Part 12
'Hamil? Mana bisa hamil? Bikin saja belum. Ngada-ngada Ibu ini,' batin Nick, antara geli dan tak percaya mendengar kata hamil dari ibu-ibu di hadapannya. Namun, tidak berselang lama, perhatiannya teralihkan kepada Celia yang mulai ada pergerakan.
"Celia," panggil Nick, lirih.
Gadis itu mengerjap. Kepala masih terasa berputar-putar. Butuh waktu untuk mengumpulkan seluruh nyawanya sampai mata benar-benar bisa terbuka sempurna.
"Nick." Celia memanggilnya lirih.
"Akhirnya, kamu sadar juga." Nick mengulas senyum kepada gadis yang dipangku kepalanya.
"Aku kenapa? Kenapa banyak orang yang melihatku?" tanya Celia, saat mengelilingi pandangan ke sekitar dan mendapati banyak orang mengerumuni meskipun tidak terlalu dekat. Tapi, tepat di samping kanannya ada ibu-ibu berkerudung yang juga mengulas senyum lebar.
"Mbak, minum teh tawar hangatnya dulu," pinta ibu-ibu itu sambil menyodorkan segelas teh tawar hangat, yang ia minta suaminya untuk membelikan.
Nick membantu Celia beranjak duduk. Ia melihat Celia mengernyit, mungkin masih terasa sangat pusing. Sambil menahan tubuh Celia dengan merengkuhnya dari samping, ia menerima sodoran gelas kaca bergagang dari ibu-ibu itu dan membantu Celia untuk meminumnya.
"Aku pingsan di toilet," ucap Celia lirih sambil menatap Nick, setelah ia meneguk teh tawar hangat itu.
"Kamu kenapa tidak bilang kalau lagi sakit? Kita bisa nunda keberangkatan ke Jakarta."
Celia menggeleng. Ia merebahkan kepalanya di bahu Nick. "Jangan kasih tahu orang rumah ya, Nick. Aku enggak mau Tante kepikiran." Ia juga tidak akan cerita kepada Nick apa penyebab dirinya pingsan. Ia tidak ingin lelaki itu tahu dirinya memiliki kelemahan dalam panic attack yang berhubungan dengan Jakarta, kecelakaan, rumah sakit, dan sirine ambulance.
Nick mengangguk patuh. "Masih pusing?" tanyanya, dan mendapat anggukan dari Celia.
"Mbak, jangan terlalu kelelahan, ya. Kalau lagi hamil muda, kondisi tubuh memang sangat rentan lemah."
"Hamil?" Kini, Celia yang membeo kaget. Ia beralih menatap Nick saat merasakan kepala lelaki itu mengangguk.
"Iyain saja biar enggak terlalu panjang pertanyaan," bisik Nick. "Kita sedang dihadapkan dengan tahta terkuat di bumi ini," lanjutnya.
Celia yang pura-pura paham padahal masih bingung, manggut-manggut sambil mengulas senyum paksa. "Ah, Ibu."
"Ibu-ibu ini juga yang sibuk membantu kita, Cel. Ngolesin kamu pakai minyak kayu putih biar cepat sadar."
"Iya kah? Terima kasih ya, Bu." Celia mengulas senyum tulus.
"Sama-sama, Mbak, Mas. Karena Mbaknya sudah sadar, saya tinggal dulu, ya. Mau lanjut perjalanan."
"Ibu, sekali lagi terima kasih, ya, sudah membantu dan perhatian terhadap saya," ucap Celia, tulus. Dan mendapat anggukan dari ibu-ibu itu.
Setelah ibu-ibu itu berlalu dan orang-orang yang mengurumuni Celia bubar, tinggal Nick seorang yang menaminya. Celia sudah duduk disandarkan ke dinding gazebo dan Nick duduk di sampingnya, menghadap gadis itu. Dengan perhatian, Nick terus mengecek kening Celia. Tadi belum ada demam, tapi semakin lama, ia bisa merasakan suhu tubuh Celia bertambah panas.
