Part 31
Dress putih tanpa lengan memiliki model halterneck dan panjang seatas lutut, terlihat sangat pas di tubuh Celia. Perempuan itu sudah berulang kali mengecek penampilan diri di depan cermin yang membentang lebar di atas wastafel kamar mandi, sambil menoleh ke kanan-kiri untuk memastikan jejak-jejak kemerahan di dadanya tak terlihat. Nick yang baru selesai berganti baju pun menghampiri dirinya, lalu sama-sama berdiri di depan wastafel.
"Sini aku kuncirin." Nick mengambil alih aktivitas Celia yang sedang mengumpulkan rambut untuk dikuncir kuda. Dengan penuh perhatian, lelaki itu mengumpulkan rambut Celia, menyisirnya menggunakan jari-jari tangan. Setelah terkumpul, ia meminta ikat rambut dari sang istri.
"Sudah," ucap Nick.
Celia manggut-manggut mengiyakan sambil menoleh ke kanan-kiri. "Makasih, Sayang." Ia menatap Nick dari pantulan cermin seraya mengulas senyum. Sedetik kemudian, ia berbalik. "Ayo, turun sekarang."
"Ayo." Sambil berlalu dari toilet, Nick meraih tangan Celia untuk digenggam. Namun, setelah keluar dari kamar, ia langsung membopong Celia ala bridal yang mendapat penolakan dari sang istri.
"Nick, turunin. Malu sama Papa-Mama," ucap Celia agak memberi tekanan.
Lelaki itu tampak tak acuh. Masih terus melanjutkan langkah, tidak lama menuruni tangga. "Biarin. Mereka juga pernah muda dan pernah merasakan rasanya jadi pengantin baru."
"Nick, turunin." Wajah Celia sudah meremang merah. Tubuh terasa panas-dingin dan sangat malu. Untuk menyembunyikannya karena Nick masih bebal tetap membopongnya, ia menyembunyikan wajah di ceruk Nick.
"Hmmm, pengantin baru. Maunya romantis-romantisan terus," goda Teresa, yang melihat Nick membopong Celia. Terlihat mesra keduanya. Dan ia suka mendapat pemandangan seperti itu.
"Ma, jangan digoda. Tidak tahu apa, wajah istriku sudah merah seperti kepiting rebus," tegur Nick sambil terkekeh.
Sementara, Celia langsung menggigit leher lelaki itu saking kesalnya mendengar ucapan sang suami.
"Duuuh, kepitingnya malah mencapit leherku, Ma," adu Nick, mengernyit kaget. Tetapi, justru mendapat gelak tawa dari Teresa dan Harden.
"Turunin, Nick," pinta Celia, semakin tak punya muka rasanya.
Nick masih melangkah santai menuju ruang makan, tak ada niatan untuk menurunkan Celia. Harden dan Teresa pun mengikutinya dari belakang.
"Dulu saja, Mamamu sama manjanya seperti Celia, Nak. Maunya dibopong terus. Pokoknya tidak bisa lepas dari Papa," kelakar Harden, yang langsung mendapat tatapan dari sang istri yang berjalan di samping kanannya.
"Harden, kamu yang tidak bisa lepas dariku. Kamu juga selalu nempel-nempel denganku. Aku ke kamar mandi, ikut. Aku di dapur, ikut. Aku ke kamar, ikut."
Nick menurunkan Celia setelah tiba di meja makan. Lalu, ia menarik kursi untuk sang istri. "Duduk, Sayang," pintanya.
Celia menurut. Langsung mendaratkan bokong di kursi yang ditarik Nick, lalu dibuat terkejut saat Nick tiba-tiba mengecup pipi kanannya. Lelaki itu, blak-blakan sekali bermesraan di depan orang tuanya.
"Ternyata laki-laki kalau sudah bucin, lebih bucin dari kita yang perempuan, ya, Ma."
"Benar, Celia. Awal-awalnya sok dingin, sok nolak, ternyata sedang menunggu momen yang pas." Teresa tergelak sambil mendaratkan bokong di kursi yang biasa ia duduki.
"Loh, jangan salah ya, Celia. Dulu Mama kamu yang suka memaki Papa. Suka mukul. Suka ngajak ribut. Ternyata hanya untuk menyembunyikan perasaan cintanya kepada Papa."
"Ya Tuhan, Papa. Nasib kita sama ternyata." Suara Nick terdengar sangat semangat. "Aku juga jadi korban kejahilan Celia selama di kampung. Mana pas makan malam di luar dan ngelewatin pemakaman, dilihatin penampakan pocong. Ulah Celia yang jahil duluan."
