Part 36
"Udah lega banget. Akhirnya, pernikahan kita sudah bisa terpublish. Kalau mau mesra-mesraan di kantor, sudah tidak sembunyi-sembunyi lagi sekarang." Celia terkikik mengatakan itu, saat teringat bagaimana ia dan Nick harus sembunyi-sembunyi untuk bermesraan di kantor. Apalagi harus mengunci pintu lebih dulu agar tidak ada yang memergoki.
Malam ini, keduanya sudah pulang ke rumah orang tua Nick. Begitu pun dengan keluarga Celia yang menginap di sana. Dan sepasang pengantin baru itu sudah merebahkan diri di ranjang, saling berpelukan erat. Keduanya sudah bersepakat untuk tidak melakukan hubungan badan, lebih tepatnya Celia yang tidak ingin karena merasa kelelahan setelah melewati acara pesta pernikahan yang cukup spektakuler. Nick menghargai permintaan sang istri, sehingga yang dilakukan hanya merengkuh tubuh Celia penuh kasih sayang.
"Apa kamu memerhatikan semua wajah perempuan-perempuan yang bersedih tadi?" tanya Nick sambil mengusap-usap kepala Celia.
Perempuan itu manggut-manggut di bawah dagu Nick. "Benar-benar jadi hari patah hati perempuan-perempuan yang mengejarmu, Nick."
"Dan kamu pemenangnya."
Celia mengulas senyum lebar sambil mendongak menatap wajah Nick. Salah satu tangannya terangkat untuk menangkup sebelah wajah lelaki itu. "Makasih sudah memberitahu kepada semua orang kalau kamu sangat mencintaiku. Dan aku ... aku juga sangat mencintaimu."
"Iya, Sayang. Semua orang memang harus tahu kalau aku sangat mencintaimu. Dan kamu lah pemilik hatiku seutuhnya. Jadi, tidak akan ada lagi perempuan-perempuan yang berusaha mengambil hatiku. Karena aku tidak akan pernah terpikat sama mereka."
Sangat bahagia Celia mendengarnya. Berasa ada kupu-kupu berterbangan di dalam hatinya. Saking salah tingkahnya, ia beralih memeluk Nick erat-erat sambil menyembunyikan kepala di balik dada lelaki itu.
"Nicky, I love you."
"I love you, Celia." Nick semakin mengeratkan rengkuhan sembari mendaratkan kecupan di puncak kepala sang istri. Dan tak lama, keduanya sama-sama saling terpejam.
Keesokan pagi, Celia tidak bisa bangun merasakan kepala berasa berputar-putar dan membuatnya pusing berat. Saat Nick mengecek suhu di kening sang istri, ia merasakan suhu panas Celia sangat tinggi.
"Sepertinya ini efek dari kelelahan kemarin," gumam Celia, masih terpejam.
"Kita periksa ke dokter?"
Celia menggeleng. "Cukup istirahat saja. Nanti bakal baikan, kok," ucapnya, tapi ia merasakan dalam tubuhnya dingin yang teramat sangat sampai membuatnya menggigil.
"Nick, sepertinya suhu AC-nya sangat dingin," kata Celia lagi sambil merapatkan selimut.
Nick langsung mengambil remote control air conditioner yang tergeletak di atas nakas sampingnya, lantas mengecek. "Enggak kok, Sayang. Temperaturnya cuma dua puluh dua. Normal seperti biasanya."
"Tapi, dingin banget," keluh Celia.
Nick menaikkan suhu air conditioner menjadi dua puluh lima. "Masih dingin?" tanya sambil menatap Celia.
Perempuan itu mengangguk.
Meletakkan remote control air conditioner, Nick beringsut mendekati Celia lantas mendekap erat lagi. Demam di tubuh Celia masih tinggi, cukup menyengat ketika kulitnya bergesekan langsung dengan kulit Celia. "Tidur lagi," pintanya sambil mengusap-usap kepala Celia penuh perhatian.
Perempuan itu baru saja akan terpejam. Tapi, merasakan perut bak terkoyak yang membuatnya sangat mual, ia langsung beranjak turun dari ranjang dan berlari cepat ke kamar mandi. Celia langsung memuntahkan sisa makanan yang ada di dalam perutnya. Cukup lama. Berulang kali. Sampai yang keluar hanya cairan yang terasa begitu pahit di lidah.
