Part 5

Celia masih berdiam diri di kamar mandi, padahal sudah selesai mandi dari beberapa menit yang lalu. Dengan tubuh yang terbalut handuk, ia sibuk menggigiti bibir bawahnya. Berjalan mondar-mandir sambil menimang-nimang, harus keluar atau tidak?

Ini kesalahannya. Karena tidak membawa baju tidur dan pakaian dalamnya sebelum melangsungkan ritual mandinya.

Merasakan hawa dingin yang semakin menusuk dan membuat tubuhnya menggigil, akhirnya Celia memiliki satu keputusan. Ia membuka pintu sedikit, lalu menyembulkan kepalanya untuk melihat Nick. Terlihat dari tempatnya, Nick berbaring membelakangi dirinya.

"Koyok'e aman iki. Nick wes turu," gumam Celia. Tingkahnya seperti maling yang akan melancarkan aksinya. Perlahan ia keluar, berjalan mengendap-endap menuju lemari pakaiannya yang ada di samping ranjang. Nick masih membelakangi.

"Ojo mbalek. Ojo mbalek," gumam Celia tanpa suara, tangannya merambat-merambat di dinding dengan posisi menghadap depan, berjaga-jaga jika sewaktu-waktu Nick berbalik badan, ia bisa langsung lari ke kamar mandi lagi untuk bersembunyi.

Sampainya di lemari pakaian bercat hitam dengan model pintu sliding, Celia menggeser pintu bagian baju berlipat, perlahan. Setelah dirasa cukup lebar, ia langsung berbalik. Cepat-cepat ia mengambil pakaian tidurnya. Saat akan menarik laci tempat pakaian dalamnya berada, tanpa ia ketahui Nick sudah berbalik badan.

Lelaki itu mengulum senyum melihat tingkah Celia yang seperti maling sedang mengambil barang. Ide jahil pun keluar dari otaknya.

"Cel!" seru Nick.

Berhasil mengagetkan Celia dan memekik keras. Gadis itu refleks langsung berjongkok sambil mengamankan handuk yang hampir lepas. Ia terpejam. Sangat geram dengan Nick.

"Nick, tutupen matamu. Ojo mbok delok," cecar Celia.

Nick tidak tahu artinya, tapi seolah-olah ia paham yang diucapkan Celia. "Aku mau melihat tubuh istriku. Sini, Sayang, sini. Aku check dulu. Takutnya kulitmu panuan. Nanti malah nular ke aku," ucapnya seraya mengulum senyum, masih berbaring menghadap Celia sambil menyangga kepala dengan santainya.

"Gundulmu panuan. Aku sering perawatan. Panu tidak berani ke kulitku."

"Tidak percaya. Aku check sendiri baru percaya."

Celia yang geram langsung mengambil tumpukan lipatan baju-bajunya dan dilemparkan ke arah ranjang, sebagian mengenai kepala Nick. "Ngeres otakmu!" serunya sambil menatap kesal lelaki itu. Kemudian, ia mengambil sembarang kaus di hadapannya dan memakainya asal. Sebelum akhirnya, ia mengambil setelan baju tidur dan pakaian dalamnya, dan kembali masuk ke kamar mandi.

Sementara, Nick tertawa terpingkal-pingkal melihat kelemahan Celia. Sekarang ia tahu harus bagaimana membalas kejahilan gadis itu.

Beberapa menit kemudian, Celia yang sudah berpakaian rapi memasuki kamarnya lagi. Ia tidak langsung ke ranjang karena harus mengeringkan rambut panjangnya terlebih dahulu. Dan Nick dengan sabar menunggu.

"Nopo gak turu?" tanya Celia sambil menyimpan hairdryer ke laci meja riasnya, setelah selesai mengeringkan rambut. 

"Ngomong pakai bahasa Indonesia."

"Kenapa enggak tidur?" Celia mengulang pertanyaannya dengan ekspresi kesal.

"Ooh." Nick manggut-manggut. "Nungguin istriku naik ke ranjang, lah. Mau mgelonin soalnya," ucapnya santai.

Celia sendiri justru ketakutan. Jantung berdebaran tak keruan. Grogi, nerves, dan tidak menyangka jika sifat Nick sangat mesum seperti itu. Di lihat dari luarnya, lelaki itu seperti kanebo yang tidak memiliki ekspresi. Kata Tante Resa, persis Om Harden yang waktu muda seperti manekin. Yaa, Tante Resa sempat menjuluki suaminya seperti itu dulu.

"Nick, kita nikah karena terpaksa loh, ya. Jadi, ojo macem-macem mbek aku," ucap Celia sambil merangkak ke ranjang, sangat hati-hati dan antisipasi.

"Celia, budeg. Aku sudah bilang jangan bicara pakai bahasa planetmu." Nick ngedumel kesal.

"Nick, tetap diam di tempatmu," ancam Celia sambil melototkan mata.

Nick mengangkat kedua tangan seolah menyerah. Tapi, tanpa disangka oleh Celia, lelaki itu langsung menariknya dan mendekap erat.

