Part 48

Nick dan Celia sudah di kamar. Duduk di ranjang saling berhadapan seraya mengobrolkan teka-teki yang menurutnya saling berkaitan. Dari kecelakaan orang tua Celia, tertukarnya anak kandung Adam dan Niken. Sedangkan, Celia mengutarakan keraguan hati antara Alice, Adam, dan Niken.

"Nick, coba kita urutkan dari pertama. Ini menurut analisisku saja. Tapi, batinku cukup kuat untuk mengiyakan. Biasanya tidak meleset."

Nick percaya itu. Sebab, setiap Celia mengamati sesuatu hal yang berkaitan dengan teka-teki, firasatnya tidak meleset. Contohnya yang masih hangat, saat mendapat jebakan dari Lidya. Istrinya memiliki firasat kuat jika Lidya lah pelaku penjebakan yang seharusnya untuk dirinya. Dan benar adanya.

Celia mulai menceritakan pengalisisan dari pemikirannya yang cukup tajam dan masuk akal. Merunut dari semua permasalahan yang ada, teka-teki yang cukup menyambung dari masalah satu ke yang lain, dan semua saling berkaitan. Kecelakaan, pertukaran anak, termasuk masalah Ximon. Dan Nick mendengarkannya secara saksama.

"Ini perlu kita selidiki tahu. Kita harus cari tahu background keluarga Alice, background keluarga Ximon, anak kandung Om Adam, dan orang tua Ellena. Dan kamu juga mencurigai motif Ellena mencelakai orang tuaku, bukan aku saja yang dijadikan alasan. Ada orang yang mendukungnya di belakang. Apakah ini ada sangkutannya dengan Felix Cooper yang menyuruh Ellena untuk membunuh orang tuaku, mungkin karena persaingan bisnis? Atau mungkin dengan motif lain?"

"Jadi, kita akan mulai dari mana?" tanya Nick.

"Felix Cooper dan Gracie Cooper. Kita cari tahu background mereka. Soalnya Papa dan Mama pernah mengobrolkan nama itu. Dan dia orang tua Alice. Sedangkan, Alice seperti boneka hidup di keluarga itu. Mungkin juga Alice bukan anak kandung mereka."

Nick mulai kepikiran, lalu mengangguk. "Iya, juga, ya."

"Setelah Felix Cooper, kita cari tahu background keluarga Ximon. Apakah mereka berteman dekat? Apakah keluarga Alice sengaja membiarkan Ximon melakukan tindak kekerasan secara verbal dan non-verbal kepada Alice, dan itu alasan keluarga Alice untuk mengusir Alice? We don't know, right? Kalau orang tua Alice peduli, pasti mereka akan cari tahu siapa pelaku yang sudah menghamili anaknya. Setidaknya, tahu pelakunya dan mau mendengarkan keluh kesah anaknya."

Nick manggut-manggut. Masuk akal lagi yang dibicarakan Celia. Apalagi Alice dan Ximon sudah saling kenal lebih dulu.

"Terakhir, kita cari tahu di mana Alice dilahirkan, tahun berapa, dan umurnya--."

"Shit!" Nick mengumpat lantang. Ia teringat sesuatu. "Ulang tahun Alice dan Ellena sama. Tahun, tanggal lahir, bahkan usianya sekarang sama. Apa jangan-jangan ...."

"Itulah yang aku pikirkan. Kalau kalian jeli dalam pengamatan, wajah Alice perpaduan antara Om Adam dan Tante Niken. Tapi, kembali lagi ke awal, kita belum tahu kebenarannya. Dan kita perlu selidiki. Apakah ini ada unsur kesengajaan dalam menukar, atau memang ada kesalahan dari pihak rumah sakit saat mengambil bayinya dari ruangan bayi." Celia berkata mantap sambil mempertahankan ingatannya yang tajam dalam merunut masalah.

"Kalau memang Alice dan Ellena tertukar, titik terang dari maksudmu tadi, Mama dan Papamu mungkin tahu permasalahan ini. Dan untuk menutupi semua, bisa jadi Felix Cooper dan Ellena sudah saling kenal dan bertemu sebelumnya, lalu untuk mencari aman mereka ...." Nick menggantungkan ucapannya lalu menatap Celia.

"Sengaja membuat Mama dan Papa kecelakaan." Celia berkata hati-hati.

Lantas, keduanya sama-sama merebahkan diri, lemas rasanya. Memikirkan teka-teki permasalahan itu, membuat tenaga keduanya bak tersedot.

"Sayangnya Mama dan Papa sudah tidak ada. Kita kesulitan mencari tahu informasi yang lebih valid," ucap Celia sambil menatap langit-langit.

