Part 49

Celia kembali ke kamarnya setelah cukup puas mendapat informasi dari Alice. Melihat Nick sedang duduk bersandar di headboard sambil membaca, ia langsung menghampiri dan duduk di sampingnya.

"Papa Harden kenal sama orang tua Alice." Tiba-tiba saja Celia berkata seperti itu.

Nick yang mendengar langsung meletakkan buku di atas nakas, lalu melepas kacamata bacanya. "Papa tidak pernah cerita detail tentang orang tua Alice."

"Kamu harus tanya ke Papa. Sejak kapan mereka kenal dan berteman? Apakah sebelum Alice ada atau sesudahnya. Juga orang tua Ximon."

"Oke. Besok aku tanyakan ke Papa."

Celia manggut-manggut. "Aku ingin cepat-cepat pulang ke apartemen biar bisa ngatur rencana kita."

"Tunggu sampai kondisimu benar-benar membaik."

"Aku sudah lebih baik."

"Tapi, dokter minta kamu masih harus bed rest, 'kan?"

"Kelamaan juga tubuhku bakal pegal-pegal, Nicky."

Nick merengkuh istrinya dari samping. Celia langsung melingkarkan salah satu tangannya di perut dirinya. "Oke, oke. Semingguan lagi, ya." Ia mengecup singkat bibir istrinya. "Sekarang tidur. Sudah larut malam, kamu harus cukup istirahat juga."

Mendapat anggukan patuh dari Celia. Lantas keduanya pun merebahkan diri saling merengkuh, sebelum akhirnya terlelap dalam tidurnya.

Keesokan pagi sebelum melangsungkan sarapan, Nick mengajak papanya ke ruang kerja pribadi lelaki itu, mengobrolkan tentang Felix Cooper dan Gracie Cooper. Banyak hal yang Nick tanyakan, dari mana papanya mengenal lelaki itu dan sejak kapan. Juga menanyakan, apakah Felix Cooper juga mengenal orang tua Celia.

"Kami mengenalnya sebelum kalian ada. Hanya rekan kerja biasa. Tidak begitu dekat. Tapi, waktu itu perusahaan keluarga Cooper memang pernah kolep. Mereka minta suntikan dana dari perusahaan Mamamu, tapi Om Wisnu tidak menyetujui. Om Wisnu tahu Felix Cooper orang yang licik," jelas Harden.

"Tapi, Papa sempat mendatangi pesta yang dibuat Felix Cooper."

"Karena Papa diundang, ya, Papa datang. Felix hanya ingin memperlihatkan ke Papa kalau perusahaannya sudah bisa bangkit. Selebihnya, Papa tidak ada urusan dengannya."

"Berarti Papa memang belum tahu kalau Alice anak dari mereka waktu itu?"

Harden menggeleng. "Tidak. Lagi pula, tidak ada gunanya untuk tahu silsilah keluarga mereka bukan? Tapi, setelah kamu cerita soal Alice kepada kami, Papa jadi paham. Dan membenarkan perkataan Om Wisnu kalau Felix Cooper memang orang yang licik dan tidak bisa dikasih hati."

"Kalau dengan orang tua Celia?"

"Papa tidak tahu kalau mereka saling kenal. Waktu acara pesta yang diadakan Felix, Dallas tidak datang. Tidak dapat undangan. Dallas juga tidak pernah cerita kalau mengenal Felix secara personal."

"Tapi, Celia pernah mendengar kalau orang tuanya mengobrolkan soal Felix Cooper dan Gracie Cooper. Sebelum kecelakaan terjadi. Tapi, Celia tidak tahu apa yang dibicarakan orang tuanya tentang Felix."

Harden mengernyit. "Sebelum kecelakaan terjadi?" tanyanya, penasaran.

"Iya."

"Dan kecelakaan itu disengaja, bukan?"

"Benar." Nick mengangguk. "Aku dan Celia sedang mencari tahu informasi tentang Felix. Banyak hal yang dicurigai Celia. Dia ingin menguak kasus kecelakaan orang tuanya sendiri."

"Apa ada sesuatu hal penting yang diketahui Dallas dan Sasha tentang Felix? Menjadi ancaman untuk Felix, lalu mereka merencanakan kecelakaan itu dan menyeret Ellena?"

"Aku dan Celia berpikir seperti itu. Satu kecurigaan lagi, antara Ellena dan Alice tertukar."

"Maksudmu, Alice yang sebenarnya anaknya Om Adam?" tanya Harden, mempertegas.

Lagi dan lagi, Nick mengangguk. "Itu baru kecurigaan kami. Celia yang memiliki kelebihan kejelian dalam penelitian, bisa melihat bahwa wajah Alice memiliki perpaduan antara Om Adam dan Tante Niken."

