Stick With You part 3
Sepanjang perjalanan dari airport menuju villa milik Alfa yang berada di Ubud, pikiranku berkelana entah ke mana. Kepalaku dipenuhi dengan wajah cantik dan lembut milik Anindita. Jangan heran jika aku menyebut namanya begitu panjang, tidak seperti Alfa yang selalu memanggilnya dengan panggilan yang lebih singkat, Dita. Aku tidak pernah memenggal namanya. Alasannya, karena aku begitu menikmati saat menyebutkan namanya yang panjang.
Anindita. Anindita. Anindita.
Mengenai kegugupanku, kurasa sangat wajar. Mengingat ini akan menjadi pertemuan pertama kami setelah mereka memutuskan menikah. Cinta segitiga memang selalu terasa menyakitkan. Aku memendam perasaan padanya sekian lama, menunggu saat yang tepat untuk mengatakan perasaanku. Namun Alfa datang, mereka menjadi dekat karena sama-sama memiliki hobi pada lukisan. Hingga suatu hari, aku mendengar dari mulutnya, bahwa Alfa melamarnya. Dan dia... Aninditaku sayang, setuju untuk menerima lamaran Kakakku. Bahkan di hari pernikahan mereka, aku tidak hadir. Ya. Di hari pernikahan Kakak dan sahabatku, aku memutuskan untuk tidak hadir karena aku kalah, aku sudah kalah sebelum berperang.
Anindita tidak pernah melihatku sebagai pria yang dia kagumi dan cintai. Baginya, aku hanya seorang sahabat. Selamanya. Sementara aku, Si Pengecut ini, bahkan tidak berani mengungkapkan perasaanku, meskipun dulu aku punya sejuta kesempatan lebih banyak dari Alfa.
Tak terasa, Mercedes hitam yang menjemputku sudah memasuki area villa milik Alfa. Dulunya, villa ini milik keluargaku. Namun sebelum menikah, Ayahku memberikan villa ini sebagai hadiah pernihakan Alfa dan Anindita. Mereka yang sama-sama benci dengan keramaian, sungguh sangat bahagia menerima pemberian Ayah. Mereka suka daerah yang tenang, dan nyaman seperti di sini.
Meskipun benci mengakuinya, tapi mereka sepertinya memang berjodoh. Alfa memutuskan mengundurkan diri dari posisinya di perusahaan dan membangun usaha travel. Dan kudengar, usahanya berkembang pesat. Bahkan dalam waktu dekat, ia akan membangun sebuah hotel bintang lima di daerah Nusa Dua. Luar biasa.
Kuketuk pintu rumah perlahan, sambil menimbang-nimbang, apakah perbuatanku ini benar atau sebaiknya aku kembali ke airport dan memesan penerbangan ke tempat lain. Sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, pintu terbuka lebar, dan terlihat seorang pria yang sangat mirip denganku. Bedanya, pria ini terlihat lebih dewasa dan tenang dibandingkan aku. Ya, dia Alfa Pranata.
Alfa tampak tercengang melihatku. Namun, raut kebahagiaan tidak dapat ditutupi olehnya. Dia menghampiri dan memelukku erat.
"Astaga, Alaric!"
"Aku sibuk dengan urusan pekerjaan jadi tidak bisa hadir di pernikahanmu. Maaf." Aku bahkan menjelaskan alasanku mengapa tidak datang di hari pentingnya sebelum ditanya. Ya, hanya sebuah alasan.
Alfa tersenyum maklum sambil meninju lenganku. Tiba-tiba aku merasa seperti pecundang. "Masuklah. Dita akan senang bertemu denganmu"
Aku mengangguk, melepas kacamata aviatorku dan berjalan di belakangnya. Interior villa ini tidak banyak berubah. Aku tahu Anindita jatuh cinta pada villa ini ketika keluargaku dan keluarganya liburan bersama ke tempat ini saat kami masih SD. Dan dia berkata padaku, "Al, suatu hari nanti, aku dan pangeranku akan tinggal di sini."
Aku mencibirmya saat itu. Dan sekarang dia boleh balas mencibirku karena impiannya jadi kenyataan.
Alfa membuka lemari es dan memberiku sekaleng bir. Aku langsung membuka dan meminumnya, kemudian mataku melihat sekeliling ruangan.
