Part 41

Cincin diamond pesanan Nick baru tiba sore ini, diantar oleh salah satu staff toko perhiasan Barra ke kantornya. Staff itu menjelaskan cara penggunaan serta membantunya untuk menyambungkan GPS ke ponsel Nick. Setelah selesai, staff itu bergegas pamitan dan pergi.

"Jangan pernah dilepas dari jarimu, oke," pinta Nick kepada sang istri sambil menyematkan cincin diamond ke jari tengah tangan kiri Celia.

"Kapan kamu pesan ini?" tanya Celia penasaran.

"Semalam. Aku meminta Barra untuk membuatkannya dan harus jadi hari ini. Kita harus berhati-hati. Setelah kita mempublikasikan pernikahan, aku yakin para musuhku yang tertidur lama, sekarang sudah terbangun. Apalagi mereka sudah tahu kamu kelemahanku. Tentu bukan hanya Erick dan Ellena yang ingin mencelakaimu," jelas Nick. Ia bisa melihat wajah gelisahnya sang istri.

"Jangan terlalu dipikirkan. Jangan khawatir. Aku akan selalu menjagamu dan anak kita. Kamu harus berpikir tenang, agar anak kita yang baru tumbuh ini tidak merasakan kesakitan. Paham?" Nick berkata lembut sambil mengusap lembut wajah Celia, dan mendapat anggukan mengerti.

Celia menghambur ke pelukan Nick. "Kalau aku belum hamil, aku pasti bisa menjaga diriku dengan baik, Nick. Kamu tidak perlu sekhawatir ini," ucapnya.

"Ssttt! Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Bagaimana pun juga, aku akan tetap mengkhawatirkanmu. Kamu istriku," balas Nick, penuh pengertian. "Kita pulang sekarang."

Celia manggut-manggut. Mengurai pelukan, lantas ia dan Nick beranjak menuju meja kerja Nick untuk mengambil tasnya masing-masing.

Keduanya keluar ruangan, langsung diikuti Aiden dan Dante yang selalu siap siaga berjaga di depan pintu ruangan Nick.

"Sebelum pulang, aku ingin mengajakmu ke dokter kandungan dulu, untuk mengecek kondisi Baby. Tadi, kamu mengalami kram. Aku khawatir terjadi sesuatu dengannya."

"Oke. Karena kamu sudah tidak kerja, aku akan menuruti." Celia mengulas senyum, lantas menyandarkan kepala ke lengan Nick yang sekarang sudah berada di dalam lift.

**

"Semuanya baik-baik saja. Tidak ada masalah serius dengan calon Babynya. Untuk masalah kram perut, memang suka terjadi kepada ibu hamil karena adanya perubahan pada ukuran rahim dan tekanan saraf," jelas sang dokter sambil melakukan USG.

Nick dan Celia memerhatikan layar monitor, melihat calon anaknya yang masih sebesar kacang polong. Rasa haru melingkupi keduanya saat mendengar detakan jantung dari layar monitor. Keduanya terus mengembangkan senyum lebar dengan mata berkaca-kaca.

"Detak jantungnya normal. Bisa dibilang cukup bagus dan sehat," ucap sang dokter lagi.

Tidak berselang lama, pemeriksaan selesai. Nick dan Celia cukup puas melihat hasilnya. Tidak ada masalah dengan calon anaknya. Lantas, keduanya keluar dari ruangan sang dokter dengan Nick membopong Celia ala bridal. Lelaki itu berusaha mengalihkan perhatian Celia dari suasana rumah sakit, terus mengajaknya berbicara akan hal-hal yang menyenangkan.

Aiden dan Dante yang berjalan di belakangnya, mendesah. Keduanya saling berbisik mengutarakan isi hati karena berasa seperti makhluk halus yang tak dianggap keberadaannya.

Baru sehari menjadi bodyguard, keduanya selalu dihidangkan oleh keromantisan bosnya. Semakin gila lagi saat bos laki-lakinya tanpa malu-malu menyerbu kecupan kepada sang istri.

"Jantung aman, Dan?" tanya Aiden lirih.

