Part 43
Aiden dan Dante masih menjaga tiga orang yang menjadi tahanannya, ditemani beberapa teman dari Guard Community-nya yang tadi dimintai bantuan. Selesai menghabisi para preman sampai tak berdaya, kedua lelaki itu melanjutkan pencarian Celia. Dante langsung menghubungi komandan di kantornya, meminta anak buahnya dikerahkan ke lokasi dirinya berada. Juga meminta bantuan pengecekan CCTV jalan raya untuk melakukan pelacakan mobil yang membawa sang nyonya. Beruntung, Dante sangat cepat bertindak untuk memotret mobil si penculik sebelum kehilangan jejak, sehingga bisa mendapatkan plat nomornya dengan jelas. Meskipun terlambat datang, setidaknya sang nyonya masih bisa diselamatkan.
Begitu melihat Nick datang, para bodyguard bertubuh kekar itu memberi ruang kepada sang tuan untuk mendekati pelaku penculikan. Raut wajah Nick tak ada ramahnya sama sekali. Dingin. Datar. Rahang mengetat. Sorot matanya menajam. Kentara sekali sedang menahan amarah yang meluap.
"Kalian salah memilih lawan. Kalian pikir aku akan diam saja melihat istriku disakiti seperti itu?" Suara Nick terdengar dingin dan tajam. Kedua tangannya yang mengepal kuat, memperlihatkan garis-garis ototnya di punggung tangan dan lengan.
Pertama yang dilakukan Nick langsung menendang dada Erick sampai kursi berserta orangnya terjengkang. Ambruk ke lantai cukup keras. Lalu, ia berjongkok di hadapan lelaki yang terikat kencang dengan mulut dilakban.
Nick menjambak rambut Erick, mencengkeramnya kencang sambil ditarik. "Kamu laki-laki. Tidak memiliki hati. Pengecut. Pecundang. Beraninya dengan perempuan. Menyakiti tanpa berperasaan. Kamu ... akan membayar apa yang sudah kamu lakukan kepada istriku," ucapnya tajam sambil melototinya. Kemudian, ia beranjak berdiri. Dengan kencang menendang perut Erick, meluapkan amarah serta emosinya yang sangat membara.
Lantas, Nick beralih ke Herlin. Ia menarik lakban yang menutup mulut perempuan itu dengan kencang. Rambut perempuan itu ia jambak, ditarik ke belakang sampai kepala mendongak.
"Katakan, siapa yang menyuruhmu untuk berbicara seperti itu di hadapan istriku?" tanya Nick, tajam. Suaranya yang dingin, berhasil membuat Herlin sangat ketakutan.
"Masih tidak ingin bicara?" Nick menambah cengkeraman jambakannya, membuat Herlin merintih kesakitan. "Pisau," pintanya kepada sang bodyguard.
Salah satu yang membawa pisau lipat, menyerahkannya kepada Nick.
Lelaki itu langsung membukanya, lalu menodongkan ujung pisau yang tajam dan mengkilap ke dagu Herlin.
"Masih akan bungkam, huh?" ancam Nick, agak menekankan pisaunya.
Tubuh Herlin bergetar. Mata sudah berkaca-kaca dan tak lama bulir bening itu meluruh. "Ellena. Ellena yang menyuruhku, Nick," jawabnya dengan suara bergetar. Napasnya tampak memburu.
Nick langsung menatap Ellena. Terlihat sangat tajam dan menusuk.
"Dia yang memintaku pulang ke sini. Memintaku untuk merusak hubunganmu dengan Celia," jelas Herlin, sangat bergetar suaranya.
"Dan kamu menurut? Sialan!" Nick melepas cengkeraman rambut Herlin, lalu memberi tamparan kencang.
"Kamu pikir, aku hanya akan membual untuk menyayat kulitmu kalau sampai terjadi sesuatu kepada istriku?" Nick menempelkan pisau tajamnya ke pipi Herlin.
"Nick, aku mohon jangan." Herlin menggeleng ketakutan, berusaha memohon.
Nick sama sekali tidak memedulikan. "Sekarang istriku sedang sekarat. Dan itu karena kamu yang ikut andil dalam masalah ini." Satu sayatan ia goreskan ke pipi Herlin. Darah segar mengucur deras begitu saja. Tangis Herlin pun pecah seketika. Tergugu keras.
"Darah ini tidak ada apa-apanya dari darah anakku." Mengucapkan itu, sakit hati Nick terasa begitu mendesak di dada. Ia menahan tangis saat teringat darah yang mengalir deras dari rahim Celia. Di mana darah itu adalah calon anaknya yang sedang ditunggu-tunggu kehadirannya dengan penuh kasih sayang dan cinta.
Para bodyguard yang melihat kekejaman Nick membalas dendam serta melihat goresan sayatan pisau di pipi kiri Herlin, meringis ngeri sendiri. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang berniat untuk menolongnya.
Nick beralih ke Ellena, si iblis yang menyerupai manusia. Dendam, marah, emosi, sakit hati, semakin tumbuh dan membesar. Membuat dadanya teramat sangat panas dan keras.
