Part 33

"Celia," panggil Nick, setelah memasuki waktu kerja pada siang hari--tepatnya di jam tigaan.

"Iya, Pak Nick."

"Untuk daftar nama yang akan diundang ke acara pesta kita, kamu bisa minta ke Evelyn. Dia yang selalu mengurus daftar-daftar nama tamu yang kuundang setiap ada acara. Terus bawa ke sini, ada beberapa tambahan yang akan kuundang lagi."

"Siap, Pak Nick." Dengan semangat, Celia mengiyakan. Lantas, ia bergegas keluar ruangan. Kesempatan untuk ngerumpi lagi, pikirnya.

"Evelyn." Tanpa embel-embel Kak, Celia memanggil perempuan itu yang langsung membuat Evelyn menciut.

"Ck! Biasa aja kali ngelihat akunya. Kenapa merah gitu mukanya? Memangnya aku mau makan kamu sekarang? Aku mau makan kamunya kalau kamu bikin salah sama aku," ucap Celia, setelah berdiri di depan meja perempuan itu.

"Terus mau apa?" tanya Evelyn.

"Pak Nick mau minta daftar nama yang biasa digunakan untuk mengundang tamu di acara pestanya."

"Untuk?" tanya Evelyn, ingin tahu. Sebab, biasanya ia yang serba tahu soal urusan Nick.

"Ya untuk undangan lah."

"Biasanya Pak Nick ngasih tahu aku kalau ada acara."

"Itu 'kan, dulu, sebelum ada aku. Sekarang urusan dia, sudah menjadi urusanku. Dan sekarang aku diperintahkan untuk meminta daftar nama tamu undangan."

"Oke, oke. Tunggu bentar."

Sambil menunggu Evelyn sibuk mencari buku khusus untuk tamu undangan, Celia menghampiri kubikel Flora dan berdiri di baliknya. "Flora," panggilnya, membuat Flora langsung mendongak.

"Celia." Flora balik memanggil seraya mengulas senyum.

Pun dengan Celia yang tersenyum lebar. "Boleh tanya sesuatu?"

"Apa itu?"

"Selain Lidya yang datang ke sini, ada perempuan lain yang sering mendatangi Pak Nick tidak?" Suara Celia terdengar lirih. Lalu, ia menoleh ke kanan-kiri, berharap tidak ada yang mendengarnya. "Ssstt! Aku dapat perintah dari Tante Resa untuk memata-matai Pak Nick, untuk tahu perempuan siapa-siapa saja yang sedang berusaha mendekatinya. Selain dia juga," bisiknya sambil menunjuk Evelyn menggunakan lidah yang disodokkan ke pipi dalam mulut.

Paham maksudnya, Flora langsung  menoleh ke Evelyn. Lantas, ia tampak berpikir, mengingat-ingat, tidak lama mengangguk. "Ada beberapa. Tapi, aku tidak tahu nama-namanya. Yang kutahu jelas, Lidya, Ellena, Tamara, Abigail, Clancy, Aira. Tapi, yang kelihatan baru Lidya sejak kamu ada di sini."

Celia manggut-manggut. "Alice Cooper. Apa dia pernah datang ke sini?" tanyanya ingin tahu.

Flora kembali mengingat. Lalu, menggeleng. "Aku tidak tahu. Belum pernah denger namanya juga."

"Apa mereka memiliki rumor menyukai Pak Nick dan sedang berusaha mendekati Pak Nick?"

"Kabarnya sih, seperti itu. Tapi, Pak Nick sangat susah diambil hatinya. Mungkin, banyak yang sudah nyerah ngejar Pak Nick sekarang, Cel. Bahkan, aku belum pernah dengar kalau Pak Nick menjalin hubungan spesial dengan seseorang. Awet jomlonya sampai sekarang."

"Memangnya dia kaku banget dulu, ya? Maksudku, dingin gitu orangnya."

"Iya. Tapi, masih ada ramah-ramahnya sedikit. Enggak yang sedingin kulkas. Cuma, kalau marah nakutin banget. Kayak mau makan orang."

"Memangnya dia pernah marah?"

"Dulu sering marah-marah kalau lagi ada masalah di perusahaan. Kayak dari agency advertising yang dapat komplainan buruk dari klien. Dari produksi film yang pemerannya kurang maksimal dalam berakting, soalnya pas ada seleksi akting kurang ketat pemilihannya, jadi satu film itu punya rating buruk. Terus dari program berita yang kadang kurang pas mencari sumber informasi dan pernah dapat rating buruk. Kadang juga dari acara TV yang enggak bermutu, makanya sekarang sudah diganti dengan program wawancara eksklusif pengusaha-pengusaha sukses. Banyak lah. Tapi, dari kemarahannya beliau, membuat kami jadi lebih banyak introspeksi diri. Dan program-progam yang diadakan dari Hernan Corp, terutama di bagian channel televisinya sudah makin maju dan banyak peningkatan positif. Walaupun bagi kami kesalahan-kesalahan itu tidak sebegitu buruk, tapi bagi Pak Nick, ada noda setitik saja jadi masalah besar."

