Part 6

"Heleh, heleeeh! Nganten anyare gek mudon. Gawean ping piro to? Ketok'e lempoh banget," goda Abista, yang melihat kedatangan Nick dan Celia sedang menuruni tangga. Semua orang yang ada di ruang keluarga pun ikut kesem-sem, senyum-senyum sendiri. Ada juga yang ikut menggoda.

"Mas Abis, omongane loh," gerutu Celia, tepat kaki menginjak lantai ruang keluarga.

"Omongane piye to?" Abista tersenyum menggoda.

"Ojo mbok gonjak'i terus. Aku mbek Nick urong opo-opo." Celia mendaratkan bokong di permadani, tempat Abista duduk.

Nick pun ikut mendaratkan bokong di sana, tepatnya di antara Abista dan Celia. Dan berjarak sekitar satu meteran dari Abista.

"Nick, bagaimana semalam? Lancar ndak unboxingnya?" tanya Abista ingin tahu sambil memainkan kedua alis naik-turun.

Nick menyunggingkan senyum tipis. "Celia minta terus, Mas."

"Weeee, jancok! Sopo sing njalok! Orang kita enggak ngapa-ngapain." Celia yang terkejut langsung memukul bahu Nick sambil melototi.

"Kata Celia, dia mau balas dendam sama calon suaminya yang ngehamilin perempuan lain, Mas. Makanya dia minta terus biar cepat hamil." Nick semakin menambahi. Sengaja biar Celia kesal dengan dirinya. Sebab, kekesalan gadis itu adalah kebahagiaannya.

"Nick! Lambemu, loh!" Celia langsung membekap mulut Nick dengan salah satu tangannya. "Ojo fitnah. Kita 'kan, belum ngapa-ngapain."

Abista sendiri tergelak melihat pertengkaran keduanya, yang justru terlihat lucu. "Nick, sudah dikode minta dibuatin." Ia mengedikkan dagu ke arah Celia.

"Mas Abis! Stop!"

"Siap, Mas. Nanti aku gas terus." Nick merasa memiliki teman untuk menjahili Celia.

"Ternyata Nick iso diajak bercanda, ya. Aku kiro bakal kaku koyo watu."

"Ngomong apa dia, Cel?" tanya Nick berbisik.

"Kamu jelek." Celia berkata asal sambil menyipitkan mata.

Tidak puas dengan jawaban Celia, Nick beralih bertanya dengan Abista. "Translate ke bahasa Indonesia, Mas. Aku tidak paham omongannya tadi."

"Ternyata kamu bisa diajak bercanda. Tidak sekaku seperti yang aku kira."

"Ooh, itu." Nick manggut-manggut. "Ada waktunya aku terlihat kaku dan lucu, Mas."

"Yooh, lucu dari mana?" Celia melirik sinis lelaki itu.

Nick tidak memedulikan. "Aku akan terlihat kaku dan cuek, sama orang yang belum mengenaliku juga saat di kantor. Tapi, kalau sama orang sudah dekat denganku, ya, seperti ini," jelasnya. "Apalagi sama si Cempluk satu ini."

"Waah, masih ingat julukane Celia ta?" Abista terbahak-bahak.

"Ha-ha." Celia menirukan tawa Abista. "Seneng to? Seneng, entok bolo sing iso gonjak'i aku?"

"Koyok'e kamu emang jodone mbek Nick, Cel. Pacaran suwi-suwi mbek Erick sampai empat tahun, malah nikahe mbek Nick konco cilikmu."

"Ojo ngawur nek omong. Aku ndak mau suwi-suwi mbek Nick."

"Yakin? Tenane? Wes entok lima puluh miliar, loh, Cel. Eman-eman nek sampai pegatan."

"Aku rak njalok lima puluh miliar. Nick dewe sing ngek'i."

"Cel, tak kandani sing tenanan ki, yo, mergane aku Masmu. Ojo mbok njaluk sing aneh-aneh, opo maneh pegatan. Nikah nek iso sekali seumur hidup. Koyo wong tuwone dewe." Ucapan Abista terdengar serius sekarang.

Nick yang tidak tahu apa-apa hanya diam sebagai pendengar. Celia sendiri tampak memberengut.

"Tapi, 'kan, aku ndak tresno mbek Nick."

"Tresno jalaran soko kulino. Cinta hadir karena terbiasa. Sok mben, awakmu mbek Nick pasti bakal ono roso tresno kok. Yakin aku, rak ngapusi," jelas Abista.

Celia berusaha mengabaikan ucapan Abista dan membuangnya dari pikiran. Untuk pengalihan, ia berkata, "aku laper. Nick, ayo ngambil sarapan." Ia beranjak, pun dengan Nick yang ikut beranjak berdiri.

"Nah ngono sing akur. Ojo lali suap-suapan gen tambah mesra," goda Abista lagi.