"Dan untukmu." Nick mencekik Ellena cukup kencang. "Yang sudah membuat istriku koma, yang sudah membunuh anakku, tidak akan pernah ada ampun untukmu. Demi Tuhan dan demi anak dan istriku, hidupmu tidak akan pernah tenang, hancur, dan lebih menderita dari mereka. Dan kamu tidak akan pernah bisa menikmati napas lega seperti sebelum-sebelumnya. Seumur hidupmu akan mendekam di penjara. Dan kamu tahu apa yang akan aku lakukan untuk membalas semua kejahatanmu kepada orang yang paling aku cintai? Kamu akan mendekam di tahanan gangster dengan mereka yang akan terus melakukan kekerasan fisik terhadapmu. Aku bisa mengatur semua sesuai keinginanku. Tunggu dan nikmati," ucapnya dingin dan tajam. Lalu, ia melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan kepada Erick, menendang perut Ellena sampai kursi dan orangnya ambruk ke lantai.
Setelah selesai mengeluarkan amarah dan emosi, Nick meminta para bodyguard itu membawa ketiga pelaku ke mobil yang akan diantarkan langsung ke kantor polisi. Ia akan meminta kepada pihak berwajib untuk memberi hukuman berat kepada ketiga orang itu. Dan seumur hidup. Mereka memiliki pasal berlapis, tentu akan memudahkan dirinya meminta tuntutan berat.
***
Ximon baru saja mendapat laporan dari anak buahnya jika istri Nick baru saja mendapat musibah. Ternyata, selain dirinya, ada orang lain juga yang sedang mengincar kehancuran lelaki itu.
Ia tersenyum puas. Tapi, itu baru permulaan untuk dirinya karena Nick belum mendapat pembalasan dari dirinya.
Orang yang sudah pernah masuk penjara, tentu tidak akan pernah takut dengan tindak kejahatan selanjutnya. Dan itu pendirian Ximon untuk membalaskan dendamnya kepada Nick.
"Tunggu sampai kondisinya mereda. Kita akan bermain cantik," ucap Ximon, kepada anak buahnya.
"Baik, Tuan."
***
Setiap pagi sebelum berangkat kerja dan sudah dilakukan Nick selama semingguan ini, ia rutin mendatangi rumah sakit untuk melihat kondisi istrinya yang masih di dalam ruang ICU. Di ruangan yang terasa dingin itu, alat penunjang kehidupan masih terpasang di tubuh istrinya yang masih terlelap dalam komanya. Belum ada tanda-tanda akan sadarkan diri, dan hanya terdengar suara pendeteksi detak jantung Celia dari monitor EKG yang tidak bisa dibilang normal.
"Sayang, apa kamu tidak ingin bangun? Apa kamu tidak ingin mencecarku dengan kata-kata bahasa Jawamu lagi? Aku kangen sebutan gundulmu, mbahmu, dan kata-kata lain yang sering kamu ucapkan ke aku, tahu." Nick tersenyum lebar di tengah luruhan air matanya yang terus mengalir. Salah satu tangannya terus menggenggam tangan Celia, sedangkan satunya lagi mengusap-usap kepala perempuan itu.
"Mereka yang menyakitimu sudah mendapat keadilan yang setimpal. Kamu harus senang mendengarnya. Anak kita juga pasti akan pergi dengan tenang, mengetahui pelaku yang membunuhnya akan dihukum seumur hidup."
Nick terdiam lagi sambil mengamati wajah istrinya yang terlihat sangat pucat.
"Tidak ada kamu di sampingku, aku sangat kesepian, tahu. Biasanya kamu sangat manja sama aku. Nempel-nempel ke aku. Suka bertingkah absurd. Cerewet. Kalau tidur juga tidak bisa lepas dari rengkuhanku. Sudah semingguan ini aku sendirian. Kesepian." Nick menjeda ucapannya sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan lagi, "Kalau kamu ingin tahu juga, setiap malam mau tidur aku selalu nangis mikirin kondisimu, tahu. Aku takut kamu juga pergi ninggalin aku selamanya." Ia terisak lirih. "Tolong ... jangan pergi dari sisiku lagi, Celia. Kita baru menikmati masa-masa kebersamaan sangat sebentar. Kita masih memiliki banyak keinginan di masa depan untuk hidup bersama sampai tua, 'kan?"
Nick mengecupi punggung tangan istrinya, dengan salah satu tangan beralih mengusap-usap pipi perempuan itu.
"Jangan lama-lama tertidur seperti ini. Aku sangat merindukanmu." Isakan Nick berubah menjadi guguan yang terdengar begitu menyayat.
"Aku sangat mencintaimu. Sangat, Celia."
"Pak Nick, waktu pembesukan sudah habis."
Lagi dan lagi, seorang perawat menghentikan dirinya untuk berlama-lama di ruangan sang istri. Namun, Nick tidak bisa mengelak dan tetap patuh, meskipun terasa berat untuk kaki melangkah.
