Part 45

Rasa syukur terus Nick ucapkan begitu mendapat kabar dari dokter jika istrinya telah siuaman. Ia pun bergegas masuk ke ruangan setelah menunggu cukup lama di luar dan mendapat persetujuan dari dokter untuk melihat kondisi sang istri. Dan kini, air mata yang meluruh bukan lagi air mata kesedihan. Melainkan air mata yang penuh haru kebahagiaan dan senang, melihat perempuan yang ia cintai telah membuka matanya lagi.

"Jangan seperti ini lagi, Celia. Aku takut kehilanganmu." Nick menangis tersedu-sedu sambil memeluk istrinya yang sudah tidak lagi menggunakan alat penunjang kehidupan di tubuhnya. Semua alat yang terhubung ke monitor EKG sudah dilepas, hanya tersisa infus yang terpasang di tangan kirinya.

"Nicky." Suara Celia terdengar lirih dan lemah. Tangan kanannya yang masih terasa lemas, berusaha ia angkat untuk mengusap rambut lelaki itu.

"Aku takut kehilanganmu." Nick terisak, masih menyembunyikan wajah di dada Celia.

"Aku sudah kembali. Aku masih di sini untukmu."

Nick mengangkat kepala. Air mata masih berluruhan. Dengan perhatian, Celia menghapus air mata di pipi Nick.

"Jangan nangis lagi." Celia mengulas senyum lebar.

"Aku sangat merindukanmu. Sudah sembilan hari kamu terlelap. Aku sangat takut." Nick terisak-isak.

Celia mengulas senyum simpul. Baru kali ini ia melihat Nick benar-benar menangis sampai tersedu-sedu. Saat pikiran teringat kejadian terakhir sebelum semua menggelap, ia berkata, "Aku ingat kejadian sebelum ini."

"Jangan dipikirkan dulu." Nick menggeleng, tidak ingin istrinya memikirkan yang berat-berat.

"Maafkan aku. Aku tidak bisa menjaga anak kita, Nicky." Linangan air mata meluruh dari sudut kedua mata Celia.

Nick menggeleng keras. Air mata kembali meluruh deras lagi. "Jangan minta maaf. Di sini aku yang gagal menjaga kalian." Lalu, ia menggenggam tangan kanan Celia, dan dikecupi penuh sayang. "Aku telat datang menyelamatkanmu."

"Nicky." Ditatapnya lekat-lekat mata sang suami. "Aku ingin memelukmu," pinta Celia, dan mendapat anggukan mantap dari sang suami.

Nick langsung memeluk Celia, menyembunyikan kepala di ceruk perempuan itu. Sedangkan, Celia langsung merengkuh Nick erat-erat sambil mengecup kepalanya. Keduanya saling menumpahkan tangis dan terisak bersama.

"Apa mereka sudah mendapatkan hukuman?" tanya Celia ingin tahu.

"Sudah, Sayang. Mereka sudah mendapatkan hukuman yang setimpal. Mereka mendapat hukuman berat atas tindakan yang sudah dilakukan kepadamu."

"Nicky."

"Iya, Sayang."

"Ellena yang membuat Mama sama Papaku kecelakaan. Dia tidak hanya membunuh anak kita. Tapi, juga orang tuaku." Celia terisak.

Nick yang mendengar langsung menegang. Ia menarik diri dari pelukan Celia, lantas menatap wajah Celia dengan jarak wajah hanya beberapa senti saja.

"Ellena yang mengakuinya sendiri sebelum dia menendang perutku dan menyiksaku dengan video-video kecelakaan. Dia sengaja membunuh Mama sama Papa karena gagal membunuhku dari dulu. Dengan alasan agar aku bisa jauh dari dirimu dan keluargamu."

Semakin berkobar emosi Nick terhadap Ellena. "Kamu tenang saja, dia akan mendapatkan hukuman yang sudah seharusnya dia dapatkan. Dia akan merasakan siksaan yang sudah dia perbuat untukmu. Aku sudah menyuruh orang di dalam sel untuk memberinya pelajaran."

