Part 3

Sial! Datang sebagai tamu undangan, malah jadi pengantin dadakan.

Nick mengumpat dalam hati sambil terdiam anteng karena sedang didandani oleh penata rias pengantin Jawa. Jika bukan karena balas budi dan melihat mamanya yang ikut bersedih, tidak mau dirinya menikah dengan Celia. Si bocah pecicilan yang selalu mengerjai dirinya, sewaktu kecil saat bermain bersama.

"Mas Nick, baju pengantinnya bisa dipakai sekarang," ucap sang penata rias, setelah selesai meng-make up Nick.

Nick menurut saja. Ia beranjak berdiri, lalu dengan gesit dua asisten dari si penata rias membantunya memakaikan jarik batik, membalut bagian dada ke bawah. Tidak hanya itu, di bagian perut masih dibalut dengan kain hitam yang tidak ia ketahui apa namanya, dipasang dengan sangat kencang sampai membuat dada dan perut terasa agak sesak.

"Ndak rugi Mbak Celia ora sido rabi ambek Erick. Calon nganten seng iki luwih-luwih guantenge. Awak duwure koyo model. Artis ketok'e."

Nick tidak tahu mereka membicarakan apa. Tapi, mendengar nama Celia dan Erick disebut, mungkin mereka sedang membicarakan pembatalan pernikahan mereka.

"Coro aku dadi Mbak Celia, untung banget iki. Entok bojo gagah kongene. Yakin, tak kudang-kudang tiap wektu."

Kedua asisten penata rias itu terkikik. Tapi, justru membuat kepala Nick ingin pecah mendengar obrolannya, karena tidak paham bahasa mereka dan terasa bising di otaknya.

"Mas Nick, terlalu sesak ndak?" tanya salah satu asisten penata rias itu, selesai memasangkan stagen.

"Tidak begitu," balas Nick singkat.

"Ya Allah, suorone surgo dunyo akhirat tenan," puji salah satu dari mereka, saat mendengar suara serak-serak basah Nick yang terdengar berat. Sambil merias, mereka sudah biasa melontarkan candaan-candaan dengan memuji para calon pengantinnya, terkadang juga menggoda kedua calon pengantinnya untuk membuat suasana tidak begitu hening.

"Dikasih apa lagi ini?" tanya Nick penasaran, saat asisten penata rias membalut perutnya dengan kain lain.

"Ini namanya sabuk cinde, Mas Nick. Kalau yang pertama tadi, yang polosan, namanya stagen."

"Beda, tapi sama fungsi, ya?" ucap Nick sambil manggut-manggut paham.

"Benar. Lalu, dieratkan lagi dengan sabuk epek timang."

'Cukup menarik,' batin Nick. Selesai mereka memakaikan jarik batik dan sabuk, kini ia dipakaikan rompi dan jas serba putih. Lalu, diberi aksesoris lainnya yang cukup asing untuk dirinya. Yang ia tahu hanya kalung bunga melati asli, blangkon, dan keris yang diselipkan di belakang pinggang.

Sementara, di lain tempat, Teresa dan Harden baru selesai dirias adat Jawa dengan Teresa dipakaikan kebaya dan Harden pakaikan beskap. Sebagai orang tua dari mempelai pria secara dadakan, mereka mendapat perundingan dari pemandu berjalannya acara berlangsung. Bukan hanya keduanya, tetapi juga Irawan dan Suci.

Bahkan, sang pemilik acara meminta para tetangganya yang sudah berpakaian rapi dengan pakaian terbaik mereka, menjadi pengiring dari mempelai prianya.

Beberapa menit kemudian, Nick dikeluarkan dari kamarnya. Lelaki itu berjalan agak kesusahan karena langkahnya yang tidak bebas tertahan oleh balutan jarik.