Nick menemani di kamar mandi sambil memijat-mijat tengkuk Celia, tanpa disadari jika dirinya bisa menahan pemandangan yang cukup menjijikkan. Biasanya ia paling anti dengan hal-hal yang menurutnya sangat menjijikkan.
"Mual banget, Nick," ucap Celia, setelah berkumur. Ia merasakan tubuhnya melemas, tenaganya sangat terkuras. Pusing pun semakin tak keruan rasanya.
Saat merasakan perut kembali terkoyak yang mual, ia langsung mengarahkan diri ke closet dan menunduk. Namun, kali ini tidak ada apa pun yang keluar dari mulutnya kecuali sedikit cairan yang terasa pahit.
Nick semakin tak tega melihat kondisi istrinya yang terlihat sangat pucat dan tak bertenaga. Setelah menunggu cukup lama sampai mual yang dirasakan Celia mereda, ia membopong sang istri dan membawanya kamar lagi.
"Ini lebih parah dari yang aku rasakan saat mengalami panic attack," gumam Celia yang merebahkan kepalanya di bahu kiri Nick.
"Kita harus periksa ke dokter. Kalau kamu tidak ingin ke rumah sakit, nanti biar kupanggilkan dokter keluarga ke sini," sahut Nick sambil merebahkan Celia ke ranjang, lantas menyelimutinya. "Aku ambilkan air minum hangat dulu."
"Jangan lama-lama," pinta Celia. Tatapannya tampak lesu dan memelas, membuat Nick mengangguk patuh.
"Sebentar, Sayang," balas Nick penuh perhatian, lantas mengecup kening Celia sebelum berlalu.
Setibanya di lantai bawah, Nick melihat semua keluarganya telah berkumpul di ruang keluarga. Ia hanya menyapa mereka sesaat, lalu mengayunkan kaki menuju dapur.
"Mas Nick butuh apa? Biar saya bantu?" tawar Intan, yang ikut bergabung dengan para asisten rumah tangga Teresa di dapur. Meskipun sudah ada koki pribadi yang memasak dan sudah ada beberapa asisten yang mengerjakan pekerjaan rumah, ia hanya ikut bergabung dengan mereka saja walaupun tidak ada pekerjaan yang dipegang.
"Air putih hangat, Mbak Intan. Celia tidak enak badan. Kecapekan kayaknya. Baru saja muntah-muntah," jawab Nick.
"Muntah-muntah? Apa Mbak Celia lagi lekasan, Mas?" celetuk Intan.
"Lekasan? Apa itu lekasan?" Nick balik bertanya karena tidak paham yang dikatakan Intan.
"Biasanya tanda-tanda orang hamil itu badan kurang fit, Mas. Muntah-muntah juga. Itu namanya lekasan. Lekasan hamil. Awal mula tanda-tanda hamil."
Nick jadi teringat perkataan ibu-ibu saat di rest area yang bertanya apakah Celia sedang isi? Yang dialami Celia sekarang juga sama ketika terserang panic attack. Apakah tanda-tanda orang hamil memang seperti itu?
Sibuk berpikir dengan celetukan Intan, Nick sampai lupa harus mengambil air putih hangat. Saat teringat kembali, ia pun bergegas mengambil dan pergi ke kamar lagi. Takut Celia menunggu lama-lama.
Sementara, Intan yang penasaran dengan kondisi Celia, langsung menuju ruang keluarga dan menghampiri Suci. Ia duduk di samping perempuan itu yang masih memiliki ruang cukup lebar.
"Buk, tak kandani," ucap Intan tiba-tiba.
Membuat Suci mengernyit heran. "Ono opo to, Ntan?" Saking dekatnya dengan gadis itu, ia sudah menganggap Intan seperti keluarga sendiri.
"Buk, jare Mas Nick, Mbak Celia lagi ndak enak badan. Muntah-muntah. Opo yo ndak lagi lekasan, Buk?" Intan berkata lirih.
Suci yang mendengar langsung terkesiap. "Mosok'o, Ntan?"
