Part 27
Melihat tatapan Celia yang tajam, Nick sudah memiliki firasat tidak enak. Ia langsung beranjak, menghampiri Celia yang masih berdiri di depan pintu lantas memeluknya.
"Aku tidak memiliki hubungan spesial dengannya, Sayang. Hanya dekat sebagai klien. Lidya memang seperti itu. Aku tahu dia sedang mencoba mendekatiku, tapi aku tidak pernah membalas perasaannya dan tertarik dengannya," jelas Nick, secepat mungkin agar Celia tidak salah paham.
"Bohong." Celia masih pura-pura ngambek.
"Sungguh. Aku tidak berbohong. Aku tidak pernah memiliki perasaan apa pun dengannya." Nick berusaha meyakinkan.
"Apa dia sering mengirim makanan untukmu?" tanya Celia, menuntut jawaban.
"Sebelumnya sudah pernah. Tapi, tidak pernah kumakan dan kukasihkan ke Evelyn. Aku ingin menolak juga tidak enak, karena dia klien dari advertising kita. Misal aku bersikap arogan kepada klien, itu bisa memperburuk citra perusahaan kita. Pasti akan ada omongan-omongan untuk menjelekkan agency advertising kita dan itu akan membuat rating buruk di hadapan calon klien lain," jelas Nick lagi, berharap Celia bisa memahami.
'Pantas saja Evelyn menaruh harapan lebih ke Nick. Ternyata Nick sering ngasih barang pemberian wanita lain ke Evelyn,' batin Celia sambil mengangguk paham. "Pokoknya kalau ada klien atau orang lain yang ngasih kamu makanan, jangan pernah dimakan. Takutnya dikasih racun dari pesaing bisnis kamu dan mereka berkamuflase jadi klien atau menyuruh klien kamu melakukan itu," ucapnya sungguh-sungguh. Bahaya juga jika itu terjadi mengetahui Nick orang penting.
"Iya, iya. Jangan ngambek lagi, ya. Aku cuma milik kamu. Tidak ada yang lain." Nick mengecup puncak kepala Celia. Merasakan istrinya mengangguk, ia tersenyum lebar.
Celia mendongak menatap wajah lelaki itu seraya melingkarkan kedua tangan ke pinggangnya. "Kalau gitu, besok kita datang ke acara ulang tahun dia. Aku ingin melihat seberapa besar dia ingin mendekatimu dan sudah sampai tahap mana."
Nick mengernyit heran. "Kamu beneran mau datang ke sana?"
"Ya." Celia manggut-manggut. "Daripada kamu datang sendiri secara diam-diam. Mending dibuntutin istrinya sekalian."
"Baiklah. Nanti kita cari gaun pesta untukmu, juga cari penata rias. Ah, ya. Mama punya banyak kenalan make up artist, nanti aku telepon Mama untuk minta bantuan."
"Oke." Celia mengangguk setuju. "Sekarang lanjut sarapan dulu. Makanan yang dari Lidya biar kubagi-bagi ke karyawan lain."
Sambil mengayunkan kaki menuju meja kerjanya seraya merangkul Celia, Nick berkata, "Kita makan di sofa saja, biar bisa duduk bareng."
Celia mengangguk setuju lagi. Lantas, berbagi tugas dengan Nick, dirinya yang membagikan makanan dari Lidya ke karyawan. Sedangkan, Nick menata makanan yang dibeli Celia ke meja kayu berlapis kaca, lantas mendaratkan bokongnya ke sofa.
"Flora," panggil Celia sambil mengayunkan kaki menuju kubikel perempuan itu.
"Iya, Celia." Flora langsung mengarahkan pandangan ke Celia.
"Sudah sarapan belum? Aku punya makanan, nih. Kamu bisa bagi-bagi sama yang lain," ucap Celia, setelah tiba di samping kubikel perempuan itu. Lalu, pandangan mengarah ke lima perempuan yang kemarin resek terhadap dirinya. "Kamu bisa ngasih ke mereka juga kalau mau. Biar susuk pengasihan yang ada diriku bisa nular ke mereka. Kamu mungkin enggak pingin, tapi lima perempuan itu pasti ingin ngerasain hoki sepertiku. Kasihan, Flora. Daripada ngiri terus sama aku."
Mendengarnya, Flora terkekeh renyah. "Terima kasih, ya, Celia. Nanti aku bagi-bagi ke teman-teman yang lain biar ketularan susuk pengasihanmu," balasnya bercanda.
