Part 9

"Ngene iki to rasane wong wis rabi nda? Iso romantis-romantisan. Mangane sepiring berdua. Iso suap-suapan."

"Sing isek jomlo ojok do ngiler."

"Wis wareg tenan mung nonton wong sing gek suap-suapan ngene."

"Pow maneh pacarane kok bar rabi. Ora penak piye nda? Iso luwih-luwih tenan."

"Lha iyo to. Turu wis enek sing ngeloni. Arep ambung-ambungan wis bebas. Arep gawe anak sak wayah-wayah wis ayo gerek mbabah."

Perkumpulan cowok-cowok yang duduk di meja seberang Celia berada, sibuk mengamati Celia dan Nick yang sedang makan bakso semangkuk berdua, sesekali keduanya saling bertukar suapan. Jika menurut Celia dan Nick itu biasa-biasa saja, berbeda dengan para cowok yang menanggapinya jika itu hal yang cukup romantis.

Mereka sudah kenal akrab dengan Celia, sering kumpul jika ada kegiatan karena Celia salah satu donatur utama. Sudah paham juga bagaimana sifat gadis itu. Saat berpacaran dengan Erick pun, sikap Celia cukup manis dan perhatian, dan sangat menjaga perilaku. Yang membedakan kali ini, Celia bersama orang baru tapi chemistry-nya justru lebih kuat. Terlihat lebih apa adanya dan ceplas-ceplos, tidak ada jaim-jaiman. Keduanya terlihat cocok. Dari segi penampilan, keduanya pun sangat klop. Tampan dan cantik. Sama-sama campuran bule.

Celia yang sadar sedang menjadi bahan ledekan mereka, menyahut, "Lhooo, kalian iki nopo to? Wong gek maem kok malah digonjak'i terus."

Beberapa dari para cowok itu ada yang menyangga dagu dan kepala dengan siku bertumpu di meja, beberapa ada yang sandaran di dinding.

"Pingin dulang-dulangan tapi gak enek layane, Cel."

"Nggolek to, Gung. Uwakeh cah wedok kok bingung," balas Celia, kepada cowok yang bernama Agung.

"Gak enek sing cocok, Cel."

"Halah, gayaan. Wong tiap minggu yo gunta-ganti wedok'an sing diboncengke kok." Celia mencebik.

"Kuwi kan cuma go batir dolan."

"Tibak'e ngono kabeh ya wong lanang? Podo wae mbek Erick. Isone dolanan wong wedok. Ndak iso setia. Dan aku salah satu korbane. Jancok tenan!" ucap Celia, kesal.

"Lagi ngobrolin apa kalian?" tanya Nick lirih, kepada Celia. Ia ingin tahu yang mereka obrolkan karena Celia terlihat serius dan kesal.

"Ngobrolin yang enggak penting." Celia menggeleng. Melihat masih ada sisa satu bakso di mangkuk, ia menusuknya menggunakan garpu dan disodorkan ke Nick. "Tinggal satu," ucapnya.

"Makan kamu saja," pinta Nick.

"Aku sudah kenyang. Sudah enggak sanggup ngunyah." Karena sebelum ke warung bakso, Celia dan Nick sudah makan seporsi nasi goreng, seporsi sate, dan seporsi nasi dengan lauk pecel lele dan bebek goreng.

Akhirnya, Nick pun melahap bakso yang disodorkan Celia. "Aku langsung gemuk lama-lama tinggal di Jawa," keluhnya.

"Tenang, kita 'kan tiap hari lari-lari pagi. Fitness juga. Jadi, enggak bakal gemuk."

"Cel, ojo nesu to. Sepurone ya wis ngingetke kamu mbek Erick." Agung merasa tak enak hati.

"Wes ndak usah dipikir. Sing penting aku wis entok gantine." Celia menepuk pundak kiri Nick sambil mengulas senyum.

"Yo mugo-mugo wae bojomu ndak suka main-main mbek wedok'an liyo ya." 

"Aamiin." Celia mengangguk saja walaupun sebenarnya ia tidak yakin dengan Nick. Nick juga pasti sama saja dengan yang lain. Atau mungkin lelaki itu sudah memiliki kekasih di kota. Lagi pula, ia tidak akan menaruh hati dengan Nick. Nick tetap teman kecilnya.