Astaga! Pemandangan macam apa ini!
Dapur memang berhadapan langsung dengan kolam renang, dan hanya dibatasi kaca besar. Karena perkara itulah aku sekarang sedang menatap Anindita keluar dari kolam renang hanya memakai bikini warna hitam.
Pandangan kami terkunci dan matanya membelalak kaget. Dia segera memakai jubah handuknya, sementara aku mengedipkan mata dengan kecewa karena harus kehilangan pemandangan indah. Setengah berlari dia menuju ke arahku.
Emm... Di mana Alfa? Bukankah tadi dia ada di sampingku?
Wanita itu kini berdiri di hadapanku, dia menatapku sambil memegang pipiku. Detik selanjutnya, dia ada dalam pelukanku. Menangis terisak-isak cukup keras. Wanginya masih sama seperti dulu. Betapa sering aku memeluknya, ketika perceraian kedua orangtuanya memukulnya sangat kuat. Betapa sering aku memeluknya ketika beberapa teman wanita membenci dan memusuhinya karena dia yang paling pintar di kelas. Dan saat ini rasanya masih sama. Dia masih Aninditaku yang dulu.
"Dia sangat merindukanmu," ujar Alfa sambil tersenyum. Aku segera melepaskan Anindita dari pelukan. Rasanya segan dan sungkan memeluk wanita yang sudah ada stempel halal milik pria lain di dahinya.
Anindita mengajakku duduk di sofa kulit yang superempuk di tengah ruangan. "Jadi, ke mana saja dirimu?" Dia menaikkan salah satu alisnya yang membuatku gemas dengan rasa ingin tahunya.
"Bekerja. Mencari nafkah," ujarku tak acuh sambil mengangkat bahu.
"Sampai-sampai kamu nggak punya waktu untuk datang ke pernikahan Kakak dan sahabatmu sendiri?" Anindita bertanya lirih. Aku sangat yakin sebentar lagi bendungan air di matanya akan meluap.
Aku mendengar suara ponsel yang rupanya milik Alfa. Kakakku langsung menjauh dari kami dan menerima telepon di luar.
"Sebentar, ya."
Sial! Padahal dia satu-satunya benteng pertahananku.
"Aku senang kau bahagia." Kutatap mata cokelat hangat miliknya.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku! Ke mana saja kamu selama ini? Dan kenapa kamu sampai nggak bisa datang ke pernikahan kami?" Dia mendengus, dan aku terbahak-bahak.
"Aku sudah menjawabnya, aku sibuk."
"Kamu menyebalkan."
"Tapi kamu kangen, kan?" ujarku menggodanya dan dia hanya tersenyum dengan rona merah di pipinya.
Oh, Tuhan, tolong aku... hindarkan aku dari dosa karena keinginan untuk menyelingkuhi Kakak iparku sendiri.
Anindita menggenggam tanganku seakan takut aku meninggalkannya. Ah, mengapa wanita ini tidak peka sekali? Aku mencintainya dan dia berlaku seenaknya. Memelukku, dan memegang tanganku. Aku bahkan harus mengingatkan diriku berulang kali jika Anindita adalah istri Kakakku. Seandainya saja dia mencintai orang lain dan bukan Alfa, aku bersumpah akan merebutnya dan memperjuangkannya. Lagipula, sampai kapan pun aku tidak akan tega melukai hati Kakakku. Namun, aku yakin jika Alfa mengetahui perasaanku pada Anindita, ia pasti rela mengalah dan mati demi aku. Aku tidak berlebihan, karena memang begitulah Kakakku.
"Mengapa kamu menghindariku, Al?" Matanya menatap mataku seakan-akan dia tahu ada yang aku sembunyikan.
"Aku tidak menghindarimu. Kamu tahu aku sibuk sekali. Setelah Alfa pergi dari perusahaan, aku meng-handle semuanya sendiri." Aku berusaha keras menghindari kontak mata. Pertahananku akan hancur. Pasti hancur.
Anindita menaikkan salah satu alisnya, "Kamu yakin?"
Aku mengangguk. Baiklah, sekarang aku butuh kamar. Tepatnya kamar mandi untuk membasuhi kepalaku dengan air dingin. Berharap sisa-sisa perasaanku pada Anindita ikut hilang terbawa arus air.