"Ya sudah. Aku masuk ke ruangan lagi. Sama Pak Nick tidak boleh lama-lama di luarnya. Byee, Flora!" Celia melambaikan tangan seraya berlalu dari kubikel Flora. Lantas, ia masuk ke ruang kerja Nick lagi.
"Lama banget, Sayang." Baru saja Celia membuka pintu, Nick sudah memprotesnya.
Perempuan itu menghela napas panjang sambil mengayunkan kaki menghampiri Nick. "Cuma lima menit loh, Nick," balasnya. Ia mendaratkan bokong ke sofa, tatapan langsung tertuju ke salad sayurnya yang sudah disiram saus wijen yang memiliki aroma wangi dan sedap.
Keduanya pun melangsungkan sarapan sembari membicarakan pekerjaan. Setelah selesai, Nick mengajak Celia ke ruang kerja papanya untuk membicarakan masalah penganiayaan dan membutuhkan bantuan pengacara. Harden mendengarkannya dengan baik. Tidak lama, lelaki itu menelepon seorang pengacara terkenal yang sudah menjadi partner kerjanya dalam perurusan permasalahan berat.
"Garrix akan ke sini jam satuan. Nanti Papa kasih tahu kalau dia sudah datang."
"Iya, Pa." Nick mengangguk patuh.
"Ah, iya. Kalau kalian ada waktu, boleh pulang makan malam di rumah? Ada yang ingin Papa dan Mama bicarakan secara langsung."
"Masalah apa?" tanya Nick, penasaran.
"Pesta pernikahan kalian. Mama sudah memikirkan banget dan banyak sekali rencana-rencana yang dibuat. Nanti kalian dengar sendiri saja. Papa saja sudah pusing mendengarnya. Padahal kalian yang menikah, tapi Mama kalian yang sangat excited ingin menggelar acaranya secara besar-besaran dan mewah."
Celia yang mendengar, terbelalak. "Papa, padahal tidak perlu acara pesta besar-besaran. Pas di kampung saja sudah pesta besar itu."
"Mama ingin memberikan yang terbaik untuk kalian. Apalagi ini pernikahan anak Papa yang terakhir. Jadi, Papa setuju dengan usulan dan rencana Mama." Harden tersenyum lebar menatap kedua anaknya yang duduk di kursi tamu depan mejanya. "Nick, kamu bisa list teman-temanmu yang akan diundang. Papa dan Mama juga sudah mulai ngelist tamu-tamu yang akan diundang."
"Iya, Pa." Nick mengangguk. "Nanti malam kami akan datang makan malam ke rumah. Kalau gitu, aku keluar dulu. Mau lanjut meeting."
"Oke." Harden manggut-manggut, lalu membiarkan anaknya berlalu dari ruangan.
Sambil berjalan, pikiran Celia sudah terbayang-bayang akan pesta besar. Yang terpikir bukan suasananya, tapi capeknya setelah acara.
"Aku penasaran sama konsep pesta yang direncanakan Mama. Mama memiliki selera yang tinggi. Aku paham banget. Pasti, pesta pernikahan kita juga bakal dibikin lebih mewah dari yang di kampung." Celia sangat paham karakter dan kriteria Teresa yang memiliki selera tinggi. Meskipun begitu, perempuan itu memiliki sifat rendah hati. Tidak jumawa dari apa yang dimiliki. Dulu, mamanya suka bercerita kenapa bisa berteman sampai bersahabat, bahkan sampai teman berasa saudara dengan Teresa.
"Bagus kalau begitu. Aku akan mengundang banyak wanita kenalanku untuk mendeklarasikan bahwa aku sudah beristri, dan istriku sangat cantik. Jadi, tidak akan ada wanita yang mengejarku lagi," balas Nick sambil memasuki lift, setelah beberapa menit menunggu di depannya.
"Lidya juga harus diundang. Evelyn sudah pasti datang. Ellena, pasti dia akan semakin panas melihatku menjadi istrimu."
Keduanya sama-sama memikirkan hal-hal lucu yang akan terjadi, ketika pernikahannya dibongkar. Lalu, saat saling tatap sama-sama terkekeh, seolah paham apa yang sedang dipikirkannya.
"Sudah tidak sabar menunggu waktunya, Sayang," ucap Nick sembari keluar dari lift, setelah tiba di lantai delapan.
"Sama. Seru juga kayaknya, ya." Celia masih terkekeh.