Teresa yang mendengar cerita Nick, langsung tertawa lepas. Dengan Celia, ia memang memiliki kecocokan sifat yang kuat. "Begitu lah perempuan. Harus memiliki pendirian kuat, mampu bela diri, dan tidak mudah diremehkan. Benar bukan, Celia?"
Celia mengangguk setuju diiringi kekehan. "Iya, Ma."
Keempatnya mulai sibuk dengan makanannya sendiri dan beralih dengan obrolan santai. Setelah selesai, mereka bersama-sama pergi ke butik wedding dress yang sudah melakukan perjanjian antara Teresa dan sang desainer. Setibanya di sana, Celia pun langsung ditodong banyak pertanyaan konsep wedding seperti apa yang akan dipilih agar sang desainer bisa mencocokkan dengan gaun yang harus dikenakan. Namun, bukan Celia menjawab, melainkan Teresa. Perempuan itu bahkan meminta sang desainer untuk mengeluarkan wedding dress terbaik yang dimilikinya. Sebab, jika harus membuatnya secara khusus, akan menunggu waktu cukup lama. Sampai berbulan-bulan dan itu akan memperlambat acara pesta pernikahannya.
"Baiklah. Mari ikut saya ke ruangan wedding dress yang sudah saya siapkan secara ekslusif. Biasanya, costumer yang tidak ingin menunggu lama seperti Nyonya Teresa, mereka bisa memilih wedding dress yang sudah siap pakai. Namun, itu tidak kalah bagus dan mewahnya. Karena kami masih menjaga keeleganan dan kualitas terbaik dari wedding dress tersebut," ucap sang desainer wedding dress, sudah cukup terkenal sampai kancah internasional.
Keempat orang itu pun mengikutinya. Mereka menuju lantai tiga letak wedding dress disimpan rapi dalam ruangan besar dan luas. Begitu memasuki ruangan tersebut, Celia dibuat terpana oleh pajangan-pajangan wedding dress yang dipasang di boneka manekin, berjejeran dengan jarak beberapa meter, dan wedding dress itu terlihat begitu mewah. Ballgown yang mengembang lebar, memiliki ekor kain yang panjang, beberapa ada yang gemerlapan karena terbuat dari kain glitter, ada juga yang full Swarovski bercampur payet-payet.
"Kamu suka yang mana?" tanya Nick, kepada Celia.
Perempuan itu menggeleng bingung. "Tidak tahu. Semuanya bagus dan mewah."
"Coba semuanya saja," usul Nick, membuat Celia langsung melongo.
"Semuanya? Nick, gila aja! Itu lebih dari sepuluh. Dan besar-besar. Tega banget mau bikin istrinya kelelahan." Celia merajuk.
"Kalau gitu, biar aku yang memilihkan untukmu."
"Jangan semuanya," pungkas Celia.
"Tidak, Sayang. Aku akan memilihkan yang terbaik untukmu."
Celia mengangguk patuh. Lalu, membiarkan Nick yang melihat-lihat setiap wedding dress itu secara detail. Memutarinya sambil memerhatikan dari atas sampai bawah. Sedangkan, Celia bergabung dengan Teresa. Memberitahu perempuan itu jika Nick yang akan memilihkan untuknya.
Cukup lama Nick berkeliling di antara wedding dress yang terpajang. Dari ujung sampai ke ujung. Setelah selesai, ia kembali berkumpul dengan yang lainnya. Lalu, menunjuk tiga gaun yang menurutnya paling bagus dan cocok untuk sang istri.
Sang desainer pun meminta Celia untuk mencobanya. Begitu menemukan yang paling cocok di tubuh Celia, semua menujui untuk mengambil wedding dress tersebut. Lantas, berlanjut membicarakan tanggal acara diadakan dan melakukan pembayaran secara lunas di hari itu juga.
"Boleh minta satu permintaan pas di acara pesta pernikahan tidak, Nick?" pinta Celia sambil mengayunkan kaki keluar butik, setelah semua urusan selesai.
"Apa, Sayang?"
"Boleh ngundang Camellia Prahaswari?"
"Kamu mau?"
Celia manggut-manggut semangat.
"Boleh. Nanti biar kuatur."
Celia bertepuk tangan kecil sambil mengulas senyum lebar. "Makasih, Nick," ucapnya sambil mencubit pipi kanan-kiri lelaki itu sembari melangkah ke belakang.
