Part 11
"Mas Abis!" Celia langsung mendorong Nick.
Nick pun bergegas bangun dan keduanya sama-sama duduk.
Seperti sepasang kekasih yang sedang berbuat mesum lalu terciduk, keduanya langsung terserang panas-dingin dan jantung berdebar kencang tak keruan. Celia sendiri tidak berani menatap Abista yang mendaratkan bokongnya di sofa tunggal, malu sekali rasanya. Ia memilih menyembunyikan kepala di balik punggung Nick.
Sementara, Nick yang tidak bisa menyembunyikan wajah, terpaksa menatap lelaki itu dengan berani. Padahal ingin sekali ia menghilang dari hadapan Abista. Malu bukan main rasanya.
"Ekhem, khem!" Abista berdeham dua kali sambil mengangkat kaki kanan dan ditumpukan ke kaki kiri seraya bersandar.
"Penak to, Cel? Isuk-isuk wes gawean. Tapi, eling tempat nopo?" Abista menyembunyikan senyum melihat tingkah Celia yang malu-malu.
"Mas Abis, salah paham. Ndak seperti yang dipikirkan. Wong aku mbek Nick gek gelud, kok."
"Iyo, gelud. Paham. Gelud 'kan, yo?" Abista manggut-manggut, tapi suaranya terdengar meledek. "Nick." Ia memberi kode agar Nick berbicara.
'Mau mengelak juga percuma. Tadi pasti terlihat sedang merkosa Celia,' batin Nick. Setelah cukup lama terdiam sibuk dengan pikirannya sendiri, ia berkata, "Celia minta lagi, Mas. Padahal tadi pagi sudah aku kasih. Tapi, belum puas katanya."
"NICKYYY! BUALONGMU WIII!" seru Celia sambil menabok punggung Nick cukup kencang. Suaranya menggema sampai seantero rumah.
Abista yang melihat langsung tergelak. Ia tahu itu hanya ledekan dari Nick saja. Dan ia suka melihat Celia kesal, karena itu salah satu hobinya membuat Celia kesal dengan ledekan-ledekan yang sering ia lontarkan. Tapi, ia sangat menyayangi adiknya itu.
"Nicky yang dari tadi ngeledek aku. Terus aku juga yang kena sekarang!" Celia sangat kesal rasanya.
Nick langsung menatapnya. "Ngaku saja, Cel." Ia mengulum senyum.
"Ngaku apanya?" Celia menatap tajam Nick sambil mencubit kecil pinggang lelaki itu, agak memelintirnya.
"Aaah! Cel! sakit!" Nick mengaduh kesakitan seraya menabok tangan Celia yang mencubit pinggangnya. Ia berdecak kesal.
Abista sendiri hanya diam melihat kehebohan keduanya. Seperti sedang menonton pertunjukan yang sangat menghibur. Dan benar kata Suci, Celia dan Nick tidak bisa anteng. Bahkan dari kecil selalu berantem dan keduanya yang selalu membuat suasana jadi ramai. Kadang akur, kadang ribut, tapi keduanya saling perhatian.
"Ngaku saja kalau kamu sudah mulai khawatir sama aku. Sudah mulai---." Nick menggantungkan ucapan saat tangan Celia yang digunakan untuk mencubit pinggangnya, berpindah untuk membungkam mulutnya.
Gadis itu melototinya. "Diam! Bisa diam gak?! Jangan ngaco kalau ngomong."
"Tak sawang-sawang, kalian iki wes saling tertarik kok."
"Tidak!" Celia dan Nick berucap bersamaan sambil menatap Abista, dengan Nick langsung menepis tangan Celia yang membungkam mulutnya.
"Angel-angel." Abista geleng-geleng heran melihatnya.
"Mas Abis, mau apa ke sini pagi-pagi?" Akhirnya, Celia mempertanyakan itu untuk mengalihkan perhatian, karena Abista sudah berpakaian rapi dan jarang-jarang jika pagi sudah datang ke rumah kecuali ada keperluan penting.
"Dikongkon Tante niliki kalian. Tante khawatir nek umahe wes dadi kapal pecah mergo ulah kalian. Tibak'e ribute kalian mung kongene. Kelon, uyel-uyelan. Ndak enek sing perlu dikhawatirke." Abista berkata santai sambil menurunkan kaki kanan dan menegakkan punggung. "Yowes, nek model gelude kongono teruske ndak popo. Mungkin iso dilanjut ning kasur," lanjutnya lagi sambil tersenyum menggoda.