"Nick, maaf kalau ngerepotin kamu," ucap Celia, tidak enak hati kepada Nick yang sedari tadi terlihat sangat khawatir.
"Dari kecil memang sudah bikin repot. Tapi, tidak apa-apa. Aku suka direpotin kamu. Karena aku bisa jahilin kamu juga." Nick tergelak lirih, berusaha menghibur Celia. Ia tidak suka melihat gadis nakalnya terkulai tak berdaya. Ia lebih suka melihat Celia yang cerewet, kuat, dan berani. Tidak apa-apa dirinya dijahilin terus-menerus oleh gadis itu, asal masih bisa melihat tawa dan wajah cerianya.
"Kalau gitu, aku bakal ngerepotin kamu terus. Jangan protes kalau semakin brutal bikin repot kamu, ya," balas Celia, berusaha tertawa di tengah pusing kepalanya yang bikin puyeng.
"Aku ambil baju ganti dulu. Jangan ke mana-mana. Tetap diam di sini, okey!" perintah Nick. Tangan yang menggenggam tangan kanan Celia, tanpa sadar mengusap-usapnya penuh kelembutan.
Celia mengangguk. "Kalau aku diculik, jangan ditangisin, ya."
"Gundulmu! Jangan bicara gitu," ucap Nick, kesal sambil mencubit hidung Celia dan menariknya kasar.
"Nick, nanti hidung mancungku lepas! Mahal ini bikinnya," cecar Celia, tangannya refleks menabok tangan Nick.
"Diam di sini. Diam. Jangan ke mana-mana." Nick memberi peringatan lagi seraya beranjak.
"Iya, iya." Celia mengangguk. Nick mulai meninggalkan, dan masih ia tatap sampai lelaki itu menghilang dari pandangan.
Dalam diam, Celia mengagumi perhatian dan kekhawatiran Nick yang diberikan kepada dirinya. Nick memang menyebalkan, tapi lelaki itu memiliki hati yang lembut. Jika diingat-ingat ke belakang, Nick memang banyak perhatian kepada dirinya. Saat marah dan dirinya menangis, lelaki itu langsung memeluknya.
Tanpa sadar, Celia tersenyum-senyum sendiri membayangkan segala hal tentang Nick. Ia merasakan jantung berdebar kencang. Bukan debaran takut dan gelisah, tapi seperti orang yang sedang jatuh cinta. Ia bisa tahu karena pernah merasakannya saat jatuh cinta dengan Erick.
'Apa aku mulai ada rasa dengannya? Tidak mungkin. Aku tidak mungkin jatuh cinta dengan Nick. Dia temanku. Teman kecilku. Dan itu tidak akan pernah terjadi.'
Celia menggeleng, masih berusaha menyangkal tentang perasaannya terhadap Nick. Sebab, jika itu terjadi, ia akan jatuh cinta sendiri. Sedangkan, Nick tidak akan membalas. Mungkin akan menjadi sebuah lelucon dan ledekan untuk lelaki itu jika mengetahui dirinya jatuh cinta terhadapnya.
Ya. Ia tidak ingin jatuh cinta sendirian kepada Nick. Sudah cukup ia menjadi perempuan terbodoh selama menjalin hubungan dengan Erick. Empat tahun adalah waktu yang terbuang sia-sia hanya menjaga perasaan lelaki bejat.
Tidak berselang lama, Nick kembali sambil membawa pakaian miliknya. Cepat-cepat Celia mengubah ekspresinya menjadi biasa, dan menghilangkan kekagumannya kepada Nick begitu saja.
"Ayo, ganti baju dulu." Nick mengulurkan tangan, dan diterima oleh Celia. Lalu, ia membantu menahan keseimbangan tubuh gadis itu saat akan turun dari gazebo.
"Nick, aku bisa jalan sendiri," tutur Celia, ketika Nick akan merengkuh dan memapahnya berjalan.
"Beneran bisa?" Nick ingin memastikan.
Celia manggut-manggut meyakinkan. Namun, baru selangkah melangkah, ia sudah agak oleng. Nick langsung menangkap, menahan tubuhnya.