Harden dan Teresa yang sudah sampai di mobil, geleng-geleng heran melihat tingkah kedua anaknya yang menggemaskan.
"Sayang, Mama dan Papa masih ada urusan lain. Kami pergi duluan, ya," ucap Teresa, yang akan melanjutkan meninjau beberapa tempat untuk acara pesta pernikahan. Ia sengaja tidak ingin mengajak anaknya agar mereka tidak memikirkan berapa banyak biaya yang dikeluarkan.
"Iya, Ma. Kami langsung pulang ke apartemen kalau gitu," balas Nick sembari menghampiri kedua orang tuanya.
"Hati-hati di jalan, Ma, Pa." Celia memeluk Teresa dan Harden secara bergantian.
"Kalian juga hati-hati," balas Teresa, dan mendapat anggukan dari kedua anaknya. Lantas, ia segera memasuki mobil, pun dengan Harden.
Setelah kepergian orang tuanya, Nick dan Celia pun memasuki mobilnya lantas segera meninggalkan pelataran butik. Masih di perjalanan, ponsel Nick berdering. Celia yang mengeceknya, hanya tertera nomor tanpa nama.
"Paling orang iseng," ucap Nick, santai. Sebab, sering sekali ia mendapat telepon dari nomor yang tak dikenalnya.
Celia meletakkan ponsel Nick di kotak penyimpanan lagi, tapi ponsel lelaki itu kembali berdering. Celia mengeceknya lagi.
"Masih nomor yang sama. Siapa tahu penting, Nick," ucap Celia sambil menatap lelaki itu.
"Coba diangkat, Sayang," perintah Nick.
Celia mengangguk patuh. Lantas, menggeser tombol terima. "Hallo," sapanya.
"Hallo."
Itu suara perempuan. Pasti salah satu dari banyaknya perempuan yang ingin mendekati Nick, pikir Celia. Namun, ia tidak ingin berprasangka buruk lebih jauh lagi, lalu bertanya, "Maaf, ini siapa, ya?"
"Alice Cooper. Kamu siapa? Apa Nick ada?"
Celia mengernyit. Tidak asing nama perempuan itu. Seperti pernah mendengar, tapi lupa.
"Siapa, Sayang?" tanya Nick, penasaran.
"Alice Cooper, katanya," jawab Celia sambil menjauhkan ponsel dari telinga, tapi benak masih sibuk memikirkan nama perempuan itu.
Sementara, Nick langsung menegang. Namun, sedetik kemudian, ia bisa mengubah ekspresinya menjadi tenang kembali. "Matikan saja. Aku tidak tahu siapa dia."
"Oke." Celia manggut-manggut. Sebelum mematikan, ia berbicara kepada perempuan di seberang sana lagi, "Maaf, Nona. Pak Nick sedang tidak ingin diganggu. Saya matikan teleponnya, ya."
Tanpa berpikir lama, Celia langsung memutuskan sambungan telepon. Lalu, meletakkan ponsel ke kotak penyimpanan lagi. "Tapi, itu seperti nomor luar negeri, Nick," ucapnya, saat teringat deretan nomor yang tidak diawali dengan angka 08 sekian-sekian. Tapi, dengan awalan angka +39.
Celia bergegas mengecek kode nomor telepon tersebut dari Google ponselnya. Hasil pencarian mengatakan, itu kode nomor telepon dari Italia.
"Dari Italia. Ternyata kamu cukup terkenal sampai ke sana, ya." Celia tergelak, tapi sedetik kemudian berhenti saat mengingat dan ia bertanya serius, "Atau sebenarnya dia ingin mengajak kerja sama dengan perusahaan kamu, Nick?"
"Bisa jadi." Nick manggut-manggut. "Biarkan saja. Jangan dipikirkan. Kalau butuh banget, dia akan menelepon lagi."
"Oke." Celia menurut, lantas mengalihkan pembicaraan dengan mengobrolkan hal-hal random.
Setibanya di apartemen, keduanya duduk-duduk santai di sofa ruang tamu dan masih diiringi dengan obrolan yang asal keluar dari mulutnya masing-masing. Televisi menyala, tapi tidak begitu diperhatikan. Terlebih lagi saat Nick mengangkat tubuh Celia dan mendudukkannya di pangkuan menghadap dirinya, televisi itu hanya menjadi penonton saja sekarang.