Orang-orang yang ada di ruang keluarga, dan yang dari arah dapur juga ruang keluarga, berbondong-bondong untuk melihat calon sang pengantin pria. Mereka menatapnya penuh takjub. Matanya berbinar dengan senyum tersungging lebar. Mulut saling bersahutan memuji ketampanan lelaki yang tubuhnya sudah terbalut pakaian pengantin adat Jawa.

"Ngantene koyo model."

"Ganteng tenan, yu."

"Biyooh, biyooh, Mbak Suci entok mantu londo."

"Lhayo sejajar mbek Mbak Celia. Mbak Celia yo isek ono campuran londone."

"Wes! Rabi tenan iki. Ndak sido galau Mbak Celia. Untung ono gantine sing luwih bagus."

"Untunge mbarang bocahe gelem, yu."

"Mesti geleme to ya. Mbak Celia uwayu ngono kok."

Nick mendengar bisik-bisik yang semakin membuatnya pusing. Ia seperti masuk ke planet lain karena bahasa yang mereka gunakan susah dipahami. Memang benar. Indonesia ini memiliki banyak suku dan bahasa. Bukti dari Bhinneka Tunggal Ika.

"Nick," panggil Teresa yang juga baru keluar dari kamar lain bersama Harden, Irawan, Suci, dan keluarga Celia lainnya.

"Ma." Nick menatap mamanya yang melangkah mendekat. Sangat cantik dengan balutan kebaya serta make up yang tidak begitu tebal. Masih terlihat natural.

"Ganteng banget kamu," puji Teresa sambil mengulas senyum lebar, melihat anaknya seperti mas-mas Jawa. Setibanya di hadapan Nick, ia menangkup sebelah wajah sang anak dan mengusapnya lembut. "Terima kasih, Nick." Senyum bahagianya terlihat begitu haru.

Nick manggut-manggut sambil membalas senyum tipis. Tidak lama, ia dan kedua orang tuanya diarahkan keluar menuju jalanan depan rumah oleh sang pemandu berjalannya acara. Ia juga diberitahu harus melakukan apa dan harus bagaimana. Yang lebih mengejutkan, banyak orang yang sudah menunggunya di sana sebagai pengiring dirinya saat akan memasuki ruang dekorasi.

Celia sendiri masih disembunyikan di kamarnya bersama para bridesmaid yang menemani. Gadis itu akan dikeluarkan dari kamarnya setelah mendapat arahan. Meskipun semua serba dadakan, acara pernikahan itu terasa begitu sakral. Begitu mendebarkan.

"Edan to iki. Aku ndak sido rabi mbek Erick, tapi iso-isone jantungku deg-degan ngene. Kemranyas rak karuan atiku," ucap Celia sambil memegangi dadanya yang berdebaran tak keruan. Saat penata rias bersama dua asistennya masuk ke kamar dirinya, ia semakin dibuat nerves rasanya.

"Sudah siap semua, Bu?" tanya Celia, ingin tahu.

"Sudah, Mbak. Kita turun sekarang, ya," pinta penata rias tersebut. Sebelum berlalu, ia mengecek tatanan rias Celia lebih dulu dari sanggul, cunduk mentul, make up, bunga melati, juga baju kebaya putih full payet yang terasa berat dan padat sehingga bisa memperlihatkan lekuk tubuh sang pengantin yang memiliki tubuh tinggi, perut ramping, dan langsing.

"Weee, cah, musik jowo seng paling larang wes dimunikke," seru Salwa, begitu mendengar musik Kebo Giro yang selalu diputar sebagai penanda bahwa pengantin telah tiba.

Salwa masih mengintip kondisi luar dari jendela kamar Celia, yang langsung tertuju ke jalanan utama dengan jarak cukup jauh. Sebab, halaman depan rumah Celia yang sangat luas, terpasang teratak yang dalamnya sudah didekorasi mewah bak di dalam ballroom hotel.

"Ayo, Mbak." Sang penata rias menuntun Celia keluar kamar, diikuti yang lain. Langkah gadis itu sangat irit, lebih irit dibanding Nick. Karena balutan jarik bagian bawahnya lebih lancip sehingga membuatnya susah mengambil langkah.