"Aman. Dirimu?" Dante balik bertanya.

"Tidak." Aiden menggeleng. "Pantas saja Pak Nick sangat overprotektif dengan istrinya. Sesayang itu dia dengan Nyonya Celia. Sepertinya kalau Nyonya Celia lecet sedikit saja, galaunya bakal berkepanjangan," ucapnya sangat lirih seraya memerhatikan Celia yang masih dalam gendongan Nick.

"Tentu saja. Makanya Pak Nick ngambil kita untuk menjaga istrinya. Kalau sudah tahu begini, kita juga harus benar-benar menjaga istri Pak Nick."

Aiden mengangguk, menyetujui ucapan Dante. Meskipun saling berbisik, keduanya tetap menampilkan ekspresi datar dan dingin.

Setibanya di mobil Nick, Aiden langsung membukakan pintu mobil untuk bos perempuannya. Nick memasukkan Celia, mendudukkannya di samping jok kemudi. Sedangkan, Dante langsung membukakan pintu untuk Nick begitu lelaki itu berjalan memutari mobil menuju jok kemudi.

"Pingin minum iced matcha latte, Nick," ucap Celia, yang tiba-tiba teringat iced matcha latte. Dalam bayangannya terasa begitu enak dan menyegarkan. Tanpa sadar, ia menelan ludahnya sendiri.

"Oke. Kita ke kafe dulu sekarang." Nick menatap istrinya seraya mengulas senyum.

Celia manggut-manggut semangat. "Makasih," ucapnya bahagia.

Mobil dilajukan. Sambil menyetir santai, salah satu tangan Nick menemplok di perut Celia. Ibu jarinya mengusap lembut seolah memberi ketenangan untuk sang anak.

Tidak berselang lama, mereka tiba di kafe pinggir jalan yang memiliki parkiran luas. Kafe itu berlantai dua, berkonsep aesthetic, dan memiliki tempat duduk outdoor-nya.

Nick dan Celia menuju etalase kaca yang di dalamnya menyediakan banyak jenis roti dan cake. Aiden dan Dante mengikutinya.

"Mau yang matcha cake," pinta Celia sambil menunjuk matcha cake dari balik kaca etalase.

"Oke. Aiden, Dante, pilih yang ingin kalian makan." Nick menatap Dante dan Aiden yang berada di belakangnya.

"Tidak perlu, Tuan," balas Dante.

"Tidak. Aku tidak ingin membiarkan pekerjaku hanya menjadi penonton kami makan. Kalian juga harus makan," ucap Nick, tegas.

"Dante, Aiden, jangan malu-malu. Ayo, pilih saja," pinta Celia sambil mengangguk memberi dukungan. Lalu, ia mendekati kedua lelaki itu, berbisik dengan salah satu tangan menutup mulut agar tidak terlihat oleh Nick. "Bos kalian banyak uangnya ini. Tidak apa-apa." Ia terkikik.

Namun, masih terdengar oleh Nick.

"Jangan nolak pemberian orang, Aiden, Dante. Tidak baik," ucap Celia lagi. Dan berhasil meleburkan rasa tidak enak hati kedua bodyguardnya.

Dante dan Aiden memilih cheesecake. Lantas, bersama-sama beralih ke kasir untuk memesan minuman. Setelahnya, Nick dan Celia menuju meja yang berkapasitas dua orang, sebelahnya terdapat meja yang juga berkapasitas dua orang. Dan dengan sengaja, Celia menaruh tas tangannya di meja sebelahnya untuk menandai jika meja itu akan ada orang duduk.

"Nick."

Mendengar suara perempuan memanggil Nick, Celia dan Nick langsung menatap perempuan tersebut.

Nick tampak terkejut. Terbelalak. "Herlin," panggilnya lirih.

"Senang bertemu denganmu di sini. Apa kabar?" tanya perempuan itu, yang langsung melakukan cipika-cipiki dengan Nick.

Celia langsung melemparkan sorotan tajam kepada kedua orang itu. Terutama kepada si perempuan. Berani sekali cipika-cipiki terhadap suaminya tepat di hadapan dirinya.