"Habis ini kita ke mana?" tanya Nick mengalihkan perhatian Celia dari teman-temannya.

"Beli martabak buat orang-orang yang ada di rumah."

"Oke." Nick mengangguk. "Aku bayar baksonya dulu."

Celia mengangguk dan mempersilakan lelaki itu beranjak yang langsung mengayunkan kaki menuju si penjual berada.

"Cel, terus awakmu meh melu bojomu ning kota?"

"Yo iyo. Meh njogo bojoku gen ora digondol wedok'an liyo atau main-main mbek wedok'an liyo. Sekali konangan, ndak enek sing utuh balung-balunge. Setidak'e yo sampai masuk rumah sakit lah," ucap Celia terdengar sungguh-sungguh. Padahal, ia hanya bercandaan.

"Nggilani tenan awakmu to, Cel."

Teman-teman Celia tergelak.

"Cel, ayok." Nick memanggil.

Celia pun beranjak. "Ojo enek sing kangen aku yo, nek aku wes pindah ning kota maneh."

"Nek aku kangen, entok marani awakmu to, Cel?"

"Ndak!" Celia tergelak sembari berlalu menghampiri Nick.

Lalu, keduanya pergi menuju gerobak martabak manis dan telur yang tidak jauh dari warung bakso tempatnya. Setibanya di sana, Celia langsung memesan tiga martabak manis dan tiga martabak telur. Selain untuk Intan, ia juga membelikan untuk para bapak-bapak yang berjaga di rumahnya.

Sambil menunggu duduk di kursi plastik tidak jauh dari gerobak, Nick dan Celia saling diam. Celia sibuk mengamati kendaraan beroda dua yang berseliweran di jalanan depannya. Nick sendiri sibuk dengan ponselnya, banyak pesan singkat masuk.

"Nick," panggil Celia sambil menatap lelaki yang duduk di sebelahnya.

Membuat Nick mengalihkan perhatiannya dari ponsel, lalu membalas tatapan Celia. "Ya."

"Asline kamu itu wes nduwe pacar belum to?" tanya Celia ingin tahu. Karena selama beberapa hari tinggal bersama Nick, ia tidak pernah menyinggung soal kehidupan pribadi lelaki itu. Yang dipikirkan hanya cara untuk menyibukkan waktu agar tidak terjebak dalam situasi yang membuat Nick mencari kesempatan untuk menciumnya lagi.

Dan lagi, selama ini ia juga cukup abai dengan kehidupan pribadi Nick. Tidak pernah tertarik dengan kehidupan teman kecilnya di kota. Tapi, teringat obrolannya bersama teman-temannya tadi soal perempuan, ia berpikir itu cukup penting untuk kelanjutan hidupnya. Langkah apa yang harus diambil dan antisipasinya.

"Jangan dicampur-campur bahasanya, Cel. Aku tidak paham," balas Nick, yang masih belum paham bahasa Jawa.

"Sebenarnya kamu itu sudah punya pacar belum di kota?" Celia mengulang pertanyaannya lagi.

"Ooh." Nick mengulas senyum. "Kenapa tanya seperti itu? Sudah mulai suka sama aku, ya?" tanyanya penuh percaya diri, yang langsung mendapat desisan kesal dari Celia.

"Bukan itu. Kalau kamu sudah punya kekasih di kota, jadi aku bisa beradaptasi dengan situasi kita saat hidup di kota nanti." Celia terdiam. Sibuk dengan pikirannya lagi. Sedetik kemudian, ia menampilkan ekspresi lesu sambil berkata, "Kalau kamu sudah punya kekasih, berarti aku sama saja seperti cewek-cewek yang suka ngerebut kekasih orang, 'kan, Nick? Malah sudah nikahin juga."

Nick tidak langsung membalas ucapan Celia. Ia paham keresahan hati gadis itu. Setelah cukup lama terdiam, ia membalas, "Jangan dipikirkan. Bukannya kita sudah bersepakat untuk tidak menganggap pernikahan ini serius dan hanya sebatas teman?"

Suara obrolan keduanya sangat lirih. Dengan sekitarnya cukup ramai oleh suara orang-orang dan suara kendaraan, mereka bisa memastikan jika obrolannya tidak akan didengar siapa pun. 