***
Erick sudah berada di Jakarta dari kemarin, setelah beberapa hari lalu mendapat informasi jika Celia sudah pindah ke kota itu. Bermodalkan nekat, ia membawa bukti bahwa anak yang dikandung Anggi bukanlah anaknya. Tetapi, anak orang lain. Dan Anggi disuruh laki-laki yang menyukai Celia untuk menggagalkan pernikahannya. Namun, ia mengakui jika memang pernah meniduri Anggi dan itu sebagai pelampiasan nafsunya saja karena Celia sama sekali tak tersentuh.
Sebelum pergi ke Jakarta, ia juga sudah mencari tahu keberadaan Celia dari teman akrab Celia. Tidak sia-sia melakukan penyekapan semalam terhadap Salwa, karena semua informasi tentang kekasihnya sudah di tangan. Kabarnya, Celia bekerja di perusahaan Hernan Corp. Sedangkan, temannya ada yang bekerja di perusahaan tersebut, sehingga memudahkannya untuk mencari tahu apakah di sana ada lowongan kerja. Dan, ya, ia memiliki hoki setelah mendapat kabar jika perusahaan tersebut sedang membutuhkan kameran dalam program berita. Dirinya yang berkuliah di jurusan multimedia tentu sudah memiliki pengalaman memegang kamera besar.
"Terima kasih, Dho. Berkatmu, aku diterima kerja di sini," ucap Erick kesenangan, setelah keluar dari ruang HRD. "Aku sudah bisa masuk kerja mulai hari ini."
"Sama-sama, Bro. Biasanya Celia sudah datang ke sini ikut meeting. Tunggu saja, sebentar lagi dia pasti nongol sama Pak Nick."
Erick yang duduk di kursi balik meja kubikel bersebelahan dengan Ridho, sudah tidak sabar menunggu kedatangan Celia. Tatapan terus tertuju ke pintu masuk dengan perasaan campur aduk tak keruan antara harap-harap cemas dan bahagia.
"Tuh, dia datang," ucap Ridho begitu melihat Celia yang berjalan di belakang CEO memasuki area ruang kerjanya. Langkah keduanya sangat tegas, terlebih dengan ekspresi Nick yang dingin dan datar.
"Apa kedudukan lelaki itu di sini?" tanya Erick, ingin tahu, masih bersikap angkuh menatap Nick.
"Itu CEO kita."
"CEO?" Erick terlonjak seketika mendengarnya. 'Pantas saja berani ngasih mahar lima puluh miliar. Ternyata dia pemilik perusahaan ini?'
"Celia Personal Assistantnya Pak Nick," jelas Ridho. Tatapan masih mengikuti arah jalan Celia dan Nick yang tidak melewati depan kubikelnya, karena mereka berbelok untuk menuju ruang meeting.
"Selain personal assistant, ada rumor lain tentang mereka?" tanya Erick lagi.
"Tidak ada."
Erick langsung menyunggingkan sebelah sudut bibirnya. 'Jadi mereka masih menyembunyikan status pernikahannya? Pasti lelaki itu tidak menganggap pernikahannya dengan Celia serius. Atau malu memiliki istri dari kampung? Lalu, sekarang menjadikan Celia sebagai babunya? Tenang, Cel. Aku datang ke sini untuk menjemputmu. Aku janji akan membuatmu hidup bahagia,' batinnya sambil menerka-nerka sendiri.
Cukup lama ia menunggu Celia keluar dari acara meeting. Waktu pun seolah lama sekali untuk berganti dari menit ke menit. Dan menjadi kameramen acara berita, ia mulai memasuki ruangan siaran langsung di jam sebelas. Masih santai sekarang.
Setelah waktu menunjukkan tepat pukul sebelas, seseorang menyerukan jika team kameramen dan jurnalis harus segera memasuki ruangan siaran untuk bersiap. Erick menggeram. Sebab, ia belum sempat menemui Celia. Begitu beranjak, tepat bersamaan dengan Celia lewat. Ia pun bergegas berlari menghampirinya.
"Celia," panggil Erick.
Celia yang mendengar suara tak asing itu langsung berhenti dan menoleh, begitu dengan Nick dan Evelyn.
"Erick." Celia mematung seketika. Sedangkan, Nick langsung menatapnya tajam.
"Gek opo awakmu neng kene?" tanya Celia, menahan geram di tengah keterkejutannya.
"Kerjo to, Cel. Aku kerjo neng kene."