"Bisa, Mbak?" tanya sang penata rias ketika akan menuruni tangga.

Celia menggeleng. "Takut jatuh," gumamnya yang masih diam berdiri sebelum kaki menginjak tangga.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, penata rias itu meminta asistennya untuk memanggilkan salah satu kerabat Celia yang laki-laki. Opsi lain yang dipilih, meminta tolong mereka untuk membopong Celia turun.

Tidak lama, seorang laki-laki muda bertubuh kekar datang. Abista namanya. Anak dari budhenya Celia.

"Cah cilikku sing paling ayu dewe, kok wes meh dadi bojone uwong to," ucap Abista sambil menggendong Celia menuruni tangga.

"Lhayo bojone uwong to, Mas. Mosok'o dadi bojone hewan," celetuk Celia, yang mengalungkan kedua tangannya di leher Abista.

"Tapi nek isek dirabi Erick yo dadi bojone nganu to."

"Wes to. Ojo ngomong jenenge cah kuwi maneh. Sebel ngerti, rak?" Celia memberengut. Rasa nerves tiba-tiba berkurang. "Aku ayu-ayu ngene malah diselingkuhi mbek LC. Semprol tenan kok," umpatnya kesal.

"Wong lanang kurang bersyukur jenenge. Ngerti rak?"

"Emang." Celia manggut-manggut setuju. "Sampeyan ojo mbok tiru dadi wong lanang seng kurang ajar lho yo."

"Yo rak bakal." Abista berkata mantap.

Celia ingin melanjutkan obrolan, tapi Abista sudah lebih dulu sampai di lantai bawah dan menurunkan dirinya. Sambutan pujian penuh kebahagiaan dari orang-orang yang ada di sana pun memenuhi kedua telinganya yang membuat dirinya kembali sangat nerves.

Celia dituntun sang penata rias menuju ruang tamu. Keluarga gadis itu sudah menunggunya di sana, lalu menyerahkannya kepada Suci dan Kirani--mamanya Abista. Mereka masih menunggu pidato sambutan dan penyerahan pengantin pria selesai.

"Nduk, tanganmu anyes tenan to," ucap Kirani sambil menggenggam tangan Celia.

"Nerves, Budhe." Celia menyengir menatap perempuan gemuk berkebaya cokelat bata, dilengkapi dengan kerudung warna senada.

"Rak popo to rabine mbek Nick? Wes saling kenal iki kok. Keluargane Nick juga ketok wong apik-apik. Teresa ketok'e yo bakal gemati meni mbek awakmu."

"Nggih mboten nopo-nopo, Budhe. Lha pripon maleh. Nek mboten kepekso nggih asline kulo mboten puron rabi kalih Nick. Gara-gara si semprol Erick to, badhe ndamel wirang keluargane dewe," balas Celia menggunakan bahasa krama alus, berbeda saat dengan Suci dan Irawan yang lebih sering melakukan percakapan menggunakan bahasa Indonesia. Sebenarnya, ia sendiri tidak begitu bisa berbahasa krama alus. Tapi, dengan budhenya dan orang-orang yang lebih tua, ia berusaha belajar dan menerapkan.

"Iyo. Yowes, raksah direken, Nduk. Jarno wae. Seng penting saiki awakmu sido rabi lamon ndak mbek Erick."

Mendengar pidato selesai dan mempelai calon pengantin wanita diminta untuk keluar, Suci dan Kirani pun menuntun Celia keluar, membawanya ke meja ijab kabul berada. Nick sudah duduk di sana.

Lelaki itu tampak terkejut melihat Celia. Ia tidak berkedip menatapnya. Yang tadinya biasa-biasa saja, jantung tiba-tiba berdebaran tak keruan. Cukup terpukau melihat kecantikan gadis jahil yang sangat-sangat nakal pada jaman masih kecil. Dalam balutan kebaya putih, senada dengan warna pakaian yang dipakainya, Celia terlihat begitu dewasa dan berbeda.

