Selesai menonton film yang berjudul "DETAK JANTUNG MILIK IBU", Nick bersama yang lain melanjutkan meeting untuk penentuan tanggal gala premiere film yang akan mengundang banyak pihak dari media lain serta penonton, sebelum film diluncurkan secara umum ke bioskop-bioskop setanah air.
Celia yang mendengarkan pembahasan mereka, dengan sigap menuliskan jadwal-jadwal untuk Nick. Ia hanya mengangkat suara saat memberitahu kapan Nick memiliki waktu kosong di minggu depan. Setelah mencari-cari waktu yang tepat dan melakukan persetujuan bersama, dengan pihak HD Entertainment akan segera mengeluarkan brosur pemberitahuan dan promosi, meeting pun selesai.
Kali ini, Celia berusaha meredam rasa cemburu saat Nick dan Amanda bersalaman untuk perpisahan. Sepertinya, ia memang harus membiasakan diri melihat Nick berinteraksi dengan banyak perempuan. Dan ia harus membedakan mana yang profesional kerja, mana yang cari perhatian, dan mana yang ingin mendekati Nick, agar tidak terjadi cemburu buta dan membuat Nick tidak nyaman kepada dirinya. Apalagi, ia baru masuk di kehidupan Nick dan belum tahu bagaimana pola kerja Nick sebelumnya. Dikelilingi wanita cantik-cantik dari berbagai kalangan, sepertinya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Nick.
'Ah, tapi tetap saja ndak terima. Cemburu aku. Kalau dibiarin, terus jadi keterusan? Malah nanti kayak Erick. Nasibku piye? Ojo nganti enek Erick kedua. Emoh aaa. Mana atiku luwih kepikat ning Nick, tenimbang ning Erick. Tresnoku juga luwih gede ning Nick saiki.' Celia sibuk dengan pikirannya sendiri sambil mengayunkan kaki menuju lift untuk naik ke lantai sepuluh.
"Celia, mau pergi makan di mana dan mau makan apa?" tanya Nick, setelah berdiri di depan lift.
Celia yang masih sibuk dengan pikirannya dan berjalan menunduk, tidak mendengarkan Nick berbicara, suara lelaki itu hanya samar-samar masuk ke telinganya. Tapi, ia ikut berhenti ketika Nick menghentikan langkah.
"Celia, Sayang." Nick mengangkat dagu Celia, agar gadis itu mendongak. "Ngalamunin apa? Diajak bicara enggak nyahut."
Celia mencebik sambil menggeleng, dengan kedua tangan mendekap iPad.
"Masih sedih karena film tadi?" tanya Nick, melihat tatapan polos gadis itu. Matanya pun masih agak sembab.
Celia mengangguk mengiyakan saja. "Filmnya bikin ati langsung maknyes, sedih, bawang banget. Campur aduk banget. Emosinya dapet, sedihnya dapet, tapi bahagianya yang enggak dapet."
Keduanya masuk ke lift saat pintu terbuka. Lalu, saling bersandar di dinding.
"Semoga anak-anak kita tidak melupakan dan menelantarkan kita, kalau kita sudah lanjut usia, ya," ucap Nick sambil mengusap-usap puncak kepala Celia seraya mengulas senyum simpul.
Sementara, Celia yang mendapat perlakuan manis dari Nick, hati terasa menghangat. Ia manggut-manggut cepat. "Kita sebagai anak juga tidak boleh kurang ajar sama orang tua, terutama kepada orang yang sudah merawat kita."
"Iya, Sayang."
Obrolan pun terhenti saat lift berhenti di lantai sepuluh dan pintu terbuka. Keduanya memasang wajah datar lagi begitu mengayunkan kaki keluar, dengan Celia berjalan di belakang Nick.
"Kita pergi makan siang di luar, sekalian pergi bertemu klien," ucap Nick datar, yang masih berjalan melewati kubikel-kubikel.
"Baik, Pak." Celia mengangguk. Sebelum tiba di ruangannya dan melihat Flora, ia melambaikan tangan, menyapanya. Namun, saat melihat lima perempuan yang mencomooh dirinya, ia langsung menyipitkan mata. Begitu pun saat melihat Evelyn, yang langsung beradu tatap dengan sinis.