"Ssstt! Mas Abis, ojo mbok goda terus akune." 'Makin deg-degan atiku,' ucap Celia, berlanjut dalam hati.

Nick dan Celia sudah berada di meja makan. Banyak macam masakan yang terhidang di sana, sampai bingung ingin mengambil yang apa. Orang-orang yang rewang pun masih banyak yang datang persiapan untuk acara sepasaran manten--tradisi turun temurun dari adat Jawa setelah acara pernikahan dilakukan.

"Pernikahan di kampung memangnya seperti ini semua, ya? Acara selesai pun masih banyak orang," tanya Nick, ingin tahu. Ia merasa culture shock masuk ke kampung Celia. Salah satu yang tidak pernah ia alami selama hidup.

"Ya, seperti ini. Sudah tradisi turun-temurun dari nenek moyang Jawa."

Keesokan harinya, Nick dibuat culture shock lagi melihat rumah Celia bertambah ramai, seperti hari pertama pesta pernikahan diadakan. Kali ini bukan tamu undangan yang memenuhi rumah Celia, tapi sebuah tontonan rakyat bernama, Barongan.

'Ya Tuhan, apalagi itu?'

Dari balkon, Nick melihat kondisi teras rumah Celia penuh sesak orang-orang dari berbagai kalangan usia. Di pinggiran jalan, sudah banyak pedagang asongan menjajakan dagangannya semacam mainan dan makanan ringan. Panggung yang kemarin dibuat untuk konser pun masih berdiri, sekarang penuh dengan alat musik Jawa yang biasa disebut dengan gamelan.

"Kenapa rupa setan seperti itu dipertontonkan, Cel? Banyak yang nonton lagi," tanya Nick, penasaran. Hiburan bernama Barongan tersebut sudah mulai dimainkan, diiringi musik gamelan dan penyanyi sinden. Banyak anak-anak kecil yang mendekat dan ikut menari-nari, seperti tak ada takutnya sama sekali.

"Ya enggak tahu. Sudah dari dulu ada. Dan itu yang bikin menarik. Ada kuda lumping juga." Celia yang berdiri di samping Nick mengedik. Secercah ide pun menghampiri benaknya. Kali ini dirinya bisa mengerjai Nick.

"Nick, kalau nonton dari atas sini tidak asyik. Ayo, ke bawah," ajak Celia sambil menarik salah satu tangan Nick.

"Enggak mau. Banyak orang. Bikin pusing, Cel."

"Ayolah, Nick. Mumpung ada." Celia berusaha membujuk sambil menggoyang-goyangkan lengan Nick. "Kapan lagi kamu bisa melihat tontonan seperti ini? Di kota mana ada?" lanjutnya. 

Tapi, Nick masih tidak merespons.

"Nick." Celia menampilkan ekspresi cemberut dan memelas.

"Oke, oke. Ya Tuhan, banyak maunya sekali kamu." Akhirnya, Nick menyerah.

"Kan, sudah jadi istrimu, to?" Celia menyengir.

"Tapi, kamu belum melayaniku loh, Cel."

"Iih, itu pikir nanti," balas Celia sambil menarik Nick berlalu dari balkon.

Keduanya menuruni tangga, banyak orang di lantai bawah. Cukup sesak. Kemudian, Celia membawa Nick ke teras untuk bergabung dengan orang-orang yang sedang menonton barongan di halaman depan.

"Cel, jangan dekat-dekat," pinta Nick sambil menahan langkah Celia yang menariknya menyelusup ke sela orang-orang.

"Kita harus nonton yang paling depan. Itu lebih seru." Celia tidak memedulikan Nick yang terlihat ketakutan. Lantas, ia berhenti melangkah setelah mendapat posisi bagus, paling depan, dengan kedua tangan masih merengkuh lengan Nick.

"Diam, Nick. Kalau kamu heboh, nanti dia bisa ngejar kamu. Soalnya kalau kerasukan setan, suka ngejar orang. Terus setannya bisa nular atau merasuk ke tubuh orang yang disentuh." Celia mulai menakut-nakuti Nick.

Dan Nick percaya-percaya saja mendengar gadis itu berkata dengan nada serius. "Kamu sengaja ngerjain aku, huh? Dengan membawaku kemari."

Celia cengengesan. "Itu pointnya."

"Aku mau ke atas. Mending nonton dari atas."

"No! No! Aku bilang, jangan heboh. Nanti dia ngejar. Diem. Anteng." Celia semakin erat merengkuh lengan Nick.

"Tuh! Tuh! Lihat. Sudah mulai kerasukan," ucap Celia, ketika melihat orang yang main barongan mulai berjatuhan tak sadarkan diri. Tidak lama, orang-orang itu mulai menari-nari tidak jelas karena tubuh sudah dikendalikan oleh setan yang merasukinya.

"Cel! Cel! Mau ngejar ke sini!" Nick berkata heboh melihat orang yang sedang kerasukan, berlari ke arahnya. Ia akan berlari, tapi Celia tetap menahannya dengan kencang.