"Berarti benar, Nick, kamu sudah memiliki kekasih di sana?" tanya Celia ingin tahu.

Nick baru saja akan menjawab. Tapi, suara penjual martabak yang memanggil Celia, mengurungkan niatnya. Dan detik itu juga obrolan terhenti. Celia sibuk membayar martabak. Setelahnya, keduanya pun memutuskan untuk pulang.

Saat melewati depan pemakaman, Nick sudah mewanti-wanti Celia agar tidak bercanda. Namun, hal yang tak diinginkan justru terjadi. Motor Celia mogok secara tiba-tiba.

"Nick, kayaknya aku kena tulah sudah ngerjain kamu tadi," ucap Celia sambil menuntun motornya, sedangkan Nick mendorong. Tepatnya sekarang, mereka masih di depan pemakaman.

Jalanan sangat sepi, sunyi, aroma wangi khas bunga kuburan pun tercium kuat. Tidak ada satu pun kendaraan lewat. Angin yang berhembus kencang dan terasa dingin, membuat aura mistisnya terasa begitu kental. Nick sudah merinding sekujur tubuh. Sama sekali tidak berani tolah-toleh ke kanan-kiri.

"Aku sudah bilang tadi, jangan main-main di sini. Sudah tahu tempat angker juga," ucap Nick, antara takut, panik, dan gelisah.

"Kayaknya mereka marah aku ngerjain kamu, Nick."

"Makanya jangan kelewatan kalau ngerjain aku."

"Padahal 'kan, aku cuma bercanda."

"Tapi, enggak lucu bercandanya."

Keduanya masih berjalan kaki sambil mendorong motor. Saat tatapan Celia tidak sengaja tertuju ke ujung gerbang, ia melihat sosok pocong berwajah hitam. Berdiri sambil jungkat-jungkit. Ia berharap, Nick tidak melihat.

"Cel, kamu lihat gak?" Nick menunduk tidak berani mengangkat kepala.

'Duh, berharap Nick tidak ngelihat, malah lihat.' Celia mendesah.

"Iya. Kalau kamu lihat, pura-pura enggak lihat saja."

"Takut, Cel." Suara Nick bergetar, benar-benar ketakutan. Untuk pertama kali dalam hidup, ia melihat penampakan sangat nyata.

"Berdoa terus, Nick." Celia masih bisa tenang. Yang ia pikirkan justru kondisi Nick.

"Kita akan ngelewatin dia." Jantung Nick sudah ingin copot rasanya.

"Jangan lihat. Kita harus tetap tenang. Jangan langsung kabur. Kalau kita lari, mereka makin suka nakutin kita."

"Cel." Nick seperti akan kehilangan napas saat benar-benar melewati depan sosok itu.

"Nick, percaya sama aku, 'kan?" Celia hanya bisa menenangkan Nick seperti itu.

Setelah berhasil melewatinya dan jauh dari area pemakaman, Nick meminta berhenti sesaat. Kedua kakinya sudah tak sanggup berjalan saking kencangnya bergetar.

Celia sendiri mencoba menstarter motornya lagi dan menyala. Ia bernapas lega sambil tersenyum lebar kepada Nick yang sedang berjongkok.

"Nick, sudah bisa nyala. Ayo, naik."

Bergegas Nick duduk di belakang Celia, tanpa memikirkan apa pun lagi ia langsung memeluk gadis itu. Sedangkan, Celia langsung melajukan motornya. Tidak ada percakapan atau candaan-candaan lagi. Nick masih dilanda ketakutan yang teramat sangat.

Sampai di rumah, Celia langsung memberitahu kepada bapak-bapak yang berjaga di rumahnya. Salah satu dari mereka ada yang bisa menangani hal-hal mistis dan langsung membantu Nick yang masih ketakutan, dengan membacakan doa-doa agar lelaki itu tidak terkena sawan.

"Mbak Celia, lain kali bercandanya jangan keterlaluan, ya," pinta Mulyono, seorang bapak yang menangani Nick. Celia sudah cerita awal penyebabnya sampai terjadi hal seperti itu.

"Iya, Pak Mul. Enggak akan ngerjain Nick lagi," balas Celia sambil menatap Nick kasihan, yang masih terlihat sangat pucat pasi wajahnya.