"Celia, langsung masuk ruangan," peringat Nick, tegas, yang sudah membuka pintu. Ia tidak ingin istrinya mendapat perundungan lagi.
"Iya, Pak." Celia langsung berlari kecil, lantas masuk. Dan Nick langsung mengunci pintu.
Dengan cepat, lelaki itu menarik Celia untuk dipeluk erat sambil mengusap-usap kepalanya dan mendaratkan kecupan di puncak kepala. Sudah dari tadi ia ingin memeluk Celia untuk memberikan ketenangan hati.
"Jangan sedih lagi. Aku janji akan selalu membuatmu bahagia. Selalu ada untukmu. Kamu tidak akan kehilangan kasih sayang dan perhatian dari orang yang kamu sayang," ucap Nick sungguh-sungguh.
Celia membalas rengkuhannya erat sambil mengangguk bahagia. "Maafin aku yang tadi, ya."
"Yang apa?" tanya Nick penasaran. Perasaan, Celia tidak membuat kesalahan dari tadi.
"Sudah mencemburuimu." Celia mendongak. "Aku takut kamu diambil wanita lain. Aku tidak ingin kehilangan laki-laki yang aku cintai untuk yang kedua kalinya," ucapnya jujur.
Nick mengulas senyum lebar, lantas menggeleng. "Aku suka kamu cemburu. Berarti kamu benar-benar mencintaiku. Tapi, lebih cinta aku atau Erick?" ucapnya, diakhiri pertanyaan sembari terkekeh.
"Kamu lah. Kan kamu suamiku. Sebelum mencintai Erick juga sudah pernah mencintai kamu lebih dulu, walaupun sempat terpendam. Tapi, sekarang sudah sepenuhnya untukmu dan enggak ada nama Erick lagi di hatiku."
Nick gemas sendiri mendengar ucapan yang sang istri yang terdengar manja suaranya. Yeah, terkadang Celia akan bersikap manja dari nada bicara maupun tingkahnya, dan itu ketika sedang berduaan dengan dirinya saja. Eksklusif hanya dirinya yang tahu.
"Ya sudah, kita pergi makan sekarang." Nick mengecek Rolex yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Sudah mau jam tiga."
"Oke." Celia manggut-manggut. Namun, sebelum ia menarik diri, Nick membubuhkan banyak kecupan di bibirnya.
***
Keduanya makan di restoran tidak jauh dari kantor. Sambil menyantap hidangan yang belum lama datang, Suci melakukan video call kepada Celia. Perempuan yang jauh di sana, menanyakan kabar Celia juga Nick. Bahkan, sangat bahagia mendengar kabar pernikahan keduanya yang sudah saling mengungkapkan perasaan. Teresa sudah mengobrolkan itu kepada Suci.
"Nick, Tante titip Celia, ya. Jagain dia. Sayangi dia. Kalau kalian ada masalah, tolong jangan sampai ada kekerasan. Celia juga, ya. Jangan pecicilan terus sama suami. Sekarang kalian sudah saling mencintai, harus saling menjaga satu sama lain."
"Iya, Tante. Aku janji akan menjaga Celia dengan baik dan membuatnya terus bahagia."
"Tante senang mendengarnya. Jadi tidak khawatir lagi dengan hubungan kalian yang seperti Tom and Jerry."
"Tante Uci, ada yang ingin Celia sampaiin ke, Tante." Celia menaruh garpu dan sendok ke piring, saat teringat akan film yang tadi ditontonnya.
"Apa, Sayang?"
"Tante ...." Celia menggantungkan ucapan saat tenggorokan terasa tercekat. Matanya merebak panas dan sudah berkaca-kaca. "Tante, makasih, ya, sudah menjadi orang tua kedua untuk Celia. Makasih sudah merawat Celia penuh dengan limpahan kasih sayang sampai Celia tidak kekurangan apa pun."
Celia menunduk sambil terpejam, air mata meluruh deras tak terbendung lagi. Setelah siap untuk berkata lagi, ia mengangkat kepala dan menatap Suci yang juga sudah menangis. "Celia sayang banget sama, Tante dan Om."
"Celia." Suci terisak-isak. "Tante dan Om juga sayang banget sama kamu, Sayang. Kamu tidak hanya keponakan untuk kami, tapi sudah seperti anak kandung sendiri untuk kami."