"Udah gak bisa lepas dari aku, kamu." Nick terbahak, sedangkan Celia sedang berusaha melepaskan diri.

"Nick, lepasin! Weee semprul tenan kowe, ya. Aku ndak iso napas, Nick!" Celia terus berkelit.

Nick mengeratkan dekapannya. "Cel, ayo, bikin anak sekarang, Cel!"

"Mbahmu aaa! Nick, lepasin!" Celia terus meronta. Hampir menangis.

"Nick! Lepasin! Aaaa, Mama! Tolongin Celia! Celia enggak mau bikin anak sama Nicky! Aaaa, Mama!" Celia berseru, mencoba mencari pertolongan.

Nick justru kesenangan menjahili gadis kecilnya yang nakal itu. Kejahilannya semakin menjadi saat salah satu tangannya menyusup ke dalam baju tidur Celia, yang membuat gadis itu semakin kalang kabut takutnya.

Sampai kehabisan kesabaran, Celia menggigit bahu Nick kencang-kencang. Nick memekik kesakitan. Tidak hanya itu, penderitaan Nick bertambah lagi saat perutnya ditendang Celia cukup kencang. Lelaki itu terjatuh dari ranjang dan pura-pura mengaduh kesakitan yang teramat sakit.

"Cel, perutku, Cel. Sakit banget." Nick mengernyitkan dahi sambil terus memegangi perutnya.

Celia mencoba abai. Sangat kesal soalnya.

"Cel, perutku beneran sakit, Cel. Kamu tahu 'kan, kalau aku cangkok ginjal dari Mamamu? Aku takut ini kenapa-kenapa, Cel."

Celia mulai terlihat khawatir. Ia menyembulkan kepala dari atas Nick, mengecek keadaannya. Saat melihat lelaki itu sangat kesakitan dan seperti tidak main-main, ia bergegas turun. Berjongkok di samping Nick.

"Nick, Nick, kamu jangan bercanda." Suara Celia terdengar khawatir sambil memegangi perut Nick, sedangkan salah satu tangannya bertengger di bahu lelaki itu.

Tapi, Nick pura-pura tak sadarkan diri.

"Nick, jangan bikin aku takut to. Nick, bangun." Celia mencoba membangunkan Nick dengan menggoyangkan bahu lelaki itu.

"Nick, aku minta maaf. Enggak akan nendang kamu lagi. Janji." Celia sudah menahan tangis. Sangat takut sampai tubuhnya bergetar. Tapi, tidak ada reaksi apapun dari Nick.

"Nicky."

Nick mendengar suara isakan Celia. Ia mengintip. Terlihat, gadis itu benar-benar menangis. Tidak tega mengerjainya terlalu lama, ia membuka mata dan terkekeh.

"Takut, ya? Takut aku mati, ya? Makanya jangan nendang-nendang segala," ejek Nick sambil beranjak duduk.

Tangis Celia justru semakin menjadi sambil memukuli Nick secara brutal. "Ndak lucu!" cecarnya di sela tangis. Semakin terisak keras.

"Aku baik-baik saja, Cel. Perutku tidak kenapa-kenapa. Sini, aku peluk." Nick menarik Celia ke dekapannya. "Cup, cup, cup, istriku yang paling nakal jangan nangis lagi, ya."

Celia masih terisak-isak dalam dekapan Nick. "Tapi, tenan to, perutmu enggak sakit?" tanyanya, bersuara parau.

Nick menggeleng sambil mengusap-usap punggung Celia penuh kelembutan.

"Tidak, Cel."

"Kalau sakit ngomong, ya," ucap Celia sambil menarik diri dan menatap Nick lekat-lekat.

"Iya." Lelaki itu mengangguk patuh.

"Yowes, sekarang kita tidur. Tapi, jangan peluk-peluk seperti tadi, ya," ajak Celia sekaligus memberi larangan.

"Iya, iya. Ayo."

Nick beranjak berdiri, Celia pun ikut berdiri. Keduanya naik ke ranjang.

"Nick, beneran enggak sakit, 'kan, perutnya?" Sambil melihat Nick merangkak ke posisinya, Celia bertanya lagi untuk memastikan. Ia masih mengkhawatirkan perut Nick, terutama ginjalnya.

"Enggak, Cel, enggak. Masih aman." Nick berusaha meyakinkan. Karena perutnya memang tidak sakit. 

"Oke." Celia manggut-manggut paham. "Aku kasih batasan untuk kita tidak. Jangan ngelewatin kedua guling ini, ya," pintanya sambil menata dua guling di antara dirinya dan Nick.

"Iya, iya. Udah terserah kamu saja." Nick sudah pasrah. "Cepat tidur. Katanya udah capek?"

"Iya." Celia mengangguk. Ia berbaring, menarik selimut sampai dada dan membelakangi Nick. Tidak lama ia terlelap pulas, sangat anteng.

