Part 8

Sejak hari itu, Celia menjadi sangat canggung terhadap Nick. Lelaki itu sudah mengajarinya mesum. Menciumnya penuh kelembutan, sampai membuatnya merasakan gairah yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dan setiap berduaan dengan Nick di kamar, Celia selalu bertingkah konyol dengan kecerewetannya. Hanya untuk mengalihkan perasaan gugup, canggung, salah tingkah, karena jantung selalu dibuat deg-deg ser jika di dekat Nick.

Padahal ia sudah kenal lama dengan Nick. Tapi, setelah hari itu, setelah Nick menciumnya, ia seperti baru mengenal Nick dengan versi barunya. Versi dewasa dan mesumnya tentu saja.

Bahkan, setiap malam, ia sengaja masuk kamar jika sudah terasa sangat ngantuk dan lebih lama menghabiskan waktu di luar kamar. Lalu, bisa langsung tidur jika sudah berbaring di ranjang. Celia benar-benar menjaga hati. Belum siap menerima Nick secara terbuka.

Sudah semingguan ini setelah hari pernikahannya, Nick masih di rumahnya. Sedangkan, Teresa dan Harden sudah pulang ke Jakarta keesokan hari setelah sepasaran manten. Mereka juga sudah mengirim orang kepercayaannya untuk mengantarkan dokumen-dokumen penting milik Nick, dan sudah diserahkan ke kantor KUA.

Untuk menghibur diri agar tidak bosan di rumah dan dijauhkan dari kamar pada siang hari, Celia selalu mengajak Nick jalan-jalan. Terkadang ke sawah-sawah yang mengelilingi rumahnya. Lalu, dengan kejahilannya, Celia selalu menakuti Nick dengan katak, belalang, ulat, sampai membuat lelaki itu terpeleset dari parit dan terjatuh ke sawah yang baru dibajak. Terkadang juga sampai membuat Nick tercebur ke sungai kecil saat Celia mengejarnya dengan membawa anak katak yang selalu disodorkan kepada dirinya.

Namun, kejahilannya itu justru membuat keduanya semakin dekat dengan perhatian-perhatian Celia yang diberikan kepada Nick, karena kasihan. Juga Nick yang selalu membalas perbuatan Celia dengan memasukkan gadis itu ke sawah becek dan menceburkannya ke sungai. Saat pulang ke rumah, keduanya pun sama-sama berpakaian kotor dan basah, sampai membuat Suci geleng-geleng keheranan.

Selain ke sawah, Celia juga sering mengajak Nick jalan-jalan ke area perkampungan. Dan lagi-lagi, tingkah Celia selalu membuat Nick takjub dan heran, karena gadis itu pandai memanjat pohon, padahal di Jakarta tidak pernah main panjat pohon.

Saat itu, ia dan Celia melewati salah satu rumah yang depannya terdapat pohon jambu air. Berbuah lebat, tapi cukup tinggi pohonnya. Celia yang ingin membuat rujak buah pun meminta jambu air itu dan memanjat pohon dengan mahirnya. Sedangkan, dirinya yang tidak bisa memanjat pohon, bertugas menangkapi jambu air yang dijatuhkan Celia.

Dan malam ini setelah adzan isya, Celia yang berdiri di balkon kamarnya, sedang berpikir cara apa lagi untuk menyibukkan diri bersama Nick, kecuali urusan kamar. Om dan tantenya tidak ada rumah. Mereka pergi ke daerah pegunungan tadi siang untuk meninjau perkebunan cengkeh, kopi, merica, dan durian. Akan pulang lusa katanya. Sedangkan usaha yang ada di daerahnya berupa tambak udang, bandeng, dan penebas padi yang sudah memiliki penggilingan sendiri dan menjadi salah satu distributor beras.

"Cel." Nick datang menghampiri Celia, yang baru menerima telepon dari seseorang.

"Nick, aku lagi mikir mau makan apa sekarang," celetuk Celia begitu Nick berdiri di sampingnya. "Ngebakso apa nasgor enaknya? Sambil jalan-jalan malam. Aku belum pernah ngajak kamu keliling daerah sini pas malam hari, 'kan?"

"Terserah."

"Ck! Biasanya yang bilang terserah itu perempuan. Dan laki-laki selalu memiliki keputusan jelas, Nicky."

"Memang ada aturannya laki-laki tidak boleh bilang terserah?" 

"Ya, enggak juga."

"Nah itu tahu!" Nick mencubit pipi Celia dengan gemas, membuat gadis itu langsung melototinya sambil menabok lengannya. "Aku ngikut saja. Aku 'kan, tamu di sini. Ngikut tuan rumah mau makan apa."

"Kalau aku makan tanah liat, kamu mau ngikut juga?" tanya Celia, bernada kesal sambil mengusap-usap pipinya.

"Kalau itu, biar kamu saja. Aku tidak mau mati cepat." Nick tersenyum lebar.

Celia terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Ya, udah. Kita jalan dulu aja, yuk! Nanti lihat mana yang lebih bikin ngiler. Bakso, mie ayam, nasgor, atau sate."