"Celia."

Mendengar panggilan dari Evelyn, Celia langsung berpamitan dengan Flora lantas menuju meja si sekretaris lagi. "Mana?"

"Ini. Ada seribuan lebih yang biasa diundang Pak Nick. Kamu harus mengcopynya untuk diserahkan ke orang yang bikin undangan, dan yang ini disimpan balik. Jangan sampai ilang. Ini aku mgedatanya sampai mata mau juling. Awas aja sampai ilang."

"Siap-siap. Makasih." Setelah mendapatkan buku daftar tamu, Celia kembali masuk ke ruangan Nick lagi.

"Duduk sebelahku. Kursimu bawa ke sini. Harus check lagi nama-nama yang akan diundang, karena beberapa dari mereka sudah ada yang meninggal. Aku tidak ingin mengundangnya," pinta Nick.

Yang membuat Celia langsung mencibir. "Iya kali orang sudah meninggal diundang. Pocong malah yang datang. Terus kamu bisa-bisa kena sawan lagi seperti sebelumnya."

Perempuan itu menarik kursinya, diletakkan di samping kursi kebesaran Nick. "Ada seribuan orang, kamu hafal semua namanya, Nick?" tanyanya sambil mendaratkan bokong di kursinya.

"Iya." Nick mengangguk sambil fokus pada komputernya. Melihat kursi Celia agak jauh, ia menariknya agar lebih dekat. Bahkan sampai nempel ke kursinya. "Kamu baca namanya dari halaman pertama, kalau aku bilang coret, coret," perintahnya.

"Baik, Pak Nick."

Celia meraih bolpoin di meja kerja Nick, lalu bersandar lagi sambil bersiap-siap untuk baca. Dan sesuai perintah sang atasan, ia mulai membaca urutan-urutan nama tamu yang akan diundang. Ketika Nick bilang coret, ia mencoret. Sampai tidak berasa sudah dua jam-an ia melakukan pengecekan nama, dari yang menghilangkan dan menambahkan.

Celia pun berusaha keras menahan kantuk yang sedari tadi terus menguap. Namun, begitu ia selesai mendata nama-nama yang akan diundang, kepala yang sudah terasa sangat berat dan mata sudah tak bisa diajak kompromi untuk tetap terbuka, ia langsung menjatuhkan kepala di meja kerja Nick.

Sementara, Nick yang melihat, mengulas senyum. Ia paham istrinya kelelahan. Melihat posisi tidur Celia yang kurang nyaman, ia membetulkan posisi kursi perempuan itu menjadi menghadapnya. Lalu, ia mengangkat kedua kaki Celia agar bisa berselonjor di atas pahanya.

"Tidur dulu, tidak apa-apa," ucap Nick sambil berbisik, lalu ia mengecup pipi dan kening Celia cukup lama seraya mengusap-usap lembut kepalanya.

Sampai jam enam sore, Celia masih tertidur pulas. Sedangkan, para karyawan sudah ada yang bubar dari jam limaan tadi. Kecuali, karyawan yang melakukan lembur, masih berada di kantor. Biasanya, ia juga sering lembur jika banyak laporan-laporan perusahaan yang harus diselesaikan dalam sehari. Dan sampai jam sepuluh malam baru keluar dari perusahaan.

Tidak berselang lama, Nick melihat Celia menggeliat. Perempuan itu perlahan membuka mata, lalu mengerjap berulang kali untuk menyadarkan diri. Begitu melihat kondisi luar sudah menggelap, Celia langsung beranjak duduk tegak.

"Nick, aku ketiduran. Kok kamu gak bangunin? Sekarang sudah malam," ucap Celia tampak gelisah. Ia bergegas berdiri. Baru saja akan melangkah, Nick menariknya dan membuatnya terjatuh ke pangkuan lelaki itu.

"Sayang, Sayang, tenang. Jangan gelisah. Relaks dulu. Tidak apa-apa. Masih jam enam lebih, dan belum malam. Aku sudah terbiasa di kantor sampai jam sepuluhan."

Mendengar itu, Celia mulai agak lega. Lalu ia kembali merebahkan kepala di dada Nick sambil mengalungkan salah satu tangannya di leher lelaki itu. "Tidurku kayak enak banget tadi. Sampai ngimpi enggak jelas," adunya.