"Jancok iiii." Celia berkata kesal sambil membuang muka dari Erick. Ia menatap Nick sekilas yang sedang menatap tajam Erick. Lantas, ia menatap Erick lagi. "Wani ngrusuhi uripke neh, rak nduwe nyowo awakmu neng kene," ancamnya. Kemudian, ia berlalu dari hadapan Erick dengan perasaan kesal, emosi, dan geram.
"Cel, aku meh jemput awakmu muleh. Aku wes nduwe bukti ndak metengi Anggi."
"Rak uros, jancoook!" Emosi Celia sudah merambat sampai ubun-ubun. Tidak peduli menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya. Sampai memasuki lift pun, rahangnya masih mengetat keras.
"Siapa dia? Akrab sekali denganmu. Apa dia partnermu untuk melancarkan aksi licikmu, huh?" tanya Evelyn, lirih, yang berdiri di belakang Nick bersampingan dengan Celia.
"Menengo lambemu! Jangan ikut campur! Minta digampar lagi, hah?" Lagi emosi, Celia semakin emosi lagi mendengar suara Evelyn. Moodnya benar-benar langsung ambyar.
Sementara, Evelyn yang terkejut mendengar sentakan Celia langsung terdiam.
'Sopo seng ngek'i ngerti Erick aku kerjo neng kene? Mas Abis, Mbak Intan, Tante, Om? Ndak mungkin. Mereka gak bakal ngek'i ngerti Erick. Konco-koncoku sing ngerti mung Salwa, Alya, Putri. Opo mereka sing ngek'i ngerti?' Celia sibuk dengan pikirannya sendiri untuk mencari tahu dari mana Erick tahu keberadaannya sekarang. Ia pun tidak merasakan langkah yang sekarang sudah memasuki ruangan Nick.
"Celia," panggil Nick, melihat Celia yang masih terdiam di tempat duduknya. Raut wajah perempuan itu sedang menahan geram serta emosi. Tidak bisa dipungkiri.
"Nick, kenapa dia bisa di sini? Aku tidak pernah memberitahunya. Keluargaku juga pasti tidak ada yang memberitahu." Rasanya, Celia ingin melampiaskan amarahnya sekarang.
Nick mendekatinya, berjongkok di samping kursi sang istri. "Aku bisa memberikan perintah ke HRD untuk memecatnya, kalau kamu merasa terganggu atas kehadirannya lagi."
Celia mengangguk setuju. "Lakukan, Nick. Aku sudah muak melihat wajahnya."
"Iya, Sayang." Nick menangkup sebelah wajah Celia, mengusapnya lembut.
"Aku sudah tidak ingin berurusan dengan Erick. Apa pun itu. Aku tidak ingin melihat wajahnya atau pun mendengar suaranya."
"Celia, jangan terlalu benci. Nanti kamu akan sulit melupakannya karena kamu selalu memikirkannya. Kalau seperti ini, aku akan membiarkan Erick bekerja di sini agar kamu terbiasa melihatnya sampai tidak ada rasa benci di hatimu."
"Nick! Tapi dia ...."
"Sayang, aku tidak akan memecat Erick. Kamu harus melawan rasa bencimu terhadapnya. Belajar dari rasa traumamu, aku jadi paham tindakan apa yang harus kuambil. Kamu harus melawannya agar dia bisa lepas dari pikiranmu dan menjadi terbiasa saat bertemu." Nick berpikir, menjauhkan Erick dari Celia percuma saja, tidak akan ada hasilnya jika setiap bertemu akan terus dikenang.
Untuk menyalurkan ketenangan di diri Celia, Nick beralih memeluknya. "Bukannya aku tega kepadamu, tapi ini bentuk terapi mental untukmu. Ada aku. Jangan takut. Erick juga tidak akan berani berbuat lebih kepadamu."
Mendengar penjelasan dari Nick, Celia bisa mencernanya. Lantas, mengangguk. "Kamu tidak akan berpikiran buruk tentangku terhadap Erick, 'kan?"
"Tidak. Aku sudah tahu semuanya dan aku paham dirimu."
"Makasih, Nick."
Nick manggut-manggut. Lalu, mengecup kepala Celia penuh sayang. "Yang terpenting, sekarang kamu sudah milikku seutuhnya. Dan aku milikmu seutuhnya."
Gantian Celia yang mengecup pipi Nick. Mengurai pelukan, lalu ia menatap Nick lekat-lekat seraya mengusap lembut pipi lelaki itu. "I love you, Nick."
"I love you, Celia." Nick mengulas senyum. Kecupan pun ia daratkan di bibir sang istri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top