Celia menatapnya sinis, bertepatan dengan Abista beranjak berdiri.
"Mas meh nunut sarapan sekalian. Mbak Intan masak opo to?" tanya Abista sambil mengayunkan kaki menuju ruang makan. Saat melihat baskom berisi air dan daun kelor masih beranting di meja makan, ia berseru, "Cel, iki gawe opo to enek daun kelor neng mejo?"
"Ngusir setan neng awake Nick!" balas Celia bernada tinggi.
Abista berpikir, itu hanya bercandaan Celia. Namun, mendengar penjelasan Intan jika semalam Nick diperlihatkan pocong saat melewati kuburan kampung tetangga, Abista manggut-manggut paham.
"Asline Mbak Cel perhatian banget mbek Mas Nick, Mas. Dek'e wedi Mas Nick kenopo-nopo. Isuk-isuk wae wes sibuk golek godong kelor nggo tombo, wedi isek enek setan sing nempel neng awake Mas Nick," lanjut Intan sambil meladeni Abista yang akan sarapan, sedangkan lelaki itu sudah duduk di kursi.
"Curiga rak nek cah loro kae wes saling seneng?" Abista sangat kepo. Sebab, ia sangat berharap Celia bisa cepat move on dari Erick dan hidup bahagia dengan suaminya.
"Ketok'e sih, iya, Mas. Tapi, Mbak Cel isek sungkan ngakoni. Nek Mas Nick, wes enek tanda-tanda seneng. Iso ketok seko dek'e natap Mbak Cel mbek sabar banget ngadepin polahe Mbak Cel sing usil. Gelude mereka yo ngono kuwi, kadang aku melu gemes mbek baper dewe." Intan tergelak sambil menaruh piring berisi nasi yang masih mengepul di hadapan Abista.
"Umah iki masti bakal sepi nek Mbak Cel mbek Mas Nick wes muleh neng Jakarta," keluh Intan yang sudah bisa merasakan kesenyapan dan kesepian rumah Suci, andai Celia dan Nick sudah tidak di kampung.
"Wes ndak enek sing tak gonjak'i maneh nek mereka wes muleh neng Jakarta."
Dan benar saja, tiga hari kemudian, di mana Nick dan Celia harus pulang ke Jakarta, rumah menjadi sangat sunyi dan sepi. Perpisahan dramatis sangat terasa. Celia yang biasanya tidak pernah menangis, pagi tadi saat berpamitan dengan keluarganya, menangis sampai tersedu-sedu. Wejangan-wejangan dan harapan baik pun menyertai kepergian keduanya, yang justru semakin memperberat langkah Celia karena harus pergi meninggalkan keluarga dan harus tinggal di Jakarta seorang diri. Tanpa kedua orang tuanya. Meskipun Nick sudah menjadi suaminya, juga ada Harden dan Teresa yang sudah menganggap dirinya sebagai anak sendiri, kekosongan hati mulai terasa begitu mobil meninggalkan pekarangan rumah sampai memasuki jalanan tol.
Dalam diam, Celia masih meluruhkan air mata. Ia sedang menata hati untuk menginjakkan kaki ke kota itu lagi. Sudah bertahun-tahun ia tidak pernah ke sana, karena kota itu salah satu tempat yang memiliki banyak kenangan bersama orang tuanya. Ia lahir di sana, besar di sana, kehilangan orang tuanya pun di sana. Dan kota yang paling ia hindari untuk didatangi selama ini, karena kota itu akan mengingatkan dirinya dengan kehidupan masa lalunya lagi.
Tidak ada yang tahu dirinya memiliki kesedihan mendalam tentang Jakarta. Karena yang diperlihatkan ke orang-orang, dirinya bahagia, ceria, kuat, tidak pernah memperlihatkan kesedihan. Mengikuti berbagai kegiatan untuk mengisi kekosongan waktu pun, sebagai bentuk pengalihan diri agar tidak terus terpuruk dalam kesedihan.
Sementara, Nick yang masih fokus menyetir, sesekali menatap gadis yang duduk meringkuk sambil membuang muka ke jendela. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Celia saat ini. Sedih meninggalkan keluarganya di kampung? Itu sudah pasti. Memikirkan tidak akan bisa bertemu mantannya lagi? Mustahil. Celia sudah memutus hubungan dengan lelaki itu. Sama sekali tidak berhubungan.
Sial! Nick tidak bisa melihat Celia murung seperti itu. Hati seolah tak terima. Bahkan, saat melihat Celia berulang kali menghapus air mata, hati ikut sakit rasanya.