"Aku tahu. Makanya tidak membangunkanmu," balas Nick sambil mendekap kepala Celia dan mengusap-usapnya lembut. Lantas, ia mendaratkan kecupan di kening sang istri.

"Aku belum memfotokopi daftar undangannya."

Napas Celia yang menerpa kulit Nick, terasa hangat dan menenangkan. Tapi, membuat lelaki itu bergidik sampai bulu kuduknya berdiri. "Bisa kita lakukan di apartemen. Aku punya mesinnya. Besok pagi sebelum berangkat ke kantor, kita ke rumah Mama dulu untuk menyerahkan daftar undangan dariku."

Mendapat anggukan dari Celia yang kini terpejam lagi.

"Kita langsung pergi ke bandara saja, jemput Kak Chloe. Dia akan tiba jam sembilan. Mama-Papa juga akan menjemput, terus sekalian makan malam bersama mereka."

Celia mengangguk lagi. "Jam berapa kita pergi?"

"Jam setengah delapanan. Kalau masih ngantuk, lanjut tidur saja. Aku sambil nyelesaiin kerajaanku."

"Oke." Celia akan beranjak, dan ditahan lagi oleh Nick.

"Duduk di sini saja. Tidak akan ada karyawan masuk, mereka sudah pada pulang."

"Kamu kesusahan nanti."

"Tidak, Sayang," balas Nick, kembali mendaratkan kecupan di pipi sang istri.

Akan tetapi, Celia tidak bisa tertidur pulas seperti tadi. Yang dilakukan hanya terpejam. Salah satu tangan yang menangkup leher Nick, ibu jarinya tak bisa diam. Aktif mengusap-usap kulit leher serta jakun lelaki itu, yang membuat Nick mulai terangsang.

Entah lah, Nick merasa, gairahnya gampang terpanggil setiap mendapat sentuhan-sentuhan penuh arti dari Celia. Ditambah lagi dengan Celia terus mengecupi leher dirinya.

"Celia." Suara Nick terdengar berat.

"Hmm."

"Sengaja menggodaku?" tanya Nick sambil menahan gairah yang semakin mendesak.

"Tidak." Perempuan itu menggeleng polos. "Suka saja ngusap-usap lehermu. Sama suka mencium aroma parfummu di leher. Masih awet banget wanginya. Bikin tenang."

"Tapi, kamu membangunkan milikku, Sayang."

Celia langsung menjauhkan kepala dari leher Nick. Ia juga menghentikan usapan lembut dari ibu jarinya. "Aku merasakannya," ucapnya jujur. Kini, gairah itu telah merasuki dirinya.

Keduanya saling beradu tatap dengan pandangan telah tertutup kabut nafsu. Sama-sama merasakan kedutan di bawah perutnya, dan keduanya saling menginginkan.

Nick mengubah posisi duduk Celia menjadi mengakang menghadapnya. Saling mencumbu satu sama lain dan membuat keduanya semakin tidak untuk melakukan penyatuan. Akan tetapi, Nick tidak ingin terburu-buru. Ia ingin membuat istrinya tersiksa menahan gairah. Ia pun masih terus melanjutkan cumbuan yang kini telah membuka seluruh kancing blus Celia.

Nick mengecupi leher Celia, merambat ke dada, lalu ke perut perempuan itu yang masih rata dan putih mulus. Sedangkan, salah satu tangannya aktif meremas payudara sang istri penuh kelembutan.

Desahan lembut terus keluar dari mulut Celia sembari meremas rambut Nick kuat-kuat untuk menyalurkan gairahnya yang semakin menyiksa. Tubuh pun ikut bereaksi, terus menggelinjang seakan memberitahu Nick jika dirinya sudah sangat menginginkan.

"Niick," panggil Celia, di tengah desahannya saat tangan Nick berpindah ke area sensitifnya.

"Iya, Sayang."

Celia sudah seperti orang gila yang terus menggeliat dan menggelinjang sambil terus mendesah. Ia menegakkan punggung, mendekap Nick erat-erat sambil terus meremasi rambut belakang lelaki itu. Untuk meredam desahannya yang terdengar semakin keras, ia langsung mencium bibir Nick. Melumatnya dalam dan cukup lama.

"Nick." Celia memanggilnya lagi di tengah desahannya. Ia benar-benar sudah tidak tahan.

Melihat sang istri yang sudah sangat tersiksa juga dirinya yang sudah tidak sabar, Nick membopong Celia lantas membawanya ke kamar rahasia di belakang meja kerjanya dengan pintu yang dikamuflase sebagai lemari pajangan. 

