Part 14. Kejutan Tak Terduga

****
Ariel tersenyum, wajah pemuda itu tersipu ketika melihat perlakuan Brighid padanya hari ini. Meskipun hanya pembelaan biasa namun di mata pemuda itu, apa yang dilakukan Brighid sungguh membuatnya berada di luar kendali.

Bagi Ariel tidak ada hal yang sungguh mengesankan dalam hidupnya kecuali pembelaan Bri satu ini. Bagaimana ia tidak senang jika gadis yang ia idam-idamkan, sekali dalam hidupnya memberikan pembelaan pada dirinya terlebih di depan Rheino, pacar Bri sendiri.

Kau tau-lah bagaimana rasanya jika kau berada di posisi Ariel yang sudah tiga tahun memuja Bri sebagai pujaan namun tak pernah kesampaian menggapai hatinya?

"Bri, kau sungguh-sungguh membelaku?" ucap Ariel di belakang Brighid. Bertanya dengan hati-hati, ia takut jikalau Bri tiba-tiba meledak dan merusak moment kebersamaan mereka.

Brighid yang berjalan di depan Ariel hanya terdiam, wajah gadis itu bersungut kesal. Bola matanya berputar penuh rasa muak namun tak sedikitpun gadis itu mengeluarkan suara.

"Aku nggak percaya kamu bisa membelaku tadi. Aku kira kamu akan mengusirku lalu ...." Ariel menghentikan ucapannya ketika Bri menghentikan langkah lalu berbalik menatapnya.

Seperti macan betina yang lapar, Bri menyilangkan tangan di dada dan menatap Ariel penuh kobaran api. Gadis itu berusaha sabar dengan segala ucapan yang keluar dari bibir pemuda tersebut.

"Bri, kamu tersinggung?" Ariel berkata pelan dan sangat hati-hati.

"Riel, aku mohon ya sama kamu, kamu gak usah gedhe kepala gara-gara aku belain kamu di depan Rheino tadi. Aku nglakuin semua itu karena aku gak ingin ada keributan diantara kalian. Jadi, stop, sekarang jangan nempel-nempel lagi sama aku."

Bri lantas memutar tubuh, menghindar dari tatapan Ariel yang menyiratkan rasa kecewa luar biasa. Sebelum gadis itu pergi, Ariel lantas menarik tangan Bri dengan kencang. Gadis bersurai panjang terempas, tubuhnya membentur tembok sekolah dan Ariel berhasil menguasainya.

"Bri, denger ya, Aku tuh tipe cowo yang gak suka ditindas. Hanya kamu, hanya kamu yang bisa permainin perasaanku seenak jidatmu. Bri, sampai kapan kamu mau terima perasaanku?" Ariel bertindak nekat, membelenggu tangan kiri Bri di belakang punggung.

"Lepasin tanganku nggak? Sakit tau!" ronta Bri meringis kesakitan. Tangan kanannya berusaha mendorong tubuh Ariel yang berusaha mengimpitnya.

Ariel menyeringai, tangan kirinya tergerak untuk menyengkeram rahang Bri yang begitu rapuh. Pemuda itu menatap Bri dengan tajam.

"Aku tahu kenapa kamu masih gak mau lepasin Rheino sebagai pacar kamu?! Aku juga tahu hubungan macam apa yang udah kamu lakuin sama dia," ujar Rheino setengah berbisik.

Bri yang berusaha meronta, terpaku sejenak. Napas gadis itu memburu tatkala Ariel kembali menyeringai layaknya setan di hadapan Bri.

"Aku juga tahu apa yang terjadi di malam tour sekolah tahun lalu," imbuh Ariel dengan mantap.

Bagai disambar petir, pupil mata Brighid menciut kalut. Jantungnya berdegup bagai genderang yang ditabuh tatkala hendak perang. Napasnya terputus beberapa detik, wajahnya terbakar seolah Ariel tengah membakarnya dengan api neraka.

"Jadi, terserah kamu, mungkinkah aku harus menceritakan cerita panas itu pada mamamu?" ucap Ariel dengan mata menyipit, nada suaranya pelan namun penuh aroma arogan.

Perlahan Ariel tersenyum, ia sadar jika ucapannya begitu mengena dalam hati Brighid. Jika gadis itu sadar, maka otaknya mungkin akan segera bekerja sesuai dengan tebakan Ariel. Ya, lambat laun Bri pasti akan mencampakkan Rheino.