"Boleh bergabung?"

Belum juga Nick dan Celia menyetujui, perempuan itu sudah menarik kursi dari meja lain, menaruhnya di ujung meja lain.

"Sudah bertahun-tahun tidak bertemu, akhirnya sekarang bertemu secara tak sengaja di sini," ucap perempuan itu lagi.

Nick yang masih terkejut atas kehadiran Herlin, masih belum bisa berucap apa-apa. Mematung seketika dengan pikiran berkecamuk tak keruan.

Sementara, Celia masih mengamati gerak-gerik perempuan itu dalam diamnya. 'Sok asyik sekali. Memangnya dulu sangat akrab dengan Nick?' batinnya.

"Kapan pulang ke Jakarta?" tanya Nick, setelah cukup lama terdiam.

Celia langsung menatap Nick dengan perasaan penuh tanya.

"Baru dua hari di sini."

Nick mengangguk paham. Lalu, tatapannya beralih ke Celia yang memperlihatkan ekspresi masam dan tajam. "Perkenalkan, ini istriku, Celia."

Perempuan itu tampak terkejut. "Kamu sudah menikah? Kenapa aku tidak tahu?" tanyanya. Lalu, perhatiannya berpindah ke Celia. "Herlin. Teman lama Nick. Tepatnya, teman kuliah." Ia mengulurkan tangan kepada Celia, yang langsung dibalas perempuan itu.

Namun, sesaat kemudian, perhatian Herlin berpindah ke Nick dan mengabaikan Celia. "Apa Alice sudah tahu kamu menikah? Ah, Nick, pasti dia sedih sekali. Terus bagaimana dengan anak kalian? Apa kamu akan melupakan Nathan? Apa ini alasan kamu sudah tidak menjenguknya dan tidak pernah meneleponnya?"

"Tunggu-tunggu." Mendengar kata anak kalian disebut, dan tertuju kepada Nick serta Alice--nama yang tak asing untuk dirinya, tubuh Celia langsung menegang. Jantung berdebar kencang. Dada terasa mencelus. Sakit. Bak tertusuk belati tajam.

Sementara, Nick langsung mengepalkan kedua tangan. Ia terpejam. Menahan gejolak emosi yang terpanggil. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya kepada Celia.

"Nick punya anak dengan perempuan lain? Dan siapa tadi yang kamu sebut? Alice? Apa itu Alice Cooper?" tanya Celia sambil menahan rasa sesak di dada. Darahnya semakin mendidih membuat seluruh tubuhnya gerah dan panas. Mata pun sudah berkaca-kaca.

Dan benar saja, Celia langsung terbawa emosi. Ia yang sudah membuka mata tepat Celia berbicara, cepat-cepat berucap, "Celia, aku bisa menjelaskan. Itu tidak seperti yang kamu pikirkan." Ia sudah panik. Debaran jantung pun sangat cepat seperti akan lepas dari tempatnya.

"Jelaskan? Selama ini kamu menyembunyikan itu dariku, Nick. Dan perempuan yang meneleponmu waktu lalu, bernama, Alice Cooper. Dan kamu bilang, itu salah satu perempuan yang mengejarmu. Apa kamu sedang menyembunyikan fakta kalau kamu memiliki hubungan dengan perempuan itu dan sudah memiliki anak?"

"Celia, tidak seperti itu ceritanya."

"Diam," ucap Celia tegas dan tajam. "Aku ingin melihat foto perempuan itu," pintanya kepada Herlin.

"Jangan," cegah Nick, saat melihat Herlin akan mengeluarkan ponsel dari tasnya.

"Perlihatkan kepadaku," desak Celia, semakin curiga terhadap Nick.

"Nick, maaf, tapi istrimu harus tahu kalau kamu memiliki tanggung jawab lain."

"Nathan bukan anak kandungku. Aku dan Alice tidak memiliki hubungan apa pun kecuali teman," jelas Nick penuh emosi, suara terdengar tertahan. Baru saja dirinya akan merebut ponsel dari tangan Herlin, ponsel sudah berpindah ke tangan Celia.