"Jangan nolak lagi. Aku tuntun jalannya," pinta Nick tegas.
Kali ini, Celia tidak menolak. Pasrah saja. Ternyata kepala masih terasa berputar-putar setelah ia mulai mencoba melangkah. Lantas, bersama Nick, ia menuju toilet lagi dan masuk ke ruangan khusus ganti diapers.
"Nick, tunggu di luar, ya," pinta Celia.
Tapi, Nick menolak. "Nanti kamu jatuh pingsan lagi. Aku tetap di sini. Lagian, aku sudah pernah lihat tubuh telanjangmu, Cel."
"Yo jangan lihat lagi sekarang." Celia mengerucutkan bibir.
"Kita sudah muhrim kalau kamu takut aku ngapa-ngapain kamu." Nick mengulas senyum jahil.
"Nickyyy. Keluar dulu ya, ya, ya." Celia tetap mengusirnya sambil mendorong tubuh Nick keluar ruangan.
"Oke. Oke. Jangan pingsan lagi tapi. Kalau itu terjadi, aku tinggalin kamu di sini."
"Iyaaa. Enggak lagi sekarang." Celia mengulas senyum lebar.
Setelah Nick berhasil dikeluarkan, Celia langsung melucuti kaus dan celana jeans-nya. Kemudian, memakai dress hitam tak berlengan. Sialnya, ritsleting macet di tengah-tengah. Ia sudah mencoba menaikkan dan menurunkan, tapi tidak bisa jalan.
"Aaargh!" keluh Celia, karena kedua tangan sudah terasa sangat pegal.
"Cel! Enggak pingsan lagi, 'kan?" Nick mengetuk pintu sambil berseru. Hanya ingin memastikan saja.
"Enggak, Nick. Masih aman," balas Celia, bernada tinggi. "Yang tidak aman cuma ritsletingnya," lanjutnya lirih dan kesal.
Merasa sudah cukup putus asa dengan ritsleting, akhirnya Celia memutuskan untuk memanggil Nick. Ia membuka pintu, menyembulkan kepala sedikit.
"Nick! Ssstt!" panggil Celia lirih, diiringi desisan.
Membuat Nick yang berdiri membelakangi pintu, langsung menoleh. "Kenapa?"
"Sini, masuk."
Lelaki itu mengernyit bingung. Namun, tidak berpikir panjang, ia mengikuti perintah Celia.
"Bantu aku naikin ritsleting. Macet. Enggak bisa dinaikin," pinta Celia, setelah Nick menutup pintu itu dengan posisi membelakangi.
"Tadi disuruh keluar. Ternyata butuh," protes Nick.
"Aku enggak tahu bakal gini. Lagian, kamu ngambil bajunya kenapa yang ini?"
"Yang paling gampang. Kenapa juga naruhnya di paling atas?" Nick mengecek ritsleting. Ada kain yang menyelip di sana dan itu yang ritsleting macet, tidak bisa dinaik-turunkan.
"Kan, asal naruh."
"Berarti bukan salahku."
Nick berusaha mengeluarkan kain yang menyelip. Setelah berhasil, ia menurunkan ritsleting. Dan ia bisa melihat kulit punggung Celia yang putih mulus, tak ada sedikit pun bintik-bintik. Lalu, tatapan tertuju ke tali BH Celia yang berwarna hitam. Kapan ia bisa melucuti semua pakaian yang melekat di tubuh istrinya? Melepaskan tali BH, menarik celana dalamnya, dan meraba seluruh tubuh Celia penuh kemesraan.
Memikirkannya, tubuh Nick meremang panas. Ia menelan ludah sendiri. Bahkan, secara naluriah, ia sengaja merapatkan tubuhnya ke tubuh Celia seraya menaikkan ritsleting. Ia terpejam untuk menghirup dalam-dalam aroma wangi dari rambut Celia yang terasa begitu menyegarkan.
"Nick, sudah belum?"
