Part 19
Meeting bersama manager dan team senior strategic planner baru saja selesai, membahas hasil akhir pembuatan video iklan obat sakit kepala untuk orang dewasa dari PT. Haleon plc, yang akan diluncurkan di channel-channel televisi dan YouTube. Dengan konsep keriwehan seorang ibu yang disibukkan dengan kariernya sebagai pilot helikopter, namun masih disibukkan dengan urusan rumah tangga yang harus mengurus anak-anak serta rumah. Dan itu sudah dipikirkan matang-matang oleh team strategic planner dari beberapa bulan lalu, dengan hasil keputusan bersama sang klien juga CEO Hernan Corp. Di mana, anggaran yang dikeluarkan cukup fantastis karena harus menyewa helikopter, model, properti-properti lain yang mendukung jalannya iklan tersebut, serta lamanya kontrak kerja penayangan iklan.
"Ruwet banget ternyata bikin video iklan gitu, ya. Kalau konsepnya enggak menarik, pasti hasilnya enggak sebagus tadi," ucap Celia sambil mendaratkan bokong ke kursi, yang baru tiba di ruang kerjanya lagi bersama Nick.
"Makanya sangat diperlukan adanya team strategic planner dalam sebuah industri periklanan. Dan merekrut mereka yang memiliki otak cerdas, banyak ide, dan kreatif. Karena setiap iklan akan berbeda konsep. Lalu, konsep-konsep dan ide yang sudah mendapat persetujuan dari kedua belah pihak, akan dikembangkan lagi oleh team kreatif dan yang lain. Dan jadilah video iklan yang menarik, yang sering kamu lihat di televisi-televisi itu," jelas Nick panjang lebar sambil menatap Celia yang mendengarkannya secara saksama.
"Kereeen. Enggak bikin bosan kayaknya kerja yang setiap hari selalu ganti-ganti pikiran. Maksudku, enggak monoton yang dikerjain hanya itu-itu saja."
"Tentu. Apalagi kalau sambil ngelihatin gadis nakalku yang sudah jadi istri, terus dibikin ngambek, hiburan banget buatku." Nick tersenyum lebar, dan mendapat desisan sinis dari Celia.
"Mulai! Mulai! Mulai! Lanjut kerja, Pak Nick, jangan ngebombal mulu. Istri butuh banyak uang buat perawatan, shopping, jalan-jalan."
"Jangan perawatan, shopping, dan jalan-jalan. Beliin kamu pulau pun aku masih sanggup, Sayang."
"Menyombong sekali Anda." Celia memanyunkan bibir.
Dan Nick terkikik melihat sang istri memberengut seperti itu. Lucu dan menggemaskan. "Cel, sini sebentar," pintanya.
"Untuk apa?"
"Sini dulu. Aku mau ngasih tahu sesuatu."
Celia menurut. Ia beranjak dari duduknya, lantas mengayunkan kaki menghampiri Nick, berdiri di samping kursi lelaki itu.
Celia pikir, Nick akan memberitahu soal pekerjaannya dari tumpukan dokumen-dokumen yang ada di atas meja. Namun, siapa sangka jika dirinya akan ditarik ke pangkuan dan duduk di sana. Nick langsung menahan tubuhnya dengan melingkarkan kedua tangan di pinggang.
"Nick! Nanti ada yang masuk," cecar Celia sambil melototi.
Tapi, rasa gemas Nick terhadap istrinya sangat menggebu. Rasanya ingin menggigit bibir gadis itu lagi, juga menggigit leher jenjangnya.
"Obat gemas ada tidak, Cel?" tanya Nick, asal seraya menatap wajah Celia penuh cinta.
"Kenapa enggak tanya sama klien kamu yang tadi datang itu. Bukannya mereka dari perusahaan obat-obatan dan kesehatan?"
"Mereka enggak produksi obat gemas. Apalagi rasa gemasku ini limited, hanya untukmu seorang. Dan sekarang lagi kambuh, ingin gemas-gemas kamu banget rasanya."