"Aku ke kamar dulu," ucapku sambil berdiri dan berjalan menuju kamar tamu yang tadi sempat ditunjukan Alfa padaku ketika aku sampai. Ada bias kesedihan di mata Anindita. Aku tahu aku salah, aku mungkin menyakiti hati Anindita karena mengacuhkannya. Memangnya aku bisa berbuat apa? Membiarkan perasaanku kepadanya bertumbuh semakin besar?
Lagipula, apa yang sebenarnya kulakukan di sini? Benarkah tujuanku hanya ingin memastikan dia bahagia? Jelas, tentu saja dia bahagia. Alfa adalah pria sempurna yang tidak akan melukai hatinya sedikit pun. Tidak seperti aku.
Meskipun aku sangat sangat ingin menyentuh wajahnya, membawanya dalam pelukanku, dan memberikan seluruh perasaan yang aku miliki terhadapnya, tetap saja saat ini dan untuk selamanya, dia terlarang untukku.
***
Sepanjang hari aku hanya mengurung diri di kamar. Sekarang aku menyesali mengapa aku harus berada di sini. Di sini hanya membuat perasaanku semakin kacau. Harusnya aku berlari ke tempat lain. Tempat di mana aku bisa menjernihkan pikiran, dan bukan malah lari ke tempat yang membuat perasaanku tidak keruan.
Aku tersentak ketika terdengar ketukan di kamarku.
"Al, makan malam." Suara merdunya kini terasa menyesakkan. Aku segera bangkit dan membuka pintu. Menyembunyikan segala perasaan dan memasang topeng 'baik-baik saja' di wajahku.
"Aku akan turun sebentar lagi."
"Sekarang!" Anindita memeluk lenganku dan mengajakku turun bersamanya. Alfa sudah menunggu di meja makan. Dia sudah biasa melihatku dekat dengan Anindita. Saling memeluk, berangkulan, bergandengan adalah hal yang biasa dari persahabatan kami. Toh, pada awalnya, semua orang memprediksi kami akan berjodoh, tapi siapa yang menyangka justru Alfa-lah yang menjadi suami Anindita saat ini, bukan aku.
"Kami ingin merayakan sesuatu, kebetulan kau ada di sini," ujar Alfa sambil tersenyum lebar.
Alfa dan Anindita duduk bersebelahan, sementara aku di seberang mereka – tentu saja sendiri. Meja di depan kami dipenuhi makanan yang sebagian besar olahan seafood. Semuanya terlihat lezat dan meskipun suasana hatiku buruk, siapa yang bisa menolak udang saus padang buatan Anindita?
"Apa yang kalian rayakan?"
Seingatku, Alfa baru akan berulang tahun bulan depan, sedangkan Anindita ulang tahunnya masih dua bulan lagi.
"Kehamilanku." Suara wanita itu tegas dan aku bisa mendengar dia sedikit tertawa. Dia menertawaiku? Bukan, dia tertawa karena kebahagiaan yang membuncah. Hanya aku, yang merasa seperti tersedak udang dan lupa caranya bernapas.
Bumi, tolong telan aku bulat-bulat sekarang!
Aku mencoba mengatur napasku dan tersenyum. Memangnya apa yang aneh, Bodoh? Dalam hati aku memaki diriku sendiri. Mereka menikah, tidur bersama, dan simsalabim, tumbuhlah janin dalam rahimnya. Hampir semua orang yang menikah pasti akan mengalaminya, lalu mengapa aku begitu terluka saat mendengarnya?
"Wow, Selamat! Jika perempuan, dia pasti secantik ibunya, dan jika laki-laki, harus setampan Pamannya," ujarku datar.
Alfa tertawa, begitupun Anindita. Hanya aku. Ya, aku yang memandang kosong ke arah piring yang juga masih kosong. Hatiku sama seperti piring ini, kosong tidak berisi apa pun. Pada akhirnya, aku hanya sendirian. Tidak ada lagi Aninditaku, semangatku.
Baiklah, aku sudah memutuskan akan pergi besok pagi. Tidak ada lagi yang kucari di sini kecuali aku ingin hatiku semakin terbelah dan hancur berkeping-keping.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top