"Tapi, aku takjub sama pemikiranmu yang tajam, Sayang. Bisa merunut masalah berat seperti ini."

"Ini belum diketahui kebenarannya. Masih ngambang. Kita baru bisa meraba-raba. Kita perlu bukti valid. Apalagi menyangkut kecelakaan orang tuaku yang ternyata masuk kesengajaan."

"Aku akan menyewa orang untuk menyelidiki ini," ucap Nick, yang langsung mendapat bantahan dari Celia.

"Kita bisa melakukan sendiri. Aku harus tahu sendiri. Kita hanya butuh bantuan Aiden dan Dante. Kalau kita butuh tenaga orang lain, bisa belakangan nanti."

"Caranya?"

Celia mengulas senyum kepada suaminya. "Nanti kita rundingkan. Jiwa detektifku ingin dikeluarkan rasanya."

Gemas sendiri mendengar jawaban sang istri, Nick menggulingkan tubuh lalu menindihnya. Celia justru sengaja membuka kakinya, membuat Nick jadi terhimpit. Lantas, perempuan itu mengalungkan kedua tangan ke leher Nick, sedangkan Nick menahan tubuhnya dengan kedua lengan agar tidak begitu menindih sang istri.

Keduanya saling bertatapan, dalam, rasa ingin menyalurkan gairahnya. Perlahan, Nick mengecupi bibir istrinya, sedikit menekankan bagian bawah sembari bergerak naik-turun. Lalu, kecupan-kecupan singkat itu berubah menjadi lumatan mesra dan menuntut saat Celia menyambutnya dengan bibir terbuka.

Keduanya saling memagut. Menuntut. Lalu, Nick meraih kedua tangan Celia,  menaruhnya di atas kepala perempuan itu, ditumpuk dan digenggam menggunakan salah satu tangannya. Sedangkan, salah satu tangannya yang lain menyusup masuk ke belik kaus sang istri. Memberi sentuhan-sentuhan lembut pada kulitnya seraya melepas kaitan bra-nya, dan dengan cekatan ia menarik kaus serta bra itu ke atas. Menggunakannya untuk mengikat tangan sang istri.

Dalam keheningan kamar yang memiliki pencahayaan cukup terang, Nick terus menyiksa istrinya dengan cumbuan-cumbuannya yang semakin memanas.

Desahan lirih keluar dari mulut Celia ketika merasakan sensasi dalam tubuhnya bak tersetrum. Serasa begitu menggelitik. Panas. Bergairah. Membuatnya tak tahan dan menggelinjang saat merasakan sentuhan-sentuhan bibir dan lidah Nick pada kulitnya. Lalu, lidah lelaki itu terhenti di dadanya, bermain-main di sana.

"Nickyyy." Celia mendesah, menggelinjang, semakin tersiksa rasanya.

Nick mendongak, menatap wajah istrinya yang sudah memerah. Mata perempuan itu terpejam, bibir merah jambunya terbuka sedikit. Terlihat begitu sexy, membuat gairahnya semakin membuncah tak tertahankan. Kemudian, ia kembali mencumbui istrinya, sebelum berakhir menautkan bibir dengan bibir.

"Harus berapa lama lagi kita berpuasa, Sayang?" tanya Nick, bersuara berat, serak, dan lirih, setelah melepaskan ciuman.

Celia yang sudah melepaskan kedua tangannya dari ikatan kaus, menangkup wajah Nick. Merabanya pelan. "Kata dokter, paling cepat dua minggu. Tapi, baiknya setelah empat puluh hari."

"Berarti, sekarang sudah bisa, 'kan?"

"Sudah. Tapi, aku belum berani." Celia memberi pengertian. Kecupan singkat ia daratkan di bibir Nick. Sangat tahu jika suaminya sudah sangat menginginkan.

"Baiklah. Aku akan sabar menunggu sampai kamu siap." Nick tampak frustrasi harus menahan miliknya yang semakin mengeras dan menyiksa.

Celia yang melihat, kasihan rasanya. Lantas ia berbisik, "Aku bisa membantumu dengan cara lain."

Menyingkirkan tubuh Nick dari atas tubuhnya, Celia beranjak bangun. Turun dari ranjang, lalu mengulurkan tangannya ke Nick. "Ayo."

Nick meraih tangan itu. Ikut beranjak dan turun dari ranjang, dengan cepat Celia membawanya ke kamar mandi.

***

Nick dan Celia turun saat semua keluarganya sedang melangsungkan makan malam. Cuitan, godaan, riuh canda-tawa, menyambut kedatangan keduanya yang membuat Celia tampak malu-malu, sedangkan Nick melindungi sang istri dari godaan-godaan itu.

"Paham, Nick, paham. Yang baru ditinggal koma, terus sekarang Celia sudah sehat lagi. Langsung tancap gas, 'kan, kalian?"