Nick justru tidak bisa tidur. Sambil menatap langit-langit, ia menumpuk kedua tangan di bawah kepala sebagai tambahan bantalan kepalanya. Suasana yang baru saja terasa ramai, berubah hening seketika. Ia menoleh ke arah Celia, menatapnya lekat-lekat. Dengkuran lembut dari gadis itu terdengar jelas. Ia membatin jika Celia sudah tidur sangat pulas. Tidak lama, ia pun mulai memejamkan mata.

***

Keesokan hari, rumah Celia masih ramai. Masih ada beberapa tamu yang datang, Teresa dan Harden pun ikut menyambut tamu-tamu Suci dan Irawan yang dipersilakan duduk di ruang tamu. Sebab, teratak di teras sudah mulai dibongkar.

Sementara itu, Nick dan Celia masih tertidur pulas di jam sepuluh ini. Mereka saling memeluk erat, dengan salah satu kaki Celia bertengger di atas pinggang Nick, dan Nick merengkuh pinggang Celia. Keduanya bertingkah seolah sedang memeluk guling masing-masing.

Nick pun terbangun saat mendengar suara ramai dari luar. Suara besi yang saling beradu, orang mengobrol, canda tawa, sangat mengganggu pendengarannya. Begitu mata terbuka dan melihat posisi tidurnya saling berpelukan dengan Celia, Nick hampir saja menyingkirkan gadis nakal itu dari dirinya. Namun, ia urungkan saat melihat Celia masih begitu pulas tidurnya. Kasihan juga. Dan ia masih tetap di posisinya memeluk Celia, membiarkan gadis nakal itu juga memeluknya.

Dalam diam, ia memerhatikan wajah Celia lekat-lekat. Polos. Tak ber-make up. Terlihat ada tahi lalat di ujung mata kirinya. Kemudian, pandangan menekuri wajah Celia yang hanya bisa ia lihat separuh. Hidung mancung gadis itu mewarisi dari Dallas. Bulu yang lentik tanpa tambahan lagi, bibir tipisnya terlihat merah muda, kenyal, tidak pecah-pecah sama sekali. Ternyata gadis yang dulu tomboy sudah pandai merawat diri.

Nick mengulum senyum teringat masa lalunya dengan Celia. Merasakan ada pergerakan dari gadis itu, ia langsung terpejam lagi. Pura-pura tidur.

Perlahan Celia membuka mata. Ketika sadar sedang memeluk Nick, ia langsung menjauhkan diri dari lelaki itu, membelakangi. Jantungnya langsung berdebaran tak keruan. Mulut terus komat-kamit seperti sedang merapalkan doa. Padahal, ia sedang merutuki dirinya sendiri kenapa bisa memeluk Nick seintim itu.

"Aduuuh. Kok isone kelepasan ngene," gumam Celia sambil memukul pelan keningnya.

"Sudah bangun, Cel?" tanya Nick sambil menguap, pura-pura baru bangun.

"Belum." Celia menjawab asal.

Nick mengulas senyum. Ia beringsut mendekati Celia dan merengkuhnya dari belakang. "Nyenyak banget, ya, Cel, tidurnya. Apalagi sambil kelonan gini."

"Nick, pasti kamu sengaja, 'kan?" tanya Celia, tubuhnya terasa menegang dipeluk Nick.

"Sengaja apa? Kamu kali yang sengaja meluk aku. Sampai nangkringin kaki di atas pinggangku."

"Krosoku 'kan, kamu bantal guling, Nick."

"Guling hidup, Cel." Nick menyahut asal. Ia mengendus rambut Celia yang wangi. Tapi, ia justru berkata, "Bau iler banget kamu."

"Mosok iii." Celia menjumput rambutnya, dihirup dalam-dalam. "Ndak kok. Wangi." Lalu, ia mengubah posisi tidurnya jadi telentang. Jaraknya dengan Nick sangat dekat, tanpa jarak.

"Nick."

"Hem?"

"Terus kita mau apa?" tanya Celia, lirih.

"Mau apa?" tanya Nick bingung.

"Setelah nikah ini. Kita tidak punya planning. Kamu pasti punya kehidupanmu sendiri di Jakarta."

"Kita jalanin seperti biasanya saja."

"Terus aku ikut kamu ke sana?"

"Ya, iya. Mau bagaimana lagi? Memangnya kamu mau tetap di sini, sedangkan suamimu pulang ke Jakarta? Yang ada bakal jadi omongan orang. Percuma, seharian kemarin berdiri di pelaminan sampai kaki pegal-pegal."

"Iya, juga, sih. Kalau ke Jakarta, aku juga bisa cepat move on dari Erick."

"Nah, itu pinter mikirnya."

"Nick, tapi kamu jangan takut. Aku tidak akan mengganggu kehidupanmu. Kita menikah juga tidak saling cinta. Secara dadakan. Pasti kamu juga punya kekasih di sana. Nanti, kita pura-pura tidak nikah saja. Bilang saja kalau aku ini saudaramu yang dari kampung."

"Terus?"

"Aku tidak ingin ngeganggu kehidupanmu dan hubunganmu dengan kekasihmu, Nick. Kita menikah saja sudah salah." Celia menatap Nick penuh rasa bersalah.











Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top