"Maafin Celia kalau selama ini banyak ngerepotin kalian, ya." Suara Celia terdengar tercekat dan tertahan saking terisaknya.
"Tidak, Sayang. Tidak. Kamu sama sekali tidak ngrepotin kami. Jangan bicara seperti, ah." Suci semakin terisak mendengarnya, tapi tersenyum lebar. "Kalian sehat-sehat, ya, di sana. Nick, tolong jangan sakitin Celia, ya," ucapnya lagi, lalu ia mencari alasan untuk memutuskan sambungan telepon karena tidak kuat melihat Celia menangis. Setiap melihatnya menangis, hati terasa begitu tersayat. Sakit rasanya.
Nick sendiri langsung merengkuh Celia dan gadis itu menyembunyikan kepala di dadanya. Beruntung, restoran yang didatangi memiliki sekat tinggi setiap mejanya, jadi agak privasi.
"Cup, cup, jangan nangis terus," ucap Nick sambil mengusap-usap kepala Celia, lalu mengecup kepala gadis itu.
"Sedih, Nick. Enggak bisa diungkapin rasanya. Campur aduk banget."
"Dilihatin orang yang duduk di meja depan kita. Masa udah gede nangis."
"Kan enggak ada aturan umur berapa-berapanya yang boleh nangis." Meskipun masih terisak, Celia masih membalas ucapan Nick.
"Makanannya ikut nangis tahu. Masih banyak, tapi belum dimakan." Nick berusaha menghibur Celia dengan mengucapkan apa pun yang keluar dari mulutnya.
Celia mulai terlihat tenang, tapi masih terisak dan masih bertahan merengkuh Nick. Sedangkan, lelaki itu masih terus mengusap-usap kepalanya yang terasa begitu menenangkan. Sesaat kemudian, ia mengurai pelukan. Dengan sigap, Nick menghapus jejak-jejak air matanya di pipi.
"Bedaknya luntur, tapi masih cantik saja. Istriku memang paling cantik."
Mendengar Nick menggodanya, Celia tersipu malu sambil menabok pelan perut lelaki itu.
"Kalau sudah tidak ada air matanya gini, makin cantik lagi. Apalagi kalau tersenyum, bikin hati Mas Nick meleleh." Nick terkekeh, lalu mengecup bibir Celia penuh kelembutan.
"Mas Nick, merguru gombal dari mana? Kok makin top cer ngegombalnya?" tanya Celia sambil mengulum senyum malu.
"Naluri hati untuk perempuan yang Mas Nick cintai. Celia Marvericks, namanya." Kali ini, Nick merapikan rambut Celia yang terlihat berantakan bagian depannya.
"Nickyyy." Celia sudah tidak tahan mendengar gombalan Nick. Pingin jungkir-balik rasanya. Dan ia hanya bisa memendamnya saja.
"Sepertinya kalian pasangan suami-istri baru, ya? Semoga langgeng terus, ya, Nak, pernikahannya."
Celia dan Nick langsung menoleh, menatap perempuan paruh baya yang sudah pantas dipanggil nenek. Ternyata, perempuan yang duduk di depan mejanya bersama seorang laki-laki mungkin suaminya itu, sedang memerhatikannya sembari tersenyum lebar. Mereka masih terlihat seperti pasangan harmonis diusianya yang sudah lanjut, dengan si perempuan yang masih memiliki wajah ayu. Penampilannya tampak classy dan glamor akan aksesoris mutiara putih yang terpasang di telinga dan leher. Sedangkan, bibirnya terpoles lipstik merah.
"Iya, Nek. Terima kasih juga doanya." Nick membalasnya seraya mengulas senyum.
"Kalian terlihat saling menyayangi. Nenek suka melihatnya. Apalagi, Masnya sangat perhatian sekali ke istri. Jadi ingat masa muda dulu waktu masih jadi pengantin baru," puji perempuan paruh baya itu.
Celia semakin tersipu malu. Untuk mengalihkan rasa salah tingkahnya, ia mengambil garpu lalu menusuk daging sapi dan melahapnya. Ia menusuknya lagi, lantas disuapkan ke Nick yang langsung diterima.
"Sebelum bertemu klien, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat dulu," ucap Nick.
"Ke mana?" tanya Celia ingin tahu.
"Ada."
"Ke mana dulu?"
"Kejutan, Sayang." Nick berbisik sambil mengulum senyum.
