

"Enggak, Mom. Cuma kasihan saja sama Celia." Nick masih mencoba mengelak. Padahal, tebakan mommynya tidak salah.

"Nick, jangan bohong sama perasaan sendiri. Mommy pernah muda. Mommy dan Daddy pun pernah ada di posisimu sebelumnya. Bahkan lebih parah. Jadi, Mommy sudah tahu betul tanda-tanda orang yang sudah jatuh cinta. Kamu sangat mengkhawatirkan kondisi Celia, kamu sangat takut terjadi sesuatu dengan Celia, rasa pedulimu pun cukup tinggi, kamu juga ingin melakukan yang terbaik untuk Celia."

'Memang dasar emak-emak, tidak bisa dibohongi,' batin Nick. Lalu, ia berkata, "Jangan keras-keras ngomongnya, Mom. Nanti dia dengar." Ia menatap ke arah pintu kamarnya, takut jika tiba-tiba Celia keluar dan mendengar obrolannya dengan sang mommy.

"Jadi, benar? Kamu sudah memiliki perasaan dengannya?" Teresa tersenyum lebar.

Nick manggut-manggut. "Mom, jangan bilang-bilang sama Celia, ya. Aku tidak ingin dia menjauh dariku, kalau tahu bagaimana perasaanku dengannya. Dia selalu bilang tidak ingin jatuh cinta denganku karena aku teman kecilnya."

"Beres. Mommy paham itu. Yang penting Mommy sudah tahu kalau kamu sudah jatuh cinta dengannya. Senang rasanya." Teresa tersenyum lebar penuh kelegaan.

"Biarkan semua berjalan seperti biasanya. Dan aku akan mengungkapkan perasaanku, setelah tahu kalau Celia juga memiliki perasaan denganku."

"Baik. Mommy akan tutup mulut." Teresa menyatukan jari telunjuk dan ibu jari di depan mulut sambil memberi gerakan menarik. "Mommy punya usul, jadikan Celia personal asisten di kantormu. Dengan begitu, kamu akan memiliki banyak waktu untuknya dan kamu bisa terus bersamanya."

"Personal asisten?" Nick tampak berpikir, lalu manggut-manggut setuju. "Ide bagus."

"Dengan menyibukkan Celia setiap waktu, mungkin akan sedikit mengalihkan perhatiannya dari pikiran-pikiran yang membuatnya takut, Nick."

Selain itu, Nick juga berpikir, ia bisa mengerjai Celia sesukanya dan sepuasnya.

"Ah, iya. Mommy berencana akan mengadakan makan malam dan mengundang seluruh keluarga besar. Untuk memberitahu mereka kalau kamu dan Celia sudah menikah."

"Jangan terlalu dekat waktunya. Biarkan Celia terbiasa dengan Jakarta dulu."

"Nunggu Chloe pulang juga. Dia akan pulang Minggu depan. Dia yang super excited mendengar kamu menikah dengan Celia."

"Iya lah, Mom. Orang dia yang selalu ngeceng-cengin aku dan Celia berjodoh saking seringnya kami ribut dan berantem."

Teresa tergelak renyah. Si musuh dari kecil itu akhirnya bisa bersatu dalam ikatan pernikahan. Andai Sasha dan Dallas masih hidup, pasti mereka akan sangat bahagia melihat Celia dan Nick bisa bersatu.

"Mommy mau nengok mantu dulu. Mau ngecek kondisinya," ucap Teresa seraya beranjak. Nick pun ikut beranjak.

Lalu, keduanya mengayunkan kaki menuju kamar Nick dan masuk. Terlihat, Celia masih berbaring miring dan sangat pulas tidurnya.

Perlahan, Teresa mendaratkan bokong di tepi ranjang. Ia mengulurkan tangan dan menempelkan punggung tangannya ke pipi Celia untuk mengecek suhu tubuh, karena kening gadis itu terpasang plester kompres demam. Nick seperhatian itu dengan gadis yang sempat ditolak untuk dinikahi.

"Masih cukup tinggi demamnya," gumam Teresa yang merasakan panas menyengat di pipi Celia. "Mommy panggilkan dokter ke sini, ya."

"Nanti saja, kalau Celia sudah bangun. Biarkan dia istirahat dulu."

"Baiklah." Teresa mengangguk menurut.








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top