Part 47
Sedari tadi Celia berhasil menyita perhatian Suci, karena terus cengar-cengir seperti orang yang sedang kasmaran pada ponselnya. Namun, ia bersyukur jika Celia tidak berlarut dalam kesedihannya atas kehilangan sang calon anak. Ia yang sedang duduk di sofa bersama Teresa, beranjak menghampiri sang keponakan.
"Cengar-cengir terus dari tadi to, Cel."
"Tante." Celia mengulum senyum seraya menurunkan ponsel dari hadapan wajahnya. "Cari hiburan aja sama Nick."
"Owalah. Lagi chat-chatan sama Nick to." Suci mendaratkan bokong di tepi brankar Celia. Sedangkan, sang keponakan mengangguk semangat.
"Tante, apa orang kampung tahu tentang kelakuan Erick terhadapku? Biasanya berita sekecil apa pun cepat tersebar di sana," tanya Celia, penasaran.
"Pasti. Mas Abismu langsung mendatangi orang tua Erick. Ngamuk dia di sana karena tidak terima kamu dijahatin sama Erick. Jadi heboh, dan sekarang keluarga Erick semakin menanggung malu atas sikap Erick. Kasihan sebenarnya sama orang tuanya. Dulu sudah dipermalukan saat pesta pernikahan kalian, sekarang tambah kasus kriminal ini."
"Terus mereka gimana tahu Erick dipenjara?"
"Membiarkan Erick menanggung hukuman dari tindakannya. Keluarganya sudah tidak memedulikan. Orang tuanya saja sampai mendatangi Om kamu, minta maaf atas perbuatan anaknya."
Celia tampak termenung. Hening sesaat ketika Suci juga ikut diam.
"Sudah lah, Cel, jangan dipikirkan. Yang penting kamu sudah sadar sekarang. Itu yang paling penting buat kami. Walaupun Tante tahu kamu sangat kehilangan anakmu." Suci menatap Celia lekat sembari mengusap-usap lengan kanan Celia.
"Iya, Tante." Celia manggut-manggut. "Aku sama Nick sedang mencoba ikhlas atas kehilangan calon buah hati kami. Walaupun memang sedih sebenarnya, Tante. Tapi, mau bagaimana pun juga, anak kami tidak akan pernah bisa kembali lagi, 'kan? Tuhan lebih sayang dengannya."
Suci mengulas senyum lebar. Yang ia sukai dari Celia, anak itu bisa cepat menerima keadaan meskipun hati terasa porak poranda. Dari kematian orang tuanya, kegagalan pernikahannya dengan Erick karena dikhianati, lalu sekarang kehilangan calon anaknya yang baru akan tumbuh.
"Tante percaya, kamu dan Nick akan mendapatkan kebahagiaan yang abadi. Kalian saling mencintai dan melengkapi. Suatu saat, kalian pasti akan mendapatkan momongan lagi."
Celia mengulurkan kedua tangan, meminta memeluk Suci, yang langsung dituruti perempuan itu. "Makasih, Tante. Makasih selalu ada buat Celia juga."
"Iya, Sayang." Dengan penuh perhatian, Suci mengusap lembut kepala Celia lalu mengecupnya.
'Kalau Tante tahu siapa yang membunuh Papa dan Mama, pasti Tante akan semakin sedih dan sakit hati,' batin Celia, raut wajahnya tampak sedih dan lesu.
Beberapa jam kemudian memasuki waktu siang, Nick datang dengan membawa sebuket mawar merah berukuran besar. Lelaki itu menyerahkankannya untuk sang istri yang langsung disambut penuh kehangatan dan kegembiraan. Namun, tidak ingin mengganggu kenyamanan sang istri di brankar, buket mawar merah itu ia taruh di atas meja nakas. Lantas, dirinya bergegas duduk di tepi brankar yang langsung dihambur pelukan oleh Celia serta serbuan kecupan di bibirnya.
"Kangeeen."
Sikap manja istrinya yang ingin Nick rasakan lagi. Serasa dunia milik berdua, keduanya melupakan orang-orang yang sedang duduk di sofa.
"Cantik aslinya dari yang di foto tadi." Nick terkekeh. Beralih dirinya yang menyerbu kecupan untuk istrinya dengan gemas.
"Tapi, berhasil bikin kangen kamu mangku aku, 'kan?" Celia tergelak lirih.
"Nelanjangin kamu juga," bisik Nick, membuat Celia langsung menabok lengan kekar suaminya. Takut orang-orang mendengarnya.
"Nicky."
"Malu-malu gitu. Pingin juga, 'kan?" Nick terkekeh, lalu menggigit bibir bawah istrinya. Tidak terlalu keras, tapi sangat menahan gemas. "Sudah makan siang?"
Celia mengangguk. "Sudah. Jam dua belasan tadi. Infusku juga sudah dilepas. Katanya sudah tidak perlu infus lagi, karena sudah bisa makan."
Nick meraih tangan kiri Celia, ditatapnya bekas jarum infus yang masih tertutup plaster. Lalu, diusap-usap pelan dan sangat hati-hati. "Terus dokter bilang apa lagi?"
