Part 1

Di sebuah rumah berlantai dua di daerah perkampungan, semua orang yang diundang untuk rewang, sedang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Sekelompok ibu-ibu yang berada di dapur luar ruangan yang sengaja diperluas, sibuk menyiapkan berbagai macam olahan makanan yang akan dihidangkan untuk para tamu undangan. Obrolan pergosipan yang panas, menjadi pelengkap dalam aktivitas mereka. Lelah pun tak mereka hiraukan meski sudah berjam-jam berjibaku di dapur.

Sementara, di dalam rumah, hiruk-pikuk obrolan para ibu-ibu dan remaja perempuan pun tak kalah ramai yang sedang menata-nata snacks ke dalam box, untuk memudahkan menjamu keluarga mempelai pria yang akan datang pada esok hari. Sedangkan, para laki-laki sibuk dengan tugasnya--meladeni para tamu undangan yang datang lebih awal--di teras depan yang sudah terpasang dekorasi mewah.

"Tamu dari Jakarta datang." Seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan, masuk ke ruang keluarga yang dipergunakan untuk membungkus snacks-snacks. Ia heboh sendiri memberi kabar tersebut, agar orang-orang yang ada di sana merasakan atmosfer penasaran.

"Siapa?" tanya seorang perempuan paruh baya yang memakai serentetan gelang emas di kedua pergelangan tangannya. Kalung emas berukuran besar, anting ceplik emas berbentuk bulat sebesar kancing, sengaja diperlihatkan dengan ia memakai penutup kepala berbentuk kupluk.

"Temannya almarhum Pak Dallas dan almarhumah Bu Sasha. Cepat, siapkan jajanan yang pantas untuk dihidangkan. Mereka orang kaya, harus dalam keadaan bersih wadah penyajiannya," perintah lelaki yang memberi kabar itu.

Beberapa orang ada yang langsung bertandang menyiapkan jajanan ke piring-piring besar sesuai perintah. Memastikan piring-piring itu bersih tanpa noda, dan menata bermacam jajanan khas kampung, seperti; jenang, wajik, lapis, roti bolu, kueku, pie buah, lemper, bikang, cucur, putu ayu, naga sari, yang semua sudah dipotong-potong dan dibungkus plastik sangat rapi. Juga masih banyak jajanan kering lainnya yang ditaruh di dalam toples.

Pak Irawan dan Suci--yang tak lain adik dari almarhum dan almarhumah, menyambut hangat kedatangan tamu dari kota tersebut dan mempersilakan mereka duduk di sofa ruang tamu yang cukup luas. Silaturahmi mereka masih terjalin erat meskipun Dallas dan Sasha telah tiada dari sepuluh tahun lalu. Apalagi, ada satu ginjal milik Sasha yang terpasang di tubuh anak lelaki dari tamunya tersebut, yang membuat hubungan mereka sudah seperti saudara.

Dulu, Sasha perantau dari desa ke Jakarta. Sekolah dan kuliah di sana, bekerja pun di sana. Lalu, bertemu dengan Dallas Mavericks, seorang lelaki asing dari negara Belanda yang sedang melakukan perjalanan bisnis di kantor tempatnya bekerja, hingga berakhir menikah. Namun, setelah kepergiannya karena peristiwa naas menimpa keduanya, Celia Marvericks--anak semata wayang mereka, dibawa pulang ke kampung dan menjadi tanggung jawab Irawan serta Suci untuk menjaganya. Celia sudah dianggap seperti anak sendiri oleh mereka, berhubung keduanya belum memiliki keturunan sampai sekarang.

"Pak Harden, Bu Teresa, terima kasih sudah datang kemari. Suatu kehormatan bagi kami, karena jarak Kendal dan Jakarta cukup jauh," ucap Irawan, penuh haru bahagia.

"Justru kami yang harus berterima kasih kepada kalian karena sudah memberi kabar kalau Celia akan menikah. Sudah lama aku tidak bertemu dia secara tatap muka." Teresa tersenyum ramah di sela basa-basinya. "Dulu masih jadi gadis tomboy. Tahunya, dia malah menikah lebih dulu dibanding Nick."

Irawan tergelak renyah. "Begitu lah. Siapa yang tahu dia akan mendahului Nick." Ia menjeda ucapannya sejenak sambil manggut-manggut. Lalu, mengalihkan perhatian saat beberapa orang keluar dan menyajikan jajanan di meja depannya. "Terima kasih," ucapnya kepada orang-orang itu.

"Silakan dicicipi jajanan pasar khas kampung ini," pinta Suci kepada ketiga tamunya, bersamaan dengan dua remaja perempuan yang menaruh teh botol ke hadapan masing-masing tamunya tersebut.

"Iya, terima kasih." Teresa manggut-manggut sambil menatap jajanan kampung yang terlihat menggoda dan selalu menjadi makanan favorit jika ia jalan-jalan ke daerah Jawa Tengah.

"Sekarang Celia sudah menjadi gadis yang cantik. Sudah pandai berdandan ala-ala perempuan. Yeah, walaupun masih ada sifat-sifat tomboynya yang tidak tertinggal di dalam dirinya." Irawan tergelak ketika teringat Celia yang masih suka motoran, bela diri, keberaniannya yang seperti tidak memiliki rasa malu-malu, kadang masih suka pecicilan. Hanya saja, keponakannya itu akan bersikap manis dan faminim jika di hadapan orang-orang yang dihormatinya. "Banyak laki-laki yang mengejarnya, makanya dia mutusin untuk menikah setelah menemukan yang cocok."