"Menurutku, kau takkan rugi jika jadi cewekku." Ariel berbisik di telinga Bri yang sama sekali tak berkutik.

Bersamaan dengan itu, Rheino yang hendak kembali ke kelasnya harus menemui adegan dimana di kedua bola matanya, Bri terlihat dicium oleh Ariel. Emosi Rheino kembali meluap namun setan baik dalam dirinya kembali berbicara. Rheino tak boleh gegabah, ia harus memberi pelajaran Ariel suatu hari nanti dan bukan hari ini.

Rheino membalikkan badan, memutar arah agar ia tidak terlalu lama mengamati adegan mereka yang kurang ajar. Bagaimanapun Rheino punya rencana sendiri dan ia akan melakukannya nanti.

*****

Suara bel akhir pelajaran sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Membereskan beberapa buku, Brighid berusaha untuk tetap tenang selepas dari ancaman Ariel beberapa saat yang lalu. Gadis itu terlihat malas untuk pulang, entah, apakah Rheino masih mau menunggunya untuk pulang bersama atau justru dia sudah melaju pergi dari parkiran sekolah.

"Kamu kenapa sih, Bri?" singgung Dea merasa aneh dengan sikap Bri yang mendadak menjadi diam.

"Iya tuh, setelah jam istirahat tadi, aku liat dia sesekali gelisah dan tegang," imbuh Mitha seraya menatap Dea dengan tatapan serius. Gadis itu berusaha menggendong tas punggungnya.

Bri menghela napas, ia memasukkan buku lalu menutup tasnya rapat-rapat. "Kau ingat tugas matematika yang Pak Bowo berikan bukan? Aku masih teringat akan tugas itu."

Dea dan Mitha saling pandang lalu tanpa sadar menganggukkan kepala tanda mengerti. Mereka tau bagaimana sulitnya tugas matematika yang diberikan Pak Bowo hari ini.

"Tapi kan kamu punya Rheino yang jago matematika, kamu bisalah senggol dia dikit buat bantuin kamu kerjain tugas," seru Dea menyarankan, diikuti anggukan penuh semangat dari Mitha.

Bri belum menjawab, ia beranjak bangun dari kursi duduknya lalu memakai tasnya. Berjalan meninggalkan kelas, Bri berusaha menutupi keresahan hatinya dengan berdalih membicarakan tugas matematika yang ia terima.

"Ya coba entar si Rheino mau bantu kagak soalnya dia juga kadang males bantuin aku yang bodonya gak ketulungan," jawab Bri asal la tas disusul gelak tawa kedua teman baiknya.

Ketiganya berjalan bersamaan meninggalkan ruang-ruang kelas yang mulai kosong, beberapa anak ribut dan berebut untuk pulang. Langkah Bri terhenti sejenak begitupun dengan Dea dan Mitha tatkala melihat Rheino tengah mengobrol dengan si bunga kelas di area parkiran sekolahan.

"Eh, bukannya itu si Sisi anak kelas dua yang kemarin baru pindah?" celetuk Dea seraya menepuk tangan Mitha.

Bri terpaku di tempat, ia melirik ke arah sohibnya dengan rasa penasaran.

"Iya, dia terkenal paling cantik di seluruh kelas dua. Eh, tapi, ngapain dia deketin Rheino?" tanya Mitha turut penasaran.

Tak lama kemudian, Sisi—si bunga kelas naik ke belakang motor Rheino setelah lama bercakap-cakap. Dea dan Mitha menganga tak percaya tatkala tahu Rheino memacu motornya meninggalkan area sekolahan bersama gadis tersebut. Tak hanya Dea dan Mitha, Bri turut merasa kaget mendapati hal demikian.

Apakah ..., apakah Rheino tengah balas dendam padanya? Lalu sejak kapan Rheino kenal dengan Sisi, anak baru kelas dua tersebut? Kenapa dirinya tak menyadarinya sedikitpun? Kenapa?

****
Akhirnya sore itu Bri lagi-lagi diantar sama Ariel pulang ke rumahnya. Sambutan Mama Lisha sungguh luar biasa, berbeda dengan Rheino yang terus menyalakan sorot api di kedua bola matanya. Kali ini Ariel memilih hanya mengantarkan Bri pulang, selebihnya ia segera mohon pamit kembali karena ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan.