"Tadi saja dipanggil buat makan malam, tidak ada sahutan. Lagi nanggung sepertinya." Chloe menimpali.

"Kayak enggak pernah ngalamin saja kalian ini." Nick berkata sinis sambil menarik kursi untuk Celia duduk, lantas dirinya mendaratkan bokong di kursi sampingnya.

"Nick, kasihan Celianya. Baru saja keluar rumah sakit, langsung digarap saja," balas Chloe.

"Ck! Kalian ini. Sok tahu sekali. Makan-makan. Jangan bikin tambah malu istriku karena godaan-godaan kalian. Tadi Celia minta istirahat di kamar, capek katanya. Terus kami berdua ketiduran," kilah Nick. Ia mengambilkan Celia nasi, lalu mengambil untuk dirinya. "Mau lauk apa, Sayang?" tanyanya kepada Celia.

"Aku ambil sendiri saja. Kamu mau apa? Biar aku yang ambilkan."

"Yang lain ngontrak. Harap sadar diri semua ya, saudara-saudaraku," ucap Liam.

Sementara yang lain riuh, Adam dan Niken tampak tidak begitu bersemangat. Terlihat sekali rasa sedih dan kehilangan, juga rasa penasaran yang kuat siapa anak kandungnya. Celia menyadari keterdiaman kedua orang itu. Lalu, pandangannya beralih ke Alice yang sedang sibuk mengurusi Nathan dengan makanannya.

'Aku pasti akan membantu kalian. Kalau memang kamu anak Om Adam dan Tante Niken, kamu berhak mendapatkan kebahagiaan yang sudah hilang dari hidupmu, Alice. Kamu pasti akan bahagia. Tidak akan merasakan penderitaan lagi,' batin Celia, tanpa sadar matanya berkaca-kaca sambil menyembunyikan senyum. Semua cerita penderitaan Alice terekam jelas di otaknya, ia ikut sedih rasanya.

"Makan, Sayang. Kenapa diam saja?" Menyadari tatapan Celia tertuju kepada Alice dan Nathan, Nick ikut memerhatikan kedua orang beda usia itu yang duduk di depannya. Yang terpikir olehnya, Celia sedih karena baru kehilangan sang anak lalu sekarang dihadapkan oleh kedekatan dan perhatian Alice ke Nathan.

Menghela napas berat, Nick menggenggam salah satu tangan Celia yang ada di atas paha. Perempuan itu menoleh menatapnya.

"Kenapa?" tanya Nick pelan dan lembut.

Celia menggeleng. Tenggorokan terasa tercekat menahan tangis.

"Kamu merindukan kehadiran anak kita?"

Celia menggeleng lagi. "Aku sudah berusaha mengikhlaskan kepergiannya, Nick. Dia sudah tenang bersama Mama-Papaku." Ia mengulas senyum tipis.

"Lalu?"

"Kasihan melihat Nathan sama Alice,"  jawab Celia sangat lirih. Ia semakin berkaca-kaca. Setitik air matanya pun berhasil mengalir yang langsung dihapus oleh Nick.

"Aku tahu yang kamu rasakan." Nick langsung merengkuh istrinya, berusaha menenangkan.

"Enggak tega," bisik Celia, justru terisak sekarang.

"Celia kenapa?"

"Gara-gara diledek kalian," jawab Nick asal.

"Aduuuh, Celia. Kami cuma bercanda. Jangan dimasukin hati, ya."

Celia mengurai pelukan Nick. "Enggak. Bukan masalah itu. Aku enggak tersinggung ledekan kalian."

"Apa ada yang sakit lagi, Celia?" tanya Teresa, terlihat khawatir.

"Tidak, Ma." Celia menggeleng. Untuk menghilangkan rasa penasaran orang-orang, ia menatap Alice dan Nathan. "Alice, apa aku boleh meluk Nathan?"

Alice menatapnya. Semua orang pun mulai paham. Lalu, semua mata tertuju kepada Alice yang mengangguk.

"Sayang, datang ke Tante Celia, ya. Dia mau peluk kamu," pinta Alice kepada anaknya.

Nathan mengangguk patuh. "Iya, Mommy."

Bocah laki-laki itu beranjak turun dari kursinya, lalu menghampiri Celia yang langsung disambut dengan rentangan kedua tangan. Keduanya saling berpelukan. Suasana seketika hening. Semua mata tertuju kepada Celia dan Nathan.

"Anak baik." Celia memujinya sambil mengulas senyum dan mengusap-usap kepala Nathan. Cukup lama ia memeluk bocah itu, meresapinya seolah ia sedang memeluk sang anak. Bohong jika ia sudah mengikhlaskan kepergian calon buah hatinya, dengan memeluk Nathan saja kerinduan akan kehadiran anaknya kembali menyeruak. Namun, bisa apa dirinya selain berkata ikhlas akan kepergiannya.