Harden terdiam, tampak berpikir sejenak. "Kamu tahu apa yang harus dilakukan, 'kan?"

"Ya." Nick mengangguk mantap.

"Selesaikan masalahnya dulu, kalau sudah ada kejelasan dengan bukti nyata, baru kita bisa memberitahu Adam dan semua keluarga."

"Iya, Pa."

"Nanti Papa bantu cari tahu informasi tentang Felix Cooper dan orang tua Ximon."

"Oke. Terima kasih, Pa." Nick langsung merengkuh papanya, menepuk pelan punggungnya.

Selesai mengobrol, keduanya pun keluar dari ruang kerja yang sudah ditunggu oleh keluarganya untuk melangsungkan sarapan.

***

Seminggu berlalu. Sudah merasa cukup untuk Celia beristirahat total di rumah mertuanya. Dan sekarang, ia bersama Nick sudah kembali tinggal di apartemennya lagi.

Semua informasi tentang orang-orang yang dicurigai pun sudah dalam genggaman. Bersama Nick, Aiden, dan Dante, Celia mulai membahas kelanjutan rencananya di ruang kerja pribadi di apartemennya. Perempuan itu memasang foto kedua orang tuanya di papan yang menempel di dinding, di sampingnya ada foto Alice, dan dua foto itu menjadi patokan korban. Di bawah foto kedua orang tuanya dan Alice, terpasang foto Adam dan Niken, Ellena, Harden, Ximon, orang tua Ximon, Felix Cooper dan Gracie Cooper, juga Wisnu. Lalu, saling dihubungkan dengan benang merah.

"Yang perlu kita ungkap, kebenaran dari penukaran anak Om Adam. Kita mencurigai Ellena dan Alice tertukar. Di sini kita harus mencocokkan DNA keduanya. Dari pihak Om Adam, Tante Niken, dan Ellena, sudah ada hasil. Ellena bukan anak mereka. Tinggal menunggu hasil dari Alice, Om Adam, dan Tante Niken. Lalu, kita juga harus mengambil sampel dari Ellena, Felix Cooper, dan Gracie Cooper. Jika memang benar Ellena anak keluarga Cooper, kita cari tahu motif penukaran anak ini. Harus mendapatkan bukti nyata," jelas Celia sambil menulis informasi yang harus digali pada benang merah antara Adam dan Felix.

"Oke. Lalu, siapa yang akan menemui Felix Cooper dan Gracie Cooper? Kalau aku, jelas tidak bisa. Mereka pasti akan mencurigaiku," ucap Nick.

"Kira-kira mereka tahu wajahku tidak?" Celia tampak berpikir.

"Kalau mereka menonton video pernikahan kita, aku rasa mereka akan tahu. Apalagi pernikahan kita ditayangkan di televisi."

"Coba dulu aja bagaimana? Aku coba menemui mereka, untuk ngetes apakah Felix Cooper dan Gracie Cooper tahu aku atau tidak? Kalau pun mereka tahu, mereka juga tidak akan curiga dengan rencana kita. Paling nyapa doang."

"Kalau mereka tahu siapa Nyonya, biar kami yang maju, Tuan. Nanti kami akan mengintai Nyonya dari kejauhan, agar tidak dicurigai." Dante memberi usulan.

Nick mengangguk setuju.

"Tapi, tetap hati-hati. Ada Ximon. Aku yakin, dia juga pasti sedang mengintai kita karena ingin mencelakai Celia untuk balas dendam denganku." 

"Nicky, kalau aku tidak diculik seperti kemarin, aku masih bisa jaga diri. Kemarin juga aku tidak bisa melawan karena ada anak yang harus kujaga, tapi nyatanya aku masih gagal. Sekarang aku sudah bisa jaga diri dengan baik." Celia berusaha meyakinkan. "Ada Dante dan Aiden yang akan bersamaku."

"Kalau gitu, kamu pakai cincin diamond yang sudah dikasih chip GPS. Jangan pernah dilepas lagi dari jarimu, ya," pinta Nick. Lantas, ia beranjak bangun dari kursi. Mengayunkan kaki menuju kamar untuk mengambil cincin yang tersimpan di laci, kemudian ia kembali lagi ke ruang kerjanya.

Nick meraih tangan kiri Celia, memasangkan kembali cincin diamond yang pernah tersemat di jari tengah istrinya. "Jangan pernah dilepas. Ingat itu, ya."

"Iya, Nicky." Celia manggut-manggut.

"Mana ponsel kalian." Nick meminta ponsel Aiden dan Dante. "Aku harus menyambungkan chip GPS ini ke ponsel kalian juga."

Setelah mendengar penjelasan bosnya, Aiden dan Dante menyerahkan ponselnya. Nick langsung mensetting penyambungan chip GPS ke ponsel kedua bodyguardnya. Setelah selesai, ia mengembalikan ke sang empunya lagi.