Suara Celia yang lirih, berhasil menyadarkan Nick dari imajinasi liarnya. Bisa-bisanya ia berpikiran yang tidak-tidak tentang tubuh Celia.
"Sudah." Nick menarik diri dari dekat Celia. Lantas, ia meraih jaket kulit hitam milik gadis itu yang tergeletak di tempat untuk bayi berbaring. "Pakai ini. Biar enggak kedinginan dan semakin sakit." Ia membantu Celia memakaikan jaket kulit itu tanpa ada perlawanan.
Celia menurut. Setelah selesai, Nick berkata, "Aku juga mau ganti kaus."
"Aku keluar dulu."
"Tidak. Tetap di sini." Nick menahan salah satu tangan Celia, agar tidak melanjutkan langkah. "Tunggu."
Cepat-cepat Nick membuka kaus, membuat Celia langsung berbalik dan menutup mata.
"Cel, enggak pengen lihat roti sobekku lagi?" Nick tersenyum jahil sambil mengambil kemeja hitam, yang tadi digabungkan dengan jaket milik Celia.
"Nick, cepetan. Jangan aneh-aneh." Padahal, pikiran Celia langsung teringat dengan perut Nick yang memiliki bentuk roti sobek. Terlihat keras dan berotot.
"Enggak aneh-aneh. Cuma nawarin aja. Siapa tahu kamu mau lihat lagi." Lelaki itu baru saja memasukkan kedua tangan ke lengan kemeja. "Cel, gantian. Bantuin aku ngancingin kemejanya."
"Kamu bisa sendiri." Celia masih bertahan dengan posisinya.
Namun, Nick langsung membalikkan tubuh gadis itu menjadi menghadapnya.
"Nick." Celia mengaduh sambil menabok lelaki itu sekenanya karena mata masih terpejam.
"Cel, enggak usah malu-malu. Kita sudah nikah ini kok." Nick mengangkat dagu Celia agar mendongak menatapnya. "Buka matanya."
Celia menggeleng cepat.
"Ya sudah. Kalau gitu ngikutin arahanku saja." Nick menggenggam kedua tangan Celia diarahkan ke kancing kemejanya. Namun, ia justru melesetkan tangan Celia ke dada telanjangnya dan dituntun meraba kulitnya perlahan.
Celia yang merasakan itu terkejut bukan main. Refleks, ia membuka mata. Langsung beradu tatap dengan Nick. Ia menelan ludah sendiri saat melihat tatapan Nick cukup lekat dan dalam. Lalu, pandangannya teralihkan ke jakun Nick yang naik turun. Dan Nick menangkup sebelah wajahnya, mengusap lembut bibirnya menggunakan ibu jari.
Perlahan, Nick memajukan kepala berniat mencium Celia. Sebelum akhirnya, diurungkan karena mendapat ketukan dari luar. Padahal sedikit lagi bibir akan bertemu dengan bibir.
Celia yang salah tingkah, langsung mengalihkan perhatian dengan mengancingkan kemeja Nick. Setelah selesai, ia dan Nick keluar bersamaan dengan membawa baju kotornya.
"Lama banget, Mas, Mbak?" tanya seorang perempuan yang sudah menunggu cukup lama di depan ruang ganti itu sambil menggendong bayi. Ia menatap penuh curiga kepada Nick dan Celia.
Namun, diacuhkan oleh Nick yang merengkuh Celia sembari berjalan.
"Dia pasti mikirnya kita baru gituan," ucap Celia, setelah agak jauh dan menuju rumah makan.
"Biarin. Mau mikir yang gituan juga enggak apa-apa. Orang kita sudah sah suami-istri."
"Tapi, malu, Nick. Dikiranya kita enggak tahu tempat."
"Ya sudah. Lanjut nanti kalau kita sudah sampai di apartemen."
"Niiick!" Celia langsung melototi sambil mencubit perut lelaki itu.
Sementara, Nick tergelak lirih. Dengan gemas, ia mengecupi bibir Celia. Tidak peduli banyak orang berlalu-lalang.
Dan sejak kapan ia sangat menginginkan Celia seutuhnya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top