"Dua atau tiga harian ke depan sudah boleh pulang. Tapi, belum boleh beraktivitas yang berat-berat. Masih harus bed rest."
"Bagus lah." Nick mengecup kening istrinya.
"Disuruh pulang ke rumah Mama dulu. Baru boleh tinggal di apartemen setelah kondisiku benar-benar membaik."
"Tidak apa-apa. Jadi, akan lebih banyak yang menjagamu nanti."
Celia mengangguk. Tidak lama, seorang perawat datang sambil mendorong kursi roda, berniat akan membawa Celia check up saraf otaknya. Namun, Nick tidak membiarkan sang istri duduk di kursi roda tersebut. Lebih memilih dirinya yang membopong sampai ke tujuan.
Sang perawat tidak memiliki kuasa untuk menolak. Ia pun mempersilakan lelaki bertubuh tinggi tegap itu membopong istrinya. Sedangkan, ia berjalan di depan sebagai pemandu. Di belakang Nick dan Celia, ada Aiden dan Dante yang mengikuti. Sedangkan, Teresa dan Suci berdiam diri ruangan.
"Kita bakal diuji terus dengan kemesraan bos kita, Dan," ucap Aiden lirih, melihat Nick dan Celia yang selalu memperlihatkan kemesraannya. Terkadang Celia yang mengecupi pipi Nick, lalu bergantian dengan Nick mengecupi pipi dan bibir istrinya.
"Jadi saksi percintaan suami-istri yang tulus," sahut Dante, sama lirihnya.
"Sering sekali aku mendengar kata-kata, marriage is scary. Ternyata, masih ada yang bertabur gula dan madu." Aiden agak meragukan statement itu, tapi juga percaya karena banyaknya kegagalan dalam pernikahan.
"Lihat-lihat dulu lah bagaimana ekonominya, bagaimana orangnya. Kalau bos kita ini, ekonomi tidak ragukan lagi. Saling melengkapi. Cantik dan tampan. Klop. Dan keduanya sama-sama memiliki hati yang baik."
"Tapi, kita belum tahu perjuangan mereka sebelum sampai serekat ini."
"Nah, itu. Pasti ada masa di mana mereka mengalami masalah, perjuangan, dan pengorbanan."
Obrolan keduanya terhenti saat Nick dan Celia masuk ke ruangan khusus pemeriksaan Electroencephalogram (EEG). Keduanya menunggu di luar.
Sementara, di dalam ruangan, Celia di rebahkan ke tempat yang sudah disediakan. Dokter spesialis saraf sudah menunggunya di sana, bersama seorang asisten. Sesaat kemudian, kepala Celia pun dipasang elektroda yang terhubung ke komputer, untuk mengetahui gelombang-gelombang pada saraf otaknya apakah normal atau abnormal.
"Pak Nick, Anda boleh menunggu di luar agar pasien lebih relaks dalam masa pemeriksaan," pinta sang asisten, selesai memasangkan elektroda ke kepala Celia.
Lelaki itu mengangguk patuh. "Sayang, aku tunggu di luar," ucapnya sambil mengusap-usap punggung tangan kanan Celia. Setelahnya, ia pun bergabung dengan Aiden dan Dante.
Sambil menunggu Celia diperiksa, Nick membicarakan soal Ximon kepada kedua bodyguardnya. Apalagi setelah kedatangan Alice ke Indonesia dan lelaki itu sudah bebas, kemungkinan besar, Alice dan Nathan juga terancam keselamatannya. Lantas, ketiganya pun merundingkan rencananya untuk mengatasi ancaman yang sedang mengintai.
"Sebenarnya aku juga penasaran dengan orang tua kandung Ellena. Besar kemungkinan, mereka orang yang cukup berbahaya. Dan mungkin juga mereka sengaja menukar anaknya dengan anak Om Adam karena ada maksud tujuan lain," ucap Nick.
"Biasanya keturunan genetik dari orang tua ke anak kandung lebih kuat, Tuan. Misal, sifat yang dimiliki dari bawaan lahir susah hilang, walaupun anak itu dirawat oleh keluarga baik-baik."
Nick berpikir keras sambil mengetuk-ngetukkan kepalan tangan kanannya ke mulut. Ia membenarkan ucapan Dante. Sebab, Niken dan Adam tidak memiliki sifat psikopat. Sedangkan, Ellena memiliki sifat semacam itu. Sudah jelas jika sifat Ellena adalah keturunan genetik dari orang tuanya.
"Misal, orang itu sengaja menukar anaknya, berarti orang itu memiliki tujuan lain terhadap keluargaku. Menggunakan Om Adam karena mungkin juga tepat waktu itu istrinya dengan Tante Niken melahirkan di waktu dan tempat yang sama. Dan saat itu, usiaku baru satu tahun. Tidak mungkin ditukarkan denganku, bukan?" ucap Nick, mencoba masuk ke logika.