"Cel," panggil Nick, membuat gadis itu langsung menoleh dan bergumam serak.
"Kenapa nangis terus? Mau pulang ke kampung lagi?" tawar Nick.
"Hah? Enggak apa-apa. Lanjut saja," balas Celia sambil menggeleng. Suaranya terdengar sumbang.
"Kalau gitu, jangan nangis terus. Tidak enak dilihat tahu gak? Nanti dikira orang, aku sedang menculikmu."
"Maaf." Celia berkata singkat, tapi suaranya terdengar tercekat karena sambil menahan tangis. "Kalau gitu, aku tidur saja, ya. Nanti bangunin aku kalau sudah sampai."
Nick mengangguk. Itu lebih baik daripada harus melihat Celia murung dan menangis dalam diam. Sesaat ia menatap Celia yang sudah memejamkan mata seraya bersedekap, dengan kedua kaki masih diangkat di jok dan duduk meringkuk. Lalu, ia kembali fokus menyetir ditemani musik NDX A.K.A. Ketularan Celia, ia mulai suka dengan genre musik itu yang terdengar cukup menggairahkan semangat, meskipun ia tidak tahu arti pada lirik bahasa Jawanya.
Jarak tempuh dari Kendal ke Jakarta, hampir setengah harian. Setelah menghabiskan waktu berjam-jam di perjalanan dan itu baru separuh perjalanan, Nick memutuskan mampir ke rest area karena tangan, pinggang, pantat, dan kaki, mulai terasa pegal-pegal dan panas.
"Celia." Nick bersuara lirih saat memanggil gadis itu sambil menggoyang-goyangkan bahu kanannya pelan.
Perlahan, Celia membuka mata. Ia mengerjap. Merasakan mobil terhenti dan melihat sekeliling banyak mobil parkir, ia langsung menatap Nick. "Kita di mana?"
"Rest area. Mau ke toilet gak?" tanya Nick.
Celia menggeleng lesu dengan muka bantalnya. Mata terasa berat, mungkin sudah bengkak efek dari menangis, lalu langsung tidur.
"Aku mau ke toilet dulu. Mungkin kita bisa makan siang di sini sekalian. Ayo, turun."
"Bentar dulu." Celia langsung menurunkan cermin di atas tempatnya duduk untuk mengecek kondisi mata. Benar saja sudah membengkak dan memerah. Untung saja, ia selalu menaruh sunglasses di laci dashboard mobilnya, lantas segera diambil dan dipakai.
Nick hanya memerhatikan gerak-gerik gadis itu, geleng-geleng heran melihatnya. Tidak berhenti pada sunglasses, Celia berlanjut mengurus rambut panjangnya dicepol asal dan membiarkan anak rambutnya terurai bebas.
"Sudah?" tanya Nick, begitu melihat Celia selesai dengan aktivitasnya.
Gadis itu manggut-manggut polos. "Ayo."
Keduanya pun keluar bersamaan, lalu mengayunkan kaki menuju rumah makan dengan bangunan yang didirikan cukup luas. Sambil berjalan bersisian, refleks, Nick meraih tangan Celia dan digenggam erat. Celia tidak menolak. Lebih ketidak peduli karena masih sedikit ngantuk dan rasa sedih masih menyelimuti hati.
"Nick, aku ikut ke toilet juga," ucap Celia, sebelum Nick meninggalkan dirinya.
"Ikut aku?" Nick membeo sambil menunjuk diri.
Celia berdecak. "Maksudnya, aku juga mau ke toilet," jelasnya.
"Ooh. Kirain mau ikut aku ke toilet, mau ngintip aku kencing. Sampai kaget." Nick tergelak lirih.
"Iiish! Pikiranmu yang kotor."
"Makanya kalau ngomong yang jelas. Jangan ambigu gitu."
"Efek ngantuk, Nick," keluh Celia.
"Ya sudah. Siapa yang keluar duluan, tunggu di sini. Jangan di lain tempat. Paham?" pinta Nick, dan mendapat anggukan paham dari Celia.
Keduanya berpisah dan masuk ke toilet masing-masing. Celia mengantre cukup panjang. Sambil menunggu, benaknya kembali dipenuhi oleh kenangan semasa tinggal di Jakarta dan sekarang ia harus menginjakkan kaki dan tinggal di sana lagi.
