Bab 11. Perang Dingin
****
Mama Lisha menyeret Ariel masuk ke dalam ruang tengah. Mas Herman mengekornya dari belakang. Bri masuk ke kamar untuk ganti baju.
Bri membuka pintu kamar, tangannya sudah dicekal oleh Rheino. "Apa-apaan ini, Bri?"
Bri memberi pandangan tidak mengerti. "Maksudmu apa, sih?"
"Itu! Si Benalu! Kenapa dia di sini?"
"Dia kan nganterin aku pulang. Mobil temenku mogok. Jadi Ariel menawarkan mengantarkan ku pulang. Mama udah nelpon soalnya."
Rheino menjambak rambutnya. "Tapiii kenapa harus dia sih?"
"Rheino! bri! Yuk, kita makan malam."
Suara Papa dari ruang tengah membuyarkan pertengkaran kecil mereka. Rheino masuk ke kamar dengan air muka merengut.
Rheino dan Bri menuju ruang makan. Alangkah terkejut nya mereka 'si Benalu' itu sudah duduk manis di dekat kedua orang tuanya.
Kenapa sih si sialan ini kok masih ada di sini? Rheino tak henti-hentinya mengumpat walau dalam hati.
Sedangkan Bri berdiri terpaku. Dengan ogah-ogahan dia menarik kursi meja makan.
"Bri, duduk di sebelah Nak Ariel aja, ya," ucap Mama Lisha mengisyaratkan agar Bri duduk di sebelah pemuda norak tersebut.
"Ya, Ma." Bri mengangguk pasrah.
Dan Nak Rheino di sebelah Papa, ya." Mama Lisha tersenyum manis.
"Baik, Ma."
Pada saat di meja makan Rheino diam dan tidak bicara. Wajahnya masam. Padahal Mama Lisha memasak kesukaan Mas herman dan Rheino. Sop buntut, tempe goreng tepung, sambal tomat, dan capcay.
Biasanya Rheino makan dengan lahap. Sampai nambah dua piring. Bukan soal Mama Lisha, melainkan 'si sialan' itu.
Mas Herman memulai pembicaraan terlebih dahulu. "Oh ya Nak Ariel tinggal di mana?"
Mas Herman menunggu Ariel menghabiskan makanan di mulutnya. "Saya tinggal di daerah Kuningan, Om," ujar Ariel sopan.
"Tante, masakan ini uenak banget. Saya suka," puji Ariel tulus.
Wajah Mama Lisha merona. "Syukurlah kalau Nak Ariel suka. Tante senang."
Bri menyimak obrolan mereka. Dia tidak mau komentar banyak. Diliriknya Rheino diam seribu bahasa. Gadis itu yakin seyakin yakin nya Rheino ngambek.
Bri mencoba memulai percakapan mencairkan suasana. "Em, kamu tadi lagi ngapain di Mall?" tanya gadis manis itu penasaran.
"Oh, aku nganterin Papa reuni sama teman-teman angkatan SMA. Biasalah makan-makan di restoran. Setelah ini aku jemput ke sana lagi," jelas Ariel santai.
Gadis berambut panjang sepunggung itu hanya ber 'O' aja dan mengangguk.
"Kalo Om boleh tahu, Nak Ariel anak siapa ya?"
"Saya anaknya Pak Rudy Van Rooy, Om," jawab Ariel.
"Rudy Van Rooy ... Rasanya Om pernah dengar. Oh bentar, Rudy ini pemilik Bakery Van Rooy, bukan?"
Ariel mengangguk. "Betul, Om."
Mama Lisha terkejut. "Owalah jadi kamu anaknya Pak Rudy Van Rooy toh?"
Ariel tersenyum. "Betul, tante."
"Ma, Pak Rudy itu Big Boss, lho. Mas sering ambil kebutuhan kue di sana. Wah, Om ga nyangka. Anaknya semuda ini. Oya Ma, Pak Rudy itu baik banget lho orangnya," puji Om Herman.
"Wah, bener. Nak Ariel ada keturunan Belanda, ya?" timpal Mama Lisha.
Ariel menggaruk pipinya tidak gatal. " Iya, Tante."
"Bule darimananya? Kok ga kelihatan?" cibir Rheino.
Bri mengerling. Waduh jangan sampai berantem, deh. Dia tahu Rheino enggak suka sama Ariel. Bagi pemuda tampan itu, Ariel adalah saingannya. Saingan basket. Tapi kalo dilihat-lihat Ariel cakep juga.
"Iya sih. Aku emang ga keliatan bule nya. Ngikut Mama. Mama dari Jawa, hehe".
"Kalau begitu bagaimana kita undang orang tuanya Ariel, Mas?" tanya Mama Lisha penuh semangat.
Om Herman mengangguk setuju. "Boleh, boleh."
"Nak Ariel pemuda yang baik. Sederhana. Walau kaya tapi tidak pernah menunjukkan kekayannya." Mama Lisha terus memuji Ariel hingga pemuda itu merasa malu.
"Ah, Tante. Jangan gitu. Ariel terbang, nih. Hahaha." Ariel tertawa tergelak.
Om Herman dan Mama Lisha memandang takjub terhadap pemuda ini.
Bri menahan tawa. Kadang Ariel itu nyebelin, norak, sok pdkt, dan cari perhatian. Banyak cewek di sekolahnya suka sama Pemuda keturunan Holland. Termasuk Mitha, sahabatnya. Anehnya, laki-laki itu menolak halus. Bri penasaran, siapa sih cewek yang dia sukai?
Lalu, bagaimana dengan Rheino? Dari tadi diam saja.
Dering ponsel Ariel berbunyi. Ariel menggeser layar dan membaca pesan. "Maaf, Tante, Om, Rheino, dan Bri. Saya harus jemput Papa dulu. Terima kasih banyak hidangannya. Makanan buatan Tante Lisha uenak banget," puji Ariel.
Wah, sayang sekali ya. Kita ngobrol hanya sebentar." Wajah Mama Lisha menjadi murung. Wanita berparas ayu itu menyukai Ariel.
"Iya benar. Mainlah ke sini, Nak Ariel," timpal Om Herman.
"Jangan khawatir, Om dan Tante. Saya pasti memberitahu Papa. Ohya boleh saya meminta nomer ponsel Om?" tanya Ariel hati-hati.
"Tentu saja boleh."
Om Herman dan Ariel sibuk bertukar nomer ponsel.
"Ngomong-ngomong kok kalian berdua diam saja?" tanya Mama Lisha.
"Ngapain? Di kelas juga sering ketemu."
"Oh, kalian sekelas rupanya?"
Ariel mengangguk. "Betul, Tante. Tapi Rheino sombong sama saya."
Om Herman membalikkan tubuhnya. "Rheino, kok sama teman gitu sih? Ga sopan, tahu!"
Rheino memajukan bibirnya. Wajahnya tambah masam, kedua alisnya bertemu di tengah.
"Mama jadi pengen jodohin Bri dengan Ariel deh."
Kalimat Mama Lisha barusan sukses membuat Bri terkejut. Om Herman mengangguk setuju. Sedangkan Rheino? Rheino yang sedang minum seketika menyemburkan air gelas di mulutnya.
Mendapat sambutan positif dari Mamanya Bri, Ariel tersenyum manis. "suatu kehormatan buat saya diijodohin dengan anaknya Tante."
***********
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top