"Oke. Kita bisa mulai penyelidikan hari ini," ucap Celia.

Ketiga lelaki itu mengangguk.

"Aku akan mengendarai motor sendiri. Aiden sama Dante mengikuti dari belakang. Dan Nick, kamu tetap masuk kerja. Nanti aku ke kantor setelah mendapat informasi."

"Oke. Hati-hati tapi, ya." Nick menarik istrinya untuk dipeluk, lalu mendaratkan kecupan di puncak kepala sang istri. "Rencana ini jangan sampai bocor ke luar. Cukup kita dan Papa yang tahu," ucapnya.

"Baik, Tuan."

"Ya sudah. Kita bersiap sekarang."

Keempatnya keluar dari ruang kerja. Sambil menunggu Nick dan Celia bersiap, Aiden dan Dante mengobrolkan trik-trik penyelidikan. Sementara, di kamar, Nick terus memberi peringatan kepada sang istri agar terus berhati-hati.

"Sayang, jangan khawatir." Celia berusaha menenangkan Nick.

"Kamu baru saja sembuh dari koma dan keguguran, terus sudah mau turun tangan menangani ini sendiri. Tentu aku masih mengkhawatirkanmu."

"Untuk kebaikan semuanya. Untuk keadilan orang tuaku. Untuk Alice. Dan untuk Om Adam sama Tante Niken," balas Celia sambil menarik celana jeans panjangnya yang baru ia pakai. Lalu, ujung bawah heattech hitam panjangnya ia selipkan ke dalam celana, memperlihatkan bentuk tubuhnya yang ramping dan sexy.

Nick baru saja selesai memakai jas. Melihat istrinya sedang menguncir rambut, ia berdiri di belakangnya lantas mengambil alih tugas Celia, membantunya menguncir rambut.

"Jangan lupa bawa obat penenang traumanya. Buat jaga-jaga walaupun kamu sudah mulai terbiasa melihat kecelakaan suara sirine ambulance." Beberapa hari belakangan ini, Nick selalu memberi tontonan kecelakaan seraya mendengarkan Celia suara sirine ambulance agar tidak kaget saat mendapati hal semacam itu. Meskipun awalnya cukup berat untuk Celia, masih sering keringat dingin dan sesak napas, tapi perlahan rangsangan saraf otaknya sudah mulai menerima.

"Iyaa." Celia manggut-manggut. Ia berbalik badan, lantas mengalungkan kedua tangannya ke leher Nick. "Doakan semua berjalan lancar." Ia mengembangkan senyum lebar.

Nick mengangguk. Mengecup bibir Celia, lalu berkata, "Oke. Aku tunggu di kantor."

Setelahnya, Celia mengambil jaket kulit hitamnya yang sudah ia sediakan di atas ranjang. Dipakainya dengan gerakan cepat. Bersama Nick, ia pun keluar kamar.

***

Nick mencurigai mobil di belakangnya yang sering ia lihat dan mengikuti. Tidak hari ini saja, tapi dari beberapa hari sebelumnya. Mencoba mempermainkan lajuan mobilnya, sesekali Nick menatap ke spion untuk mengecek. Mobil itu masih mengikuti. Bahkan, mengimbangi dari lambat dan kencangnya ia berkendara.

Ingin tahu sampai mana mobil itu mengikuti, Nick sengaja membelokkan mobilnya memasuki area parkiran toko pakaian dekat jalan. Mobil yang mengikuti tidak ikut berbelok. Namun, Nick masih tetap diam di tempat. Tidak juga keluar dari mobilnya. Menunggu sesaat sambil mengamati spion, ia melihat mobil yang mengikutinya berjalan mundur. Lalu berhenti tidak begitu jauh dari pintu masuk area toko pakaian.

Nick sudah membatin, itu pasti anak buah Ximon. Ingin memastikan kondisi istrinya aman, ia langsung menelepon Aiden. Tidak lama menunggu lama ia bisa mendengar suara dari seberang sana.

"Kondisi aman?" tanya Nick.

"Aman, Tuan."

"Cek sekitar. Soalnya ada yang mengikuti mobilku. Aku rasa itu anak buah Ximon."

"Baik, Tuan."

Hening.

Namun, tak lama Nick mendengar suara Dante. "Aman, Tuan. Tidak ada mobil yang mengikuti. Di belakang mobil kami, kosong. Di depan hanya ada Nona Celia. Kami sudah memasuki kompleks perumahan Felix Cooper."

"Oke. Berarti anak buah Ximon belum tahu Celia bisa mengendarai motor. Tadi, kita juga berjarak keluar dari basement apartemen. Kemungkinan, yang mereka tahu hanya aku yang keluar dari apartemen."