Celia menyembunyikan senyum, menahan diri untuk tidak terbawa suasana oleh gombalan Nick. Dan demi apa pun, hatinya selalu dibuat deg-deg ser oleh lelaki itu.
"Nick, kalau mau gemes-gemes aku, nanti. Ada waktunya. Sekarang fokus kerja. Jangan ngegombal mulu."
"Cium lagi dong. Sekali saja."
"Enggak mau." Celia akan beranjak turun, tapi rengkuhan Nick justru semakin erat.
"Celia." Nick merengek.
"Enggaak."
"Ya sudah. Aku enggak lepasin."
"Nicky!" seru Celia sambil memaksa diri untuk turun.
Dan lagi, Nick menahannya.
Tidak ingin membuang waktu lama-lama, Celia mengecupi seluruh wajah Nick. Merata. Dari kening, pelipis kanan-kiri, kedua mata, hidung, pipi kanan-kiri, dagu, dan terakhir bibir.
"Sudah. Sekarang lepasin," pinta Celia.
Nick pun tersenyum puas. "Nanti malam ya, Cel," pintanya. Senyum puasnya berubah menjadi senyum jahil. Lalu, ia melepaskan Celia dan gadis itu bergegas turun, dengan cepat berlari ke mejanya.
Kali ini, Celia tidak ingin terpengaruh oleh gombalan-gombalan Nick lagi. Ia langsung memfokuskan diri pada pekerjaan, membaca email-email masuk di komputernya. Sebagai personal asisten CEO, ia menjadi perwakilan sang atasan untuk membalasi email-email dari klien Nick yang sedang merundingkan rencana pertemuan serta meeting.
Sementara, Nick masih memerhatikan Celia. Sebelum akhirnya, ia juga menyibukkan diri melanjutkan membaca laporan-laporan perusahaan selama ia tidak masuk.
Kebosanan menghampiri Nick setelah hampir satu jam-an terdiam. Ia tidak betah tanpa mendengar celotehan Celia. Ia seperti berada di dalam peti tanpa udara yang terasa pengap, senyap, dan sunyi. Tidak enak sekali rasanya. Padahal, sebelumnya ia paling suka sepi, sunyi, dan sendiri, tanpa mendapat gangguan dari siapa pun.
Nick mengangkat kepala dari bacaan dokumen-dokumen di hadapannya. Menatap Celia lagi, terlihat istrinya sedang fokus mengetik.
"Celia," panggil Nick. Namun, gadis itu mengabaikan.
Celia sudah tahu Nick hanya ingin main-main saja. Ia sudah mengantisipasi.
"Celia," panggil Nick lagi.
Celia masih tetap tidak menghiraukan.
"Sayang, aku ngantuk. Boleh minta tolong beliin cappucino panas gak, biar gak ngantuk?" Akhirnya, Nick menemukan alasan untuk menjahili sang istri.
Celia yang sedang membaca balasan email dirinya sebelum mengirim ke klien, mendoyongkan tubuh ke samping kiri untuk menatap Nick. "Siap, Pak Nick. Bentar dulu, sedikit lagi selesai. Mau ngirim balasan email ke klien."
"Oke." Nick menurut. Dan tak lama, Celia datang menghampiri dirinya.
"Cuma cappucino panas?" tanya Celia, memastikan sebelum berlalu pergi.
"Iya. Di lantai satu tempat food court-nya."
"Siap, Pak Nick." Celia mengangguk patuh.
"Tidak pakai lama, ya. Aku beri waktu lima belas menit dari sekarang. Kalau terlambat, ada hukuman."
"Hukuman dari, Pak Nick, bisa aku nikmatin. Jadi, tidak apa-apa. Mending aku lambat-lambatin saja biar dihukum terus." Bukannya takut, Celia justru menantangnya dengan angkuh.
"Tadi aja nolak." Nick mencebik seraya mengambil dompet, lalu mengeluarkan black card. "Ini card-nya, Sayang."