Setibanya di kamar yang memiliki ranjang queen size tempat biasa ia beristirahat tidur, Nick merebahkan Celia penuh kehati-hatian. Keduanya masih melakukan cumbuan yang semakin panas dan tak tertahankan. Sebelum akhirnya, keduanya melakukan penyatuan yang terasa begitu nikmat dan saling memuaskan.

"Sepreinya?" tanya Celia sambil melihat seprei yang berantakan karena ulahnya dan Nick. Kini, keduanya sudah berpakaian rapi lagi, setelah selesai membersihkan diri di kamar mandi yang bersebelahan dengan kamar.

"Urus besok saja, Sayang. Sekarang kita harus pergi ke bandara," jawab Nick seraya merapikan jas.

"Kayaknya sudah telat. Cukup lama kita melakukannya, include dengan bersih-bersih dirinya juga."

Nick langsung mengecek Rolex yang sudah terpasang di pergelangan tangan kirinya. "Masih jam delapan lewat dikit. Masih punya waktu. Ayo."

Celia manggut-manggut. Ia langsung merengkuh Nick, dan mendapat balasan rengkuhan sekaligus kecupan sayang di puncak kepalanya. Lalu, keduanya keluar bersama-sama dari kamar rahasia.

***

"Waah, Uncle sama Aunty-mu belum datang juga. Benar-benar mereka, ya. Kita sudah menunggu lebih dari sepuluh menitan ini, Dek," ucap Chloe, kepada anaknya perempuannya yang sudah dalam gendongan sang nenek, masih usia delapan bulan.

"Pengantin baru kadang suka lupa waktu. Suka ngulur-ngulur waktu," balas Teresa sambil tergelak.

Namun, tidak lama, yang ditunggu-tunggu pun tiba. Nick langsung memeluk kakaknya juga memeluk sang ipar. 

"Senang bisa bertemu denganmu lagi, Kak. Aku sangat merindukanmu," ucap Celia sembari memeluk Chloe. Dan mendapat balasan pelukan erat dari perempuan berparas ayu itu.

"Akhirnya, doaku terkabul kamu bakal jadi iparku, Celia. Firasatku tidak melesat kalau kamu dan Nick sebenarnya saling mencintai." 

Celia mengulas senyum malu-malu. "Tapi, kan, dulu malu kalau mau ngakuin. Apalagi Nick sok-sokan benci sama aku."

"Ternyata diam-diam memendam cinta, 'kan?" Chloe tergelak sambil mengurai pelukan. Lalu, ia menatap sang suami. "Beib, ini Celia. Gadis yang pernah kuceritakan kepadamu," ucapnya.

"Hello, Celia. Salam kenal." Jeff, suami Chloe mengulurkan tangan kanannya. Meskipun seorang bule tulen, lelaki itu sudah faseh berbahasa Indonesia.

"Salam kenal juga, Kak." Celia membalas uluran tangannya. Tidak lama, perhatian teralihkan ke bocah kecil dalam gendongan Teresa. "Clara. Iiih, gemoy banget. Pipi strawberrynya bikin gemeees," ucapnya sambil menahan rasa gemas kepada bocah perempuan itu.

"Tapi, lebih gemesin aku, 'kan, Cel?" Nick langsung menyahut.

"Ya ampun, Nick. Cemburu aja sama ponakanmu. Tetap gemesan anakku lah."

"Kak, boleh gendong?" pinta Celia, kepada Chloe.

Perempuan itu mengangguk. "Boleh. Tapi, biasanya dia susah diajak sama orang yang belum pernah dilihat. Tapi, coba aja. Mau gak sama kamu."

Celia langsung menghampiri Teresa, memberi candaan-candaan kepada Clara yang berhasil membuat bocah itu terkekeh renyah.

"Mau ikut Aunty Celia?" tanya Teresa kepada sang cucu. Celia sudah mengulurkan kedua tangan. Dan terkejut begitu melihat sang cucu juga mengulurkan tangan, mau digendong Celia.

"Gemeees. Ya ampun, pipinya. Rasanya pingin aku makan," ucap Celia, benar-benar ingin menggigit pipi gembul sang keponakan rasanya.

"Bentar lagi kamu juga punya, Sayang." Teresa menyahut lembut.

"Kalau modelannya seperti Clara, pipinya habis kumakan sepertinya, Ma." Celia tergelak. Saat tiba-tiba tangan mungil itu nemplok di hidungnya, ia terkesiap.

"Bakal Mama amankan di rumah Mama."

Sesaat kemudian, mereka berlalu dari tempatnya lantas menuju mobil Nick dan Harden, dengan Clara masih dalam gendongan Celia.
















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top