Di sela-sela obrolan, tangan Celia sibuk memainkan rambut Nick, diusap-usap, disisir menggunakan jari-jarinya. Lalu, tangan itu beralih menangkup wajah Nick sambil menguyel-uyelnya dengan gemas, sesekali menekan-nekannya, lantas dikecup-kecup berulang kali.
"Milikku, milikku, milikku, milikku. Semuanya milikku," ucap Celia sambil memberi kecupan di seluruh wajah Nick, setelah dari tadi mengecup pipi kanan-kiri suaminya berulang kali dan dengan perasaan penuh kegemasan.
Lelaki itu pasrah saja wajahnya dijadikan mainan Celia. Tapi, tidak lama, beralih dirinya yang memberondong banyak kecupan di seluruh wajah Celia sampai ke leher-lehernya. Gelak tawa kegelian pun meledak dari mulut Celia.
"Enaknya nikah langsung pisah tempat tinggal gini, ya. Bisa romantis-romantisan sepuasnya, tidak ada yang melihat, dan tidak ada ngeledek-ledek. Coba kalau ada Mas Abis dan Mbak Intan, sebulan penuh kayaknya jadi bahan ledekan mereka," ucap Celia sambil merebahkan kepala di dada Nick.
"Gantinya Mama sama Papa."
"Exactly! Kayak tadi. Malu banget tahu. Kalau cuma berdua sih, serangan fajar lewaaat!"
"Tidak bisa menikmati kemanjaan istriku juga." Nick mendekap Celia erat-erat sambil menggoyangkan tubuhnya ke kanan-kiri dengan gemas. Kecupan-kecupan singkat pun ia daratkan di kening Celia.
***
Keesokan pagi, hal pertama yang membuat Celia merasa malas datang ke kantor adalah bertemu si curut Erick. Tapi, teringat ucapan Nick dirinya harus berani menghadapi lelaki itu, ia berusaha keras menahan emosinya agar bisa terkontrol dengan baik.
Kejutan pertama pun datang. Berita tentang dirinya dan Erick yang pernah memiliki hubungan serius, telah tersebar luas. Bahkan, yang mereka tahu, dirinya datang ke Jakarta dan bekerja di perusahaan Hernan Corp, adalah bentuk pelarian dari pernikahannya yang gagal. Selain itu, yang mereka tahu, kedatangan Erick ke perusahaan Hernan Corp juga atas dasar perjuangan untuk mendapatkannya kembali.
Celia ingin muntah saat teman-teman selantainya membicarakan itu di hadapan dirinya. Verrel yang merasa tersaingi, langsung mengajukan diri untuk memasang badan kepada dirinya.
"Dia itu udah gila. Ndak punya malu. Udah bikin malu keluargaku pas di hari pernikahan kami, terus seenak jidat ingin balikan sama aku lagi? Idiih! Ogah. Ndak sudi banget. Memangnya kalian mau kalau digituin sama pasangan kalian?" ucap Celia, sangat kesal. Ia baru saja dari toilet. Bukannya langsung masuk ke ruangan, ia malah sibuk ngerumpi setelah langkah dihentikan oleh karyawan-karyawan yang memberi informasi gosip terbaru di perusahaannya. Padahal masih di jam setengah sepuluh.
"Celia, jangan belagu deh, jadi perempuan. Lihat dari sisi baiknya, dia sudah berusaha keras mengejarmu sampai ke perusahaan ini."
Celia langsung menatap Evelyn. "Kakak, mau ta sama dia? Ambil saja enggak apa-apa. Mungkin kalian jodoh. Sama-sama memiliki sifat yang rada-rada," ucapnya, lantas masuk ke ruangannya. Ia masih ngedumel tidak jelas yang membuat Nick langsung menatapnya.
"Kenapa? Ada yang jahilin lagi?"
Celia menggeleng sambil mendaratkan bokong ke kursi kerjanya. "Gosip aku pernah menjalin hubungan serius dengan Erick sudah tersebar. Dan dengan pedenya si curut itu mengatakan ingin balikan sama aku. Gagar otak keknya dia. Udah tahu aku dan kamu suami-istri. Masih bebal juga. Minta ditempeleng itu kepalanya, biar otaknya kembali normal," ucap Celia sambil mengepalkan salah satu tangannya di atas meja.
"Lakukan saja kalau kamu mau. Biar dia tidak ngelunjak," balas Nick diiringi kekehan.
"Pasti." Celia manggut-manggut, matanya menyipit. Sudah tidak sabar ingin menjadikan Erick sebagai samsak hidupnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top