Intan manggut-manggut cepat. "Tenan, Buk. Mas Nick nembe kondo mbek aku."
"Ada apa? Apa ada masalah?" tanya Teresa penasaran, yang sedari tadi memerhatikan ekspresi wajah Suci tampak tercengang setelah mendengar bisik-bisik dari Intan.
"Celia. Kata Intan, dia lagi tidak enak badan. Baru muntah-muntah," jawab Suci.
Lalu, Intan menimpali. "Iya, Bu Teresa. Mas Nick baru saja ngasih tahu saya."
"Looo, lha dadi tenan iki!" Abista langsung bertepuk tangan sekali. "Tante, delok engkas gendong putu," godanya sambil terkekeh. Orang tuanya yang mendengar pun tampak begitu sumringah.
"Apa kata Abista?" tanya Teresa ingin tahu.
"Katanya, sebentar lagi kita akan gendong cucu," jawab ibunya Abista.
"Waaah, benarkah?" Teresa langsung mengembangkan senyum sumringah. "Tapi, kita belum tahu benar tidaknya. Aku harus manggil dokter kandungan ke sini untuk ngechek kondisi Celia." Dan cepat-cepat ia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Tanpa basa-basi, ia segera menghubungi dokter kandungan kenalannya.
Di kamar, Celia kembali muntah-muntah setelah meneguk sedikit air. Ia menangis karena perutnya teramat sangat mual, kepala pun semakin pusing seperti mendapat hantaman berkali-kali.
"Jangan nangis," pinta Nick sambil menahan tubuh Celia dalam pelukannya.
"Mual, Nick," balas Celia, terisak lirih seraya mencengkeram erat pinggang Nick.
"Udah lemes banget rasanya. Kalau masih mau muntah lagi, bisa-bisa ususku yang kelu--." Belum juga selesai berbicara, Celia sudah ingin memuntahkan yang ada di perutnya lagi. Namun, lagi dan lagi, tidak ada yang keluar kecuali sedikit cairan. Ia kembali menangis, terisak lirih.
"Aku enggak keracunan makanan yang semalam kita makan? Kayaknya semalam aku juga masih baik-baik saja, enggak ada keluhan apa pun. Kenapa sekarang jadi kayak gini?" cecorocos Celia di tengah isakannya.
"Apa ada yang ngirim paku ke perutku gara-gara sudah tahu aku istrimu?" Pikiran Celia jadi ke mana-mana.
"Sayang, jangan mikir yang aneh-aneh."
"Tapi, perutku mual teruuus." Celia tampak begitu tersiksa. Tapi, bagi Nick, suara istrinya justru terdengar manja-manja lucu.
Perhatian keduanya teralihkan oleh suara ramai yang memasuki kamar Nick. Lalu, terdengar suara Teresa memanggili keduanya.
"Di kamar mandi, Ma," balas Nick, lantang.
Mereka pun berbondong-bondong menuju kamar mandi untuk mengecek apa yang terjadi.
"Celia masih muntah-muntah terus," adu Nick, cemas bercampur khawatir.
"Bentar lagi dokter datang. Mama sudah telepon."
"Aku belum ngasih tahu Mama tentang kondisi Celia padahal."
"Intan sudah memberitahu kami." Teresa masuk ke dalam, langsung menghampiri Celia. "Sayang, kamu juga demam tinggi," ucapnya ketika merasakan tubuh Celia sangat panas.
"Kecapekan kayaknya, Ma."
Teresa bisa melihat wajah Celia sangat pucat. Kasihan sekali rasanya. "Masih ingin muntah?" tanyanya.
"Sekarang lagi tidak. Tapi, masih mual. Terus tiba-tiba mau muntah."
Teresa mengangguk paham. "Tidak apa-apa. Itu sudah biasa terjadi kepada perempuan hamil muda. Dulu Mama juga seperti kamu."
"Hamil?" Celia tampak tercengang mendengar kata hamil. Antara senang, tapi juga sedih karena belum tahu kepastiannya. Ia takut memberi harapan palsu kepada mereka, terutama Nick.
"Sebentar lagi dokter kandungan yang akan datang. Kamu tidak perlu sedih. Mau beneran hamil atau tidak, kami tidak akan kecewa," bujuk Teresa, seolah paham yang sedang dipikirkan Celia. Terlihat dari raut wajahnya yang ceria, tiba-tiba melesu.