"Misakke to, Mbak."

"Ampun kandakke Om mbek Tante ya," pinta Celia memohon. Ia takut dimarahi mereka.

"Asal ojo kelewatan maneh nek ngerjani. Moso garwone piyambak dikerjani terus to, Mbak."

Celia terdiam, merasa sangat bersalah. Lalu, menatap Nick lekat-lekat. "Nick, sudah gimana perasaan?"

"Lebih baik."

"Kita masuk sekarang?" tanya Celia sambil menggenggam salah satu tangan Nick, dan mendapat anggukan dari lelaki itu.

"Matursuwon nggih, Pak," ucap Celia kepada Mulyono. "Pak Kres, angsal nyuwon tolong mlebetke motore kulo?"

"Nggih, Mbak Cel." Kristanto mengangguk.

"Ayo, Nick," ajak Celia sambil membantu Nick berdiri. Teringat martabak manis milik Intan, ia mengambil satu box martabak manis di dalam kresek. "Ndamel Mbak Intan sing setunggal." Ia menyengir. Kemudian, berlalu dari hadapan para bapak-bapak itu dan memasuki rumah.

Setibanya di dalam, ia menyerahkan martabak manis milik Intan, kemudian melanjutkan langkahnya menaiki tangga.

"Cel, lain kali bercandanya langsung masuk ke pemakaman saja," ucap Nick sambil memasuki kamar.

Dari nada suaranya terdengar marah. Celia langsung menghadap lelaki itu, dan Nick langsung memalingkan wajah. "Nick, kamu marah sama aku?" tanyanya.

Nick tidak menjawab, langsung melengos pergi.

Celia mengejarnya dan berhenti di hadapan Nick. "Nick, aku minta maaf. Aku tidak tahu akan terjadi sungguhan," rengeknya.

Nick tidak memedulikan. Ia kembali menghindari Celia, dan Celia mengejarnya lagi. Berdiri di hadapannya lagi sambil mencengkeram pinggang dirinya.

"Nick, aku minta maaf," ucap Celia penuh sesal sambil mendongak menatap wajah lelaki yang masih memalingkan wajah dari dirinya. Ia tahu Nick kesal dengan dirinya, marah dengan dirinya, terlihat dari rahangnya yang mengetat. Dan ia tahu sudah sangat keterlaluan bercandanya.

"Niiick." Celia menggoyangkan cengkeramannya. Suaranya bergetar menahan tangis. "Aku minta maaf."

"Kamu tidak akan kapok ngerjain aku kalau aku belum kenapa-kenapa. Sebelumnya nendang aku, dan masih akan dilakukan kalau aku tidak bilang perutku bakal kena masalah lagi, 'kan? Lalu, sekarang. Kalau tidak ada kejadian seperti tadi, kamu pasti masih akan ngerjain aku lagi, 'kan? Terus saja seperti itu, Celia." Nick mencecarnya.

"Nick, aku tidak tahu bakal seperti ini."

"Kalau kamu tahu, kamu tidak akan melakukan. Maka dari itu, kamu akan terus ngerjain aku sampai aku kenapa-kenapa. Dan lakukan terus sampai kamu puas, Celia."

"Nick." Mata Celia berkaca-kaca. "Aku minta maaf," ucapnya sungguh-sungguh. Saat akan merengkuhnya, Nick menahan tubuhnya. Menolak. Lalu, melepaskan diri dari dirinya.

"Nicky, aku minta maaf." Celia terus merengek sambil membuntuti lelaki itu, dan sudah meluruhkan air sekarang. Ternyata ia tidak bisa dibenci lelaki itu karena kesalahan fatal yang sudah dibuat.

"Nicky." Celia berhenti melangkah, saat lelaki itu juga berhenti melangkah.

Kemudian, Nick berbalik. Ia melihat pipi Celia sudah basah oleh air mata.

"Aku minta maaf," ucap gadis itu lagi.

Kali ini, Nick yang tidak tega melihat Celia menangis. Ia menarik tubuh gadis itu, lalu memeluknya erat. "Oke. Oke. Cengeng sekali. Diambekin sedikit langsung nangis," ucapnya sambil mengusap-usap kepala Celia yang ditenggelamkan ke dada bidangnya.









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top