Nick mengangguk menurut. Lalu, bersama Celia, ia memasuki kamar. Masing-masing mengambil jaket karena Celia akan mengendarai motor. Kemudian, keduanya keluar kamar dan turun ke lantai bawah.

"Mbak Intan, aku sama Nick mau jalan keluar dulu, ya. Mungkin pulang ke rumah sekitar jam sepuluhan," ucap Celia, kepada Intan--asisten rumah tangganya, yang sedang menonton televisi di ruang keluarga. Gadis yang seumuran dengan dirinya itu memang dibebaskan untuk menonton televisi di ruang keluarga. Sudah dianggap seperti keluarga sendiri, apalagi sudah cukup lama bekerja di rumahnya dari gadis itu lulus SMP.

"Oke, Mbak Celia." Intan mengangguk patuh.

"Mbak, mau dibeliin apa? Bakso, mie ayam, nasgor, sate, roti bakar, martabak telur, martabak manis, molen, atau yang lain?" tawar Celia sambil mengambil kunci motor ninjanya di gantungankan di dinding.

"Martabak manis saja boleh, Mbak?"

"Boleh." Celia manggut-manggut. "Topping seperti biasa, ya." Ia sudah paham topping kesukaan Intan, keju-cokelat.

"Iya, Mbak." Intan manggut-manggut. "Makasih, ya."

"Iyaa." Lalu, Celia beralih menatap Nick yang berdiri di belakangnya. "Ayo, Nick."

Keduanya pun melanjutkan langkah menuju garasi mobil yang cukup luas. Ada beberapa jenis mobil pribadi yang terparkir di sana, termasuk motor ninjanya.

"Sejak kapan kamu bisa naik motor ninja?" tanya Nick, ingin tahu sambil membantu Celia menarik motor ninja untuk dikeluarkan dari garasi yang baru dibuka pintunya.

"Sejak pulang kampung. Mas Abis yang ngelatih," jawab Celia.

Setibanya di luar dan pintu garasi ditutup, Celia pun nunggangi motornya dan menstarter. "Ayo, naik," pintanya kepada Nick.

"Bisa beneran gak?" Nick meragukan.

"Loooh, loooh, loooh, meragukan aku, kamu, ya. Tinggal, nih!" Celia melajukan motornya, sedikit ngegas.

"Iya, iya. Tungguin." Nick menghampiri Celia, lalu naik di jok belakang. "Seharusnya aku yang di depan. Malu aku, Cel. Masa cowok yang di belakang."

"Emang kamu tahu jalannya?"

"Ya, enggak juga."

"Ya udah, nurut saja. Malah enak, 'kan, tinggal bonceng?" balas Celia sambil melajukan motornya ke halaman depan. Ada para bapak penjaga rumahnya yang sedang kumpul-kumpul duduk di lantai teras. Salah satunya bertanya dirinya akan ke mana sambil berlalu menuju pintu gerbang, untuk membukakan.

Setelah memasuki jalanan aspal depan rumah yang lurus dan mulus, Celia menambahkan kecepatan cukup tinggi.

Nick yang kaget pun langsung merengkuh Celia sambil mencecar gadis itu dengan kesal. Sedangkan, yang dicecar terbahak puas. Lalu, mengurangi kecepatan lajunya saat akan berbelok ke kiri.

"Makanya jangan ngeremehin aku. Sudah tahu 'kan, sekarang, kalau aku pandai mengendarai motor ini?" ucap Celia sambil menyombongkan diri.

Nick menegakkan posisi duduknya, kedua tangan yang merengkuh Celia berpindah memegangi pundak gadis itu. "Iya, iya. Sombong amat!"

"Harus dong! Harus sombong sama laki-laki yang suka ngeremehin perempuan."

Tidak ada balasan lagi dari Nick. Celia pun terdiam.

Saat teringat ada pemakaman umum yang dikelilingi sawah dan kebun, dan sebentar lagi akan melewati, gadis itu berkata, "Nick, bentar lagi  kita akan ngelewatin depan kuburan angker. Sering ada penampakan pocong di ujung-ujung gerbangnya. Kadang ada kuntilanak yang mencrok di pohon-pohon, suara orang nangis juga. Terus, tepat di tengah-tengah pintu gerbangnya juga sering ada penampakan hantu tanpa kepala."

"Terus aku disuruh ngapain?" ucap Nick tak acuh. Ia tahu Celia sedang menakut-nakutinya.

"Ya kali aja mereka akan nongol, mau berkenalan sama pendatang baru dari kota."

"Shuuttt! Diam, Cel."

"Takut, ya?" Celia tergelak lagi.

"Enggak. Aku tidak pernah takut sama apa pun." Namun, tanpa sepengetahuan Celia, Nick mengeluarkan ekspresi waspada sambil menoleh ke kanan-kiri yang semuanya sawah.

"Huuu! Gayaan enggak takut sama apa pun. Sama katak, ulat, belalang, itu aja udah megilan. Lari-lari sampai kecebur sawah dan sungai."