Detik itu juga tubuh Celia mematung seketika. Tangan terasa bergetar saking terkejutnya melihat siapa perempuan yang bernama, Alice Cooper. Perempuan itu yang berhasil membuatnya cemburu terhadap Nick. Yang membuatnya memutuskan untuk membuka hati kepada laki-laki lain.

"Jadi ... jadi ...." Celia terisak. Air mata mengalir deras begitu saja. "Kamu sama dia." Saking sesaknya dada, ia berucap terbata-bata.

Nick langsung beranjak menghampiri Celia. Ia merebut ponsel di tangan istrinya dan membantingnya tanpa pikir panjang, yang langsung menjadi pusat perhatian orang-orang.

"Celia, aku tidak pernah melakukan apa pun terhadap Alice. Dia hanya temanku." Nick mencoba memberi penjelasan sambil memegangi lengan istrinya.

Dengan cepat Celia menepis tangan lelaki itu. Ia menggeleng. Lantas, beranjak berdiri. "Aku sudah sering memperingatkan kamu, Nick. Aku tidak suka dipermainkan. Dan aku sangat benci dengan laki-laki yang suka mempermainkan perempuan. Aku tidak suka adanya pengkhianatan. Dan kamu ... kamu melakukan itu kepadaku. Ternyata aku terlalu bodoh mempercayai ucapanmu. Aku pikir kamu serius dengan perasaan cintamu terhadapku selama ini. Tapi, kamu saja seperti Erick. Kamu pembohong. Kamu sudah memiliki anak dengan perempuan lain."

"Sayang, aku tidak berbohong. Aku tidak memiliki anak dengan perempuan lain. Anak Alice bukan anakku."

"Mulut laki-laki selalu mengatakan itu untuk menutupi kesalahannya! Sama halnya seperti Erick!" Celia terisak keras. "Nick, kenapa kamu jahat banget?! Kamu sudah berhasil membuatku jatuh cinta kepadamu. Aku sudah percaya banget kalau kamu bakal setia sama aku. Benar-benar cinta sama aku. Selama ini aku percaya-percaya saja kamu tidak pernah memiliki hubungan dengan perempuan lain. Kamu berhasil membuktikan itu. Tapi, kamu malah menyembunyikan fakta yang cukup besar. Kamu menyembunyikan Alice di Italia dengan anaknya, agar kamu bisa lepas tanggung jawab dan tidak menikahinya?"

Nick menggeleng. Matanya memerah, berkaca-kaca. Ia akan memegang lengan Celia, tapi perempuan itu langsung mundur. Menghindarinya.

"Celia, aku bisa menjelaskannya. Itu tidak seperti yang kamu kira. Aku dan Alice tidak memiliki hubungan. Nathan bukan anak kandungku."

Celia semakin terisak. "Erick juga mengatakan seperti itu! Kalian sama saja! Sudah menghamili wanita lain, tapi tidak diakui! Kalian laki-laki macam apa, hah?! Lari dari tanggung jawab!" Ia tergugu keras. Kecewa, sakit hati, hancur, dan dikhianati, kini ia rasakan lagi. Detik selanjutnya, ia tertawa miris lagi saat teringat bagaimana Nick menggoda dan mengajarinya bercinta begitu panas. Bahkan lelaki itu menguasai segala gaya. "Ah, aku paham sekarang. Ternyata kamu memang pemain handal, Nick. Kenapa aku tidak curiga kalau kamu sering bermain dengan perempuan lain? Dan nafsumu terhadapku selama ini, apa hanya untuk melampiaskan rasa kangenmu bercinta dengan Alice?"

"Cel."

"Cukup, Nick." Celia mencegah Nick untuk mendekat. Ia menertawakan diri lagi karena berhasil terjebak dalam permainan Nick. "Aku sudah cinta benaran sama kamu. Cinta yang dari dulu ada, dan sampai sekarang masih ada. Ternyata aku hanya perempuan bodoh. Saking cintanya aku sama kamu, sampai menutup mata tidak melihat keburukanmu."