"Dari Celia usia tujuh tahunan, Ellena sudah mulai ada rasa benci terhadapnya. Mulai masuk usia remaja, kebencian Ellena ke Celia semakin menjadi bahkan sudah memiliki otak kriminal. Tapi, kalau tidak ada yang memprovokasi dan mendukungnya untuk membunuh orang tua Celia, aku pikir tidak akan sampai sejauh itu pikirannya untuk membunuh orang tua Celia demi kepuasannya. Dan di sini, di antara kedekatan orang tuaku dan orang tua Celia, pasti orang itu memiliki ketidaksukaan yang tinggi. Cemburu. Ingin hubungan orang tuaku dan Celia hancur."
"Memiliki keterikatan. Tapi, cukup rumit juga, Tuan," balas Dante, tampak berpikir.
"Apakah ini ada sangkut-pautnya dengan bisnis? Atau memang memiliki dendam pribadi seperti yang dilakukan Erick dan Ellena terhadap Nyonya?" Aiden menyahut, dengan kepala dipenuhi banyak pertanyaan.
"Itu yang perlu aku selidiki. Aku sedang membuka kasus kecelakaan orang tua Celia delapan tahun lalu. Aku juga perlu banyak informasi dari Papa."
"Kami siap membantu apa pun yang Anda butuhkan, Tuan."
Nick mengangguk sambil merapatkan bibir. Pandangan menatap lekat keduanya. "Aku percaya dengan kalian."
PR besar untuk ketiganya. Untuk menguak kasus yang telah tertutup lama dan kini harus dipecahkan. Jika tidak, rantai permasalahan akan tetap ada. Akar yang masih menjalar tentu akan menumbuhkan tunas baru. Ellena sudah tertangkap, bisa jadi akan tumbuh Ellena baru karena masih memiliki akar dan induknya yang masih berkeliaran bebas.
Setelah kurang lebih empat puluh menitan menunggu, pemeriksaan Celia di ruang Electroencephalogram pun selesai. Dokter memberitahu Nick bahwa gelombang saraf otak Celia sudah terlihat normal. Tidak ada ketegangan seperti hasil pemeriksaan sebelumnya yang mengalami shock berat sampai saraf otaknya tidak bekerja dengan baik.
"Apa efek dari panic attacknya masih bisa membahayakan saraf otak istri saya dalam jangka panjang, Dok?"
"Kalau Ibu Celia bisa melawannya, panic attack ini bisa hilang. Memang menakutkan untuk melawan, tapi pelan-pelan harus melakukan terapi mandiri dengan memberanikan diri untuk melihat hal-hal yang membuatnya takut. Mungkin, Anda bisa membantunya, menemani Ibu Celia menonton video-video kecelakaan atau mendengarkan sirine ambulance. Tidak perlu lama-lama. Mungkin lima menitan, agar Ibu Celia tidak terlalu shock saat melihat hal-hal yang membuatnya trauma."
"Baik, Dok. Terima kasih sarannya." Nick mengangguk paham. Setelah selesai, ia membopong Celia dan kembali kamarnya.
***
Tiga hari kemudian, kondisi Celia sudah mulai pulih dan sudah diperbolehkan pulang. Kedatangannya pun sudah ditunggu oleh semua anggota keluarga Nick, bahkan mereka sangat menyesalkan atas perbuatan Ellena yang begitu keterlaluan. Dan lagi, topik pembicaraan semakin panas saat mengetahui jika Ellena bukan anak kandung dari Adam dan Niken.
Sementara, yang lain sibuk dengan obrolannya masing-masing, diam-diam Celia memerhatikan Alice dan Nathan. Kecanggungan terlihat di wajah Alice. Namun, bukan itu saja yang menyita perhatiannya. Jika dilihat sekilas, wajah Alice sangat tidak asing. Perpaduan antara Adam dan Niken.
'Apa cuma aku yang sadar?' batin Celia.
"Nick, nama orang tua Alice siapa?" tanya Celia, lirih kepada Nick. Mungkin saja ia pernah tahu sebelumnya.
"Felix Cooper dan Gracie Cooper."
"Mereka?" Celia terperangah.
"Kamu tahu?" Perhatian Nick langsung tersita penuh ke istrinya.
"Aku pernah dengar Papa dan Mama ngobrolin nama mereka dulu. Tapi, enggak tahu masalah apa." Dan saat itu juga Celia tercengang. "That's why aku enggak asing sama nama Alice Cooper, waktu pertama dia nyebutin namanya pas lagi telepon kamu." Ia manggut-manggut semangat. "Ternyata dia anaknya Felix Cooper dan Gracie Cooper. Ya Tuhan, banyak sekali kejutan yang kudapat akhir-akhir ini," keluhnya lemas.
"Sayang, banyak hal yang ingin aku tanyakan ke kamu. Tapi, nanti kalau sudah di kamar saja." Kesempatan emas bagi Nick untuk mengulik itu.
"Apa?"
"Nanti. Ini penting."
"Ya sudah, kita ke kamar saja sekarang."
Nick mengangguk setuju. "Oke."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top