"Cuma geli. Enggak takut," balas Nick, semakin gelisah saat melewati kanan-kirinya kebun.

"Itu, Nick, udah kelihatan kuburannya. Kalau takut bilang, ya. Nanti aku turunin kamu di sana." Celia terkikik.

"Enggak usah aneh-aneh. Tambahin kecepatannya, Cel," pinta Nick, yang mulai panik dan merinding sekujur tubuh.

"Cieee, takut, cieee." Celia terus ngeledek sambil tertawa terpingkal-pingkal.

Tepat melewati depan pemakaman yang cukup luas, Celia sengaja memelankan laju. "Amit-amit nggih, Mbah, putune badhe nunut mlampah," ucapnya sambil membunyikan klakson. Lalu, sesekali ia mengerem, melaju, mengerem, dan melaju lagi. Jalannya sangat irit.

"Cel! Yang bener jalannya." Nick menabok pundak kanan Celia dengan panik sambil mengelilingi pandangannya ke sekitar. Rasa merinding pun semakin menjadi. Bahkan, yang terpikir dalam benak hanya ucapan Celia yang setiap sudut selalu ada penghuninya.

Tepat di depan gerbang pemakaman, Celia berhenti. "Nick, mogok eee motornya. Gimana ini?" ucapnya sambil mengulum senyum. Sedangkan, dirinya sama sekali tidak ada rasa takut. Sebab, ia pernah mengikuti jerit malam di kuburan. Saat mengikuti pelatihan silat pun penuh adrenalin, yang kadang di tempat ektrim dan angker untuk mendapatkan mental kuat. Jam latihannya pun selalu malam. Jadi, ia sudah terbiasa dengan jalanan malam yang gelap.

"Cel! Jangan main-main. Ayo, jalan. Aku tahu kamu cuma mau ngerjain aku," ucap Nick sambil memalingkan wajah dari pemakaman. Ketika mendengar suara kresak-kresek dari dahan pohon, ia langsung memeluk Celia erat-erat.

"Cel! Jalan! Astaga! Kamu mau aku pingsan di sini?!" cecar Nick sambil menyembunyikan kepala di punggung Celia.

Celia terkekeh geli. Tidak ingin berlama-lama mengerjai Nick, ia melajukan motornya lagi. "Penakut hiii!" ledeknya lagi, sebelum akhirnya ia memasuki kawasan yang ramai. Jika malam hari, tempat itu layaknya pasar malam. Banyak penjual-penjual makanan di pinggiran jalan, ada juga tempat bermain anak-anak dan odong-odong.

Celia memakirkan motornya di tempat parkiran khusus. Ia mendapat sapaan akrab dari para penjaga parkiran, dan memuji suaminya yang tampan.

"Meh golek jajanan opo, Mbak Cel?" tanya seorang ibu-ibu warga setempat, yang berpapasan dengan Celia di jalanan.

"Mboten ngertos niki. Mlampah-mlampah riyen mawon. Monggo, Bu." Celia mengulas senyum lebar.

"Nggih, Mbak Cel."

Setelah jauh dari ibu-ibu itu, Nick bertanya, "Cel, kok, ada bilang namaku?"

Celia mengernyit bingung. Ia tidak merasa menyebut nama Nick. Namun, setelah paham ia menyebut kata niki, ia terkikik, "Maksudmu niki?"

Nick mengangguk.

"Niki itu bahasa krama halus. Dalam bahasa Indonesia artinya ini. Ibu-ibu tadi tanya, aku mau cari apa? Terus aku bilang, mau cari suami baru ini," ucap Celia asal di kata suami baru.

"Ck! Udah dikasih suami tampan seperti ini, masih mau cari yang lain." Suara Nick terdengar kesal.

Celia langsung menatap Nick yang menampilkan ekspresi memberengut. "Looh, emangnya kamu mau kita selamanya?" tanyanya, terdengar candaan karena diiringi tawa.

Nick mengedikkan kedua bahu. Dan perhatian Celia teralihkan ke deretan makanan gerobak, ada nasi goreng, mie goreng, sate, pecel lele, bebek goreng, angkringan. Sedangkan, bakso dan mie ayam ada di warung tetap. 

"Nick, bingung mau makan yang apa," keluh Celia sambil berkacak pinggang dan menatap bermacam makanan itu.

"Nasi goreng, enak. Pecel lele, bebek goreng, juga enak. Bakso dan mie ayam, juga enak. Sate kambingnya juga enak," ucap Celia lagi yang masih dilema akan memakan apa.

"Ya, udah. Makan semuanya saja. Kita beli sepiring dimakan berdua. Nanti pindah tempat lagi, beli sepiring lagi dan dimakan berdua."

"Aaah! Ide bagus!" Celia menatap Nick sambil mengulas senyum lebar. "Pinter banget sih, kamu?" pujinya sambil mencubit kedua pipi Nick dan digoyang-goyangkan dengan gemas.









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top