Celia melangkah mendekati Nick. Mengambil black card yang disodorkan lelaki itu seraya bertanya, "Ada jual camilan juga gak di sana?"
"Ada." Nick manggut-manggut.
"Boleh beli?"
"Beli saja yang kamu suka."
"Tapi, sukanya kamu. Gimana dong." Celia tergelak sambil melemparkan gombalan balik kepada Nick.
Membuat lelaki itu bertambah gemas dan ingin menahannya lagi rasanya. "Aku seret kamu ke kamar juga, ya."
Namun, sebelum Nick melakukan, Celia semakin menggodanya dengan mengecup pipi lelaki itu lantas segera kabur sembari meledakkan tawa renyah.
"Ingat, ya. Hanya lima belas menit. Tidak lebih. Jangan centil sama cowok lain," peringat Nick, sebelum Celia membuka pintu.
"Siap, Pak Nick." Gadis itu membalasnya sambil menarik pintu. Baru saja keluar, ia langsung mendapat tatapan dari para karyawan yang duduk di depan ruangan Nick, termasuk dari Evelyn.
"Mau ke mana kamu?" tanya Evelyn, ingin tahu.
"Bos minta dibeliin cappucino."
"Aku juga nitip beliin sekalian, dong," pinta Evelyn.
"Yo ndak mau. Tugas saya cuma ngeladenin Pak Nick di sini." Jika diiyakan, pasti Evelyn akan kesenangan dan terus menyuruh-nyuruh dirinya, batin Celia.
"Pelit amat. Yang lain saja mau kalau dititipin. Kamu juga masih anak baru, harus nurut sama senior."
"Nurutnya sama bos lah. Dia yang ngegaji saya. Senior mah, cuma status doang," balas Celia berani, dan berhasil menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya. "Dah, ya. Mau lanjut. Cuma dikasih waktu lima belas menit soalnya."
Celia berlari kecil menuju lift. Tidak peduli mendapat bisik-bisik, seperti;
"Berani juga dia sama yang lebih senior."
"Aku kira penakut anaknya."
Sambil menunggu lift tiba di lantai sepuluh, Celia menoleh saat ada seseorang melangkah mendekat dan berdiri di sampingnya.
"Celia, PA-nya Pak Nick, ya?" tanya lelaki itu.
Celia mengangguk. "Iya." Lalu, pandangan menatap monitor di atas pintu lift yang sudah menunjukkan angka sepuluh. Tidak lama, pintu terbuka. Ia masuk. Pun dengan lelaki itu.
"Mau ke mana?" tanya lelaki itu.
"Beli minum di bawah." Celia menjawab seperlunya saja sembari menampilkan ekspresi cuek. Tidak ada niatan beramah-tamah kepada lelaki lain. Ia tahu harus bersikap bagaimana dan seperti apa kepada lawan jenis yang baru dikenalnya. Berbeda saat di kampung, yang hampir semua lelaki menjadi temannya. Dan kecuali, saat di hadapan Nick untuk menggoda lelaki itu agar cemburu.
"Enggak mencet tombol lantai?" tanya Celia, karena yang terpencet hanya tombol lantai satu.
"Mau beli minum juga. Haus."
'Modus nek iki nda,' batin Celia sambil membuang muka. Terlihat dari ekspresi wajah lelaki itu dan suaranya yang dibuat lemah lembut.
Lift berhenti, pintu pun terbuka. Cepat-cepat Celia keluar dan mencari kedai kopi di ruangan yang cukup luas. Meskipun di jam kerja, food court masih ramai. Ternyata sebebas itu bekerja di perusahaan Hernan Corp. Bahkan ada yang berpakaian kasual bebas, tidak formal. Namun, di lantai sepuluh, para karyawan berpakaian formal. Dan ia baru ngeh, di lantai lima dan lantai delapan--tempat advertising, banyak yang berpakaian kasual bebas, tidak semua berpakaian formal. Kecuali para atasan.