Celia manggut-manggut. Ia juga tidak akan pernah memaafkan orang yang sudah membunuh orang-orang tercintanya. Tidak akan pernah.

"Nicky."

"Hum?"

"Lalu, bagaimana dengan Alice Cooper?" Celia teringat lagi kejadian terakhir sebelum ia terjebak dalam komanya dan perempuan asing yang ia temui di alam bawah sadarnya.

"Dia ada di sini." Nick menoleh keluar, lalu mengangguk sekali kepada Alice yang memerhatikannya dari balik dinding kaca. Meminta perempuan itu untuk masuk.

Alice yang melihat kode dari Nick pun segera masuk. Ia menyapa Celia dengan ramah dan bersuara lembut. Lantas, berdiri tidak jauh dari brankar.

"Dia, Alice Cooper. Aku sengaja meminta dia pulang ke Indonesia untuk menjelaskan kesalahpahaman yang kamu terima dari Herlin."

Celia menatap perempuan cantik di belakang Nick. Wajah Alice masih sama seperti yang ia lihat pertama di Instagram Nick. Yang membedakan, perempuan itu terlihat lebih matang sekarang. Memiliki aura kalem dan lembut. Terlihat seperti orang baik-baik.

"Aku akan memberi ruang untuk kalian cerita. Tadi saat kamu masih terlelap, Alice sudah memperkenalkan diri kepadamu dan sudah menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Aku tidak tahu apakah kamu mendengarnya atau tidak. Tapi, kamu meresponsnya, Sayang. Dan berhasil membuatmu siuman sekarang."

Celia manggut-manggut. Ia membiarkan Nick menjauh dari dirinya, lalu berganti Alice yang duduk di kursi samping brankar.

"Alice bisa mengulang cerita lagi untukmu. Aku akan mengurus pemindahan ruanganmu dulu," ucap Nick, kepada Celia. Lalu, ia beralih berucap kepada Alice, "jangan bicara bohong terhadap istriku, ya. Kalau sampai Celia salah paham lagi, aku tidak akan mengenalmu lagi," ancamnya.

Alice mencebik. "Iya, Nick. Iya. Jangan takut. Aku tidak akan menyakiti istrimu. Sudah sana pergi, biarkan kami bicara dari hati ke hati."

"Aku akan meminta Aiden dan Dante ke dalam. Biar mereka bisa nguping pembicaraan kalian."

"Sesukamu saja lah, Nick." Alice tampak tak acuh. Sedangkan, Celia mengulas senyum.

Nick bergegas keluar. Ia pun benar-benar meminta Aiden dan Dante masuk ke dalam, meminta kedua orang itu untuk menguping pembicaraan Alice dan Celia. Tentu saja akan dimintai laporan jika dirinya sudah kembali.

***

Celia sudah dipindahkan ke kamar presidential suite, dengan ruangan di dalamnya cukup luas dan lebih pantas dibilang penginapan hotel karena memiliki dapur mini, satu set sofa, televisi, satu ranjang khusus untuk yang menunggu, dan satu brankar. Nick selalu ingin memberikan yang terbaik untuk dirinya. Katanya, agar ia tidak takut dengan rumah sakit selama masih masa perawatan pemulihan kesehatannya.

"Kita juga lebih memiliki privasi untuk berduaan," bisik Nick, yang terus duduk di samping brankar Celia. Tangannya tak pernah lepas dari genggaman sang istri.

"Kamu pasti sangat kesepian selama sembilan hari, ya." Celia terkekeh lirih seraya menatap wajah tampan suaminya yang terlihat kusut dan agak tirus. "Kamu juga jadi agak kurusan." Suaranya terdengar sedih.

"Karena aku terus memikirkanmu. Aku hampir kehilangan dua nyawa, rasanya benar-benar bikin aku mau gila."

"Maafin aku."

"Jangan minta maaf." Nick menggeleng cepat. "Sekarang tinggal diriku dan kamu. Anak kita sudah bertemu kakek-neneknya, pasti dia akan bahagia di sana."