"Kami akan tetap berhati-hati, Tuan."

"Oke. Selalu kabari aku apa pun yang terjadi."

"Baik, Tuan."

Nick memutuskan sambungan telepon. Ia berpikir sejenak untuk mencari cara keluar dari incaran anak buah Ximon. Namun, ia berpikir lagi, membiarkan mereka ikut juga tidak apa-apa. Karena tujuannya sekarang bukanlah kantor perusahaannya, tapi kantor polisi.

"Oke. Mari kalau mau ikut aku." Nick mendengus sinis, lalu melajukan mobilnya lagi dengan santai.

Sementara di lain tempat, Celia yang sudah tiba di depan rumah Felix, pura-pura terjatuh dari motor. Ia pura-pura menangis sambil mengaduh kesakitan, dengan suara dikeraskan untuk mencuri perhatian scurity yang berjaga. Dan benar saja, ia berhasil menarik perhatian mereka karena langsung dihampiri. Dua orang berlari tergopoh-gopoh ke arah dirinya.

"Nona, Anda tidak kenapa-kenapa?" tanya salah satu scurity sambil membangunkan motor Celia. Sedangkan, salah satunya menolong Celia.

"Duuh, kaki saya yang sakit, Pak." Celia masih pura-pura menangis dari balik helm full face yang terbuka visornya. "Tadi kepala saya tiba-tiba pusing, terus jatuh. Dada saya juga tiba-tiba sesak, sepertinya asam lambung saya kambuh, Pak."

"Mari istirahat di dalam saja, Nona." Scurity yang membantu Celia, menuntun perempuan itu masuk. Agak kesusahan jalan karena Celia berjalan gontai, pura-pura kesakitan.

"Sebentar, Nona. Tunggu di sini dulu. Saya minta izin sama yang punya rumah."

Celia digeletakkan di tangga teras, sedangkan scurity itu tergopoh-gopoh lari masuk ke rumah. Tidak lama, scurity itu keluar lagi bersama sepasang suami-istri, lalu memintanya membawa Celia masuk.

"Tidurkan di sofa," ucap si perempuan.

Celia menurut saja scurity itu merebahkan dirinya di sofa.

"Buka dulu helmnya. Itu menghalangi," ucap si perempuan lagi.

Sedangkan, Celia masih pura-pura tak berdaya. Namun, ia membuka helm saat si scurity membuka helmnya. Terdapat kupluk ninja yang ia pakai, si scurity pun membukanya.

"Biar bisa napas lega, Nona," ucap si scurity.

"Bi, tolong ambilkan minum!" seru si perempuan, kepada asisten rumah tangganya.

Diam-diam, Celia memerhatikan perempuan itu. Ia belum memiliki celah untuk menilai, karena perempuan itu masih memperlihatkan kebaikan di depan orang baru. Namun, dari segi wajah, ia mulai menelitinya secara saksama, begitu pun dengan lelaki yang berdiri di sebelahnya. Tampak angkuh dari ekspresi wajahnya yang datar dan dingin.

"Ini, Nyonya." Seorang asisten rumah tangga datang menghampiri sang tuan rumah seraya menyodorkan segelas air.

"Kasihkan ke dia." Perempuan itu mengedikkan dagu ke arah Celia.

"Baik, Nyonya." Asisten rumah tangga itu menghampiri Celia, lalu membantunya untuk minum.

"Kata scurity, kamu jatuh di depan karena asam lambungnya naik. Memangnya kamu tidak sarapan?" tanya si perempuan.

Celia menggeleng. "Belum sempat, Bu. Soalnya cepet-cepet mau pergi ke tempat kerja. Sudah digesa-gesa."

"Sudah tahu telat, kenapa berangkat siang?"

"Semalam jaga di rumah sakit, Bu."

"Jaga apa?"

"Jaga mayat. Jadi scurity di ruang jenazah." Celia menjawab dengan polosnya.

Perempuan itu tampak ngeri sendiri. "Kamu jaga mayat? Berani sekali. Kamu seorang perempuan loh."

Celia manggut-manggut. Sangat berharap perempuan itu dan suaminya tidak mengenal siapa dirinya. Sebab, wajahnya sama sekali tak terpoles make up. Polosan. Semoga saja terlihat beda dari waktu ia menjadi seorang pengantin.

"Terus sekarang kerja apa lagi?"

"Jadi bodyguard. Itu sebabnya saya cepat-cepat pergi sampai tidak sarapan, karena bos saya terus menggesa-gesa saya datang."

"Ya, sudah. Istirahat dulu. Bi, tolong ambilkan sarapan dan obat. Biar dia tidak mati di sini," pinta si perempuan.

Dan mendapat anggukan dari si asisten rumah tangga. "Baik, Nya."








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top