Celia melihat lelaki itu masih mengikuti. Begitu menemukan Pacific Caffe tidak jauh dari lift, langkahnya langsung tertuju ke kedai kopi tersebut. Dari balik meja kasir, ia segera memesan dua gelas hot cappucino berukuran sedang. Ia juga memesan dua potong cheesecake blueberry. Lalu, bergegas membayarnya.
Tidak ingin menunggu dan berjaga jarak dari lelaki itu, Celia pergi ke minimarket yang ada di sebelah kedai kopi. Lantas, menyibukkan diri memilih-milih snacks apa yang ingin dibeli. Namun, ia mendesah kesal karena lelaki itu masih mengikuti.
"Nopo to buntot teros? Rumangsamu aku meh tertarik mbek awakmu, heh?" gumam Celia tanpa suara. Ia melemparkan tatapan tak suka kepada lelaki itu.
"Nyaman gak kerja di sini jadi PA-nya Pak Nick?" Lelaki itu berbasa-basi mengajak Celia ngobrol. Pelan-pelan, ia semakin mendekatkan diri.
Celia melirik sekilas. "Nyaman," balasnya singkat. Lalu, menatap deretan snacks di hadapannya.
"Aku, Varrel."
'Lhooo, aku ndak tekok jenengmu. Orak meh ngerti juga, cuk!' batin Celia. Merasakan ponsel dalam saku celananya bergetar, ia segera mengambil. Tertera nama Nicky di layar.
"Huuft!" Celia mendesah lega. Tidak menunggu lama ia langsung mengangkat.
"Sudah sepuluh menit, Celia. Kurang lima menit lagi."
Namun, yang didapat justru semburan suara tergesa-gesa dari Nick. Membuat rasa kesalnya langsung meningkat seketika. "Nunggu selesai dibikinin dulu lah, Pak. Memangnya sulapan bisa langsung jadi?"
Nick tidak memedulikan. "Aku hitung dari sekarang. Masih ada sisa waktu empat menit tiga puluh enam detik. Tiga puluh lima. Tiga puluh empat."
"Pak Nicky! Mana bisa gitu. Jangan bikin tremor saya." Akhirnya, Celia mengambil Lays sembarang rasa. Dan kesempatan untuk dirinya jauh-jauh dari lelaki bernama Varrel.
"Empat menit pas."
"Pak Nicky! Tolong sabar, dong!" seru Celia sambil berjalan menuju kasir. Pura-pura takut saja.
"Karyawan baru ya, Mbak?" tanya si kasir laki-laki.
Celia mengangguk. "Mas, cepetan. Ini sudah dicepet-cepet sama Pak Nick."
"Ngomong sama siapa kamu?"
"Kasir, Pak. Astaga!" Selesai membayar, Celia langsung berlari menuju kedai kopi.
"Dua menit lagi. Minta hukuman kan tadi? Aku sudah bersiap di dalam kamar."
"Enggak! Enggak! Tadi cuma bercanda!" Semakin kalang kabut Celia merasakan Nick. Padahal tadi hanya bercandaan saja menantangnya.
"Sudah?" tanya Celia kepada barista.
"Sudah, Mbak." Sang barista menyerahkan paper bag berisi dua cup cappucino panas dan cheesecake blueberry.
Celia langsung meraih. Lalu, berlarian menuju lift dengan ponsel dihimpit antara kepala dan bahu kanan.
"Habis waktunya. Siap-siap, Sayang!"
Celia ingin mengumpat. Setelah masuk ke lift, Nick memutuskan sambungan telepon. Ponsel pun ia simpan di saku. Dengan jantung berdebaran di dalam lift, benaknya sibuk memikirkan hukuman yang akan diberikan Nick. Lelaki itu pasti benar-benar akan menghukumnya. Nyatanya sudah dua kali ia ditahan, dicium dan dirinya yang suruh mencium.
"Iiish! Masa iya bikin anak di kamar kantor. Gendeng opo," gerutu Celia, dan tak lama ia tiba di lantai sepuluh. Lalu, berlari lagi menuju ruangannya. Syukur-syukur masih bisa negoisasi dengan suaminya.