Celia manggut-manggut setuju. "Aku akan ikhlas untuk kepergian anak kita. Tapi, aku tidak bisa melupakan apa penyebab kepergiannya."

"Iya, Sayang." Nick manggut-manggut.

Tidak lama, terdengar suara pintu terbuka. Lalu, ramai suara orang-orang. Ketukan keras high heels serta sepatu pantofel, terdengar cepat mendekati ruang brankar yang tak terlihat dari pintu.

Pandangan Nick dan Celia tertuju ke tempat sofa berada. Alice yang duduk di sana pun bergegas berdiri.

"Celiaaa! Akhirnya kamu sudah siuman, Sayang."

Lengkingan suara itu dari Teresa. Bersama Suci, Chloe, Harden, dan Jeff, perempuan itu menghampiri brankar Celia.

Nick menyingkir. Duduk di ranjang sampingnya. Para perempuan langsung memeluk Celia penuh rasa bahagia dan senang.

"Ma, jangan terlalu ditekan. Kasihan istriku," peringat Nick, ngeri sendiri melihat mamanya memeluki Celia begitu bersemangat.

"Sabar, Nick." Jeff menepuk pundak kanan adik iparnya. "Mereka sudah heboh dari pertama mendapat kabar darimu. Aku yang sedang mandi saja langsung diburu-buru sama Chloe. Sepertinya masih ada sisa shampo di rambutku."

Nick langsung menatap rambut Jeff, lalu memegang rambut kakak iparnya untuk mengecek. "Iya. Perlu dibilas lagi, Kak."

"Jadi gimana kondisi Celia?" tanya Jeff ingin tahu. Para perempuan sedang sibuk sendiri dengan Celia, cukup membuatnya pusing.

"Semuanya sudah kembali normal. Tinggal nunggu pemulihannya saja."

"Baguslah." Jeff manggut-manggut.

"Nathan bersama siapa kalian ke sini semua?" tanya Nick.

"Banyak orang di rumah. Dia cepat akrab dengan orang-orang. Mau bermain dengan Clara juga."

Mendengarnya, membuat Nick cukup lega. Lalu, perhatian beralih ke istrinya lagi yang sedang dimanjakan oleh tiga perempuan yang mengerubunginya.

"Pa, ada yang ingin kukasih tahu ke Papa. Kita bisa keluar sebentar," ujar Nick, membuat Harden mengernyit penasaran.

"Baiklah. Ayo." Harden mengangguk. Lalu, mengajak anaknya berlalu dari ruangan. Setibanya di luar, ia bertanya, "Ada apa, Nick?"

"Ini menyangkut kecelakaan yang dialami orang tua Celia."

Semakin penasaran lagi Harden mendengarnya.

"Ellena yang melakukan. Dia mengakui tindakannya sama Celia."

"Apa?!" Harden refleks berseru. "Jadi, kecelakaan yang menimpa Dallas dan Sasha atas permainan Ellena?"

"Iya, Pa." Nick mengangguk, lalu tampak berpikir keras. "Ellena sangat membenci Celia--."

"Papa tahu itu." Harden memotong ucapan Nick sambil manggut-manggut.

"Apa kita perlu membuka kasus ini lagi, Pa. Untuk memberatkan hukuman Ellena? Untuk mendapatkan keadilan mertuaku juga?"

Harden mengusap-usap dagu menggunakan tangan kanannya, tampak berpikir. Lalu, mengangguk setuju. "Lakukan yang kamu mau, Nick. Anak itu perlu diberi pelajaran atas kelakuannya sendiri. Kita juga perlu mencari tahu orang tua kandung Ellena. Adam sudah mulai mencari tahu perihal kelahiran anaknya di rumah sakit." 

"Ada hal penting juga yang harus Papa tahu. Ini soal Alice dan masa lalunya."

"Apa itu?"