Kekaguman Mama Lisha akan sosok Ariel yang begitu perhatian dengan putri kesayangannya, membuat wanita paruh baya itu nyaris jatuh cinta pada sosok Ariel. Bahkan sampai di acara makan malampun Mama Lisha masih ngobrolin kebaikan Ariel dan kesempurnaan Ariel yang tiada tara.

"Mas, kamu tau nggak, sepertinya Ariel beneran suka deh sama Bri. Dia hari ini anterin Bri pulang lagi," cerita Mama Lisha dengan menggebu membuat Rheino mendesah dengan resah.

"Oh ya, baguslah kalo dia punya perhatian lebih ke cewek. Asal Bri gak diapa-apain pun, aku rasa gak papa." Papa Herman lalu menyendok nasi di dalam piringnya.

Mama Lisha tersenyum, "Mas, kamu setuju gak kalo punya calon mantu kayak Ariel?"

Rheino lantas tersedak, ia terbatuk-batuk lalu mengambil segelas air putih di hadapannya. Dengan raut wajah memerah, Rheino segera menenggak habis isi gelasnya.

"Tentu saja, aku kenal kok sama orangtuanya. Ohya Sayang, katanya kamu mau omongin sesuatu di depan anak-anak. Katakan ya," ucap Papa Herman lalu tersenyum manis.

Mama Lisha mengangguk setuju, ia lalu menatap kedua anaknya dengan tatapan penuh bunga-bunga. Hatinya saat ini tengah bermekaran mengingat apa yang akan ia ucapkan hari ini.

"Bri ..., Rheino ..., satu minggu ke kedepan kayaknya Mama sama Papa mau pergi liburan berdua ke Bali. Kami melakukan ini dalam rangka honeymoon kita. Apa nggak papa kalo kita pergi berdua ninggalin kalian berdua di rumah?" tanya Mama Lisha dengan hati-hati, sesekali wanita cantik itu melirik ke arah suaminya, berharap apa yang diucapkannya tidak membuat kedua putra-putrinya merasa diasingkan.

"Gak papa kok Ma, lagipula setelah pernikahan kemarin kalian juga belum liburan kemana-mana. Kami gak papa kok tinggal di rumah berdua lagipula kita bentar lagi juga mau ujian, kita harus fokus dengan kelulusan," jawab Rheino dengan bijak.

Mama Lisha tersenyum, ia menatap ke arah Bri yang sedari tadi lumayan anteng dengan isi piringnya. "Kamu gimana Bri? Biasanya kamu yang paling cerewet di meja makan kok hari ini beda?! Kamu sakit?"

Bri menggelengkan kepala, "Gak kok Ma. Jika Mama sama Papa mau liburan, aku oke-oke aja kok. Jangan khawatirin kami."

Mama dan Papa saling tatap lalu melempar senyum, merasa puas ketika anak-anaknya menyetujui acara liburan mereka yang hanya berdua tanpa anak-anak.

"Bri ..., Rheino ..., kami sepakat buat nambah anggota keluarga baru lagi. Kami pengen punya anak dari hasil pernikahan kami, apa nggak papa?" tanya Mama Lisha sekali lagi, kali ini jauh lebih berhati-hati.

Deg.

Jantung Brighid seakan disergap, gadis itu berhenti mengunyah nasi di dalam mulutnya. Tanpa sadar ia menggenggam sendok dan garpunya dengan sangat kuat. Mendadak jari-jari tangannya tremor dan ....

Clang.

Sendok itu terlepas dari tangan Bri, jatuh ke lantai dengan jari-jari tangan Bri yang masih gemetaran hebat.

"Bri, kamu gak papa?" tanya Mama Lisha khawatir ketika melihat perubahan putrinya yang begitu signifikan.

Mama Lisha lalu menangkap tangan Bri, menggenggamnya erat supaya Bri bisa menenangkan dirinya yang begitu kalut. Gadis itu mengempaskan tangan mamanya lalu beranjak berdiri.

"Aku ..., aku nggak papa. Tolong jangan pikirin aku, aku hanya perlu istirahat lebih awal."

Bri menggeser kursi duduknya lalu berlari menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya. Hatinya hancur tapi ia tidak bisa menangis.

Mengunci kamarnya rapat-rapat, Bri berusaha mengalahkan tremor yang terjadi pada tangannya. Kejutan hari ini, sungguh Bri takkan bisa melupakannya seumur hidup.

********************************************

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top