"Kalau sudah tidak ingin muntah, kita ke kamar lagi, ya. Kasihan kamu berdiri terus di sini," pinta Teresa, lalu menatap Nick. "Nick, bopong Celia ke kamar lagi."
"Iya, Ma." Nick menurut. Ia langsung membopong Celia ala bridal.
"Nick, apa benar aku hamil?" tanya Celia lirih, dan sangat berharap.
"Kita belum tahu, Sayang. Tunggu nanti saja setelah diperiksa dokter, ya."
Celia manggut-manggut. Lantas, merebahkan kepala di bahu kiri Nick. Begitu Abista melihat, ia langsung diejek habis-habisan. Dan lagi-lagi, lelaki itu mengaitkannya dengan kenangan sewaktu di kampung. Di mana keduanya masih menjadi Tom and Jerry.
"Mas Abis disuruh keluar, Tante. Aku enggak mau lihat Mas Abis," pinta Celia merajuk, sudah terlanjur kesal dengan lelaki itu.
Abista langsung kelimpungan. "Celia, ngapurone to. Mosok'o tegel ngusir Mas'e?"
Nick langsung menyingkirkan Abista yang akan mendekati istrinya. "Mas, aku sudah jadi pelindungnya sekarang. Jauh-jauh dari istriku."
"Ck! Kalian ini. Aku loh yang jadi saksi keributan kalian. Malah sekarang aku diusir sama kalian. Mas nangis loh, Cel."
"Nangis aja." Celia berkata cuek.
"Makanya to, Bis, ojo diledeki terus." Suci menimpali.
"Gemes, Tante."
Tidak lama, dokter kandungan yang sudah ditunggu kedatangannya pun tiba. Celia langsung diperiksa penuh ketelitian. Setelahnya, perempuan itu diminta untuk melakukan tes urin menggunakan tespek, dan menghasilkan garis dua dalam tespek tersebut. Dokter pun mengumumkan jika Celia benar sedang mengandung sekarang.
Semua bersorak riuh, sangat gembira mendengarnya. Kabar baik yang ditunggu-tunggu, telah menjadi nyata sekarang.
"Saya sarankan, Nona Celia bersedia datang ke rumah sakit untuk melakukan USG. Untuk melihat sudah usia berapa kandungannya," pinta dokter kandungan tersebut.
"Rumah sakit?" Celia yang awalnya gembira, langsung terdiam.
Nick menyadari perubahan sikap istrinya. "Ada aku, Sayang. Jangan takut. Kamu sudah mencoba berani melawan trauma jalanan Jakarta, dan berhasil. Tidak apa-apa. Rumah sakit tidak semengerikan seperti yang kamu bayangkan."
"Tapi, wanita hamil tidak bisa minum sembarang obat, 'kan, dok? Apa saya juga tidak bisa mengonsumsi obat penenang dan depresi saat lagi hamil?"
"Benar. Hanya obat anjuran dari dokter saja yang bisa dikonsumsi ibu hamil. Obat penenang dan depresi memang tidak disarankan, karena memiliki dosis cukup tinggi."
"Niiick." Celia tampak gelisah sambil menggenggam tangan Nick erat-erat. Yang dipikirkan, bagaimana jika rasa traumanya kambuh lagi tanpa ia mengonsumsi obat-obatan itu?
"Kamu bisa. Kamu sudah mencoba lepas dari obat penenang, 'kan?" Nick mencoba membangkitkan kepercayaan diri Celia.
"Saya akan memberi obat anti mualnya. Bisa diminum sekarang. Ada juga obat penurun panas. Kalau Nona Celia sudah merasa lebih baik, bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Tapi, tidak boleh terlalu lelah dan terforsir tenaganya. Untuk mengurangi rasa trauma yang dialami Nona Celia, lakukanlah aktivitas-aktivitas yang menyenangkan. Terus berpikir positif. Dan jangan berpikir yang buruk-buruk, itu bisa mempengaruhi perkembangan kehamilan usia dini," jelas sang dokter, dan mendapat anggukan dari Celia juga Nick.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top