"Nick, tenang. Tenang."

"Tenang gundulmu." Nick mulai ketularan umpatan Celia, yang membuat gadis itu terperangah.

"Lhooo, wes iso tiru." Celia tergelak. "Dia enggak akan makan kamu juga kalau ke sini."

"Tapi, katamu setan dalam tubuhnya akan menular ke orang yang disentuh."

"Setannya pilih-pilih, Nick. Dia enggak mau sama orang kota." Celia berkata asal. Lalu, meminta Nick untuk menikmati tontonan di hadapannya.

Berulang kali Nick hampir dibuat jantungan karena ketakutan melihat orang-orang yang kerasukan setan selalu berlari ke arahnya. Celia benar-benar niat sekali ingin mengerjai dirinya.

Awalnya Celia tertawa terbahak kesenangan melihat ekspresi Nick yang ketakutan. Namun, semakin lama, ia mulai kasihan dengan lelaki itu. Ia merasakan kedua tangan Nick sudah mengeluarkan keringat dingin. Akhirnya, ia pun memutuskan berlalu dari tempatnya dan mengajak Nick untuk jalan-jalan di tepian jalan. Melihat-lihat orang-orang yang sedang menjajakan dagangannya.

"Nick, pernah jajan seperti itu gak?" Celia menunjuk sosis bakar, bakso bakar, siomay, es cendol, es kelapa muda, pop ice, dan masih banyak lagi.

"Enggak lah, Cel. Tahu sendiri bagaimana pola makanku yang sangat terbatas saat kecil. Lagi pula, aku tidak pernah menemukan jajanan seperti itu di Jakarta."

Celia mengangguk paham. Ia ingat sekali dulu Nick tidak bisa makan sembarangan makanan dan sering cuci darah. Saat ia dan Chloe makan snacks dan ice cream pun harus ngumpet-ngumpet dari Nick.

"Tapi, sekarang sudah bebas makan segala macam makanan, 'kan? Enggak ada pantangan lagi? Kamu melakukan cangkok ginjal sudah dari delapan tahun yang lalu."

"Sudah. Ginjal mama kamu di perutku, aku jaga baik-baik. Mau bekerja sama, dan aku sudah sehat sekarang. Tidak ada masalah lagi."

Celia mengulas senyum lebar. "Aku senang mendengarnya. Mama bisa membantu kamu sampai umur panjang seperti sekarang."

"Aku sangat berterima kasih sama Tante Sasha dan keluargamu yang lain tentu saja, karena sudah mengizinkan Tante Sasha ngasih satu ginjalnya untukku."

"Nick, kamu 'kan, sudah dianggap anak sendiri sama Mama. Mama dan Papa sangat menyayangi kamu karena mereka ingin punya anak laki-laki, tapi yang keluar malah aku." Celia tergelak. Ia tidak sedih saat mendengar cerita tentang harapan mama dan papanya ingin punya anak laki-laki tapi yang keluar justru perempuan. Terdengar lucu malah, karena ia jadi tahu dari mana sifat tomboynya muncul.

"Eeehm, Nick, mumpung kamu di sini, kamu mau, aku ajak nyekar ke makam mereka?"

"Mau saja. Sekalian mau bilang sama Om dan Tante kalau anaknya sudah jadi istriku." Nick terkekeh.

"Oke. Nanti kalau situasi sudah tenang, kita ke makam mereka, ya."

Nick mengangguk menurut. Saat ia dan Celia sedang berjalan menuju pedagang siomay, Celia didatangi seorang lelaki berjaket hitam, bermasker, berkacamata, dan memakai helm.

"Rick," panggil Celia di tengah keterkejutannya, yang mengenali lelaki itu adalah Erick. Ia sangat paham postur tubuh Erick. Terutama parfumnya.

"Aku pengen ngomong mbek awakmu, Cel. Ayo, melu aku sedelok."

"Mareng ndi?" tanya Celia sambil menatap Erick penuh rasa kecewa dan sakit hati, yang berusaha ia pendam sendiri dari hari itu. Tanpa memperlihatkan kesedihannya di hadapan orang-orang.

"Gok kono. Sing rodo sepi." Menggunakan dagu, Erick menunjuk gang penghubung perumahan penduduk.

"Bojoku melu." Celia langsung merengkuh salah satu lengan Nick dengan erat. "Nek gak entok, aku emoh melu awakmu."

"Iyo. Dijak'en." Erick melangkah lebih dulu, diikuti Celia yang terus menggandeng lengan Nick.

"Itu calon suami yang seharusnya nikah sama kamu?" tanya Nick, lirih.

"Iya. Enggak punya malu banget. Masih mau datang ke sini, mana lagi rame banyak orang."

"Kayaknya dia sengaja ngintai kamu untuk diajak bicara."

"Sepertinya. Nomornya sudah kublokir soalnya."









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top