"Ximon. Dia sudah keluar dari penjara. Dia juga sedang mengincar keselamatan Celia untuk membalaskan dendamnya terhadapku. Kalau Ximon tahu Alice juga sedang di Jakarta, takutnya dia juga mengincar Alice, Pa. Lelaki itu juga sangat berbahaya. Psikopat. Papa, masih ingat kekerasan yang dilakukan Ximon ke Alice bukan?"

Harden mengangguk lagi. Seberat itu masalah yang dialami anaknya. "Kamu sudah tahu lama dan itu alasan kamu sebenarnya ngasih bodyguard untuk Celia?"

"Ya." Nick mengangguk membenarkan. Sebab, saat orang tuanya tanya kenapa dirinya memberi bodyguard ke Celia, hanya beralasan untuk menjaga Celia saat tidak berada di dekatnya, karena hamil.

"Oke. Lalu, apa yang harus Papa lakukan untuk membantumu?"

"Biarkan Alice tinggal di rumah kita. Jangan biarkan dia mencari tempat tinggal sendiri. Ada Nathan juga, aku khawatir mereka akan kenapa-kenapa." 

"Baik, Nick. Nanti biar Papa bicarakan sama Mama."

"Terima kasih, Pa."

"Tapi, bagaimana dengan Celia? Apa dia sudah tahu tentang Alice?"

"Sudah. Alice sudah menjelaskan semuanya. Celia dapat memahaminya."

"Syukurlah." Harden mendesah lega. Lalu, keduanya masuk ke dalam ruangan lagi.

Terlihat, Celia masih sibuk mendengarkan cerita dari para perempuan di sana. Mereka terlihat begitu antusias. Setelah cukup lama menemani dan hari sudah memasuki sore, semuanya pun memutuskan pulang. Tersisa Nick yang menemani Celia.

Dan malam harinya, kerinduan Nick untuk bisa tidur seranjang dengan Celia, tersalurkan. Lelaki yang baru saja selesai mandi itu, naik ke brankar Celia lalu masuk ke selimut sang istri. Salah satu tangannya dijadikan untuk bantalan Celia, sedangkan satu tangannya lagi merengkuh Celia dengan mesra. Saling berhadapan.

"Aku sudah kangen tidur denganmu. Tidak ada dirimu rasanya sepi. Aku tidak pernah bisa tidur."

Celia menangkup wajah Nick, mengusapnya lembut. "Sekarang kita sudah bisa tidur bareng lagi."

Nick manggut-manggut. "Aku sudah bisa memelukmu lagi. Aku sudah bisa menatap wajahmu. Mengecupmu." Ia mengulas senyum, lalu mengecupi bibir Celia. "Kamu juga pasti kedinginan berada di ruang ICU sendirian."

"Mungkin." Celia manggut-manggut. "Aku tidak merasakannya."

"Karena kamu tidak sadar." Nick kembali mengecupi kening, pipi, dan bibir Celia, penuh gemas dan sayang.

"Aku seperti berada di dunia lain. Aku menghabiskan waktu jalan-jalan dengan Mama dan Papa, dan ada satu anak kecil. Perempuan. Aku terus menuntunnya. Tapi, aku tidak tahu namanya. Tapi, rasanya sangat dekat dengan anak itu."

"Apa sebenarnya dia yang akan jadi anak kita, Sayang?"

"Sepertinya, Nick." Celia mendesakkan kepala ke leher Nick, mencari kenyamanan. "Lalu, tiba-tiba ada perempuan datang menjemputku. Papa, Mama, dan anak itu memintaku untuk pulang. Lalu, aku pulang."

"Terima kasih masih mau pulang," ucap Nick sambil mengecup kening Celia, dan ia merasakan anggukan dari sang istri. Mungkin jika Celia tidak pulang, saat itu juga detak jantungnya tidak akan kembali berdetak. Berhenti selamanya.

"Sekarang tidur, ya. Tapi, jangan tidur terlalu lama lagi. Besok pagi harus bangun," pinta Nick, sekaligus memperingati. Ia takut Celia tidak bangun lagi.

"Iya, Sayang."

Sesaat kemudian, keduanya pun terlelap saling berpelukan.












Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top