"Ah, beruntung sekali laki-laki yang bisa menikahi gadis manis itu." Teresa tergelak renyah.

"Chloe tidak ikut kemari?" tanya Irawan.

"Chloe sudah menetap di Kanada sama suaminya. Sudah sibuk di sana, jadi jarang pulang ke Indonesia."

"Hmm." Irawan dan Suci manggut-manggut paham.

"Nick sendiri bagaimana? Sudah menemukan perempuan yang cocok?" tanya Irawan, ingin tahu sambil menatap lelaki tiga tahun lebih tua dari Celia dan terlihat sangat pendiam. Sedari tadi tidak mengeluarkan suara, hanya sunggingan senyum tipis saat berjabat tangan.

"Belum punya sepertinya." Teresa menatap anak laki-lakinya yang baru menginjak usia 27 tahun. Tapi, sudah terlihat lebih dewasa dari umurnya. Mungkin karena Nick memiliki sifat yang pendiam, cuek, pekerja keras, tapi juga memiliki hati yang lembut dan manis. Juga susah ditebak antara sedang happy atau unhappy. Wajahnya tetap saja datar. Harden semasa muda sekali anak lelakinya itu. Ah, begitu pun dengan Chloe. Hanya paras cantiknya yang menurun dari dirinya.

"Celianya sedang apa sekarang?" tanya Teresa kemudian.

"Sedang dihenna di kamarnya. Saya panggilkan dia dulu."

"Tidak usah. Tidak usah." Teresa langsung menghentikan gerakan Suci yang akan beranjak berdiri. "Nanti mengganggu dia. Kalau boleh, biar aku saja yang menemuinya ke kamar dia."

"Tentu saja boleh. Ayo, Bu." Dengan senang hati, Suci mengajak Teresa menuju kamar Celia yang ada di lantai dua.

Keduanya berlalu dari ruang tamu, memasuki ruang keluarga yang cukup berantakan karena banyak barang-barang. Dengan ramah, Teresa menyapa orang-orang yang ada di sana dan mendapat sapaan balik yang tak kalah ramahnya.

"Sudah menjadi ciri khas orang kampung, Bu, kalau ada yang menggelar hajatan, tetangga dan sanak-saudara yang dari jauh-jauh akan berkumpul untuk bantu-bantu. Gotong royong lah, ya, istilahnya. Dan kebanyakan, kami menggelar hajatan di rumah sendiri," jelas Suci sambil mengayunkan kaki menaiki tangga.

"Terasa sekali keakraban di sini, ya," sahut Teresa, dan mendapat anggukan dari Suci.

"Minusnya, kalau ada apa-apa menjadi bahan gosipan tetangga-tetangga. Tapi, saya bersyukur bisa mendirikan rumah tidak di tengah-tengah kampung dan bertetangga dengan sawah." Suci tergelak. Rumahnya itu ada di pinggir jalan sebelum masuk kampung dengan kanan-kiri, depan-belakang, sawah datar yang terkadang ditanami padi, jagung, maupun bawang merah. Tergantung musim dan kemauan si pemilik sawah saja.

"Celia," panggil Suci sambil mengetuk pintu kamar sang keponakan. Tidak lama, pintu terbuka dari dalam. Ada teman-teman Celia yang bertugas jadi bridesmaid di sana, sengaja tidur di rumahnya agar esok hari tidak kesiangan datang.

"Tante Resa!" Celia yang melihat Teresa berdiri di belakang Suci, langsung membelalakkan mata saking terkejutnya. Ia beranjak berdiri, lantas menghampiri Teresa dan memeluknya erat.

"Tante, kok, gak bilang-bilang mau datang kemari?" tanya Celia sambil menumpahkan kerinduannya terhadap perempuan itu. Sudah lama sekali tidak bertemu, meskipun masih aktif bertanya kabar melalui virtual.

"Kejutan untukmu." Teresa tersenyum lebar seraya mengurai pelukan. "Tambah cantik saja," pujinya sambil memerhatikan Celia yang semakin cantik dan manis.

"Bukan gadis tomboy seperti dulu lagi." Celia tergelak renyah. "Sudah lama sampai di sinisnya?"

"Belum begitu lama."

"Nginep di mana? Di sini saja, ya," pinta Celia, memohon. "Tante Uci, masih ada kamar, 'kan?"

"Masih. Tante sudah siapkan untuk Bu Teresa dan keluarga."

"Ternyata, Tante Uci udah tahu Tante Resa mau kemari?" Celia menyipitkan mata kepada tantenya, karena diam-diam saja tidak memberitahu.

"Tentu lah, Cel. Orang Tante yang ngasih tahu Bu Teresa." Suci terkekeh. "Tante sengaja tidak ngasih tahu kamu dulu. Takutnya, kalau Bu Teresa dan Pak Harden tidak bisa datang kemari, malah ngasih harapan palsu ke kamu. Lebih baik gini, datang tiba-tiba dan jadi kejutan untukmu, 'kan?"

Teresa tersenyum lebar mendengarnya sambil mengelus-elus rambut panjang Celia yang terasa begitu lembut dan dibuat berombak bagian bawah. Melihat kamar gadis itu yang didekorasi sedemikian cantiknya, membuat dirinya teringat dalam suasana malam pertama setelah menikah. Dan sekarang, gadis kecil yang malang ini akan segera menjadi istri orang. Melepas lajang.

'Ah, Celia.'




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top