"Kenapa, Cel, lari-larian?" tanya salah satu karyawan.
"Pak Nick lah. Sudah dicepet-cepet mulu dari tadi," balas Celia.
"Yang sabar, ya," ucap yang lain.
Celia masuk ke ruangan dengan tergesa. Melihat Harden dan Teresa duduk di sofa, pun dengan Nick, ia seperti melihat sesuatu hal yang membuatnya langsung malu sendiri. Kikuk. Lalu, menyengir sambil menyapa, "Ma, Pa."
Namun, dalam hati Celia mendesah lega. 'Ah, mertua yang datang tepat waktu. Makasih Tuhan, sudah menyuruh mereka datang,' batinnya sambil melangkah menghampiri.
"Kenapa lari-lari, Celia?" tanya Teresa, melihat menantunya yang terengah.
"Nicky cuma ngasih waktu lima belas menit. Jadi, cepet-cepet sambil lari-larian." Celia tersenyum malu.
"Nick, sama istri jangan suka ngerjain gitu," protes Teresa.
"Biar bisa disiplin, Ma. Namanya juga lagi ngelatih kerja si anak nakal ini."
"Bualongmu," gumam Celia, tanpa suara sambil menatap Nick. Lalu, ia beralih menatap kedua mertuanya. "Mama, Papa, mau minum? Biar Celia ambilkan," tawarnya.
"Tidak perlu, Sayang. Mama ke sini hanya ingin melihatmu saja. Sini duduk," pinta Teresa sambil menepuk sofa.
Celia menurut. Ia meletakkan paper bag dan snacks ke meja, lantas mendaratkan bokong di sebelah Teresa.
"Bagaimana hari pertama kerja?" tanya Teresa, ingin tahu.
"Seru." Celia manggut-manggut. "Cuma dikurung Nick terus di dalam ruangan, jadi enggak bisa bersosialisasi ke teman-teman," adunya.
"Nick." Teresa langsung menatap sang anak penuh intimidasi.
"Kalau mejanya ditaruh di luar, takutnya dia berkeliaran, Ma. Enggak fokus kerja."
"Bilang saja, takut Celia digoda laki-laki lain, Nick. Alasan saja." Kali ini, Harden yang berbicara.
"Malah dia yang sudah digoda, Pa. Tadi pagi saja langsung dipeluk sekretarisnya. Mana di depan mataku. Sebagai istri, 'kan, cemburu lihatnya." Kesempatan sekali Celia mengadu sambil menyembunyikan senyum.
"Nick." Teresa langsung melototi.
"Kan, enggak tahu kalau mau dipeluk. Tiba-tiba dipeluk saja." Nick menatap Celia, memberi perhitungan untuk menghukumnya. Sedangkan, gadis itu tersenyum-senyum tanpa dosa.
"Sekretarisnya bilang, dia kekasih Nick, Ma."
"Tidak akan ada mantu lain, selain kamu, Nak," tegas Harden. Dan disetujui oleh Teresa.
"Pulang kerja mau jalan sama Mama tidak? Mama mau ngajak kamu shopping," tanya Teresa, dan mendapat gelengan dari Celia.
"Masih nemenin Nick bertemu dengan kliennya."
Teresa mengangguk paham. "Kalau sudah ada waktu, bilang sama Mama, ya. Mama ingin ngajak kamu jalan-jalan."
"Suaminya harus ikut," pinta Nick.
Membuat sang Mama langsung senyum-senyum. "Sepertinya kalian sudah saling jujur dengan perasaan masing-masing, ya. Celia yang cemburu melihat Nick dipeluk sekretarisnya. Dan Nick yang sudah memperlihatkan overprotektifnya. Duuh, bisa cepet punya cucu lagi ini," ucapnya bahagia. "Ya sudah, Pa. Kita keruangan kamu lagi. Mama sudah lega melihat semuanya baik-baik saja."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top