"Waktunya sudah habis. Nanti siang aku ke sini lagi, ya. Sekarang aku pergi kerja dulu." Nick berdiri, lantas mengecup kening Celia cukup lama. Beberapa saat kemudian, ia pun keluar. Lalu, melepas penutup pakaiannya berwarna hijau polos dan diserahkan ke seorang perawat yang berjaga.
"Tetap siaga di sini. Jangan biarkan siapa pun masuk, kecuali tim medis dan keluarga intiku. Tetap awasi Celia kalau ada yang masuk, meskipun itu tim medis. Paham?" perintah Nick, yang selalu ia ucapkan kepada Aiden dan Dante, sebelum dirinya pergi. Dengan kedua orang itu disiapkan dirinya untuk berjaga di depan ruang ICU Celia, atas persetujuan dari pihak rumah sakit.
"Paham, Tuan. Kami akan menjaga Nyonya dengan baik."
Nick mengangguk sambil menepuk pundak kiri Dante. Lantas, ia segera pergi menuju kantornya.
Setibanya di sana, Nick mendapat banyak pertanyaan dari karyawannya yang berada di lantai sepuluh. Mereka ikut prihatin atas kejadian yang menimpa Celia, juga ikut merasakan kehilangan karena biasanya Celia yang membuat suasana menjadi ramai. Apalagi dengan dirinya yang sangat tegas tidak mengizinkan satu pun dari mereka membesuk Celia, membuat rasa keingintahuan mereka dengan kondisi Celia sangat besar.
Sementara, Evelyn terus mengucapkan rasa syukur tidak ikut andil dalam tindak kriminal yang dilakukan Ellena. Jika dirinya mengiyakan ajakan Ellena waktu lalu, mungkin sekarang nasibnya sudah mendekam di penjara dan seumur hidup. Sebab, Ellena, Erick, dan Herlin, mendapat hukuman berat dan dipenjara seumur hidup. Mengingat perlakuan dirinya terhadap Celia sebelum baikan, rasa bersalah kembali menggerogoti hatinya. Ia bahkan berjanji kepada dirinya sendiri tidak akan pernah menjahati perempuan itu lagi. Dan sangat berharap, Celia segera siuaman.
Siang harinya, Nick kedatangan tamu yang beberapa hari lalu dimintai pulang ke Indonesia. Ia membutuhkan bantuan Alice untuk menjelaskan kesalahpahaman yang dialami Celia, gara-gara ucapan Herlin. Dan sekarang, perempuan itu berada di ruangannya bersama Nathan, bocah laki-laki yang baru berusia lima tahun. Baru saja tiba di Indonesia.
"Aku akan membawamu bertemu dengan Celia. Mungkin dia juga membutuhkan bisikan-bisikan darimu atas kesalahpahaman ini. Kata dokter, orang koma masih bisa mendengarkan suara kita. Tapi, jiwanya masih bersenang-senang di alam lain." Nick berucap sungguh-sungguh. "Aku mohon, Alice, tolong bantu sadarkan istriku dari koma. Mungkin dia masih enggan sadar karena berpikir aku sudah mempermainkan hatinya, aku mengkhianatinya. Celia satu-satunya perempuan yang aku cintai sejak dulu dan sampai sekarang. Aku tidak ingin kehilangannya."
Alice mengangguk paham dan setuju. "Nick, aku akan mencobanya. Kamu dan keluargamu sudah baik denganku. Sekarang sudah waktunya aku membalas budi kebaikan kalian. Tanpa kalian, mungkin aku sudah mati di tangan keluargaku sendiri," ucapnya penuh pengertian.
"Terima kasih, Alice. Nanti pulang dan tinggal di rumah orang tuaku saja. Ximon sudah keluar dari penjara. Aku khawatir kalian juga tidak akan aman, apalagi keluargamu juga sudah tidak menerimamu. Dan aku tidak tahu kabar mereka sekarang."
"Terima kasih, Nick. Kamu masih sangat baik denganku. Setelah Celia siuaman, aku janji tidak akan mengganggu hidupmu lagi. Aku tidak ingin Celia berpikir yang tidak-tidak tentang kebaikanmu kepadaku, seperti yang kamu bicarakan waktu lalu kalau Celia pernah cemburu terhadapku."
Nick mengangguk sembari mengulas senyum. "Aku telepon Mama dulu biar mereka enggak kaget pas kamu datang."
Alice mengangguk. Sambil menunggu Nick telepon mamanya, ia ngobrol dengan anaknya yang sedang asyik bermain game di ponselnya.
"Akan ada sopir yang menjemputmu ke sini. Sambil nunggu dia datang, kamu bisa bawa Nathan jalan-jalan di lantai satu biar enggak borring. Nanti kukabari kalau sopir Mama sudah tiba."
"Oke, Nick." Alice mengangguk. Lalu, ia mengajak anaknya keluar dari ruangan Nick dan menuju lantai satu.
Sementara, Nick mulai menyibukkan diri lagi dengan pekerjaan. Berusaha fokus meskipun pikiran tetap tersita oleh Celia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top