"Jangan bilang ke hotel, ya."
"Duuh, duuuh, ternyata istriku sedang menginginkan, ya? Pasti sedang membayangkan juga," Nick tergelak renyah.
"Biasanya kamu gitu tujuannya."
"Kamu sudah pintar baca pikiranku."
"Tuh, 'kan? Mau ngajak ke hotel?" Celia menuntut jawaban.
"Mau?" Nick justru menawarkan.
"Mau-mau saja. Tapi, waktunya yang enggak pas." Celia terkekeh.
Sesaat kemudian setelah selesai makan, Nick langsung mengajak Celia pergi ke suatu tempat yang masih menjadi pertanyaan gadis itu dari sepanjang perjalanan. Namun, tidak lama Nick menghentikan mobil di depan toko helm langganan.
"Mau apa ke sini, Nick?" tanya Celia sambil membuka pintu.
"Beli helm."
"Helm?" Celia sudah keluar mobil, pun dengan Nick.
"Iya. Ayo. Beli helm untukmu. Karena di apartemen, aku hanya punya satu." Nick mengulurkan tangan kiri yang langsung diterima Celia.
"Apa kamu mau ngajak touring aku pakai motor?" Tampak sumringah wajah gadis itu.
"Rencananya begitu. Nanti malam kita bisa jalan-jalan keliling Jakarta. Asal jalan saja walaupun tidak ada tujuan. Biar kamu makin terbiasa dan nyaman dengan jalanan Jakarta. Anggap saja healing untuk kita," jelas Nick sambil mengayunkan kaki menuju toko.
Celia merengkuh lengan Nick seraya mendongak, senyumnya mengembang lebar. "Makasih, ya."
"Aku akan melakukan apa pun, yang penting kamu bahagia."
"Akan selalu bahagia kalau bersamamu."
Keduanya masuk ke dalam toko dan disambut oleh pelayan toko tersebut. Celia ternganga melihat deretan helm yang tertata rapi, dari yang model biasa, full face dengan bermacam desain, dari yang murah dan sampai termahal. Gadis itu seperti masuk ke surganya yang memiliki hobi berkendara motor. Dan tujuannya langsung ke helm full face berwarna hitam. Selain itu, tidak ada yang menarik bagi Celia.
"Mas, boleh dicoba tidak?" tanya Celia, yang ingin mencoba satu-satu helm full face di hadapannya.
"Boleh, Mbak. Silakan."
"Aku suka yang model ini, ada ventilasinya, double visor, kalau di kepalaku juga enggak kegedean banget. Yang di rumah gini juga warna black doff," jelas Celia sambil menilai helm dalam genggamannya.
"Cobain dulu," pinta Nick.
"Yang ukuran M ada, Mas? Ini L," tanya Celia kepada sang pelayan toko.
"Ada. Sebentar dulu saya ambilkan."
Celia manggut-manggut. Sambil menunggu sang pelayan toko mengambil helm keinginannya yang ukuran M, ia meminta Nick untuk mencoba helm yang digenggamnya.
Lelaki itu menerima, lantas mencobanya. Ukuran L pas di kepalanya.
"Suka gak?" tanya Celia.
Nick mengangguk. "Nyaman dipakai. Sepertinya aku juga mau beli yang ini, biar samaan kayak kamu."
"Couple-an." Celia menyengir. Tidak lama, pelayan toko datang lalu memberikan helm yang diinginkan.
"Coba aku pakaiin." Nick mengambil helm dari tangan sang pelayan toko, lantas memakaikannya ke kepala Celia. "Bagaimana? Nyaman?"
Gadis itu mengangguk. "Iya. Sama kayak yang di rumah."
"Mas, ambil ini dua, ya. Yang L boleh minta yang baru?" pinta Nick. Sambil melepas helm dari kepalanya. Sedangkan, Celia masih sibuk melihat penampilannya dari cermin yang tertempel di dinding depannya.
"Sama kupluk ninjanya juga, yang warna hitam," pinta Celia, kepada sang pelayan toko. Setelah merasa cukup mencoba, ia melepas helm. Rambut terlihat agak berantakan, tapi Nick dengan sigap merapikan. Menyisirnya menggunakan jari-jari tangan. Dan lagi, lelaki itu mengecup puncak kepalanya penuh sayang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top