Nick berdeham lirih untuk menetralisir rasa nervesnya, bersamaan dengan Celia didudukkan di sampingnya.

"Sudah siap?" tanya sang penghulu yang duduk berhadapan dengan kedua mempelai pengantin tersebut. Di samping kanannya ada Irawan--sebagai wali sah dari Celia. Sedangkan, saksi lain duduk mengelilingi meja.

Melihat Nick dan Celia mengangguk, sang penghulu memberi instruksi kepada Irawan, meminta lelaki itu mulai mengijabkan sang keponakan.

Irawan menurut. Ia langsung mengulurkan tangan kanan kepada Nick, dan dibalas. Dengan tegas, ia berkata, "Saudara Nicky Hernandez, saya nikahkan dan kawinkan engkau, kepada keponakan kandung saya, Celia Marvericks binti almarhum Dallas Marvericks, dengan mas kawin berupa cek sebesar lima puluh miliar dibayar tunai."

Para tamu undangan dan orang-orang yang ada di sana terkejut bukan main mendengar nominal mas kawin berupa cek yang isinya sangat fantastis, tak tanggung-tanggung. Pun dengan Celia yang refleks menatap Nick yang sedang lantang, lancar, dan tegas mengucapkan balasan ijab kabulnya.

'Mau pamer banget, Nick, sama orang-orang di sini?' Bukannya bahagia, Celia justru menggerutu dalam hati. Bisa-bisanya lelaki itu memberikan mas kawin berupa cek berisi lima puluh miliar. Akan semakin heboh gosip tentang pernikahan dirinya. Calon suami aslinya selingkuh dengan LC sampai dihamili. Mendapat suami pengganti secara dadakan, ditambah lagi dengan mas kawin yang sangat-sangat menggemparkan. Jika di kota tidak masalah. Tapi itu di kampung.

Kampung!

Celia gemas sendiri. Dan tersadar dari pikirannya saat mendengar suara SAH! secara serempak.

Gadis itu mengitari pandangannya ke sekitar. Semua terlihat sumringah dan bahagia. Tidak ada wajah cemberut.

"Mas Nick, karena dokumen Anda belum ada untuk membuat buku nikah, kami bisa mengeluarkannya setelah dokumen Anda diserahkan kepada kami."

"Baik." Nick mengangguk.

"Nanti biar Papa yang ngambil dokumen-dokumen kamu di Jakarta, Nick. Kamu tetap di sini sampai urusan dokumen pernikahanmu selesai."

"Berapa lama?" tanya Nick ingin tahu.

"Tergantung cepat-lambatnya dokumen Anda sampai di KUA," jawab sang penghulu.

Nick manggut-manggut paham.

"Tapi, sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang suami-istri. Kalau ingin berfoto dengan buku nikah, bisa menggunakan ini dulu. Tidak apa-apa isinya nama orang lain, yang dilihatkan bisa cover luarnya saja," ucap sang penghulu, memberi candaan. Agar seperti para pengantin lain, yang bisa mendokumentasikan buku nikah setelah ijab kabul selesai.

"Cel, salim dulu sama suamimu. Cium punggung tangannya," pinta Irawan sambil mengulas senyum jahil.

"Om." Celia merengut.

"Jangan malu-malu, Cel. Ayoo." Irawan terus mendorongnya.

Mau tak mau, Celia menurut. Ia mengambil tangan kanan Nick untuk diajak salaman.

"Nick bisa cium kening Celia. Biar keliatan mesra," pinta Irawan lagi.

Dengan rasa ogah-ogahan tapi masih menurut, Nick mengecup kening Celia. Sedangkan, Irawan langsung meminta sang fotografer untuk membidiknya. Padahal, tanpa disuruh pun, para fotografer itu sudah tahu cara membidik di momen yang pas.







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top