Tapi, sedetik kemudian, ia seperti tertarik pada kenangan di mana kedua orang tuanya mengalami kecelakaan hebat sampai membuat papanya tewas di tempat, dan tak lama mamanya menyusul sebelum tim medis menangani. Kejadian itu seperti baru kemarin terjadi, dan terpampang nyata di depan mata.
Membuat Celia merasakan ketakutan, kecemasan, dan kegelisahan yang berlebih. Jantung pun tiba-tiba berdebar kencang tak keruan, dibarengi dengan keringat dingin yang mulai bermunculan. Dilengkapi dengan pusing yang membuatnya sampai berkunang-kunang. Bahkan, ia mulai kesulitan bernapas.
Panic attack menyerangnya lagi.
Celia masih berusaha bertahan dan menguatkan diri berdiri dalam antrean. Namun, setibanya ia memasuki bilik, pertahanannya tumbang karena ia kehilangan kesadaran dengan posisi duduk bersandar.
Sementara itu, Nick yang sudah keluar dari toilet, sangat sabar menunggu Celia di tempat semula. Sudah sepuluh menitan ia berdiri, tapi Celia belum juga keluar. Khawatir pun mulai menyerang, takut terjadi apa-apa dengan gadis itu.
"Pak, apa perempuan yang bersama dengan saya tadi sudah keluar dari toilet?" tanya Nick, kepada sang penjaga toilet.
"Yang mana ya, Mas? Soalnya banyak perempuan yang masuk ke toilet. Saya tidak bisa ingat satu-satu."
"Yang pakai kacamata hitam, kulitnya putih mulus, rambut hitam legamnya dicepol, pakai kaus pendek warna putih polos pas body, celana jeans ketat panjang, dan pakai sepatu sneakers putih."
Lelaki penjaga itu tampak berpikir, mengingat-ingat, tapi banyak perempuan keluar-masuk seperti yang disebutkan pada ciri-ciri itu. "Saya tidak tahu yang mana, Mas. Soalnya banyak yang keluar-masuk."
"Pak, ada satu bilik yang dari tadi orangnya tidak keluar-keluar. Takutnya kenapa-kenapa, soalnya dipanggil juga tidak menyahut," ucap salah satu perempuan yang baru keluar dari toilet.
Mendengarnya, pikiran Nick langsung menebak jika itu Celia. Tanpa ba-bi-bu, ia menerobos masuk ke toilet wanita. Tidak peduli mendengar seruan dari penjaga yang melarangnya, tapi mengikuti dirinya masuk. Sampainya di dalam, para perempuan yang ada di sana memekik terkejut. Namun, ia tidak mengindahkan kehebohan mereka karena yang dipikirkan hanya Celia sekarang.
"Bilik yang mana, yang paling lama tidak keluar orangnya?" tanya Nick, gelisah bercampur khawatir.
"Itu, Mas." Tunjuk salah satu orang.
"Mas, siapanya?" tanya yang lain, tepat Nick mendobrak pintu bilik sampai terbuka.
"Celia!" pekik Nick, yang terkejut melihat Celia sudah terkulai pingsan. Cepat-cepat ia membopong gadis itu dan membawanya keluar.
Beberapa orang mengarahkan Nick agar membawa Celia ke tempat lesehan--tempat bebas untuk bersantai dalam beristirahat.
"Celia, bangun." Nick menepuk-nepuk pipi Celia, untuk menyadarkan. Tapi, gadis itu belum juga sadar.
"Mas, saya bantu kasih minyak kayu putih, ya," ucap seorang ibu-ibu.
Nick mengangguk saja di tengah kepanikan dan kekhawatirannya. Ia tidak tahu jika Celia sedang sakit. Sebab, tidak ada gejala yang diperlihatkan gadis itu kecuali menangis dan lesu, dari perpisahan dengan keluarganya.
"Tangannya dingin sekali," ucap ibu-ibu itu, yang baru selesai mengolesi perut Celia dengan minyak kayu putih, lalu berlanjut mengolesi minyak kayu putih di kedua telapak tangan Celia.
"Celia, bangun. Cel." Nick menepuk-nepuk pelan pipi Celia.
"Mas, siapanya?" tanya ibu-ibu itu, ingin tahu.
"Suaminya," balas Nick, tapi ia justru mendapat balasan kuluman senyum dari ibu-ibu tersebut. 'Aneh ini orang,' batinnya.
"Mungkin istri Masnya, sedang isi. Biasanya kalau kondisi tubuhnya tidak stabil, bisa bikin pingsan."
"Isi? Isi apa?" Nick mengernyit, terlihat seperti orang bodoh.
"Hamil, Mas."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top