Celia melangkah ke belakang. "Jangan ada yang mengikutiku." Ia menunjuk Nick, Aiden, dan Dante. Ia ingin menyendiri. Pikirannya sangat kacau sekarang. Ia butuh ketenangan.

"Celia." Nick tidak memedulikan ucapan sang istri. Tetap mengikutinya.

"Aku bilang jangan mengikutiku!" Celia melepas cincin diamond yang baru tersemat di jari tengahnya, lantas melemparkannya ke Nick. "Aku tidak ingin kamu mengikutiku. Ambil itu." Setelahnya, ia berjalan cepat keluar kafe.

"Kejar istriku! Ikuti dia!" perintah Nick, kepada bodyguardnya. Sedangkan, ia menghampiri Herlin. Tanpa basa-basi, langsung mencekik leher perempuan itu. Ia menatapnya tajam seraya menambah tekanan pada cengkeraman di leher Herlin.

Herlin mengerang kesakitan. Tapi, Nick sama sekali tidak kasihan.

"Jujur sama aku, apa kamu sengaja berkata seperti itu di depan istriku? Apa kamu sengaja membuatnya salah paham, padahal kamu tahu cerita yang sebenarnya. Nathan bukan anakku! Aku dan Alice tidak memiliki hubungan spesial, selain teman yang kukasihani." Suara Nick terdengar berat dan tajam. "Kalian semua jangan ada yang ikut campur!" peringatnya, kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.

"Nick, aku hanya mengingatkan ke kamu. Masih ada Nathan yang butuh sosokmu."

Mendengarnya, Nick semakin murka. Semakin kencang ia mencengkeram leher Herlin, sampai perempuan itu hampir kehabisan napas.

"Apa sebenarnya kamu sudah tahu jika aku sudah menikah dan kamu pura-pura tidak tahu, huh? Siapa yang menyuruhmu, Herlin?" Nick melotot, sangat tajam tatapannya.

"Tidak ada, Nick."

"Jujur! Siapa yang menyuruhmu?!"

Herlin menggeleng. Masih bungkam.

Mendengar ponselnya berdering, Nick langsung merogoh saku celana kainnya. Aiden menelepon. Cepat-cepat ia mengangkat.

"Tuan, Nona Celia diculik!"

Deg!

Jantung serasa ingin copot. Monster dalam dirinya pun terbangun. Semakin tidak ada ampun untuk Herlin.

"Ikuti. Jangan sampai lolos," perintah Nick. Ia merasakan tubuhnya bak terpanggang, panas teramat sangat saking emosinya.

"Baik, Tuan!" Dari seberang sana, sambungan telepon terputus.

"Sampai istriku kenapa-kenapa, kamu orang pertama yang akan aku bunuh, Herlin," ucap Nick, sungguh-sungguh.

"Saya minta lakban!" pinta Nick, kepada pelayan kafe. "Cepat! Atau kafe ini akan saya hancurkan detik ini juga!" ancamnya, yang membuat pelayan kafe langsung ketakutan.

Salah satu dari mereka langsung bergerak cepat mencari lakban. Setelah menemukan, langsung memberikannya kepada Nick.

"Tolong ikatkan tangan perempuan ini," perintah Nick, kepada pelayan kafe itu. Tapi, masih ditanggapi ragu-ragu.

"Cepat!" Seruan Nick terdengar menggelegar dan menakutkan.

Saat tangannya ditarik paksa oleh pelayan kafe, Herlin tidak bisa berkutik. Pikirannya hanya terfokus pada lehernya yang tercekik. Pasokan oksigen pun semakin menipis.

Selesai pelayan kafe itu mengikat tangan Herlin, Nick meminta pelayan kafe itu mengikat kaki Herlin. Lelu, melakban mulutmu.

"Jangan berharap lolos dariku, sebelum istriku ditemukan. Sedikit saja dia lecet, goresan pisau akan menyayati kulitmu," ucap Nick. Kemudian, ia mengangkat Herlin seperti memanggul karung beras. "Sampai ada yang memviralkan, kalian semua akan menerima akibatnya. Saya tidak main-main!" ancamnya kepada seluruh penghuni kafe.










Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top