"Tante, jangan bersedih." Suara Nathan terdengar imut.

Celia manggut-manggut. "Tante bahagia."

"Tapi, Tante, menangis."

"Tante menangis bahagia karena bisa bertemu denganmu."

"Apa, Tante, menyukaiku?"

"Tentu. Tante menyukaimu dan menyayangimu juga."

"Terima kasih, Tante. Om Nick juga."

"Semuanya menyayangi kamu." Celia berusaha menahan tangisnya, tapi justru terdengar terisak.

"Nathan juga menyukai, Tante, dan sayang sama, Tante." Nathan mengurai pelukan, mendongak dan menatap Celia sambil berkedip-kedip lucu. "Tante, harus makan yang banyak biar sehat. Biar tidak masuk rumah sakit lagi."

"Iya, Sayang." Celia manggut-manggut.

"Nathan juga makannya banyak biar tidak sakit. Kalau sakit, Mommy sedih. Kasihan Mommy."

"Kok jadi banyak bawang, ya." Chloe mengibas-ngibaskan tangan mencoba tidak ingin menangis. Tapi, air mata tetap saja jatuh setelah mendengar ucapan Nathan. Apalagi ia paham betul bagaimana kehidupan Alice dan masa lalunya.

"Sekarang Tante akan makan. Kamu lanjut makan lagi, ya. Kita makan yang banyak." Celia mengembangkan senyum lebar, dan mendapat anggukan semangat dari Nathan.

"Iya, Tante." Bocah itu langsung bergegas lari menuju kursinya lagi, melanjutkan makan.

Makan malam pun berlanjut. Obrolan ringan mengisi keheningan yang baru saja terjadi. Setelah selesai makan dan satu jam kemudian semua keluarga Nick pulang, Celia menemani Alice menidurkan Nathan yang minta dikelonin.

Kedua perempuan itu berbincang akrab. Saling mencurahkan hati satu sama lain, yang diam-diam Celia sedang mengulik kehidupan masa lalu Alice dan background keluarganya.

"Aku anaknya, Celia. Tapi, aku tidak memiliki kebebasan untuk mengetahui siapa orang tuaku, dan apa bisnisnya. Mereka cukup tertutup untukku. Dan tugasku di keluarga itu hanya belajar, sekolah, dan diam di rumah. Pergi main saja tidak pernah dibolehkan."

"Terkekang sekali hidupmu, Alice."

"Iya." Alice manggut-manggut. "Lebih ngeri lagi setelah kedatangan Ximon." 

"Pertama bertemu Ximon di mana? Apa langsung di sekolahan?"

"Tidak. Jadi, dulu orang tuaku mengadakan pesta di rumah. Ximon ikut datang dengan orang tuanya. Tidak lama dia pindah ke SMA-ku. Lalu, ngejar-ngejar aku terus. Dia yang memiliki background orang terpandang, sangat mudah bergaul dan memiliki banyak teman. Maka dari itu bisa melakukan apa pun yang dia mau, termasuk mengintimidasi semua teman-temanku dan aku."

"Pesta? Apa dulu orang tuaku juga pernah diundang ke pesta orang tuamu, Alice?"

Alice mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu rekan-rekan bisnis orang tuaku. Aku juga tidak tahu kalau orang tua kita berteman, Celia."

"Kalau sama mertuaku, apa orang tua kamu berteman?"

"Sepertinya, iya. Dulu aku pernah lihat Om Harden dan Tante Resa datang ke pesta orang tuaku. Tapi, saat itu aku belum kenal Nick."

Celia manggut-manggut paham. "Tapi, orang tuamu tahu kalau yang menolongmu selama ini Nick dan keluarganya?"

Alice menggeleng. "Tidak. Dulu waktu aku diselamatkan Nick dari Ximon, aku meminta Nick untuk tidak ngasih tahu ke orang tuaku. Karena pasti aku yang bakal disalahkan. Terus waktu aku diusir dari rumah juga, aku tidak mengizinkan Nick mendatangi keluargaku. Percuma saja menemui mereka, karena orang tuaku sudah tidak ingin tahu tentangku lagi. Makanya sekarang sudah tidak tahu kabar mereka. Sudah lost kontak."

Celia terdiam, mencoba mencerna informasi dari Alice. 'Kalau Papa Harden kenal orang tua Alice, berarti dia tahu bagaimana background keluarga Alice. Kemungkinan besar juga, Papa dan Mama kenal mereka karena pernah membicarakan mereka. Tapi, masalah apa yang dibicarakan?'









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top